Anda di halaman 1dari 6

1

PERCERAIAN DENGAN ALASAN PINDAH AGAMA

(Studi kasus putusan Nomor 99 K/AG/2007)

A. Latar Belakang Pemilihan Kasus

Berdasarkan Undang-Undang Tentang Perkawinan menyatakan bahwa

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 1 Sah atau tidaknya suatu

perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang.

Dimana perbuatan tersebut ditentukan oleh hukum positif . Hukum positif di

bidang perkawinan di Indonesia sejak 2 Januari 1974 adalah Undang-undang

Perkawinan No.1 tahun 1974. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974,

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Sering kita melihat seseorang yang berpacaran dengan bertujuan untuk

sampai kejenjang pernikahan tetapi terkendala karena perbedaan agama. Sehingga

untuk mencapai suatu perkawinan yang sah maka salah satu dari mereka pindah

agama agar perkawinan tersebut dapat di langsungkan di hadapan Pegawai

Pencatat Nikah dan sah secara hukum. Tetapi ada juga pernikahan tersebut

ternoda setelah salah satu pihak murtad. Dalam kenyataanya, pelaksanaan dari

pindah agama setelah pernikahan tidak dilakukan dan masih melakukan ritual

1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2

yang diyakini dari agama yang semula, yang dimungkinkan menjadi pemicu

perselisihan dalam rumah tangga dan berakhir pada perceraian.

Perceraian adalah pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih

hidup dengan didasarkan pada alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan

dengan suatu keputusan hakim. 2 Ketentuan tentang perceraian sendiri telah diatur

dalam pasal 207-232 KUH Perdata. Alasan-alasan yang menjadikan perceraian

diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974.

Menurut KUH Perdata alasan-alasan perceraian adalah : 3

1. Zinah (overspel)

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja.

3. Penghukuman denngan hukuman penjara 5 tahun lamanya atau dengan

hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri

terhadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga mengakibatkan

luka-luka yang membahayakan.

Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dalam pasal 39

penjelasan Undang-Undang Perkawinan yang kemudian diulangi dalam pasal 19

Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 adalah :

1. Sedangkan satu pihak berbuat zinah atau pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Ctk.Pertama, Tonis, Bandung, 1983, hlm.15-16.
3
KUH Perdata Pasal 209 KUH.
3

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal

lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami-istri.

6. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Sedangkan di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan

bahwa perceraian dapat terjadi dengan beberapa alasan, yaitu :

1. Apabila salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hallain

diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.


4

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Hal ini juga dirasakan oleh Evira Desiana dan J. Susanto. Karena dalam

pernikahan sering terjadi perselisihan, akhirnya Evira Desiana Menggugat cerai

terhadap J. Sutanto dengan alasan suaminya tersebut telah berpindah agama dari

beragama Islam menjadi pemeluk agama Katholik di Pengadilan Agama Sleman

Yogyakarta pada tahun 2005. Selain itu juga dikarenakan adanya alasan yang lain,

yaitu :

a. Evira Desiana (penggugat) sering di lecehkan terus seperti masalah

pendidikan anak, dikatakan bodoh, tidak becus, tidak tahu apa-apa dan

lain-lain.

b. J. Susanto (tergugat) telah mengkonsumsi daging babi di rumah, sehingga

untuk makan saja peralatannya menjadi permasalahan bagi penggugat

(Evira Desiana) dan anak-anak sebagai pemeluk agama Islam.

c. Rumah tangga sudah tidak nyaman lagi, sulit didamaikan, dan telah pula

pisah kamar serta tidak saling tegur sapa.

Dalam hal ini karena Pengadilan Agama mempunyai wewenang untuk

memeriksa sengketa perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dan


5

keputusannya telah berkekuatan hukum sesuai dengan Undang-Undang. 4 Oleh

Pengadilan Agama Sleman Yogyakarta dengan putusannya tertanggal 11 Mei

2006 pernikahan dinyatakan putus karena cerai gugat, namun demikian pihak

Tergugat tidak puas dan mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Agama

Yogyakarta. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta menyatakan bahwa

permohonan Banding dari Tenggugat J. Susanto tidak dapat di terima (Niet

Onvanklijk Verklaard) tertanggal 3 Oktober 2006.

Tidak puas dengan putusan tersebut, Tergugat melalui Kuasanya

mengajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 5 Desember 2006.

Dalam putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 29 Agustus 2007 menyatakan

menolak permohonan kasasi dan memperbaiki amar putusan Pengadilan Agama

Sleman Yogyakarta. Dengan keputusan Mahkamah Agung RI tersebut akhirnya

pernikahan tersebut dinyatakan putus dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap

(inkraacht).

Masalah ini sangat jarang terjadi sehingga menarik untuk dikaji terutama

dari segi hukum lebih dalam lagi. Kemudian dengan pertimbangan-pertimbangan

hakim yang dikemukakan tentunya sangat berpengaruh.

Apakah putusan yang digunakan oleh hakim dalam perkara perceraian

Nomor 99 K/AG/2007 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku?

4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan
Agama, Bandung, 1990, hlm. 204.

Anda mungkin juga menyukai