HUKUM ISLAM- C
“RUKUN, SYARAT, PENCATATAN, HAK DAN KEWAJIBAN PERKAWINAN”
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Rukun, syarat, pencatatan, hak dan kewajiban perkawinan“ ini
sampai selesai dengan tepat waktu.
ii
DAFTAR ISI
COVER......................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................ii
DAFTAR ISI…........................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................1
A. Latar Belakang................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................2
C. Tujuan Makalah...............................................2
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................3
A. Rukun Perkawinan............................................3
B. Syarat-syarat Perkawinan.................................3
C. Pencatatan Perkawinan....................................5
D. Hak dan Kewajiban Perkawinan......................5
BAB 3 PENUTUP…...............................................10
A. Kesimpulan.....................................................10
B. Saran................................................................10
DAFTAR PUSTAKA 11
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Bagaimana bentuk Rukun, Syarat dan pencatatan perkawinan dalam hukum Islam?
2. Apa saja yang menjadi Hak dan Kewajiban dalam perkawinan?
1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui bentuk rukun, syarat, dan pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam
2. untuk mengetahui apa saja yang menjadi
BAB 2
PEMBAHASAN
Rukun perkawinan ialah hakekeat dari perkawinan itu sendiri yang harus dipenuhi.
Jika salah satu unsur tidak dipenuhi maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Yang
termasuk dalam rukun perkawinan ialah :
Syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan itu sendiril.
Jika syarat-syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi, maka perkawinan itu adalah tidak sah.
Ijab : “aku nikahkan si X dengan laki-laki Y dengan mas kawin Rp. 2.000 (Dua ribu rupiah)”.
Kabul : ijab dari wali pihak prempuan ini terus langsung dijawab oleh calon suami dengan
perkataan :
“Aku terima nikah si X dengan mas kawin Rp. 2.000 (dua ribu rupiah), kontan atau
ditangguhkan.
Ijab harus segera disusul dengan Kabul antara lain untuk menunjukkan bahwa sampai
saat ini kedua belah pihak tetap bermaksud menikah satu dengan lainnya yang mencerminkan
adanya kebebasan menyatakan kehendak tanpa pengaruh atau tekanan orang lain.
Suatu ijab yang tidak segera dijawab dengan Kabul, apalagi bila telah diulang berkali-
kali dapat menimbulkan tidak sahnya nikah.
Dalam praktek sering juga pengucapan ijab dan Kabul itu diwakilkan, walaupun yang
bersangkutan ada ditempat (majelis) tersebut, antara lain mengingat suasana kejiwaan yang
emosional yang menimbulkan kegugupan (saidus syahar, 1981:40).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam sighat akad nikah :
a) Pada dasarnya akad nikah kharus diucapkan secara lisan kecuali bagi yang tidak dapat
mengucapkan secara lisan boleh dengan tulisna atau menggunakan tanda-tanda isyarat
tertentu.
b) Akad nikah harus dilakukan dalam satu majelis.
c) Antara ijab dan Kabul tidak boleh diselingi kata-kata atau perbuatan-perbuatan lain
yang dapat dipandang mempunyai maksud mengalihkan akad yang sedang
berlangsung.
d) Ijbab Kabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat, disandarkan pada waktu
yang akan dating, atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
e) Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau syarat-syarat
yang diucapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak diwaktu akad nikah.
Menurut kebiasaan yang berlaku sesudah akad nikah suami membaca sighat ta’lik
talak atas istrinya. Sighat ta’lik talak bukan termasuk sighat akad nikah karena diucapkan
setelah selesai sighat akad nikah.
Sighat ta’llik talah suami atas istrinya adalah sebagai berikut : sewaktu-waktu saya :
Kepada pengadilan atau petugas tadi sya kuasakan untuik menerima uang
iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibada sosial.
Lebih lanjut dalam suatu perkawinan Islam dikenal adanya mahar. Mahar dalam
bahsa Indonesia disbut maskawin.
