Anda di halaman 1dari 53

Perceraian biasanya menyisakan permasalahan antara mantan suami dan istri.

Selain
harta gono-gini, yang cukup sering diperebutkan adalah mengenai hak asuh anak.
Perebutan biasanya juga disertai dengan tudingan bahwa pihak mantan pasangan
tidak becus mengurus anak.
Ketentuan mengenai hak asuh anak sebagai salah satu akibat dari perceraian tidak
diatur secara khusus, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.
Adapun ketentuan mengenai hak asuh anak secara jelas termuat dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI), sebagaimana dalam Pasal 105 yaitu sebagai berikut:
Dalam hal terjadinya perceraian :
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya;
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Namun sebagaimana telah disampaikan dalam artikel Kata Siapa Hak Asuh Anak
Selalu di Ibu? Ayah Juga Bisa Dapat Kok!, hal tersebut tidak bersifat mutlak.
Adakalanya seorang ibu kehilangan haknya untuk melakukan pengurusan dan
perawatan terhadap anaknya yang belum dewasa.
Berdasarkan beberapa literatur hukum ditemukan beberapa alasan yang dapat
mengakibatkan seorang ibu kehilangan hak asuh terhadap anaknya, yaitu:
1. Menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Telah meninggalkan pihak lain tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya;
3. Mendapat hukuman penjara
4. Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. Alasan-alasan lain sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak-anaknya.
Yurisprudensi yang umum dipergunakan dalam menentukan hak asuh terhadap
anak-anak yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April
1975, yaitu
“Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu
kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena
kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut
tidak wajar untuk memelihara anaknya.”
Namun dalam salah satu putusan Pengadilan Agama Bekasi dengan Nomor:
354/Pdt.G/2007/PA.Bks, Majelis Hakim memutuskan hak asuh anak diberikan kepada
bapak (Pemohon). Putusan tersebut diberikan dengan alasan-alasan Ibu (Termohon)
dari anak-anak tersebut:
1. Tidak amanah, tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak-anak;
2. Tidak dapat menjaga pertumbuhan, pendidikan dan kenyamanan anak-anak;
3. Tidak mampu menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak-anak.
Umumnya yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pihak yang pantas
untuk memperoleh hak asuh anak semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan
kebaikan (kemaslahatan) anak-anak. Bukan untuk kepentingan orang tua atau pihak
lain, sehingga terjamin hak-hak anak dapat tumbuh dan berkembang baik secara
fisik maupun psikis.
Ingin mengajukan pertanyaan mengenai perceraian, kami siap membantu Anda,
silakan hubungi Kantorpengacara.co di +62 812-9797-0522 atau email ke
info@kantorpengacara.co

UU Perkawinan maupun KUHPerdata tidak langsung menentukan secara pasti


apakah ibu atau ayah yang berhak atas pengasuhan anak (hadhanah) ketika terjadi
perceraian. Ketentuan eksplisit tentang itu terletak pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dengan menunjuk ibu sebagai orang yang berhak mengasuh anak yang
belum mumayyiz atau masih di bawah 12 tahun.
Walaupun UU Perkawinan tidak menetapkan pihak yang berwenang mengasuh anak,
tetapi Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan mengatur tentang pencabutan kekuasaan
orang tua atas anak. Yaitu jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan
buruk sekali memelihara anak.
Namun begitu, dalam praktik pengadilan ada beberapa putusan hakim yang secara
spesifik mencabut hak asuh anak dari seorang ibu dalam beberapa kondisi. Adapun
kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Melalaikan kewajiban dalam memelihara Anak
Penilaian integritas dapat dilihat karena kelalaian atau perilaku yang tidak baik.
Pemberian hak pengasuhan anak bagi ayah dapat dilakukan karena lalainya ibu
dalam memelihara anak seperti pada putusan Kasasi Nomor: 306K/AG/2002 tanggal
26 April2006.
2. Perilaku Ibu yang dianggap tidak terpuji
Pengasuhan anak oleh ayah juga dapat disebabkan karena perilaku ibu buruk sekali.
Misalkan sering selingkuh dengan lelaki lain seperti pada putusan Kasasi Nomor:
456K/AG/2004 tanggal 26 Januari 2004.
3. Menikah lagi dengan laki-laki lain
Dari putusan Kasasi Nomor 200K/AG/2004 dapat ditarik kaidah bahwa pengasuhan
anak yang telah berusia 7 tahun menjadi hak ayahnya karena ibu telah menikah
dengan lelaki lain.
4. Aktifitas Ibu Yang Dinilai Sangat Tinggi
Dalam putusan MahkamahAgung RI Nomor 349K/AG/2006tanggal 3 Januari 2007,
hakim menetapkan ayah sebagai pemegang hak hadhanah. Pertimbangannya adalah
karena sang ibu memiliki aktifitas yang cukup tinggi.
5. Ibu Kandung Non Muslim
Kecenderungan yurisprudensi dalam mempertimbangkan fikih Islam terlihat ketika
menetapkan pengasuhan anak kepada ayah manakala ibu kandungnya beragama
non Islam seperti dapat dilihat pada putusan Kasasi Nomor :  302K/AG/1995 tanggal
26 Maret 1997.
Begitu halnya dengan pengasuhan oleh kakek dan nenek yang non muslim harus
dihindari dan ketika terjadi sengketa, anak dari seorang ibu yang telah meninggal
dunia harus ditetapkan pengasuhannya oleh ayahnya bukan oleh kakek atau nenek
yang beragama non muslim (putusan kasas I 275K/AG/2004 tanggal 29 Juni 2005.
Demikian beberapa kondisi yang menyebabkan ibu kehilangan hak asuh anaknya
yang belum berumur 12 tahun (mumayyiz).
Ingin mengajukan pertanyaan dan konsultasi mengenai perceraian atau hak asuh
anak? Kami siap membantu Anda. Silakan hubungi Kantorpengacara.co di (+62)
812-9797-0522 atau email ke: info@kantorpengacara.co

Pertanyaan :
Bisakah Kehilangan Hak Asuh Jika Ibu Lebih Memilih Berkarir?
Dear para pakar hukum, saya seorang wanita dengan usia pernikahan 4 tahun dan
mempunyai 1 orang putri. Saya menikah secara Islam. Ada beberapa hal yang ingin
saya tanyakan. 1) Apakah bisa dikabulkan jika gugatan cerai didasari alasan
mendapat tekanan psikis dan ultimatum selama pernikahan berlangsung? 2) Jika
kelemahan istri adalah tidak pandai memasak (tetapi pernah mencoba belajar),
kemudian si suami memaki istri sampai disebarluaskan dicemooh ke keluarga
besarnya, hal tersebut apakah dapat menghilangkan hak asuh anak? 3) Jika selama
ini saya memilih berkarir dibandingkan mengasuh anak dengan alasan penghasilan
suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder anak (karena
penghasilan suami hampir setengahnya untuk menyicil kredit mobil atas namanya),
apakah hal tersebut dapat menghilangkan hak asuh anak sehingga hak asuh jatuh
ke tangan istri? 4) Jika yang menggugat adalah sang istri, apakah bisa mendapatkan
dan menuntut hak dari suami untuk tetap wajib memberikan nafkah untuk biaya
hidup dan biaya kesehatan anak? Mohon penjelasan detail dan pencerahannya.
Terima kasih.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah
semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
 
1)    Pada dasarnya, dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan perceraian
dikembalikan pada putusan hakim setelah melalui pemeriksaan di pengadilan.
Hal ini bergantung pada pertimbangan hakim setelah mendengar keterangan
saksi dan bukti-bukti lainnya dan fakta-faka yang terungkap di persidangan.
 
Namun, untuk menjawab pertanyaan Anda yang pertama, kita perlu ketahui
dasar perceraian, yakni alasan-alasan apa yang dibenarkan oleh undang-undang
dalam perceraian.
 
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”) berbunyi:
 
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”
 
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU
Perkawinan dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian adalah:
 
1.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.    salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemauannya;
3.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
5.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
6.    antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-
tangga.
 
