Anda di halaman 1dari 26

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Talak

a. Pengertian Perceraian

Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

dengan pisah atau putus.1 Dalam istilah agama Sayyid Sabiq

mendefinisikan talak dengan upaya melepaskan ikatan perkawinan atau

bubarnya hubungan perkawinan.2 Istilah “perceraian” juga terdapat dalam

Pasal 38 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang memuat

ketentuan bahwa: “Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian,

dan atas putusan pengadilan”.3

Perceraian dalam istilah fikih disebut “t}ala>q” yang berarti

“membuka ikatan, membatalkan perjanjian”. Kata “t}ala>q” mempunyai arti

yang umum yaitu segala macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan

oleh suami, yang ditetapkan oleh Hakim, maupun perceraian yang jatuh

dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri.

Selain itu, “t}ala>q” juga mempunyai arti yang khusus, yaitu “perceraian

yang dijatuhkan oleh pihak suami”.

Memperhatikan arti dari istilah perceraian sebagaimana diuraikan

di atas, maka dapat dipahami bahwa perceraian adalah suatu istilah yang

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indnesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), 163.
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Alma‟rif, 1985), 7.
3
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Bandung: Fokus Media, 2005), 19.

14
15

digunakan untuk menegaskan terjadinya suatu peristiwa hukum berupa

putusnya perkawinan antara suami dan istri, dengan alasan-alasan hukum,

proses hukum tertentu dan akibat-akibat hukum tertentu, yang harus

dinyatakan secara tegas di depan sidang pengadilan. Putusnya perkawinan

antara suami dan istri berarti putusnya hubungan hukum perkawinan

antara suami dan istri, sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai

suami istri dan tidak lagi menjalani kehidupan suami dan istri dalam suatu

rumah tangga. Namun, putusnya perkawinan tersebut tidak memutus

hubungan s}ilaturrah}im (hubungan sosial-keagamaan, baik sebagai

manusia, warga masyarakat, dan umat beragama) antara bekas suami dan

bekas istri, apalagi mereka telah mempunyai anak selama berumah tangga

berdasarkan perkawinan yang telah mereka putuskan tersebut.4

b. Hukum Talak

Adapun hukum menjatuhkan talak apabila dilihat dari kemaslahatan dan

kemandhorotannya, maka hukum talak ada 5 (lima) yaitu:5

1. Wajib, talak yang dijatuhkan oleh hakam (penengah), karena

perpecahan atara suami-istri tidak dapat diperbaiki lagi (shiqa>q). Dan

ini jika hakam berpendapat bahwa talak merupakan jalan satu-satunya

untuk menghentikan perpecahan antar keduanya. Hal ini berlaku pula

pada talak perempuan yang di-i>la>’ sesudah berlalu waktu menunggu

selama empat bulan.

4
Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),17.
5
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 60.
16

2. Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi

kewajibannya (nafkah), atau si istri yang sudah keterlaluan dalam

melanggar perintah Allah atau si istri tidak menjaga kehormatan

dirinya.

3. Haram, talak yang dijatuhkan tanpa alasan yang kuat atau dengan niat

untuk mempermainkan perkawinan, baik dilakukan oleh suami atau

istri, karena talak tersebut akan merugikan antara keduanya.

Rasulullah saw. menyatakan bahwa talak ini merupakan dari perilaku

yang membahayakan kehidupan pribadi dan masyarakat karena talak

berdampak kepada tatanan sosial yang harmonis, baik kepada anak-

anak maupun keluarga.

4. Mubah (dibolehkan), ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena

jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri terhadap suami, suami

menderita mandharat lantaran tingkah laku istri, suami tidak mencapai

tujuan perkawinan dari istri.

5. Makruh, ini adalah hukum asal dari talak.

Menurut para ulama, dikatakan bahwa “talak yang sah adalah talak

yang diucapkan oleh suami yang baligh dan berakal, jika suaminya

gila atau mabuk sehingga tidak dalam keadaan sadar, talaknya sia-sia

seperti talak yang diucapkan oleh suami yang belum baligh.”

