Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM ISLAM- C
“RUKUN, SYARAT, PENCATATAN, HAK DAN KEWAJIBAN PERKAWINAN”

DOSEN PENGAMPU :

Syamsiah Midu, S.H., M.H


Susan Lawotjo, S.H., M.H

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

- Salsabila Kenap (220711010109)


- Samuel Turangan (220711010110)
- Swinly Sumual (220711010127)
- Amelia Kahembau (220711010146)
- Anastasya Tangkilisan (220711010147)
- Aprilia Rorong (220711010149)
- Christina Kolompoy (220711010153)

UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO


FAKULTAS HUKUM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Rukun, syarat, pencatatan, hak dan kewajiban perkawinan“ ini
sampai selesai dengan tepat waktu.

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi teman-teman yang membaca . Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Bagi kami sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

COVER......................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................ii
DAFTAR ISI…........................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................1
A. Latar Belakang................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................2
C. Tujuan Makalah...............................................2
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................3
A. Rukun Perkawinan............................................3
B. Syarat-syarat Perkawinan.................................3
C. Pencatatan Perkawinan....................................5
D. Hak dan Kewajiban Perkawinan......................5
BAB 3 PENUTUP…...............................................10
A. Kesimpulan.....................................................10
B. Saran................................................................10
DAFTAR PUSTAKA 11
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan adalah institusi sosial penting di Indonesia, dengan elemen-elemen kunci seperti
rukun, syarat, dan pencatatan. Rukun perkawinan termasuk calon mempelai pria, calon
mempelai wanita, wali calon mempelai wanita, dua saksi, dan aqad nikah. Syarat-syarat
perkawinan mencakup agama, usia, dan kelayakan mental. Pencatatan perkawinan diatur oleh
undang-undang untuk memastikan kejelasan dan keabsahan hukum. Perkawinan juga
membawa hak dan kewajiban, baik yang bersifat emosional seperti cinta dan hormat, maupun
yang bersifat materi seperti nafkah dan pengaturan rumah tangga. Dalam Islam, hak dan
kewajiban suami-istri juga diatur sesuai hukum perkawinan Indonesia. Pemahaman ini
penting untuk menjalani kehidupan berumah tangga yang sesuai dengan norma agama dan
hukum yang berlaku.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk Rukun, Syarat dan pencatatan perkawinan dalam hukum Islam?
2. Apa saja yang menjadi Hak dan Kewajiban dalam perkawinan?

1.3 Tujuan

1.Untuk mengetahui bentuk rukun, syarat, dan pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam
2. untuk mengetahui apa saja yang menjadi
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Rukun, Syarat dan Pencatatan Perkawinan

2.1.1. Rukun Perkawinan.

Rukun perkawinan ialah hakekeat dari perkawinan itu sendiri yang harus dipenuhi.
Jika salah satu unsur tidak dipenuhi maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Yang
termasuk dalam rukun perkawinan ialah :

1. Calon mempelari pria


2. Calon mempelai Wanita
3. Wali dari calon mempelai Wanita
4. Dua orang saksi
5. Aqad nikah

2.1.2. Syarat-Syarat Perkawinan.

Syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan itu sendiril.
Jika syarat-syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi, maka perkawinan itu adalah tidak sah.

Syarat-syarat perkawinan antara lain :

a) Bagi calon mempelai pria syaratnya adalah :