Anda mengatakan bahwa Anda menikah secara Islam. Selain alasan-alasan di
atas, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan
dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menambahkan dua
alasan perceraian yang tidak disebut dalam UU Perkawinan yaitu:
1.    Suami melanggar taklik talak;
2.    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
 
Menjawab pertanyaan Anda, jika melihat dari alasan-alasan perceraian yang
disebut dalam UU Perkawinan dan KHI di atas, maka jika Anda mendapat
tekanan psikis seperti yang Anda katakan, hal itu memang tidak termasuk
alasan perceraian. Namun, apabila memang tekanan psikis itu Anda rasakan
akibat dari adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan
untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka hal itu dapat menjadi dasar
alasan perceraian.
 
2)    Berikutnya kami akan menjawab pertanyaan kedua Anda soal hak asuh anak.
Hak asuh seringkali menjadi permasalahan pasca perceraian. Mengenai hak
asuh anak, pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan
anak di bawah umur kepada ibu. Hal ini mengacu pada Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam (“KHI”) yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun
adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan
kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.
 
Menurut pengajar hukum Islam di Universitas Indonesia, Farida
Prihatini dalam artikel Hak Asuh Harus Menjamin Kepentingan Terbaik
Anak, sebaiknya hak asuh anak diberikan kepada ibunya bila anak belum
dewasa dan belum baligh. Karena ibu secara fitrahnya lebih bisa mengatur anak
dan lebih telaten mengasuh anak. Tapi, menurutnya, hak asuh anak juga tidak
tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah kalau ibu tersebut memilki
kelakuan yang tidak baik, serta dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang
ibu, terutama dalam mendidik anaknya.
 
Ini artinya, jika usia anak Anda kurang dari 12 tahun, maka hak asuh ada pada
Anda sebagai ibunya. Mengacu pada poin-poin di atas, tidak pandainya Anda
dalam memasak tidak serta merta dapat dikatakan bahwa Anda sebagai
seorang ibu memiliki kelakuan yang tidak baik yang bisa menghilangkan hak
asuh anak.
 
3)    Jika Anda lebih memilih berkarir daripada mengasuh anak, dilihat dari segi
hukum, hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat, demikian yang disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU
Perkawinan. Ini artinya, sudah menjadi hak Anda untuk bekerja, namun hal
tersebut tidak serta merta menghilangkan kewajiban Anda untuk mengasuh
anak. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam Kedudukan Istri yang
Bekerja dari Kacamata Hukum.
 
Masih terkait dengan hak asuh anak jika ibunya bekerja, kami mengacu pada
tulisan yang ditulis oleh Yudi Hardeos, S.HI., M.SI. (Hakim Pengadilan
Agama Bontang) berjudul Menimbang Ulang Tipikal Hak Asuh dan Kriteria Moral
Pemegang Hadanah yang kami akses dari laman resmiDirektorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Dalam tulisan tersebut
antara lain dikatakan bahwa ketika seseorang bertanya, “Bila konteks saat ini
memungkinkan seorang ibu mencari nafkah di luar rumah, haruskah hak asuh
tetap jatuh pada ibunya? Bagaimana jika si ibu telah melakukan langkah
antisipasi sehingga ia yakin akan jaminan keamanan si anak selama ia
bekerja?” Tugas seorang hakim-lah yang harus jeli dalam
melakukanassessment dan pengukuran demi membela kepentingan anak . Selain
faktor tersebut, masih banyak hal yang patut dipertimbangkan oleh seorang
hakim, diantaranya seperti kesehatan fisik dan mental orang tua, intelektual,
kemandirian serta itikad baik untuk memberi hak dan kesempatan pada mantan
pasangannya untuk mengunjungi dan membangun komunikasi dengan anak di
bawah asuhannya.
 
4)    Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai
bagaimana jika yang menggugat adalah sang istri, apakah bisa mendapatkan
dan menuntut hak dari suami untuk tetap wajib memberikan nafkah untuk biaya
hidup dan biaya kesehatan anak? Jawabannya, bisa.
 
Mengenai nafkah ini juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“PP Perkawinan”) yang
mengatakan selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami. Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf a PP
Perkawinan dikatakan bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara
suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya
memberikan nafkah kepada isterinya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak
dalam artikel Masalah Pemberian Nafkah Selama Proses Perceraian.

Hak Asuh Anak Pasca Perceraian


10 Desember 2012   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55  23894  2 0

Hak Asuh Anak Pasca Perceraian

Oleh : Siti Nur Hidayati[1]

Menurut Pasal 14 Undang-undang Nomer 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak


yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”

Perceraian pada umumnya menjadi penyebab utama dalam sengketa penggasuhan


anak, tidak sedikit kasus percerian dengan cerita perseteruan yang sangat serius
antara suami dan istri pasca perceraian dengan berbagai alasan yang dibuat agar
ditetapkan sebagai pemenang atas pemegang hak asuh anak. Meskipun tak sedikit
pula kepentingan anak yang menjadi terabaikan.

Perebutan hak asuh anak semestinya tak perlu terjadi. Karna pengasuhan anak
pasca perceraian orang tua sudah diatur secara hukum. Zaimah Husin, SH., Staf
Pelayanan Hukum LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk
Keadilan Jakarta), menyatakan ketika terjadi perceraian, dalam undang-undang
perkawinan (baik dalam kompilasi hukum islam maupun dalam hukum sipil)
biasanya hak asuh anak di bawah usia 12 tahun diserahkan kepada ibu. Kecuali jika
ibu berperilaku tidak baik. Selain sebab tersebut, ada hal-hal lain yang bisa
menyebabkan hak asuh tidak jatuh ke tangan ibu, antara lain jika hakim melihat
adanya kedekatan ayah dengan anak dibandingkan kedekatan pada ibunya.[2]

Hak asuh anak bisa saja jatuh ke tanggan ayah atau ibu. Tapi yang pasti tidak
mudah bagi salah satu pihak yang tidak memenangkan putusan perkara dalam hak
penggasuhan anak jika keingginannya itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Maka dari itu dalam makalah ini penulis mencoba memfokuskan pada kajian tentang
sikap penggadilan terhadap berbagai sengketa kuasa atas hak penggasuhan anak
pasca perceraiian serta solusinya.

Kuasa Pengasuhan Anak


Perceraian yang terjadi pada orang tua sering kali berakhir pada sengketa
pengasuhan anak. Dalam prespektif Hukum Islam pengasuhan anak sering dikenal
dengan sebutan Kata hadhanahadalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy,
atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh ( hadhn) dalam pengertian ini
tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau
lengan. Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa
mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari
hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan
ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur
untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian ( wilayah).[3]

Persoalan hadhanah hanya berlaku ketika terjadi perceraian antara suami dan istri.


Apabila suatu ikatan pernikahan itu masih berlangsung, maka tanggung jawab dan
kewajiban atas anak menjadi tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu. Ayah
yang berperan sebagai kepala keluarga berkewajiban mencari nafkah dan Ibu
bertugas sebagai ummu madrassah lil aulad.

Hak dan Masa Pengasuhan Anak

Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih


memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya.[4]

Meskipun keutamaan ibu dalam memelihara anak, tidak secara langsung ditegaskan
dalam al-qur'an, namun dapat dipahami melalui QS Luqman ayat 14.

Artinya : kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang
tuaanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah dan menyapihnya selama dua tahun. Bersyukurlah padaku dan pada orang
tuamu dan kepada Kulah kau kembali.[5]
Seiring dengan perkembangan pandangan Hukum Islam, maka ketentuan hukum
yang ditetapkan dalam undang-undang juga memberi jalan beralihnya kuasa
penggasuhan terhadap anak, di antara penyebab beralihnya kuasa penggasuhan
anak dari ibu kepada ayah kerena dipenggaruhi oleh faktor-faktor kepentingan anak
yang menghendaki hal tersebut.

Kuasa pengasuhan anak tidak semata-mata karena hal finansial. Tetapi hal yang
paling mendasar sebagai pertimbangan penggadilan terhadap pihak yang ditunjuk
sebagai pemegang kuasa hak asuh adalah karna faktor perilaku dan moral baik yang
dimiliki pemegang atas hak asuh anak tersebut.