Yang dimaksud dengan mahar (maskawin) ialah : pemberian wajib yang diberikan
dan dinyatakan oleh claon suami kepada calon istrinya didalam sighat akad nikah
yang merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai
suami istri (Soemiyati, 1982:56).
Para ahli hukum islam sepakat, bahwa mahar adalah merupakan suatu hal yang wajib
dalam suatu akad nikah atau perkawinan dan merpakan syarat sahnya akad
perkawinan, sehingga tidak diperbolehkan mengadakan persetujuan untuk
meniadannya.
“berikanlah maskawin kepada Wanita (yang kamu kawini) sbagai pemberian yang
wajib”.
Wujud dari pada sesuatu yang dijadikan mahar dapat berupa barang berharga, barang
bergerak maupun barang tetap, atau buku berharga seperti kitab suci Al-Qur’an.
Mahar juga dapat berwujud pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon
istri, seperti mengajar suatu ilmu, mencangkul swah milik calon istri dan sebagainya.
Mahar tidak boleh berupa sesuatu yang dilarang oleh syara, seeprti minuman keras,
Ganja dan lain sebagainya. Mahar dalam islam tidak ditentukan batas minimal
maupun batas maksimal besarnya mahar. Hal ini tergantung pada kemampuan,
kepantasan serta kondisi adat istiadat setempat. Mahar bukan sebagai alat penuikar
bagi nilai calon istri, tetapi sebagai lambing kecintaan atau dapat diartikan sebagai
tanda bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban sebagai suami
dalam hidup perkawinan selanjutnya.
Adapun macam-macam mahar sesuai dengan hukum islam terbagi atas 2 (dua)
bagian:
Mahar musamma ialah, mahar yang diucapkan pada waktu akad nikah atau
perkawinan. Mahar musamma bisa segera diberikan (tunai) dan bisa ditangguhkan
pembayarannya sesuai persetujuan kedua belah pihak.
Mahar mitsil ialah, mahar yang layak atau sepadan dengan kedudukan istri jumlahnya
ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah
jumlah makar dan bentuknya belum ditetapkan (ditangguhkan).
Untuk menghindari terjadinya sengketa di kemudian hari maka sebaiknya jumlah dan bentuk
daripada mahar sudah disebutkan dalam akad nikah, baik dibayar seketika ataupun
ditangguhkan. Menyebutkan mahar dalam akad nikah, hukumnya adalah sunah.
Menurut pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditentukan bahwa : tiap-
tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menadikan persitiwa perkawinan itu menjadi
jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain karena dapat dibaca dalam suatu
surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk
itu. Sehingga sewakt8-waktu dpat dipergunakan bilamana perlu dan dpat dipakai sebagai alat
bukti yang otentik dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu
perbuatan yang lain.
Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam bab II PP No.
9 Tahun 1975, yaitu dalam pasal 2 sampai dengan pasal 9. Menurut pasal 2 dan juga dalam
penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut :
Dalam hal ini pencatatan perkawinan hukum islam tidak mengatur secara jelas apakah
perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari pencatatan perkawinan
seperti yang telah diterangkan diatas, maka sesungguhnya pencatatan perkawinan itu banyak
kegunaannya bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan itu baik didalam
kehidupan pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat.
Misalnya dengan dimilikinya akte perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang
suami tidak mungkin mengingkari isterinya demikian juga sebaliknya seorang isteri tidak
mungkin mengingkari suaminya. Disamping itu dengan dimilikinya akte perkawinan seorang
pegawai negeri dapat menuntu berbagai tunjangan, misalnya tunjangan istri/suami, tunjangan
anak atau tunjangan lain yang berhubungan dengan perkawinan.
dengan adanya suatu perkawinan, maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh
berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang Wanita yang menjadi istri memperoleh
berbagai hak pula. Di samping itu mereka juga memikul kewajiban-kewajiban sebagai akibat
dari mengikatkan diri dalam perkawawinan itu.
Menurut Sumiyati, hak dan kewajiban suami istri di bagi atas 2 bagian sebagai berikut:
Adapun hak-hak dan kewajiban suami istri yang di atur dalam al-quran adalah sebagai
berikut:
Pergaulan suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta mencintai dan saling harga
menghargai.