Talak yang hukumnya tidak sah bukan hanya karena suami gila,

mabuk, atau belum baligh. Jika diucapkan oleh suami karena paksaan

bukan kehendak sendiri, talaknya tidak sah. Demikian pula, kata yang
17

diucapkan oleh suami yang dalam keadaan marah sehingga kata-

katanya tidak jelas dan ia sendiri tidak menyadarinya. Kemarahan

menurut Sayyid Sabiq ada tiga macam:6

a. Marah yang menghilangkan akal, sehingga tidak sadar apa yang

dikatakannya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada perbedaan

pendapat tentang “tidak sahnya talak”.

b. Marah yang tidak berakibat menghilangkan kesadaran atas apa

yang dimaksud oleh ucapan-ucapannya, maka kesadaran yang

seperti itu mengakibatkan talaknya “sah”.

c. Sangat marah tetapi tidak menghilangkan kesadaran akalnya, jika

bermaksud dengan menalaknya, maka sah talaknya. Tetapi jika

tidak diniatkan untuk itu, hanya sekedar main-main para ulama

menyatakan tidak sah, meskipun ulama yang lain menyatakan sah.

Karena ucapan talak bukan untuk dipermainkan, karena dengan

ucapan yang sekedar main-main talaknya dapat jatuh dengan

kedudukan hukum yang sah.

c. Bentuk-bentuk Putusnya Perkawinan

Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk, tergantung

dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan

tersebut. Hal itu dijelaskan sebagai berikut: 7

6
Sabiq, Fikih Sunnah., 21.
7
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara fiqh Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2011), 197.
18

1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya

salah seorang suami atau istri, karena kematian tersebut dengan

sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.

2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan

dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini

disebut t}ala>q.

3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri, karena si istri melihat

sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami

tidak berkehendak untuk itu. Putusnya perkawinan ini disebut khulu’.

4. Putusnya perkawinan atas kehendak Hakim sebagai pihak ketiga

setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan istri yang menandakan

tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya

perkawinan ini disebut fasakh.

d. Alasan-alasan perceraian

Dalam hukum Islam suami diberi hak menjatuhkan talak, namun

suami tidak dibenarkan menggunakan haknya dengan gegabah dan sesuka

hati.8 menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah

termasuk perbuatan yang tercela. Walaupun perceraian merupakan

perbuatan tercela dan dibenci oleh Allah SWT, suami istri tetap boleh

melakukan perceraian apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat

dipertahankan lagi. Namun demikian, perceraian harus mempunyai alasan-

8
Syarifudin, Hukum Perkawinan., 200.
19

alasan yang menjadi sebab melakukan perceraian, seperti yang diatur

dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan bahwa “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,

bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai

suami istri”.

Tentang alasan-alasan perceraian tercantum pada Pasal 19

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu perceraian dapat terjadi

karena alasan-alasan sebagai berikut:9

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membebankan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.

Alasan perceraian yang tertuang di dalam Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, terdapat banyak kesamaan dalam Pasal

116 KHI, hanya saja di dalam KHI ditambahkan dua poin sebagai alasan

terjadinya perceraian yaitu:

9
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
20

g. Suami melanggar taklik talak


h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.10

Aplikasi alasan-alasan seperti dalam praktik bersifat alternatif,

artinya Pemohon (suami) dapat mendasarkan cerai talak pada salah satu

alasan saja, tergantung kasusnya. Dengan melihat ketentuan mengenai

alasan-alasan perceraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun

perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang tidak boleh

begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat.

Jadi pada dasarnya Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974

menganut prinsip “mempersulit terjadinya perceraian”, yang bertujuan

untuk menjaga seseorang dari tindakan yang semena-mena, serta untuk

mewujudkan tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia kekal

dan sejahtera.

Adapun isi dari asas perceraian dipersulit ini dijelaskan dalam

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (1) yang

berbunyi: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil untuk

mendamaikan kedua belah pihak.” Pasal ini pada dasarnya berguna untuk

menghindari perceraian yang dilakukan secara sewenang-wenang. Dan

pada ayat (2) berbunyi: “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup

alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami

istri”.