Batas usia penggasuhan anak, dibatasi hingga pencapaian usia mumayyiz. Batas


usia mumayyiz yaitu 7 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak permpuan.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim
dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan: [6]

“Dalam hal terjadi perceraian :

I.Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun adalah hak
ibunya.

II.Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

III.Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Setelah batas dari usia mumayyiz, maka anak bebas memilih untuk tinggal bersama
ibu atau ayahnya. Meskipun pada dasarnya kedudukan ibu dan ayah itu sama tanpa
adanya perbedaan, tapi keputusan utamanya tetap berada pada si anak setelah
usianya mencapai batas mumayyiz.

Penetapan Kuasa Pengasuhan Anak


Pada dasarnya penetapan keputusan oleh penggadilan itu guna menggurangi
ketegangan sengketa oleh kedua pihak yang berseteru guna memenagkan hak
penggasuhan anak. Namun dalam hal putusan penetapan ini biasanya masih ada
beberapa putusan yang tidak bisa diterima oleh pihak tertentu sehingga
menyebabkan perdebatan yang cukup panjang .Bahwa penetapan penyerahan hak
asuh anak itu tidak bisa dengan mudah dilakukan, karna anak itu bukan lah sebuah
barang yang bisa dengan mudahnya berpindah tangan. Namun apa pun bentuk
putusan yang bersifat ketetapan hukum harus tetap dilaksanakan baik secara ikhlas
maupun terpaksa. Hanya cara penerimaannyalah yang perlu dikaji oleh pihak terkait
secara bersama.
Namun apabila langkah-langkah penetapan putusan tersebut dirasa kurang dapat
diterima oleh pihak-pihak yang saling terkait, maka langkah selanjutnya adalah perlu
adanya mediator dalam sengketa kuasa pengasuhan anak. Dalam hal yang berkaitan
perlindungan anak, maka perlu penangganan langsung oleh Komite Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) sebagai mitra penegak hukum. Dengan adanya mediator
KPAI diharapkan dapat memberikan kontribusi guna melindungi kepentingan anak,
sebagaimana yang telah tertera dalam undang-undang.

Kesimpulan

Pengadilan mempunyai amanat yang mulia dan begitu besar ketika kedua orang tua
menyerahkan konflik penggasuhan hak anak kepada pengadilan. Maka dari itu
pengadilan harus dapat mengambil kesimpulan terbaiknya guna menetapan hak
asuh anak dan berupaya untuk meneliti hubungan keluarga yang berkaitan, dengan
baik dan seksama. Serta lebih mengoptimalkan peran para mediator untuk
memfasilitasi kepentingan anak terhadap orang tuanya.

HAL YANG MEMBUAT IBU KEHILANGAN HAK ASUH ANAK SETELAH


TERJADI PERCERAIAN
Posted on 25 April 2016by Hendro Kusumo - Pengacara

HAL YANG MEMBUAT IBU KEHILANGAN HAK ASUH ANAK SETELAH TERJADI
PERCERAIAN

Dalam pasal 156 huruf c KHI menjelaskan kembali, seorang ibu bisa kehilangan hak
asuh terhadap anaknya – sekalipun masih berusia di bawah 12 tahun- ketika dia
dianggap tak mampu melindungi keselamatan jasmani maupun rohani anaknya.

Berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak/anak-anaknya, dengan membuktikan


dalil-dalinya bahwasanya salah satu pihak ternyata tidak dapat dijadikan sosok
teladan bagi anak/anak-anaknya atau dengan perkataan lain salah satu pihak tidak
dapat menjalankan kewajiban yang baik sebagai orangtua terhadap anak/anak-
anaknya, dalam hal-hal sebagai berikut:
1.salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.salah satu pihak telah meninggalkan pihak lain tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.salah satu pihak mendapat hukuman penjara;
4.salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5.dalam melakukan kegiatan pemeliharaan anak/anak-anak selama ini, ternyata
tidak lebih baik dibandingkan pihak yang mengajukan; dan/atau
6.alasan-alasan lainnya.

Sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani


anak/anak-anaknya, bilamana menjadi pihak yang mendapatkan hak asuh atas
anak/anak-anaknya tersebut.
Biasanya pihak suami akan memakai ketentuan hukum yang salah satunya berbunyi
sebagai berikut: Pasal 3 Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-hak
Anak): “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan,
lembaga pemerintah atau legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan
pertimbangan utama.”

Pengadilan Agama pun seringkali memenangkan pihak suami dalam hal dimaksud
tersebut di atas, meskipun anak/anak-anaknya belum mummayiz.

Kantor Pengacara/Advokat HENDRO KUSUMO, S.H, M.H & PARTNER’S

Apakah Seorang Ayah Berhak atas Hak Asuh Anak Karena Perceraian?

Jumat 30 July 2010 00:17 WIB

Perkenalkan nama saya Surya, 40 tahun. Telah 2 tahun saya bercerai dengan istri
saya dan dikarunia 2 orang anak berusia 13 dan 8 tahun. Yang ingin saya tanyakan
apakah saya mempunyai hak untuk mengasuh ke 2 anak saya tersebut mengingat
perceraian yang terjadi bukan atas dasar keinginan saya tetapi dari keinginan
keluarga mantan istri saya.

Latar belakang kenapa saya meminta hak asuh atas anak-anak karena selama ini
keinginan saya untuk bertemu dengan buah hati saya tersebut selalu dihalangi
dengan bermacam alasan yang menurut saya hal itu tidak adil untuk anak-anak
saya. Alasan yang utama adalah ketakutan dari mantan istri saya oleh Ibunya
(neneknya anak-anak saya).

Jadi yang saya inginkan  saat ini adalah membesarkan anak-anak mengingat saya
tidak percaya kalau anak-anak dirawat oleh mantan istri & keluarganya mengingat
watak dan karakter mereka yang terlalu mendewakan dunia dan saya tidak mau
anak-anak menjadi korban seperti ibu mereka saat ini.

Jalan mediasi telah saya tempuh tetapi hasilnya nihil.

Demikian dari saya, garisbesarnya seperti itu. saya mohon Ustdz dapat memberikan
satu solusi yang insya alloh bermanfaat bagi saya.
Jawaban :

Hak asuh pada keluarga yang bercerai di lihat dari poin-poin berikut :

 - Jika anak-anak belum akil (cukup bisa berfikir) yang mengasuh adalah ibunya,
karena ibu lebih menyayanginya, lebih memahaminya dan seterusnya. Dalilnya
adalah hadits Rasulullah Bahwa seorang datang kepada Rasulullah mengadukan
bahwa suaminya telah menceraikannya dan ingin mengambil anaknya maka Rasul
mengatakan engkau lebih berhak selama belum menikah (HR Abu Dawud, dan
Ahmad)

 -Jika anak-anak sudah cukup bisa berfikir (akil) maka mereka diberikan hak untuk
memilih.

 -Kapan mereka dinggap bisa berfikir, ada yang mengatakan usia tujuh tahun sudah
cukup berfikir.

 -Jika anak memilih ayahnya maka siang malam ditempat ayahnya dan ayahnya
tidak boleh menghalang-halangi ibunya untuk menjenguknya kapanpun dia mau,.

 -Dalam kondisi dimana anak menjatuhkan pilihan bersama ibunya maka sebaiknya
ia bermalam terus ditempat ibunya dan siangnya bisa saja bersama ayahnya untuk
mendapatkan hak pendidikan.

  -Semua biaya yang harus dikeluarkan untuk kehidupan anak-anak itu ditanggung
semuanya oleh suami

-Bagi pihak yang mendapatkan hak asuh tidak boleh menghalang-halangi pihak yang
tidak mendapatkan hak asuh untuk bertemu anaknya kecuali dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh syariah, misalnya takut adanya pengaruh buruk karena
kemaksiatannya misalnya.

-Seorang ibu yang sejatinya mendapatkan hak asuh sewaktu anak belum akil (bisa
berfikir) bisa saja kehilangan hak asuh jika ia adalah hamba sahaya, kafir, banyak
berbuat dosa, dan menikah dengan orang lain.