- Laki-laki,
- Beragama islam,
- Jelas orangnya,
- Cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga,
- Tidak terdapat halangan perkawinan,
b) Bagi calon mempelai Wanita, syaratnya adalah :
- Perempuan,
- Jelas orangnya,
- Dapat dimintai persetujuannya,
- Tidak terdapat halangan perkawinan,
c) Bagi wali dari calon mempelai Wanita, syaratnya :
- Laki-laki,
- Beragama islam, baligh, sehat akal,
- Mempunyai ha katas perwaliannya,
- Tidak terdapat halangan untuk menjadi wali,
d) Bagi saksi, syaratnya adalah :
- Laki-laki,
- Beragama islam,
- Sudah dewasa,
- Hadir dalam upacara aqad perkawinan,
- Dapat mengerti maksud aqad perkawinan.
e) Aqad nikah :
Perjanjian yang diadakan pada saat terjadinya perkawinan disebut aqad nikah, yaitu
untuk melaksanakan ikatan antara seorang pira dengan seorang Wanita untuk
menghalalkan percampuran antara keduanya.
Aqad nikah adalah suatu perjanjian yang berat alam arti tidak boleh diputuskan lagi
karena hal ini menurut kehendak islam menjadi ikatan yang kuat dan sehat untuk
selama-lamanya (Paransa, 1979 :18).
Soemiyati (1982:53) menyatakan bahwa akad nikah ialah pernyataan sepakat dari
pihak caclon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka dengan tali
iperkawinan dengan menggunakan kata-kata ijab Kabul.
Aqad nikah terdiri dari sighat (susunan kata) yang berisi ijab, yakni penyerahan dari
pihak mempelai Perempuan atau walinya dan Kabul dari pihak mempelai laki-laki
atau walinya.
Penyerahan maksudnya adalah bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Kabul
maksudnya jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya
untuk menjadi istrinya.
Penyerahan maksudnya adalah bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Kabu
lmaksudnya jawban pihak calon suami bahwa ia menreima kesediaan calon istrinya
untuk menjadi istrinya.
Dengan melaksankaan ijab Kabul berarti kedua belah pihak telah rela dan sepakat
melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan agama
agama yang berhubungan dengan perkawinan.
Contoh ijab Kabul :

Ijab : “aku nikahkan si X dengan laki-laki Y dengan mas kawin Rp. 2.000 (Dua ribu rupiah)”.

Kabul : ijab dari wali pihak prempuan ini terus langsung dijawab oleh calon suami dengan
perkataan :

“Aku terima nikah si X dengan mas kawin Rp. 2.000 (dua ribu rupiah), kontan atau
ditangguhkan.

Ijab harus segera disusul dengan Kabul antara lain untuk menunjukkan bahwa sampai
saat ini kedua belah pihak tetap bermaksud menikah satu dengan lainnya yang mencerminkan
adanya kebebasan menyatakan kehendak tanpa pengaruh atau tekanan orang lain.

Suatu ijab yang tidak segera dijawab dengan Kabul, apalagi bila telah diulang berkali-
kali dapat menimbulkan tidak sahnya nikah.

Dalam praktek sering juga pengucapan ijab dan Kabul itu diwakilkan, walaupun yang
bersangkutan ada ditempat (majelis) tersebut, antara lain mengingat suasana kejiwaan yang
emosional yang menimbulkan kegugupan (saidus syahar, 1981:40).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam sighat akad nikah :

a) Pada dasarnya akad nikah kharus diucapkan secara lisan kecuali bagi yang tidak dapat
mengucapkan secara lisan boleh dengan tulisna atau menggunakan tanda-tanda isyarat
tertentu.
b) Akad nikah harus dilakukan dalam satu majelis.
c) Antara ijab dan Kabul tidak boleh diselingi kata-kata atau perbuatan-perbuatan lain
yang dapat dipandang mempunyai maksud mengalihkan akad yang sedang
berlangsung.
d) Ijbab Kabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat, disandarkan pada waktu
yang akan dating, atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
e) Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau syarat-syarat
yang diucapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak diwaktu akad nikah.

Menurut kebiasaan yang berlaku sesudah akad nikah suami membaca sighat ta’lik
talak atas istrinya. Sighat ta’lik talak bukan termasuk sighat akad nikah karena diucapkan
setelah selesai sighat akad nikah.

Sighat ta’llik talah suami atas istrinya adalah sebagai berikut : sewaktu-waktu saya :

1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.


2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri say aitu.
4. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan istri sya selama 6 bulan lamanya.
Kemudian istri saya itu tidak rela dan mengadukan halnya kepada pengadilan
agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan agama atau petugas tersebut dan istri say
aitu membayar uang sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) sebagai iwadl (pegganti)
kepada sya diajuthlah talak saya satu kepadanya.