10
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
DPBPAI, 2001), 16.
21

Adapun alasan lain juga diatur dalam Pasal 22 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975:

(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19


huruf f diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman
tergugat;
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan
dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga
serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri itu.

dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989:

(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq,


maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar
keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-
orang yang dekat dengan suami-istri;
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang
atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang
lain untuk menjadi hakam.

Adapun penjelasannya dari Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:11

a. Alasan perceraian dapat pula disebut shiqa>q, yaitu perselisihan yang

tajam antara suami istri.

b. Hakim harus meneliti tentang ada tidaknya perselisihan dan

pertengkaran, serta bagaimana bentuk perselisihan dan pertengkaran

itu.

c. Hakim harus meneliti pula tentang sebab-sebab perselisihan dan

pertengkaran.

11
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), 217.
22

d. Hakim harus mempertimbangkan sebab perselisihan dan pertengkaran

itu, apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan

kehidupan suami istri.

e. Hakim harus mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari

keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami ataupun istri.

Sebagai saksi mereka harus disumpah.

f. Hakim setelah mendengar keterangan saksi-saksi tentang sifat

persengketaan antara suami dan istri, dapat mengangkat seorang atau

lebih dari keluarga masing-masing ataupun orang lain untuk menjadi

hakam. Hakam dapat ditunjuk oleh masing-masing pihak atau oleh

hakim.

g. Hakim mengangkat hakam di bawah sumpah. kemudian hakim

memberikan petunjuk tentang tugas-tugas hakam, yaitu meneliti lebih

lanjut sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran, berusaha

mendamaikan kepada para pihak dan memberikan pertimbangan

kepada hakim. Hakam melaporkan hasil tugasnya itu kepada hakim di

depan sidang. Hakim bebas menilai pertimbangan hakam.

h. Perceraian dapat dikabulkan apabila telah cukup jelas bagi pengadilan

mengenai :

1. Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran.

2. Sifat dan bentuk serta kadar perelisihan dan pertengkaran, dan

setelah dipertimbangkan ternyata benar-benar berpengaruh dan

prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri.


23

3. Tidak adanya harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Keterangan saksi yang ada dalam perkara pembuktian perceraian

karena alasan shiqa>q memang berbeda dengan maksud Pasal 145

ayat (1) HIR dan Pasal 146 HIR, yang justru melarang keluarga

sedarah dan semenda untuk didengar sebagai saksi.12

Perceraian memang bukan jalan yang tepat untuk menyelesaiakna

perselisihan dalam keluarga, tetapi ajaran Islam melalui ajaran al-Qur’a>n

atau as-Sunnah telah mengatur tata cara perceraian. Itu artinya perceraian

bukan hal yang terlarang, sepanjang dilakukan dengan tujuan yang lebih

maslahat bagi kehidupan kedua belah pihak.13

e. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 Undang-undang No. 1

Tahun 1974 bahwa yang dapat menyebabkan putusnya pernikahan salah

satunya adalah perceraian. Putusnya perkawinan karena perceraian

disebabkan adanya permohonan seorang suami untuk menceraikan istrinya

yang disebut cerai talak dan gugatan seorang istri yang ingin bercerai

dengan suaminya disebut dengan cerai gugat.

Dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, maka prosedur cerai talak dan cerai gugat adalah

sebagai berikut:

12
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dan Peradilan Indonesia, (Bandung: Sinar Grafika,
1992), 85.
13
Hasan, PengantarHukum Keluarga., 205.
24

1. cerai talak

Sejak berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP

No. 9 Tahun 1975 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

sidang Pengadilan Agama setempat, setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak. Dari ketentuan di atas, talak tidak lagi semata-mata urusan

pribadi atau private affair suami, urusan tersebut dicampuri dan

menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memberi “izin” atau

tidak suami mengucapkan “ikrar talak”.14

Adapun tata cara pemberian izin ikrar talak diatur dalam

Paragraf 2, Pasal 65 sampai Pasal 72 Undang-undang No. 7 Tahun

1989. Di dalamnya dijelaskan bahwa Panitera Pengadilan Agama dan

Pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban selambat-

lambatnya 30 hari mengirimkan satu helai penetapan tersebut tanpa

bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang wilayahnya

meliputi tempat kediaman Pemohon dan Termohon untuk

mendaftarkan penetapan perceraian dalam daftar yang sudah

disediakan.15

Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan

wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan,

14
M. Yahya Harahap, kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 216.
15
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
25.
25

maka satu helai penetapan bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai

Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai

Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan

perkawinan.

Selain kewajiban sebagaimana dijelakan diatas, maka panitera

berkewajiban pula memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai

kepada para pihak (suami-istri) selambat-lambatnya 7 hari sejak

penetapan tersebut diberitahukan kepada para pihak (suami-istri).16

2. cerai gugat

Prosedur cerai gugat diatur dalam bagian 3, Pasal 73 sampai

Pasal 84 Undang-undang No 7 Tahun 1989, adapun penjelasan dari

pasal tersebut adalah:

gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada

Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman penggugat disertai alasan yang menjadi dasar gugatannya.17

Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majlis Hakim

selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan

perceraian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang

tertutup, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Dalam

sidang perdamaian tersebut suami harus datang secara pribadi. selama

16
Ibid., 25.
17
Ibid., 25.
26

perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada

setiap sidang pemeriksaan.

Jika upaya damai gagal dan Pengadilan Agama telah

berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi

didamaikan dan telah cukup bukti-bukti maka Pengadilan Agama

menjatuhkan putusannya, terhadap putusan tersebut para pihak dapat

mengajukan banding.

Setelah putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap,

maka Panitera Pengadilan Agama atau Pejabat Pengadilan Agama

yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirimkan

satu helai salinan tersebut tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat

Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan

tergugat untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar

yang disediakan untuk itu.

Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan

wilayah Pegawai Pencatat Nikah perkawinan dilangsungkan, maka

satu salinan putusan tersebut tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada

Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan.

Selanjutnya oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian

pinggir daftar perkawinan.

Selain kewajiban sebagaimana dijelaskan tersebut, maka

Panitera berkewajiban pula memberikan akta cerai sebagai surat bukti


27

cerai kepada pihak (Penggugat dan Tergugat) selambat-lambatnya 7

hari terhitung setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mereka yang mengajukan permohonan atau gugatan ke

Pengadilan Agama harus melengkapi syarat administrasi sebagai

berikut:

a. Kartu Tanda Penduduk

b. Surat Keterangan untuk talak dari kepada Desanya

c. Kutipan Akta Nikah

d. Membayar uang muka biaya perkara menurut peraturan yang

berlaku

e. Surat izin talak atau cerai bagi Anggota ABRI

f. Surat izin talak atau cerai bagi Anggota Pegawai Negri Sipil.18

B. Konsep Nafkah

a. Pengertian Nafkah

Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku

menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, rumah, dan

sebagainya. Adapun hak belanja yaitu kewajiban suami untuk memenuhi

segala kebutuhan rumah tangga yang menyangkut kebutuhan pangan.

Kata asli dari nafkah adalah nafaqah yang berasal dari kata

dalam bahasa arab secara etimologi mengandung arti berarti

18
Ibid., 26.
28

berkurang dan juga berarti ‫ فني و ذهب‬yang berarti hilang atau pergi, bila

seseorang dikatakan memberi nafaqah berarti membuat harta yang

dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkannya atau

dipergikannya untuk keperluan atau kepentingan orang lain. Bila kata ini

dihubungkan dengan perkawinan, maka mengandung arti sesuatu yang

dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga

menyebabkan hartanya menjadi berkurang. Dengan demikian nafaqah

istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya

dalam masa perkawinan.