-Dalam kasus dimana terjadi perselisihan seperti yang bapak sampaikan sebaiknya
ditempuh dengan jalan musyawarah, dan sampaikan semua hal yang kami sebutkan
di atas. Tetapi jika tidak ada jalan keluar maka lebih baik menggunakan jalur
pengadilan agar semuanya mendapatkan keputusan yang adil

Demikianlah sekilas pendapat para Ulama seperti Ibnu Qudamah, Ibu Taymiyah,
Ibnu Qoyyim.

Hukum ini akan menjadi baik jika masing-masing memegang prinsip taqwa. Benar-
benar taat kepada Allah sehingga tidak ada sedikitpun usaha untuk ma'siat kepada-
Nya.

JAKARTA LAW FIRM


19 Juni 2012 · 
Penentuan Hak Asuh Anak
Posted: November 15, 2011 in Hukum
13
Ironis memang, saat anak-anak masih syok menerima kenyataan bahwa
orangtuanya bercerai, mereka kembali (harus) dihadapkan pada kasus perebutan
akan dirinya. Ya, banyak keluarga yang ketika bercerai saling mengklaim bahwa istri
atau suami paling berhak atas hak asuh anak-anaknya.
Hal ini pula yang akhirnya merenggangkan hubungan kekeluargaan mantan istri-
suami pascabercerai. Sayangnya, perundang-undangan Indonesia pun tidak secara
rinci menjelaskan kepada siapa hak asuh anak diberikan, jika orangtua bercerai.
“Menentukan hak asuh anak setelah perceraian dalam Undang-Undang No 1 tentang
Perkawinan pun tak dijelaskan secara khusus. Bahkan seorang ibu mungkin saja
akan kehilangan hak asuh terhadap anaknya yang masih berusia di bawah 12 tahun,
meski anaknya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Jika merujuk
pada konsepsi Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan bahwa dalam pasal 105
huruf a, anak korban perceraian orangtua yang masih berusia dibawah 12 tahun
berada di bawah kekuasaan ibunya dengan pertimbangan bahwa anak seusia itu
sangat membutuhkan kasih sayang dari ibunya dibandingkan ayahnya,” jelas
Listiana Lestari, SH, pengacara dari Kantor Advokat Listiana Lestari SH, Yogyakarta.
Namun, dalam pasal 156 huruf c KHI menjelaskan kembalin
Masih menurut Listiana, dalam konstruksi hukum positif negara, bisa saja hak asuh
berpindah dari ibunya kepada bapaknya atau sebaliknya, melalui proses pengadilan
yang sah. Kondisi ini tercatat dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
dimana hak asuh anak hanya bisa diberikan kepada pihak ibu atau bapaknya saja.
Inilah mengapa pengajuan hak asuh hanya bisa dilakukan oleh istri atau suami,
bukan orang lain meskipun terikat hubungan keluarga dekat. Bahkan, kakek-nenek
pun tidak memiliki hak untuk mengambil hak asuh anak. Ingat, bagi pihak yang tak
diberi hak asuh, bukan berarti memutus berbagai kewajiban terhadap anaknya.
“Dalam perceraian, kekuasaan orangtua baik ayah maupun ibu tidak terputus begitu
saja. Misal, sepanjang seorang ayah masih hidup, tidak akan menimbulkan perwalian
terhadap anaknya. Perwalian baru diizinkan jika sang ayah meninggal, sakit parah
atau berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Misal, kakek atau
nenek diberikan hak dalam hal perwalian,” tegas Listiana.
Diambil dari http://lifestyle.okezone.com/…/ternyata-badai-itu-belum-usai
Listiana Advokat.

 
Home
Hak Asuh Anak
Hak Asuh Anak dalam Perceraian

HAK ASUH ANAK DALAM PERCERAIAN


 Garda Law Office  March 31, 2017  Hak Asuh Anak, Perceraian  2 Comments
Pada umumnya banyak kasus perceraian yang menimbulkan persoalan baru yang
berkelanjutan selain berupa pembagian harta bersama atau harta gono gini namun
juga dalam perebutan anak yang lahir di masa pernikahan. Pertikaian yang
disebabakan oleh perebutan anak tidak hanya berpotensi menimbulkan permusuhan
diantara dua pihak yang bersengketa, namun juga menyakiti psikologi anak. Oleh
karena itu  agama dan hukum negara dengan jelas dan tegas mengatur sedemikian
rupa mengenai hak asuh anak, tujuannya adalah untuk meminimalisir berbagai
masalah yang muncul akibat persengketaan tersebut. Tidak ada yang diuntungkan
dalam peristiwa perceraian, ikuti aturannya jangan sampai anak-anak menjadi
korban.

Hak Asuh Anak dalam Perceraian

Tidak ada aturan baku yang dapat menjadi kunci bagi hakim dalam memutuskan
pemegang hak asuh anak, apakah Ayah atau Ibu. Hingga saat ini dalam perkara
perceraian hanya terdapat beberapa aturan dalam undang undang yang akan
menjadi rujukan bagi hakim dalam memutuskan siapa yang berhak atas hak asuh
anak setelah mempertimbangkan beberapa fakta yang terungkap selama
persidangan berlangsung. Sebenarnya bagaimana sebenarnya prosedur dari hak
asuh anak tersebut?

Ada banyak yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara,
mengingat hakim dituntut untuk dapat berlaku dengan seadil-adilnya untuk
memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang sedang berpekara khususnya bagi
anak. Selain memastikan kebutuhan anak tercukupi dari segii finansial, dalam
pelaksanaan hak asuh anak ibu ataupun ayah yang diputuskan memegang hak
dalam pengasuhan anak juga harus bisa menjamin keselamatan jasmani dan juga
rohani anak yang bersangkutan.

Adapun jika hakim telah memutuskan salah satu pihak yang lebih berhak atas hak
asuh anak, disarankan tidak ada tindakan yang akan menghalangi sang anak untuk
menjenguk orang tuanya sendiri sehingga terputuslah tali silaturahmi. Karena
bagaimana pun Andak-anak membutuhkan kasih sayang dan bimbingan yang utuh
dari kedua orang tuanya.
Hal-hal yang Menyebabkan Orang Tua Kehilangan Hak Asuh Anak
Selain diasuh oleh ayah ataupun ibu kandungnya, dalam beberapa kasus
pengasuhan sang anak juga dapat beralih pada kerabat terdekat  jika terdapat
beberapa kondisi yang tidak memungkinkan sang anak untuk mendapatkan
pemeliharaan dari kedua orang tuanya seperti dalam peristiwa kematian. Hal lainnya
yang juga bisa menghilangkan hak orang tua untuk mengasuh anaknya adalah tidak
terjaminnya keselamatan jasmani dan juga rohani anak.

Dalam hal ini kerabat yang akan mengambil alih hak asuh anak yang bersangkutan
harus mengajukan permohonan hak asuh anak ke Pengadilan Agama, dalam rangka
untuk memindahkan hak asuh anak kepada kerabat memiliki hak asuh. Dalam
masalah ini siapapun pihak yang mengambil alih pengasuhan anak, hingga anak
dinyatakan dewasa atau berusia 21 tahun sang ayah tetap bertanggung jawab untuk
mengasuh dan memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya,

Adapun pihak-pihak yang bisa mengambil alih hak asuh anak adalah :

 Wanita-wanita yang masih berada dalam garis lurus ke atas dari ibu.
 Wanita-wanita yang masih berada dalam garis lurus ke atas dari ayah.
 Saudara perempuan dari anak tersebut
 Wanita-wanita kerabat sedarah berdasarkan garis samping dari ayah.
Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh anak dapat dikomunikasikan dengan
lembaga-lembaga yang tepat, profesional dan handal dibidangnya, sehingga
diperoleh solusi yang tepat. Selain menjadi media yang tepat untuk
mengkomunikasikan prihal hak asuh anak, kami juga membuka layanan, perceraian,
mediasi perkawinan, harta gono gini,  harta waris, hibah dan wasiat.