Kepada pengadilan atau petugas tadi sya kuasakan untuik menerima uang
iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibada sosial.

Dalam suatu peristiwa perkawinan, biasanya diadakan walimah. Walimah atau


pesta kawin adalah suatu yang dianjurkan dalam agama islam. Perkawinan adalah
merupakan peristiwa yang diharapkan hanya terjadi sekali dalam hidup seseorang,
maka sudah sewajarnya apabila disambut dengan rasa Syukur dan gembiara dan
dirayakan dengan mengundang sanak saudra dan handai taulan secukupnya sesuai
dengna kemampuan masing-masing.

Menurut pendapat jumhur, hukum mengadakan walimah itu adlah sunnah


muakkad, yaitu sunah yang diutamakan.

Dasar hukumnya hadits nabi :


:”adakanlah walimah, meskipun dengan seekor kambing” (H.R. Bukhari dan
Muslim).

Waktu mengadakan walimat tergantung adat istiadat setempat, mungkin bersamaan


dengan akad nikah atau pada hari lain sesudah akad nikah.

Lebih lanjut dalam suatu perkawinan Islam dikenal adanya mahar. Mahar dalam
bahsa Indonesia disbut maskawin.

Yang dimaksud dengan mahar (maskawin) ialah : pemberian wajib yang diberikan
dan dinyatakan oleh claon suami kepada calon istrinya didalam sighat akad nikah
yang merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai
suami istri (Soemiyati, 1982:56).

Para ahli hukum islam sepakat, bahwa mahar adalah merupakan suatu hal yang wajib
dalam suatu akad nikah atau perkawinan dan merpakan syarat sahnya akad
perkawinan, sehingga tidak diperbolehkan mengadakan persetujuan untuk
meniadannya.

Dasar hukumnya Q.S. 4 : 25 yang bunyinya sebagai berikut :

“berikanlah maskawin kepada Wanita (yang kamu kawini) sbagai pemberian yang
wajib”.

Wujud dari pada sesuatu yang dijadikan mahar dapat berupa barang berharga, barang
bergerak maupun barang tetap, atau buku berharga seperti kitab suci Al-Qur’an.
Mahar juga dapat berwujud pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon
istri, seperti mengajar suatu ilmu, mencangkul swah milik calon istri dan sebagainya.

Mahar tidak boleh berupa sesuatu yang dilarang oleh syara, seeprti minuman keras,
Ganja dan lain sebagainya. Mahar dalam islam tidak ditentukan batas minimal
maupun batas maksimal besarnya mahar. Hal ini tergantung pada kemampuan,
kepantasan serta kondisi adat istiadat setempat. Mahar bukan sebagai alat penuikar
bagi nilai calon istri, tetapi sebagai lambing kecintaan atau dapat diartikan sebagai
tanda bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban sebagai suami
dalam hidup perkawinan selanjutnya.

Adapun macam-macam mahar sesuai dengan hukum islam terbagi atas 2 (dua)
bagian:

1. Mahar musamma dan


2. Mahar mitsil

Mahar musamma ialah, mahar yang diucapkan pada waktu akad nikah atau
perkawinan. Mahar musamma bisa segera diberikan (tunai) dan bisa ditangguhkan
pembayarannya sesuai persetujuan kedua belah pihak.
Mahar mitsil ialah, mahar yang layak atau sepadan dengan kedudukan istri jumlahnya
ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah
jumlah makar dan bentuknya belum ditetapkan (ditangguhkan).

Untuk menghindari terjadinya sengketa di kemudian hari maka sebaiknya jumlah dan bentuk
daripada mahar sudah disebutkan dalam akad nikah, baik dibayar seketika ataupun
ditangguhkan. Menyebutkan mahar dalam akad nikah, hukumnya adalah sunah.

