Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH

“PUTUS NYA PERKAWINAN”


HUKUM PERKAWINAN

DISUSUN OLEH
HADIST (2200874201013)
AMBO UPEK (2200874201004)
JIMMY CALVIN SIMATUPANG (2200874201176)
RIO FEBRIAN (2200874201110)

DOSEN
SYARIFA MAHILA,SH.,M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATANGHARI
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar belakangAkad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan


perkara perdatasemata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang
terkait dengankeyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada
dimensi ibadahdalam perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara
dengan baik. Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan
kehidupan suami istri yangharmonis dalam rangka membentuk dan
membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Setiap
sepasang suami istri selalu mendambakanagar ikatan lahir batin yang
dibuhul dengan akad perkawinan itu semakinkokoh terpateri sepanjang
hayat masih dikandung badan. Namun demikiankenyataan hidup
membuktikan bahwa memelihara kelestarian dankesinambungan hidup
bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudahdilaksanakan, bahkan
dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yangharmonis antara suami
istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor psikologis, biologis,
ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup,dan sebagainya
sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapatmenimbulkan
krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.Muculnya pandangan
hidup yang berbeda antara suami dan istri,timbulnya perselisihan pendapat
antara keduanya, berubahnya kecenderunganhati pada masing-masingnya
memungkinkan timbulnya krisis rumah tanggayang merubah suasana
harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih
sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-halyang harus
ditampung dan diselesaikan.Mengenai hal tersebut, berikut penulis akan
memaparkan bagaimana putusnya perkawinan dan bagaimana
penyelesaiannya.

2.Rumusan masalaha.Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?

b.Bagaimana akibat hukum putusnya perkawinan?

3.TujuanMengetahui bagaimana putusnya perkawinan serta akibat hukum


dari putusnya perkawinan
II.PEMBAHASAN

A.Putus perkawinan

Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan


seorangwanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara
keduanyameninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah
bercerai, dan salahseorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh
kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang
bersangkutan sudahmeninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan
perkawinan suami istri dapat putus dan atau bercerainya antara seorang
pria dengan seorang wanita yangdiikat dengan tali perkawinan.1Perceraian
dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yangmempunyai prinsip
dilarang oleh Allah SWT, berdasarkan hadits NabiMuhammad SAW

“sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah


adalahtalak/perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian


merupakanalternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami
istri bilaikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan
keutuhan dankelanjutanya.

Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas


inisiatif istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya
yaitudengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri
dapatmemohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’
denganmengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di
Indonesiamengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula
karena tadinyasuami mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah
tindakan sepihak,maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan
permohonan cerai kepada pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya
kemudian meskipun bernama permohonan (bersifat voluntair atau sepihak)
menurut instruksi pihak termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak
mohon banding bila keputusantidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada
bedanya dengan gugatan (bersifatcontentious/dua pihak). Apabila menurut
fiqih dulu suami telah dengansungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada
lagi upaya hukum yangtersedia, kini tidak demikian lagi.

a.Terjadinya nusyuz dari pihak istri Nusyuz bermakna kedurhakaan yang


dilakukan istri terhadap suaminya. Halini bisa terjadi dalam bentuk
pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu
keharmonisan rumah tangga. Maka dalam hal inidapat diselesaikan dengan
(1) istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf, (2) pisah ranjang, apabila
dengan cara ini tidak berhasil maka langkah berikutnyaadalah (3) memberi
hukuman fisik dengan cara memukulnya, penting untuk dicatat yang boleh
dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istriseperti betisnya.

b.Nusyuz suami terhadap istriKemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi


dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya
pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, suami tidak
memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti
istrinya baik lahir maupun batin, fisik maupunmental. Jika suami
melalaikan kewajibannya berulang kali dan istrinyamengingatkanya namun
tetap tidak ada perubahan maka istri diminta untuk lebih bersabar dan
merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu.Semua itu
bertujuan agar perceraian tidak terjadi.

c.Terjadinya syiqaqTampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih


disebabkan oleh alasansyiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan
bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara
suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat
lagi didamaikan harus melalui beberapa proses.

d.Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang


menimbulkansaling tuduh menuduh antara keduannya. Cara
membuktikannya adalahdengan cara membuktikan tuduhan yang
didakwaan dengan cara li’an.Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam
pasal 38 Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yangdisebutkan bahwa :
Pasal38

Perkawinan dapat putus karena:

a.Kematian

b.Perceraian

c.Keputusan pengadilan.

Selain itu, KHI menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan


perceraian :

1)Talak Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang
menjadisalah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Talak ada
dua macamyaitu :

a)Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selam istri dalam masa iddah (pasal 188 KHI).

b)Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :1)Talak ba’in sughra adalah talak
yang tidak boleh dirujuk tetapi bolehakad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam masa iddah(pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in
sughra dapat dibagi menjadi :

-Talak yang terjdi qabla al-dukhul

-Talak dengan tebusan atau khulu’

-Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama (pasal 119 KHI ayat2).

2.) Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali,
kecualiapabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah
denganorang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan
habismasa iddah (pasal 120 KHI).

c.)Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang


dijatuhkankepada seorang istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktusuci tersebut (pasal 121 KHI).
d.)Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
padawaktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi
sitridicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI).

2.)Khuluk, merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk


menebusdirinya dari ikatan suaminya.