Halangan Seorang Ibu Dalam Pemeliharaan Anak

Pendahuluan

Perkawinan menimbulkan hubungan hukum dengan anak yang dilahirkan,


maka selanjutnya timbul kedudukan anak yang dilahirkan yang semuanya diatur
dengan hukum. Dari hubungan dengan orang tua dan anak yang masih dibawah
umur timbul

Hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang
masih dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Undang-undang pokok perkawinan No.1 tahun 1974.

Orang tua adalah orang pertama yang bertanggung jawab untuk membayarkan
hak-hak anak keturunan mereka. Namun, tidak jarang tugas seperti itu menjadi
terputus baik atas kehendak suami istri, maupun diluar kehendak mereka. Suatu
perceraian, khusus pada cerai hidup meskipun bisa melegakan hati dua belah pihak,
tetapi sudah pasti merupakan pengalaman pahit bagi sang anak. Masalahnya tidak
akan sederhana, bilamana perpisahan kedua orang tuanya salah satunya meninggal
dunia. Anak kehilangan salah satu tempatnya menggantungkan diri, baik dalam hal
perama maupun dalam hal kedua, bilamana pihak-pihak yang betanggung jawab
terhadap anak itu tidak ambil peduli, maka akan terbuka peluang bagi
perkembangan anak yang tidak terarah untuk menghadapi masa depan yang tidak
cerah.

Perceraian suami istri di khawatirkan oleh berbagai pihak terhadap nasib anak,
khususnya bilamana orang tuanya mengambil keputusan untuk menikah lagi baik
karena perceraian ataupum meninggal dunia. Diakui bahwa tidak semua bapak dan
ibu tiri yang peduli terhadap anak tirinya, dan tidak semuanya pula bapak dan ibu
kandung yang menikah lagi mengalihkan kasih sayangnya kepada suami atau istri
barunya.

Sedangkan, kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah membeikan


perlindungan, memberikan perlindungan, memberikan biaya pemeliharaan, dan
mewakili anak dalam segala perbuatan hukum bagi anak yang belum dewasa dan
belum pernah kawin.

Pembahasan

HADHANAH (Hak Asuh Anak)

1.      Pengertian Hadhanah

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk


seperti menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan, hadanah menurut
istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak
ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.

Hadhanah berasal dari kata “hidhan” artinya lambung, dan seperti


kata : hadhana ath-thaairu baidhahu, artinya burung itu mengepit telur di bawah
sayapnya, begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengepit anaknya.

Hadhanah menurut ahli fiqh ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang


masih kecil laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz,
menjaga dari sesuatu yang menyakiti Dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani,
akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawab.

Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa


mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari
hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah ini hanya dilaksanakan
ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur
untuk berpisah dari ibunya. Hal ini disebabkan karena si anak masih perlu
penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksud dengan perwalian ( wilayah). Firman Allah
SWT. yang membahas tentang hadhanah di antaranya adalah :
  

Artinya: “Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak
yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan  jika
kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan
Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah [2]: 220)
Sebab turunnya ayat :

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat "wala taqrabu mal
al-yatimi alla bi al-lati hiya ahsanu" (S. 6: 152) dan ayat"inna al-ladzina ya'kuluna
amwala al-yatama dhulman", sampai akhir ayat" (S. 4: 10), orang yang memelihara
anak yatim memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman
anak-anak yatim itu. Hal tersebut memberatkan mereka. Lalu mereka menghadap
Rasulullah untuk menceritakan hal itu. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 2:
220) yag membenarkan menggunakan cara lain yang lebih baik. Diriwayatkan oleh
Abu Dawud, al-Nasai, al-Hakim dan lain-lainnya yang bersumber dari Ibu Abbas.

  

Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS. Al-Nisa' [2]:2)

2.      Hukum Hadhanah

Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih


memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya.

Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:

- Hak wanita yang mengasuh.

- Hak anak yang diasuh.

- Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan
harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus
didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang
memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas
untuk menasuh anak.

kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak
mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada
mudharat yang dimungkinkan akan menimpa si anak karena adanya mahram lain
selain ibunya.

ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih
berhak mengasuhnya lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alasan
syar’i yang memperbolehkannya.

keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia
harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan
haknya mengasuh anak.

3.      Urutan Dan Syarat Bagi Orang yang Berhak Mengasuh Anak.

Pertama, Ibu adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak. Mengingat
bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar,
lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka Ibu lebih
berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung
hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih
mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.

Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka
-sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya
setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak,
meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh
memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang
menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.

Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya
bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah saw: “Wahai
RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku
sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah
menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah saw bersabda kepada
wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“.
(hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Kedua, orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung. Ulama
berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu
kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak
adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat
imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan
dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya
mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).

Pertama, Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling


berhak mengasuh anak adalah:

    - Ibu kandungnya sendiri

    - Nenek dari pihak ibu

    - nenek dari pihak ayah

    - saudara perempuan (kakak perempuan)

    - bibi dari pihak ibu

    - anak perempuan saudara perempuan

    - anak perempuan saudara laki-laki

    - bibi dari pihak ayah

Kedua, Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh
dimulai dari

    - Ibu kandung

    - nenek dari pihak ibu

    - bibi dari pihak ibu

    - nenek dari pihak ayah

    - saudara perempuan

    - bibi dari pihak ayah

    - anak perempuan dari saudara laki-laki

    - penerima wasiat

    - dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama

Ketiga, Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai
dari

    - Ibu kandung

    - nenek dari pihak ibu

    - nenek dari pihak ayah

    - saudara perempuan

    - bibi dari pihak ibu


    - anak perempuan dari saudara laki-laki

    - anak perempuan dari saudara perempuan

    - bibi dari pihak ayah

    - dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapatkan
bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat
Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.

Keempat, Kalangan Madzhab Hanbali


    - ibu kandung

    - nenek dari pihak ibu

    - kakek dan ibu kakek

    - bibi dari kedua orang tua

    - saudara perempuan se ibu

    - saudara perempuan seayah

    - bibi dari ibu kedua orangtua

    - bibinya ibu

    - bibinya ayah

    - bibinya ibu dari jalur ibu

    - bibinya ayah dari jalur ibu

    - bibinya ayah dari pihak ayah

    - anak perempuan dari saudara laki-laki

    - anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah

    - kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat

Syarat-syarat hadhanah ada tujuh :

1). Berakal, 2) Merdeka 3). Beragama Islam 4). Amanah 5.) Iffah 6). Sepi dari suami
7). Bermuqim.

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :

1.    Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya sendiri.
2.    Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat
berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah
dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa
pun.

Bila kedua orang tua masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling
berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih
memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan biaya yang
diperlukan tetap dari ayah.

Di samping alasan kasih sayang, juga dari hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud
menurut yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, dan dikisahkan oleh Hakim:

Sesungguhnya seorang perempuan berkata kepada Nabi: “Ya Rasul Allah


sesungguhnya anak saya ini perut saya yang mengandungnya, putting susu saya
yang mengairinya dan haribaan sya yang memeluknya. Ayahnya telah menceraikan
saya dan ingin memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW bersabda: “engkau
lebih berhak untuk mengurusnya selama engkau belum kawin”.
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh
anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak
hilang, syarat-syarat tersebut adalah:

1.      Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih
memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika
mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuh, maka merekapun
tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.

2.      Syarat kedua, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang
diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan
pada dua hal:pertama, Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang
diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya
terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw:

“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah
yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang
kafir.

Hak asuh anak itu sama dengan perwalian. Allah sw berfirman :

  

    Artinya: “dan Allah  sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang


kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
3.      Syarat ketiga, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu
dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak
berhak mengasuh anak.

4.      Syarat keempat, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain,
berdasarkan sabda Nabi saw :

“Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan.
ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495)

4.      Berakhirnya Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.

Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-
lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai.