Dalam Undang-undang perkawinan hak dan kewajiban suami-isteri dirumuskan dalam pasal
30 sebagai berikut : Suami-isteri Mikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah-
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan Masyarakat.
Tujuan keluhuran perkawinan sesuai dengan pasal 30 adalah membentuk keluarga atau
rumah tangga, sebab rumah tangga adalah merupakan sendi struktur Masyarakat.
a. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup Bersama dalam Masyarakat (pasal 31
ayat 1)
b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat 2)
c. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3)
Ketentuan mengenai tempat kediaman bagi suami-istri diatur dalam pasal 32 ayat 1
dan 2 yang pada dasarnya menentukan bahwa suami-istri harus mempunyai kediaman yang
tetap dan kediaman itu ditentukan oleh suami-istri Bersama.
Ketentuan tersebut diatas diamksudkan bahwa untuk membentuk suatu rumah tangga
yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa seperti yang dirumuskan
dalam Pasal 1 undang-undang perkawinan ini, maka sudah merupakan satu keharusan bahwa
suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap untuk tempat mereka hidup
Bersama dalam melaksanakan tugasnya sesuai fungsinya masing-masing dalam rumahtangga
secaar Bersama-sama.
Kewajiban dalam rumah tangga adalah kewajiban yang bersifat terus menerus, tidak
hanya bersifat isndentil saja, yang pemecahannya apabila timbul masalah juga harus
disepakati Bersama, maka hal yang demikian ini tidak mungkin dilaksanakan apabila mereka
hidup terpisah. Walaupun pada umumnya tempat tinggal ini ysang menyediakan adalah
suami.namun, tempat kediaman itu harus disetujui suami-istri Bersama-sama. Apabila
seorang istri tidak menyetujui tempat kediaman yang disediakan oleh suaminya, maka istrin
boleh mengajukan usul tempat kediamanlain yang sesuai dengannya. Tetapi tempat kediaman
uang diusulkan oleh istri itu juga harus sesuai dengan keinginan suami dan juga jangan
melebihi batas-batas kemampuan suami.
Kewajiban suami-istri dalam rumah tangga ini harus diartikan secara timbal-balik bahwa apa
yang menjadi kewajiban suami adalah merupakan hak dari istri, demikian sebaliknya apa
yang menjadi kewajiban istri adalah hak dari suami.
Mengenai kewajiban suami- istri ini diatur dalam pasal 33 dan 34 yang pada dasarnya adalah
sebagai berikut;
a.suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
Demikianlah ketentuan mengenai hak kewajiban istri dalam rumah tangga yang di atur dalam
undang-undang perkawinan dan apabila kita bandingkan dengan ketentuan yang di atur
dalam hukum islam maka pada dasarnya kedua peraturan itu adalah sejalan.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
2. Rukun Nikah
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Adanya dua orang saksi
Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
4. Syarat Nikah;
Syarat-syarat calon Suami:
- Beragama Islam
- Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan
calon istri- Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
- Orangnya diketahui dan tertentu
- Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinyahalal
baginya.
- Calon suami rela( tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu danatas
kemauan sendiri.
- Tidak sedang melakukan Ihram.
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
- Tidak sedang mempunyai istri empat.
Syarat-syarat calon istri:
- Beragama Islam atau ahli kitab.
- Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalamsedang iddah.
- Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
- Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
- Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
- Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Syarat ijab qabul;
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarakyang lama antara ijab
dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad,dan masing-masing ijab dan
qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Syarat-syarat Wali;
- Laki-laki
- muslim
- Baligh
- Waras akalnya
- Adil (tidak fasik)
- Tidak dipaksa
- Tidak sedang berihram.
Syarat Saksi
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki,muslim, baligh,
berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksudakad nikah.
3.2 SARAN
Dari pembahasan tersebut, kiranya penyusun dapat memberikan saran bahwa hendaknya kita
mendalami hal-hal berkaiatan pembahasan di atas, agar bertambah wawasan
DAFTAR PUSTAKA