Anda di halaman 1dari 1

Pembagian Harta Warisan Jika

Suami Meninggal
Warisan atau harta peninggalan merupakan kekayaan berupa sejumlah harta benda yang
ditinggalkan pewaris dalam keadaan bersih, setelah dikurangi pembayaran hutang-piutang
yang ditinggalkan pewaris dan pembayaran lainnya yang merupakan kewajiban pewaris
dan harta tersebut berpindah kepada ahli waris.
Aturan mengenai Perkawinan dan Mewaris diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata atau KUHP Perdata, yang berlaku untuk semua golongan yang beragama selain
Islam dan termasuk pula WNI Timur Asing Tionghoa. Dalam KUH Perdata,
Ahli waris harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Harta waris baru dapat diwariskan kepada pihak lain apabila pewaris telah meninggal
dunia. (Tercantum dalam Pasal 830 KUH Perdata)
2. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 hukum perdata, yaitu:
“anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”.
Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian
berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris
dan telah dianggap cakap untuk mewaris.
3. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan
oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau
tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
4. Menurut undang-undang Pasal 832 KUH Perdata, yang berhak menjadi ahli waris ialah
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar
perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama.
Apabila suami meninggal, maka pembagian harta waris diatur berdasarkan agama pewaris
atau agama sang suami yang meninggal tersebut. Hal ini dapat diketahui dari kartu
identitas atau agama yang dianutnya. Jika beragama Islam, maka hukum waris yang
digunakan adalah hukum Islam.
Apabila ahli waris beragama selain Islam, maka hukum waris yang digunakan merujuk
pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Baik berdasarkan KUH Perdata maupun hukum Islam, ahli waris dibagi berdasarkan
keluarga yang memiliki hubungan darah dan istri yang masih hidup.
Apabila semua ahli waris masih ada, maka pembagian warisan hanya pada anak, ayah,
ibu, dan istri. Bila keluarga sedarah dan istri tidak ada, maka semua harta peninggalan
menjadi milik negara.
Di dalam undang-undang Perkawinan Pasal 35, mengatur tentang Harta Benda Dalam
Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
• Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
• Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Oleh sebab itu, perlu dipastikan bahwa suatu harta merupakan harta bersama atau
bukan. Hal ini dapat diketahui sejak kapan harta tersebut ada, apakah setelah pernikahan
ataupun sebelumnya.
Jika sebelum menikah, maka harta tersebut disebut dengan harta bawaan dan dapat
dikatakan sebagai harta bersama bila harta tersebut didapat setelah pernikahan.
Hal ini berarti bahwa selama pernikahan suami dan istri, meskipun hanya suami yang
bekerja mencari nafkah, maka istri pun berhak atas 1/2 dari harta perolehan suami
tersebut. Pada poin kedua, istri yang ditinggalkan juga berhak menerima 1/2 dari harta
Bersama ditambah dengan harta bawaan suami sebelum menikah.
Kemudian untuk yang beragama Islam, harta waris yang diperoleh oleh istri diatur dalam
Hukum Islam, maka jika suami meninggal, maka harta tersebut dapat dibagikan setelah
melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan pewaris semasa hidupnya terlebih dahulu.
Jika memiliki anak, maka istri berhak mendapatkan warisan dari suaminya sebesar 1/8
bagian dan istri akan mendapatkan 1/4 bagian bila tidak memiliki anak.

Anda mungkin juga menyukai