Manakala masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si
anak ? Jika kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah
seorang dari kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika
kedua orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus diperhatikan:

-          Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang
telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga pendapat dikalangan ulama:

a.    Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika
seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia
butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah
lebih mampu dan lebih tepat.

b.      Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.

c.     Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu
diantara keduanya, berdasarkan hadits Abu Hurairah:

Seorang perempuan datang menghadap Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah.
suamiku ingin membawa serta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur
Abu Inabah serta memberi manfaat padaku.” Rasulullah saw bersabda:
“Berundinglah kalian berdua untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak
daripada aku terhadap anakku?” Nabi saw bersabda pada sianak agar memilih, “Ini
ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka”
Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan membawanya. (Hadits
shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud 2277, An-Nasa’i 3496 dan At-Tirmidzi 1357).
Dari hadits diatas diketahui bahwa konsep pengundian (qur’ah) harus
didahulukan daripada memberikan kesempatan memilih. Akan tetapi dengan melihat
apa yang dilakukan oleh para khalifah, memberikan kesempatan memilih lebih
didahulukan daripada cara pengundian. Diriwayatkan bahwa ada orang yang
mengadukan perselisihan masalah anak kepada Umar ra. Ia menjawab, “Ia
sebaiknya tinggal bersama ibunya sampai ia pandai berbicara, kemudian ia diberi
kesempatan untuk memilih.“(Sanad shahih, ditakhrij oleh Abdurrazaq 12606 dan
Sa’id bin Manshur 2263).

Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa memberi kesempatan memilih dan


mengundi hanya dapat dilakukan apabila kedua cara ini memberikan kemaslahatan
bagi si anak. Kalau memang ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih
bermanfaat dibanding ayahnya, maka dalam kasus ini merawat anak harus
didahulukan tanpa harus mempertimbangkan cara mengundi dan memilih.

-          Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda
pendapat, Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama
ibunya hingga anaka perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim
dengan suaminya. Dengan mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan
madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak
perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat
bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.

-          Ketiga, Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk
menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi
kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup
bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).

Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi
kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya  apabila
orangtua yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak.

KESIMPULAN

1. Tidak menjadi syarat/imperatif anak yang dipersegketakan di hadirkan


kepersidangan untuk menentukan pilihannya ikut ibu atau ayahnya karena pilihan
anak tersebut dapat dilakukan melalui surat pernyataan yang ditandatanganinya.

2. Hak memilih anak yang disengketakan oleh ibu atau ayahnya tetap harus
diberikan, namun tidak menjadikan serta merta kita mengambil alih pilihannya
dalam kaitan ayah atau ibunya berbeda keyakinan, karena aqidah adalah sebagai
ukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadhonah tersebut atau
menjadi gugur karenanya.

3. Mumayyiz atau belum mumayyiz seorang anak lebih ditentukan oleh tingkat
kecerdasannya anak tersebut, karenannya kita dapat memberikan hak pilih dalam
mentukan siapa yang berhak mengAsuh dintara ibu atau ayahnya yang bercerai
bagi  anak yang belum berumur 12 tahun hanya setelah ada rekomondasi dari
psikologi.                           
PENUTUP

Demikianlah beberapa hal hadhonah yang sering kita temui dalam praktek
yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya yang
sekarang telah di sepakati perkara ini tidak mengenal lagi, karena itu kita harus
cermat dan berhati-hati dalam memutuskan.

Dari itu dalam penyelesaian masalah hadhonah itu tidak hanya mengacu
kepada ketentuan perundang-undangan saja, melainkan harus memperhatikan nilai-
nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah agama, lingkungan dari ayah dan
ibu yang akan diberi hak hadhonah serta aspek lain demi kemaslahatan diri anak
yang akan menjadi asuhannya.

DAFTAR  PUSTAKA

Effendi, Satria, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer , Jakarta :


Kencana, Cet. 1, hlm. 166.

Sabiq, Sayyid, 1993, Fikih Sunnah, Bandung : PT. Al-Ma’arib, Jilid 8, Cet. 8, hlm. 160

Departemen Agama RI

UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Al-San'ani, Subul al-Salam, juz 3. Kairo: Dar ihya' al-Turas al-"Araby, 1379H/1960 M.

Shaleh, Qamaruddin. dkk, Asbabun Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1995.

UU. Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak berserta Penjelasannya.

Varia Peradilan No. 263 Oktober 2007.

Apakah alasan2 yang dapat membuat ayah memenangkan hak asuh anak?
Kakak saya sedang mengalami masalah berat dimana anak perempuannya yang
berusia 1 tahun dibawa kabur oleh istrinya sendiri. Kakak saya sudah tidak tahan
dengan istrinya tersebut, dan akan mengikuti mau istrinya dengan menyelesaikan
masalah perkawinan mereka ke pengadilan agama. 
Kekhawatiran terbesar kakak saya adalah bila hak asuh anak diberikan kepada sang
ibu, di mana selama 3 thn perkawinan, istrinya tidak bisa mengontrol emosi dengan
baik. Kasarnya, ada sesuatu yang tidak benar dalam masalah kejiwannya.. Kalau
marah, ia bisa membanting apapun yang ada di dekatnya, bahkan menyerang
suaminya sendiri. Tahun lalu, saat anaknya masih berusia 2 minggu, ia membawa
kabur anak tersebut pada pukul 10 malam.. 
Kakak saya tidak berani membayangkan anaknya tersayang akan diasuh ibu seperti
itu. 
Mohon bantuannya untuk memberikan saran, jalan apa yang harus kakak saya
tempuh, bukti2 yang harus diajukan, dll.. 
Thx

 2 mengikuti

 8 jawaban

Laporkan Penyalahgunaan

Jawaban
Peringkat

 Jawaban Terbaik:  Hi, 

saya membaca ulasan rekan @dani sudah betul, tetapi saya ingin menambahkan
bahwa untuk masalah rumah tangga kakak anda, maka banyak pihak yang harus
dilibatkan dalam hal ini. 

> hasil pemeriksaan psychiater, bila suami menduga istrinya ada kelainan jiwa. dan
ini tidak bisa didapatkan begitu saja, sebab siistri sendiri harus datang
memeriksakan dirinya kepada dokter umum dan dari sana ada rujukan ke dokter
spesialis dalam hal ini psychiater. 

tanpa bukti ini maka pernyataan lisan yg disampaikan kepada pihak pengadilan ''
tidak dapat dipakai sebagai bukti untuk penentuan atau mempengaruhi keputusan
hakim '' 

sebab hakim akan menyelidiki '' mengapa istri sampai lari dari rumah dengan
membawa bayi yg masih berusia 2 minggu !, dan sekarang mengapa dia lari kembali
dengan membawa anaknya yg sudah 1 tahun ! 

akan diselidiki pula unsur-unsur KDRT ? kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi, tekanan-tekanan serta intimidasi terselubung. 
hal-hal ini nantinya akan dikemukakan dalam sidang. 

mengapa @Della katakan demikian, agar keterangan atau saksi-saksi tidak berat
sebelah yang hanya merugikan pihak tertentu. dalam hal ini hakim ketua akan
menyelidiki dengan cermat. 

kesimpulannya kekhawatiran kakak anda harus juga disertai surat keterangan


dokter, tanpa ini maka kekhawatiran itu tidak beralasan. 
mengenai tindakan membawa kabur anak berusia 1 tahun tanpa sepengetahuan
suami sendiri, suami dapat melaporkan keadaan ini kepada pihak yg berwajib seperti
RT/RW dan polisi, surat keterangan ini sangat berguna untuk dipakai juga sebagai
kelengkapan bukti pada proses pengadilan, yang mendukung surat-surat keterangan
yang lain. 

> dalam keputusan pengadilan pada umumnya pemeliharaan dan perwalian


terhadap anak yang masih dibawah usia 12 tahun , akan diberikan kepada ibunya,
hal ini berdasarkan kompilasi hukum islam pasal 105 dan jurisprudensi mahkamah
agung. 

dengan perkecualain, bila ibu dibawah '' kemampuan tidak bisa merawat dan
mengasuh anaknya '' yang di kuatkan oleh surat keterangan dokter akhli, maka hak
asuh akan ditentukan oleh pengadilan. 