Kewajiban memberikan nafaqah oleh suami kepada istrinya yang

berlaku dalam fiqih didasarkan pada prinsip pemisahan harta antara

suami-istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami adalah pencari

rizeki, dan rizeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara

penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi

nafaqah, sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi

keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafaqah. Jadi prinsip

nafaqah bukanlah penggabungan harta dalam rumah tangga.19

b. Sebab-sebab Diwajibkannya Nafkah

1. Sebab keturunan, Bapak atau ibu (kalau bapak tidak ada) wajib

memberi nafkah kepada anaknya, begitu juga kepada cucu, kalau ia

tidak memiliki bapak.

19
Syarifudin, Hukum Perkawinan., 165.
29

Syarat wajibnya nafkah atas kedua ibu bapak kepada anak ialah

apabila si anak masih kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak

mampu berusaha dan miskin pula. Begitu juga sebaliknya, anak wajib

memberi nafkah kepada kedua ibu bapaknya apabila keduanya tidak

mampu lagi berusaha dan tidak mempunyai harta. Dalam hal ini Allah

berfirman dalam QS. Luqman (31): 15

Artinya: “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”20

Cara bergaul yang baik itu banyak, tetapi secara ringkasnya adalah

menjaga agar keduanya tidak merasa sakit hati atau kesusahan, dan

menolong keduanya dalam segala keperluan.

2. Sebab pernikahan, suami diwajibkan memberi nafkah kepada istrinya

yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, berkakas rumah

tangga dan lain-lainnya. Banyaknya nafkah adalah menurut kebutuhan

dan kebiasaan yang berlaku di tempat masing-masing, disesuaikan

dengan tingkatan dan kemampuan suami.

3. Sebab milik, suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-

anaknya, menjaga mereka dan tidak memberikan beban yang terlalu

berat kepada mereka.21

20
QS. Luqman (31): 15.
21
Saebani, Fiqh Munakahat., 27.
30

c. Bentuk-bentuk Nafkah

Nafkah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan setiap

keluarga, dan hal pokok yang wajib dipenuhi suami telah disepakati oleh

ulama sebagai nafkah adalah: sandang, pangan, dan papan. Karena jelas

sudah ada dalil yang memberi petunjuk pada hukumnya.

Jumhur „ulama memasukkan alat kebersihan dan wangi-wangian

ke dalam kelompok yang wajib dibiayai oleh suami, demikian juga alat

keperluan tidur, seperti kasur dan bantal sesuai dengan kebiasaan

setempat. Secara khusus jumhur ulama memang tidak menemukan dalil

yang mewajibkan demikian dari Al-Qur‟an maupun hadis Nabi yang kuat.

Namun mereka berdalil bahwa yang demikian wajib dilakukan suami

untuk memenuhi kewajiban menggauli istri dengan baik yang ditetapkan

dalam Al-Qur‟an QS. an-Nisa‟ (4): 19

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian


bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak.”22

Selain itu tidak ada petunjuk yang jelas dan rinci dari Al-Qur‟an

dan hadis Nabi tentang yang termasuk dalam pengertian pangan, oleh

karena itu diserahkan kepada kebiasaan setempat sesuai dengan kondisi

dan situasinya. Hal yang biasa mengenai pengertian pangan itu mencakup

22
QS. an-Nisa‟ (4): 19.
31

makanan dan lauk pauk yang terdiri dari sesuatu yang biasa dikonsumsi

masyarakat setempat. Perhitungan kewajiban untuk makanan ini berlaku

setiap hari untuk kepentingan primer sehari-hari.23

Mengenai bentuk nafkah Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah

menjelaskan pada Bab XII Bagian Ketiga tentang Kewajiban suami Pasal

80:24

(1) Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah


tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh sumai istri bersama.
(2) Suami wajib melidungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya
dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat
(4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin
sempurna dari istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
isteri nusyuz.