2.1.3 Pencatatan perkawinan.

Menurut pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditentukan bahwa : tiap-
tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai tujuan pencattan ini dalam undang-undang perkawinan tidka dijelaskan


lebih lanjut, hanya saja didalam penjelsan umum dikatakan, bahwa pencattan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menadikan persitiwa perkawinan itu menjadi
jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain karena dapat dibaca dalam suatu
surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk
itu. Sehingga sewakt8-waktu dpat dipergunakan bilamana perlu dan dpat dipakai sebagai alat
bukti yang otentik dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu
perbuatan yang lain.

Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam bab II PP No.
9 Tahun 1975, yaitu dalam pasal 2 sampai dengan pasal 9. Menurut pasal 2 dan juga dalam
penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut :

a. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah :


- Bagi mmereka yang beragama islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah talak dan rujuk.
- Bagi mereka yang tidak beragama islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada kantoro cattatan sipil atau instansi/pejabat yang
membantunya.
b. Tata cara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan pada :
- Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 3 samapi dengan pasal 9 PP No.
9/1975.
- Ketentuan ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, itu merupakan
pelengkap bagi peraturan pemerintah ini, yaitu :
- Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang pencatatan nikah, talak dan Rujuk
(LN. 1954 No. 98) dan beberapa peraturan Menteri agama yang berhubungan
dengan hal tersebut.
- Reglement catatan sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di jawaba,
madura, dan minahasa, dan sebagainya (stb. 1933 No. 75 yo stb 1936 No. 697
dengan segala perubahannya).
- Reglement catatan sipil untuk orang cina (stb 1917 No. 130 yo Stb. 1849 No. 25).
- Reglement catatan sipil bagi golongan eropa yang disamakan (Stb. 1849 No. 25).
- Daftar catatan sipil untuk perkawinan campuran (Stb 1904 No. 279).

Dalam hal ini pencatatan perkawinan hukum islam tidak mengatur secara jelas apakah
perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari pencatatan perkawinan
seperti yang telah diterangkan diatas, maka sesungguhnya pencatatan perkawinan itu banyak
kegunaannya bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan itu baik didalam
kehidupan pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat.

Misalnya dengan dimilikinya akte perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang
suami tidak mungkin mengingkari isterinya demikian juga sebaliknya seorang isteri tidak
mungkin mengingkari suaminya. Disamping itu dengan dimilikinya akte perkawinan seorang
pegawai negeri dapat menuntu berbagai tunjangan, misalnya tunjangan istri/suami, tunjangan
anak atau tunjangan lain yang berhubungan dengan perkawinan.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka berdasarkan pertimbangan “maslahah-


mursalah” dalam hukum islam, pencatatan perkawinan adalah suatu perbuatan yang harus
dilaksanakan.

Maslahah-mursalah ialah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak


seibutkan sama sekali didalam Al-Qur’an dan sunnah rasul atas pertimbangan menarik
kebaikan dan menolak kerusakan dalam hidup bermasyarakat.

Oleh karena dalam kenyataannya pencatatan perkawinan lbih banyak mendatangkan


kebaikan daripada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka melaksankaan pencatatan
perkawinan adalah merupakan suatu keharusan bagi mereka yang beragama islam.

Sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat perkawinan menurut peraturan


perundang-undangan yang berlaku seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-
undang perkawinan ini adalah sejalan dan tidak bertentangnan dengan ketentuan dalam
Hukum Islam.

2.2 Hak dan kewajiban dalam perkawinan.

dengan adanya suatu perkawinan, maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh
berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang Wanita yang menjadi istri memperoleh
berbagai hak pula. Di samping itu mereka juga memikul kewajiban-kewajiban sebagai akibat
dari mengikatkan diri dalam perkawawinan itu.

Menurut Sumiyati, hak dan kewajiban suami istri di bagi atas 2 bagian sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban yang bersifat bukan kebendaan


b. Hak dan Kewajiban yang bersifat kebendaan
Berikut ini akan di uraikan masing-masing:

2.2.1 Hak dan Kewajiban yang bersifat bukan keberadaan

Adapun hak-hak dan kewajiban suami istri yang di atur dalam al-quran adalah sebagai
berikut:

Pergaulan suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta mencintai dan saling harga
menghargai.