3.)Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk


selama-lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri
berbuatzina dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah
lahir dariistrinya sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal
126 KHI).

Perceraian harus berdasarkan alasan yang limitative, Alasan terjadinya


perceraiandisebutkan dalam pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 KHI:

a.Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lainsebagainya yang sulit disembuhkan.

b.Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut


tanpaizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.

c.Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau


hukuman yanglebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d.Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat


yangmembahayakan pihak lain.

e.Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapatmenjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f.Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran


dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang


berlakukhusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk
agama Islam, yaitusuami melanggar taklik talak, Peralihan agama atau
murtad yang menyebabkanterjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.

B.Akibat putusnya perkawinanAkibat yang muncul ketika putus ikatan


perkawinan antara seorang suami denganseorang istri dapat dilihat
beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalamundang-undang
perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan
dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu:

1.Akibat talak Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak


istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI,
yakni sebagai berikutBilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib:

a.)Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik


berupa uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.

b.)Memberi nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)kepada


istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c.)Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh


apabilaqabla al-dukhul.

d.)Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang


belum mencapai 21 tahun.Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari
surat Al-Baqarah ayat 235 dan236.

“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang
belumkamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan
hendaklahkamu beri mereka mut’ah. Bagi yang mampu menurut
kemampuanya dan bagiyang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu
pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-
orang yang berbuat kebaikan” (QS.Al-Baqarah : 235-236)

2.Akibat perceraian (cerai gugat)Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat


suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak
pengadilan mengabulkan gugatan yangdimaksud, sehingga putus hubungan
penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.

Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat


perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut :

a.Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya,


kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu

2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menrut garis samping ibu

6. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

b.Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadanah


dariayah atau ibunya.

c.Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan


jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadanah telah
dicukupi,maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan
dapat memindahkanhak hadanah kepada kerabat lain yang memiliki hak
hadanah pula.

d.Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurutkemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapatmengurus diri sendiri (21 tahun).

e.Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak,


putusanhadanah memberi putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

f.Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya


menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turutkepadanya.
3.Akibat khulu’

Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang
putuskarena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan
dirinya dariikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad
kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah
perceraian yang terjadidalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi
“perceraian dengan khulu’ mengirangi jumlah talak dan tidak dapat
dirujuk”

4.Akibat li’anPerceraian yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan


yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak
yang dikandung oleh istridinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat
li’an. Pasal 162 KHImerumuskan garis hukum sebagai berikut :Bila mana
li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas
darikewajiban memberi nafkah.

5.Akibat ditinggal mati suamiKalau perkawinan putus sebagai akibat


meninggalnya suami, maka sitri menjalanimasa iddah dan bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya sertamendapat bagian harta
warisan dari suaminya. Karena itu pasal 157 KHI, harta bersama dibagi
menurut ketentuan sebagaimana disebut dalam pasal 96 dan 97.Pasal 96
KHI menjelaskan ikatan perkawinan yang putus karena salah seorag
pasangan suami istri meninggal sehingga pembagian harta bersama
dibagikanoleh ahli waris berdasarka proporsi, termasuk bagian pasangan
yang masih hidup.Pembagian harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli
waris bila harta itu ada. Namun, bila harta bersama belum ada, karena
kelangsungan ikatan perkawinansangat singkat, maka pihak yang masih
hidup tidak dapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai
akibat cerai hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau duda
cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersamasepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.Selain itu, perlu juga
dijelaskan bahwa untuk mementukan hilangnya salahseorang suami istri,
baik istri atau suami yang hilang adalah pembuktian autentik yang dapat
diterima oleh berbagai pihak secara hukum.
III.PENUTUP

1.Kesimpulan

Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang


wanitasudah putus. Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian,
keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan
antaraseorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis
hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun
yang tertulisdalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak,
pemeliharaananak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila
putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak. Tatacara
perceraian biladilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali
terjadinya perceraiandapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang
diajukan oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri)
yang masing-masngdiatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI
untuk cerai talak dandiatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat,
Adapun pada pasal 87UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan
alasan zina.Banyak kalangan yang mengatakan bahwa peran pengadilan
pasif hanya bersifat pasif, hanya untuk melegalkan ikrar talak. Tetapi pada
dasarnya peran pengadilan sangatlah efektif untuk mencegah adanya
perceraian dan untuk meluruskan keluarga yang bertikai. Yang menarik
dari perkembangan hukum perceraian adalah diman Undang-Undang
dalam kasus perceraian apakahmelalui talak atau cerai gugat telah
menempatkan laki-laki dan perempuandalam posisi yang setara sama-sama
dapat mengajukan permohonan cerai, dan pengadilan adalah pihak yang
menentukan dapat atau tidaknya perceraian ituterjadi dengan
mempertimabngkan hal-hal tertentu.

2.Kritik dan saranDemikianlah makalah tentang putus perkawinan dan


akibat hukumnya sertatatacara perceraian yang telah penulis paparkan
guna memenuhi tugas ujianakhir semester. Kami menyadari makalah jauh
dari sempurna maka dari itukritik yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan untuk perbaikanmakalah ini. Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika,


2006)Hamid, Andi Tahir. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan
Bidangnya.(Jakarta : Sinar Grafika, 1996)

Soedarsono, Sidik. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam


Indonesia.(Jakarta : Fa. Dara, 1964)

Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqih Al-
Qadha.(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012)

Anda mungkin juga menyukai