Adapun tentang nafkah pokok pada pakaian dan tempat tinggal

dijelaskan sebagai berikut :

1. Nafkah Pakaian

23
Syarifudin, Hukum Perkawinan., 169.
24
Direktori Pembinaan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, 11.
32

Nafkah yang berupa pakaian atau sandang ini merupakan

kewajiban suami terhadap istrinya, pakaian yang dimaksud adalah

semua kebutuhan yang erat hubungannya dengan anggota badan.

Suami wajib memberikan nafkah pakaian kepada istrinya berupa

pakaian untuk menutupi aurat dan berbagai kebutuhan batiniyah.

Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 233

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian


kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”25

Disamping berupa pakaian, nafkah pakaian berupa hal-hal sebagai

berikut:

a. Biaya pemeliharaan jasmaniah istri

b. Biaya pemeliharaan kesehatan

c. Biaya untuk kebutuhan rekreasi

d. Biaya untuk pendidikan anak

e. Biaya untuk hal-hal yang tidak diduga

Karena suami sudah melaksanakan kewajibannya memenuhi

nafkah pakaian, istri berhak untuk menjaga auratnya, menjaga

kemaluannya, tidak keluar rumah tanpa seizin suaminya, taat dalam

25
QS. al-Baqarah (2): 233.
33

beribadah atau menjalankan perintah agama, dan mendidik anak-

anaknya dengan akhlak dan budi pekerti yang baik.

2. Nafkah Tempat Tinggal

Bagi keluarga atau rumah tangga yang ideal, tempat tinggal

merupakan target penting untuk diperoleh, karena keberadaan tempat

tinggal berfungsi untuk memberikan istri dan anak-anak rasa aman,

nyaman dan tentram. Tempat tinggal yang baik adalah yang tanahnya

luas, rumahnya cukup untuk beristirahat, kamar-kamarnya tidak

pengap, pintu dan jendela aman dari jangkauan pencurian, dan

memberikan rasa betah. Rumah yang baik adalah rumah yang sehat.

Suami berkewajiban memberi nafkah tempat tinggal meskipun

hanya mampu mengontrak rumah, yang terpenting adalah anak dan

istri tidak kepanasan, tidak kehujanan, terhindar dari ancaman

kejahatan dan binatang buas. Rumah juga dapat menjaga harta

kekayaan, karena segala bentuk harta kekayaan lebih terjaga dan

aman.

Berkaitan dengan hak istri menerima tempat tinggal atau

kewajiban suami memberikan tempat tinggal, Allah SWT berfirman

dalam QS. at}-T{ala>q (65): 6

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu


bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
34

kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)


mereka.”26

Setelah perkawinan biasanya untuk beberapa hari suami-istri

tinggal bersama orang tua suami atau istri, setelah itu suami mengajak

istrinya pindah kerumah yang telah dibelinya atau rumah yang telah

dikontraknya. Adapun beberapa alasan suami mengajak istri pindah

kerumahnya sendiri adalah: suami sudah memiliki rumah atau

memiliki tempat tinggal sendiri, suami-istri ingin membangun

keluarganya dengan mandiri, tempat pekerjaan suami lebih dekat ke

tempat tinggal yang akan ditempati, perpindahan yang dilakukan lebih

maslahat bagi kehidupan suami-istri terutama dalam mendidik rumah

tangga, agar istri terjamin keamanannya dan tidak terlalu bergantung

kepada orang tua, tidak ada ikut campur pihak ketiga dalam

kehidupan rumah tangga, suami-istri lebih bebas dalam menentukan

masa depan rumah tangganya.27

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan pada BAB

XII Bagian Keempat tentang Tempat Kediaman Pasal 81:28

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-
anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau
iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-
anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman
dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
26
QS. at}-T{ala>q (65): 6.
27
Saebani, Fiqh Munakahat., 44.
28
Direktori Pembinaan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, 12.
35

menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur


alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.

d. Dasar Penetapan Ukuran Nafkah menurut Kelonggaran dan

Kesempitan Ekonomi Suami:

Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi

keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan

suami. Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suami wajib

menanggung nafkahnya, istri mengurus semua kebutuhan seperti makan,

minum, pakaian, tempat tinggal. Dalam hal ini istri tidak berhak meminta

nafkah dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya.