Pada pokoknya pergaulan suami istri dalam perkawinan hendaknya:

- Pergaulan yang baik atau saling menjaga rahasia masing-masing.


- Pergaulan yang tentram
- Pergaulan yang diliputi saling cinta mencintai
- Pergaulan yang di sertai rakhma yaitu saling memerlukan dan membela di masa
tua

2.2.2 Hak dan Kewajiban yang bersifat kebendaan


a. Suami wajib memberi nafkah.
Yang di maksud dengan nafkah ini ialah merupakan segala kebutuhan istri,
meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain yang termasuk kebutuhan
rumah tangga pada umumnya.
Selain tempat tinggal, maka keperluan rumah tangga yang wajib di penuhi suami
meliputi:
- Belanja dan keperluan RT sehari-hari
- Belanja pemeliharaan kehidupan anak
- Belanja sekolah dan Pendidikan anak

Firman tuhan dalam Al-quran S. 2:333 sebagai berikut:


“Dan kewajinan ayah memberi makan, dan pakaian pada para ibu dengan cara
ma’ruf”.
b. Suami sebagai kepala keluarga
Menurut Hukum islam, di dalam hubungan suami istri maka suamilah sebagai
kepala keluarga. Hal ini di sebabkan pada umumnya keadaan jiwa laki-laki adalah
lebih stabil dari Wanita, begitu juga dalam hal fisik laki-laki adalah lebih kuat dari
Wanita.
Walaupun demikian ini tidak berarti bahwa dalam kedudukanya sebagai kepala
keluarga suami berhak bertindak semaunya tanpa menghiraukan hak-hak istri
dengan semestinya.
c. Istri wajib mengatur rumah tangga dengan baik
Bertangung jawab dalam pengursan rumah tangga adalah kewajiban isteri,
termsuk didalamnya adalah pembelanjaan biaya rumah tangga yang diusahakan
oleh suaminya dengan cara yang wajar dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Penegasan mengenai kewajiban isteri seperti tersebut diatas, dicantumkan dalam
al-quran surat an-nisa’ ayar 34, yang bunyinya :”……….. wanita yang baik ialah
yang taat kepada Allah dan menjaga rumah tangganya serta memelihara rahaisa
dan harta suaminya………..”
Disamping ketentuan diatas, ada suatu ketentuan yang tegas dalam hadist nabi
yang diriwyatkan oleh Bukhari dan Musim, Rasullullah mengatakan :”Isteri
adalah penanggung-jawab rumahtangga suami-isteri yang bersangkutan”.

2.2.3 HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI DALAM UNDANG-UNDANG


PERKAWINAN

Hak dan kewajiban Suami-Isteri

Dalam Undang-undang perkawinan hak dan kewajiban suami-isteri dirumuskan dalam pasal
30 sebagai berikut : Suami-isteri Mikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah-
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan Masyarakat.

Tujuan keluhuran perkawinan sesuai dengan pasal 30 adalah membentuk keluarga atau
rumah tangga, sebab rumah tangga adalah merupakan sendi struktur Masyarakat.

Selanjutnya dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:

- “Kewajiban Perempuan sama dengan kewajiban laki-laki (kecuali beberapa hal


yang memang biologis berbeda)”.
- “laki-laki menjadi pemimpin dalam rumah tangganya dan ia bertanggung jawab
artas kemepimpinannya dan Wanita menjadi pemimpin dalam rumah tangga
suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
- “ketahuilah sesungguhnya kamu mempunyai hak terhadap isterimu dan
sesungguhnya isteri-mu mempunyai hak pula atas dirimu, (Riwayat Tarmidzi)”
(Depag. 1984:86)

Kedudukan Suami Isteri dalam Masyarakat.


Kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan Masyarakat ketentuannya diatur pada pasal
31 UU perkawinan yang pada dasarnya adlaah sebagai berikut :

a. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup Bersama dalam Masyarakat (pasal 31
ayat 1)
b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat 2)
c. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3)

Tempat kediaman bersama

Ketentuan mengenai tempat kediaman bagi suami-istri diatur dalam pasal 32 ayat 1
dan 2 yang pada dasarnya menentukan bahwa suami-istri harus mempunyai kediaman yang
tetap dan kediaman itu ditentukan oleh suami-istri Bersama.

Ketentuan tersebut diatas diamksudkan bahwa untuk membentuk suatu rumah tangga
yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa seperti yang dirumuskan
dalam Pasal 1 undang-undang perkawinan ini, maka sudah merupakan satu keharusan bahwa
suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap untuk tempat mereka hidup
Bersama dalam melaksanakan tugasnya sesuai fungsinya masing-masing dalam rumahtangga
secaar Bersama-sama.

Kewajiban dalam rumah tangga adalah kewajiban yang bersifat terus menerus, tidak
hanya bersifat isndentil saja, yang pemecahannya apabila timbul masalah juga harus
disepakati Bersama, maka hal yang demikian ini tidak mungkin dilaksanakan apabila mereka
hidup terpisah. Walaupun pada umumnya tempat tinggal ini ysang menyediakan adalah
suami.namun, tempat kediaman itu harus disetujui suami-istri Bersama-sama. Apabila
seorang istri tidak menyetujui tempat kediaman yang disediakan oleh suaminya, maka istrin
boleh mengajukan usul tempat kediamanlain yang sesuai dengannya. Tetapi tempat kediaman
uang diusulkan oleh istri itu juga harus sesuai dengan keinginan suami dan juga jangan
melebihi batas-batas kemampuan suami.

Kewajiban suami-istri dalam rumah tangga.

Kewajiban suami-istri dalam rumah tangga ini harus diartikan secara timbal-balik bahwa apa
yang menjadi kewajiban suami adalah merupakan hak dari istri, demikian sebaliknya apa
yang menjadi kewajiban istri adalah hak dari suami.

Mengenai kewajiban suami- istri ini diatur dalam pasal 33 dan 34 yang pada dasarnya adalah
sebagai berikut;

1.kewajiban secara timbal balik yang bersifat bukan kebendaan yaitu:


a.antara keduanya harusa saling cinta-mencintai

b.harus saling hormat menghormati

c.wajib setia diantara suami istri

2.kewajiban secara timbal balik yang bersifat kebendaan yaitu:

a.suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

b..istri wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah ketentuan mengenai hak kewajiban istri dalam rumah tangga yang di atur dalam
undang-undang perkawinan dan apabila kita bandingkan dengan ketentuan yang di atur
dalam hukum islam maka pada dasarnya kedua peraturan itu adalah sejalan.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang ada, dapat disimpulkan bahwa


1. Rukun
, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)

2. Rukun Nikah
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Adanya dua orang saksi
Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

3. Syarat nikah / perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabilasyarat-


syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanyasegala hak dan
kewajiban sebagai suami istri.

4. Syarat Nikah;
Syarat-syarat calon Suami:
- Beragama Islam
- Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan
calon istri- Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
- Orangnya diketahui dan tertentu
- Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinyahalal
baginya.
- Calon suami rela( tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu danatas
kemauan sendiri.
- Tidak sedang melakukan Ihram.
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
- Tidak sedang mempunyai istri empat.
Syarat-syarat calon istri:
- Beragama Islam atau ahli kitab.
- Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalamsedang iddah.
- Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
- Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
- Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
- Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Syarat ijab qabul;
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarakyang lama antara ijab
dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad,dan masing-masing ijab dan
qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Syarat-syarat Wali;
- Laki-laki
- muslim
- Baligh
- Waras akalnya
- Adil (tidak fasik)
- Tidak dipaksa
- Tidak sedang berihram.
Syarat Saksi
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki,muslim, baligh,
berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksudakad nikah.

3.2 SARAN

Dari pembahasan tersebut, kiranya penyusun dapat memberikan saran bahwa hendaknya kita
mendalami hal-hal berkaiatan pembahasan di atas, agar bertambah wawasan
DAFTAR PUSTAKA

Buku hukum islam Prof. Hi. Atho B. Smith, S.H., M.H.

Anda mungkin juga menyukai