Jika suami adalah orang yang kikir, yaitu tidak memberikan

nafkah secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri

berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan,

pakaian dan tempat tinggal. Hakim boleh memutuskan berapa jumlah

nafkah yang harus diterima oleh istri serta mengharuskan suami untuk

membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh istri ternyata

terbukti kebenarannya.

Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang

baik, sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk mencukupi

kebutuhannya apabila suami melalaikan kewajibannya. Seperti Hadis

berikut:
36

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al


Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia
berkata: Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah
bahwa Hindu binti Utbah berkata: “sesungguhnya Abu Sufyan
adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan
kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku
mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuan nya. Maka
beliau bersabda: Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi
kebutuhanmu dan juga anakmu.” (HR. Bukhori 4945).29

Hadis di atas menunjukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut

kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak. Oleh karena

itu, jumlah nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, tempat, dan

keberadaan manusia.30 Selain itu dijelaskan pula dalam Firman Allah QS.

at}-T{ala>q (65): 6

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut


kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”31

29
Al-Bukha>ri>, Ṣ aḥ i>ḥ al-Bukha>ri>, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), V: 125.
30
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahah (Kajian Fikih Nikah Lengkap), (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), 164-166.
31
QS. at}-T{ala>q (65): 6.
37

Adapun makna dari ayat tersebut yakni menurut kemampuan dan

sabda Rasulullah kepada Hindun

“Ambilah sesuatu yang mencukupi engkau dan anak engkau”. Dengan

apa yang telah dikenal manusia, bahwa setiap manusia memberikan

nafkah sesuai dengan kadar kondisinya.32

Selain itu, nafkah seorang istri juga diukur sesuai kadar

ketaatannya kepada suami, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. al-

Baqarah (2): 228

Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak (nafkah) yang


seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”33

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda

Artinya: “Bertakwalah kalian kepada Allah pada (penunaian hak-


hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil
mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah
tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak suka. Jika mereka melakukan demikian, pukullah

32
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fikih Munakahat: Khitbah,
Nikah, dan Talak (Jakarta: Amzah, 2009), 215.
33
QS. al-Baqarah (2): 228.
38

mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian


bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma‟ruf.” (HR. Muslim no. 1218).34

Dari ayat dan hadis tersebut sudah jelas, bahwa tidak ada

ketentuan kadar nafkah melainkan dengan kata-kata ma’rūf (pantas), ini

menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan

suami.35

Kadar Nafkah Menurut Ulama Madhab

1. Madzhab Maliki berpendapat, bahwa ukuran nafkah tidak dibatasi

dengan syari‟at, dan itu kembali kepada keadaan yang dialami oleh

suami-istri. Hal itu berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan

kondisi, pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah.

2. Madzhab Syafi‟i berpendapat, bahwa nafkah bisa dikira-kirakan, bagi

orang yang memiliki kelapangan, dua mud; bagi orang yang sedang,

satu setengah mud dan bagi orang yang mengalami kesulitan (sempit),

satu mud.36

3. Menurut ulama Hanafiyyah Orang yang ekonominya lapang (longgar)

wajib memberi nafkah kepada kerabat dekatnya. Ulama Hanafiyyah

menjelaskan bahwa yang dimaksud ekonomi lapang adalah yasa>rul

fit}rah. Artinya, seseorang memiliki harta yang wajib dikeluarkan

34
Muslim, Ṣ aḥ i>ḥ Muslim, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), II: 205.
35
Saebani, Fiqh Munakahat., 28.
36
Ibnu Rusyd dan Abu Usamah Fakhtur, Bida>yatul Mujtahid wa Niha>yatu al-Muqtas}id (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), 107.
39

zakatnya meski harta itu tidak berkembang, namun hartanya sudah

melebihi kebutuhan pokoknya.37

37
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Isla>m Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2012), 100.

Anda mungkin juga menyukai