> bila kakak anda sudah mulai dengan pengajuan proses perceraian kepada KUA
setempat, lampirkan semua surat keterangan yang dibutuhkan, juga surat
keterangan dari psychiater tentang kesehatan istrinya. 
tentunya dalam hal ini surat itu belum bisa didapat oleh karena istrinya melarikan
diri dan belum pernah berkunjung kepada dokter spesialis.. 

semoga kakak anda mendapat kekuatan. 

thnx 

DELLA ANNA the Campanulla · 10 tahun yang lalu

Jempol ke atas

Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

dalam perceraian secara umum, hak asuh anak di bawah umur (biasanya di bawah
18 taun) berada di tangan ibu. 
TAPI hal ini masih bisa disimpangi... 

ayah BISA mendapat hak asuh atas anak di bawah umur BILA ayah bisa
membuktikan bahwa si ibu tidak layak mendapat hak asuh tersebut. 

syarat "tidak layak" itu bermacam2. 

seorang ibu bisa dikatakan "tidak layak" mendapat hak asuh karena tidak
mempunyai penghasilan tetap sehingga dikhawatirkan anak akan terlantar. memang
benar bahwa dalam sidang, si ayah juga akan dimintai tanggung jawabnya utk tetap
membiayai kehidupan si anak, tapi ALANGKAH BAIKNYA bila si ibu punya
penghasilan sendiri. 

seorang ibu bisa dikatakan "tidak layak" mendapat hak asuh karena kesehatan BILA
si ayah bisa membuktikan (dgn surat keterangan dokter yg pernah memeriksa)
bahwa kesehatan ibu (baik fisik maupun mental) memang tidak layak utk
membesarkan anak. 

apakah kakak ipar anda pernah berkonsultasi dgn psikolog mengenai kejiwaannya?
apakah kakak ipar anda pernah dirawat dokter karena ketidakstabilan emosinya?
apakah dia pernah melukai orang lain sehingga timbul luka2? 
kalo pernah, cobalah ditelusuri lagi. mungkin bisa dilihat dari jenis obat yg
diresepkan, ato menghubungi dokter yg pernah merawat utk minta ditunjukkan
catatan dari dokter tsb. 

kalo anda merasa ada sesuatu yg "tidak benar" dalam kejiwaan istri kakak anda,
anda HARUS BISA MEMBUKTIKAN itu. jangan hanya berdasarkan dugaan anda saja.
dugaan kakak anda tidak bisa membuktikan apa2 dalam sidang. 

kakak anda memang bisa menghadirkan saksi2 utk menguatkan dugaan nya, tapi
alangkah baiknya kalo kakak anda bisa memberikan bukti. 

tapi saat ini pun sebenarnya kakak anda bisa tetap meneruskan proses perceraian,
karena istri meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan suami bisa melemahkan
posisi si istri. 
apalagi dgn membawa anak... 
ini saja sudah menunjukkan bahwa istri tidak memiliki itikad utk menyelesaikan
masalah rumah tangga dgn baik...

Sumber:sekedar saran berdasarkan pengalaman. mohon digunakan demi kebaikan


anak.

dani · 10 tahun yang lalu

Jempol ke atas

 
0

Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

apakah tidak bisa jika diajukan ke pengadilan lalu pihak pengadilan yang
membuktikan gagguan kejiwaan tersebut . karena dalam kasus ini si ibu telah kabur
dari hal tersebut sulit untuk membuktikan bahwa sang ibu memiliki gagguan
kejiwaan.

Charles · 2 tahun yang lalu

Jempol ke atas

Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

klo da keterangan dan saksi yang mengatakan istri anda bermasalah ma kejiwaan
na.... 

bisa jadi hakim akan memtuskan hak asuh anak kepada anda.... 

icha · 10 tahun yang lalu

0
Jempol ke atas

Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kalau anda bisa membuktikan ketidakstabilan jiwa istri anda, mungkin ada harapan.

bantuin · 10 tahun yang lalu

Jempol ke atas

Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

jgn ibunya terus dong yg dipojokin maybe mang ada yg ga beres kali ma kakak lo
makanya bininya kelakuannya kaya gt

Sumber:pengalaman pribadi

esa · 10 tahun yang lalu

Jempol ke atas

Jempol ke bawah
Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Klau istri memiliki tabiat kurang baik harus dilihat penyebabnya, tidak berarti semua
itu adalah kesalahn istri semata. Suami jg hrs introspeksi diri....mungkin saja
penyebabnya berasal dari suami. Kedudukan suami bkn hny sebagai kepala keluarga
atau imam sj, tp hrs bisa memberi contoh baik & menjd teladan bg istri,
membimbing, menasihati & melindungi dgn tulus, pnh cinta & kasih, dan yg paling
penting adanya komunikasi dua arah atau bisa jg melakukan konseling bersama
sama.. 

Apabila sdh tdk ada jalan lain, selain bercerai, hak asuh anak bisa didapat apabila : 
1. Ibu tdk bekerja/tdk bisa menjamin kehidupan anaknya 
2. Membahayakan jiwa anak 
3. Pemabuk 
4. Penzinah 
5. Gila 
6. Sakit parah hingga tdk bisa mngurus anak 
7. Penjudi 

Tapi dlm aturan agama Islam, anak dibwh usia 12 thn adalah hak ibu untuk
mengurusnya, ayah mempunyai kewajiban menafkahi anaknya (untuk anak
prempuan smpai anak tsb menikah, untuk anak laki2 hingga dia akil bhaliq/tlh
mampu mencari nafkah sndr). 

Pihak ayah bisa mengajukan hak asuh anak kembali, setelah anak tersebut berusia
12 tahun atau ktk anak sdh bisa memilih, ikut terus dgn ibunya atau akan ikut dgn
ayahnya. 

Bisa juga diajukan kepada hakim agar hak asuh anak dibwh umur tetap pada ibunya
dan si ayah mendapatkan pula hak kunjungan atau hak untuk mengasuh anak
dalam waktu tertentu/hak asuh bersama.

caspiatiger · 10 tahun yang lalu

Jempol ke atas

0
Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

1 komentar


lha kan udh ada buktinya kalo si istri ada kelainan jiwa.. 
bawa buki tersebut ke pengadilan 
siapa tau kakak mu lah yg mendapat anaknya.. 
berdoa aza

fatima · 10 tahun yang lalu

 
Home
Hak Asuh Anak
Cara gugatan hak asuh anak seorang ayah dikabulkan pengadilan

CARA GUGATAN HAK ASUH ANAK SEORANG AYAH DIKABULKAN


PENGADILAN
 Garda Law Office  March 31, 2017  Hak Asuh Anak, Pengadilan, Perceraian  2
Comments
Sering kita mendengar kasus perceraian yang tidak selesai-selesai karena masalah
tuntut menuntut hak asuh anak, gugatan hak asuh anak sudah biasa dilayangkan
selama proses pengadilan. Sebenarnya apa itu gugatan hak asuh anak? Bagaimana
mekanismenya di mata hukum?

Pengertian gugatan hak asuh anak

Setiap gugatan yang diberikan kepada tergugat ada namanya alasan, untuk gugatan
hak asuh anak sendiri berarti penggugat menginginkan hak asuh anak dari si
tergugat. Penggugat dan tergugat ini biasanya adalah mantan suami dan mantan
istri. Gugatan hak asuh anak di ajukan setelah proses perceraian sebagai upaya
untuk melindungi, memelihara dan mendidik anak hasil pernikahan mereka. Kasus
yang sering terjadi orang tua terlalu  egois mementingkan egonya ketimbang anak
mereka, mereka akan berebut hak asuh anak karena tidak ingin sang mantan hidup
jauh lebih bahagia ketika sudah tidak bersama dia.

Mekanisme pengajuan gugatan hak asuh anak

Syarat yang harus dipenuhi penggugat untuk mengajukan surat permohonan kepada
pengadilan. Surat permohonan, dilengkapi dengan fotocopy kutipan akta cerai/ akta
nikah, akta kelahiran sang anak (apabila memiliki anak lebih dari satu maka semua
akta kelahiran diserahkan) dan membayar biaya pengajuan perkara.
Proses pengajuan gugatan

 Surat gugatan tertulis disampaikan kepada pihak pengadilan di wilayah tempat


tinggal atau bila tidak tahu dimana tempat pengadilan wilayah, surat gugatan
diajukan ke pengadilan agama

 Setelah membayar biaya pengajuan perkara dan melengkapi berkas-berkas si


penggugat akan diberikan nomor registrasi oleh panitera. Panitera yang akan
memutuskan majelis hakim dalam kasus gugatan hak asuh anak yang telah
disampaikan.

 Kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) di panggil oleh pengadilan untuk
menghadiri acara persidangan.

 Tahap persidangan

Dalam tahab persidangan ada mekanismenya yaitu:

1. Pada sidang pertama hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak
(penggugat dan tergugat). Jika perdamaian gagal selanjutnya dengan cara
mediasi, apa bila mediasi ternyata juga gagal, sidang akan dilanjutkan

2. Gugatan dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan gugatan yang


sebelumnya telah diberikan pihak penggugat

3. Tahab selanjutnya yaitu kedua belah pihak diajukan pertanyaan dan saling
memberikan jawabannya.

4. Pembuktian kebenaran dari apa yang telah disampaikan sebelumnya

5. Apabila pihak tergugat tidak terima maka bisa mengajukan gugat balik atau
gugat rekonvensi.

Point lima diambil apabila tergugat merasa tidak terima dengan hasil keputusan. Ada
catatan tambahan yaitu: apabila gugatan telah dikabulkan namun penggugat tidak
terima bisa mengajukan banding, dan apabila gugatan di tolak tidak bisa
mengajukan banding namun pihak penggugat masih bisa mengajukan gugatan hak
asuh anak baru.

Jika tidak ingin gugatan hak asuh anak ditolak (gugatan sang ayah)  ada sebaiknya
melakukan cara pembelaan diri yang berkaitan dengan Kompliasi Hukum Islam pasal
15 point c yang kesimpulan bunyinya yaitu

“jika seorang ibu atau seorang  ayah tidak dapat memberikan jaminan keselamatan
jasmani sertarohani anaknya, walaupun biaya nafkah sudah dipenuhi, maka atas
perintah dari orang tua yang lain (ayah/ibu) pengadilan agama dapat memindahkan
hak asuh anak kepada orang tua yang lain yang memiliki hak asuh anak pula”

Jika seorang ayah ingin gugatan hak asuh anak dikabulkan pengadilan maka buat
alasan yang tidak jauh dari pasal tersebut, seorang ayah jangan membuat alasan
mengenai masalah ekonomi misalnya ayah lebih mapan secara ekonomi sementara
mantan istrinya tidak bekerja  hal itu bisa kalah karena bunyi pasal 156 KHI point d
yang menyatakan bahwa biaya untuk pemeliharaan anak merupakan tanggung
jawab seorang ayah sampai anak dewasa dan bisa menghidupi dirinya sendiri, cara
tersebut dipakai untuk bisa memperoleh hak asuh anak yang berada di bawah usia
12 tahun karena dalam ketentuan KHI anak di bawah 12 tahun hak asuhnya berada
di tangan ibu.

26-08-2013 11:47

(Ask) Upaya Hak asuh anak jatuh ke Bapaknya


Para agan/aganwati yg ngerti hukum mohon pencerahan masalah yg sedang ane
hadapi ya...

Saya sudah menikah sudah sekitar 16 th dan sudah mempunyai 2 anak perempuan
tetapi untuk anak sulung kami karena sakit dan Tuhan punya rencana lain buat anak
sulung meninggal pada usia 18 bulan.
Dan adiknya sekarang berumur 9 th. dalam mengarungi rumah tangga selama itu
pastilah banyak sekali masalah rt yg kami hadapi.
Yang menjadi masalalah saat ini adalah saya ingin menceraikan istri saya.
Saya sehat jasmani rohani dan punya pekerjaan swasta tetap meskipun dg
penghasilan paspasan kami sudah punya rumah sendiri meskipun saat ini masih
belum lunas karena masih kredit di BTN dan istri adalah ibu rt biasa.
Alasan saya ingin bercerai adalah karena istri punya PIL

Bukti bukti yg bisa saya jelaskan antara lain :

1.Dari handphone istri yg banyak digunakan baik untuk telpon maupun SMS PIL nya,
sampai saat ini HP tsb masih saya pegang yg mungkin kelak bisa dijadikan barang
bukti di persidangan karene masih tersimpan log telpon masuk dan keluar serta
SMS2 dari PIL tsb.
2. Dari teman dan tetangga yg pernah melihat mereka pergi berboncengan saat
saya sedang bekerja.
3. Dari anak saya yg bisa dikatakan sering diajak makan bareng ibunya dan PIL tsb.
4. Dan masih ada beberapa bukti yg lain yg mengarah kalo istri punya PIL tetapi
terlalu panjang kalo ditulis semua.

Yang menjadi pertanyaan adalah:

1. Bagaimana caranya agar hak asuh anak yg masih 9 th bisa jatuh ke tangan saya
sebagai Bapaknya?
Karena Ibunya juga sangat ngotot ingin agar hak asuh ada padanya.
2. Bagaimana mengurus perceraian tanpa surat nikah karena surat nikah kami
terselip (waktu pindahan rumah)atau mungkin sengaja di sembunyikan istri ?

Saya sangat berterima kasih bila agan/aganwati yg ngerti hukum memberikan solusi
kepada saya.
 Multi Quote  Quote
 
More From KASKUS

7 Tanda Ilmiah Pada Anak yang

Kelak Menjadi Psikopat…The Lounge



Romantisnya Maria Ozawa Bersama

Sang Pacar yang…The Lounge



PromotedTahukah Kamu Macet

Disebabkan oleh Hal ini?…Inovasi Sosial : Hitachi



Sakit, Ohh... SakitThe Lounge

Recommended by
#2

Evo
Kaskus Addict
 – 
Join: 12-12-2004, Post: 2,827
26-08-2013 12:05

Quote:
Original Posted By sastro►Para agan/aganwati yg ngerti hukum mohon
pencerahan masalah yg sedang ane hadapi ya...

Saya sudah menikah sudah sekitar 16 th dan sudah mempunyai 2 anak perempuan
tetapi untuk anak sulung kami karena sakit dan Tuhan punya rencana lain buat anak
sulung meninggal pada usia 18 bulan.
Dan adiknya sekarang berumur 9 th. dalam mengarungi rumah tangga selama itu
pastilah banyak sekali masalah rt yg kami hadapi.
Yang menjadi masalalah saat ini adalah saya ingin menceraikan istri saya.
Saya sehat jasmani rohani dan punya pekerjaan swasta tetap meskipun dg
penghasilan paspasan kami sudah punya rumah sendiri meskipun saat ini masih
belum lunas karena masih kredit di BTN dan istri adalah ibu rt biasa.
Alasan saya ingin bercerai adalah karena istri punya PIL

Bukti bukti yg bisa saya jelaskan antara lain :


1.Dari handphone istri yg banyak digunakan baik untuk telpon maupun SMS PIL nya,
sampai saat ini HP tsb masih saya pegang yg mungkin kelak bisa dijadikan barang
bukti di persidangan karene masih tersimpan log telpon masuk dan keluar serta
SMS2 dari PIL tsb.
2. Dari teman dan tetangga yg pernah melihat mereka pergi berboncengan saat
saya sedang bekerja.
3. Dari anak saya yg bisa dikatakan sering diajak makan bareng ibunya dan PIL tsb.
4. Dan masih ada beberapa bukti yg lain yg mengarah kalo istri punya PIL tetapi
terlalu panjang kalo ditulis semua.

Yang menjadi pertanyaan adalah:

1. Bagaimana caranya agar hak asuh anak yg masih 9 th bisa jatuh ke tangan saya
sebagai Bapaknya?
Karena Ibunya juga sangat ngotot ingin agar hak asuh ada padanya.
2. Bagaimana mengurus perceraian tanpa surat nikah karena surat nikah kami
terselip (waktu pindahan rumah)atau mungkin sengaja di sembunyikan istri ?

Saya sangat berterima kasih bila agan/aganwati yg ngerti hukum memberikan solusi
kepada saya.

Sebelum lo nuduh istri lo punya PIL, coba lo cek dulu: apa istri lo pernah ML /
ngamar ama tuh orang? Atau cuma sekedar jalan aja?

Trus lo mau cerai n mau ambil hak asuh anak, emangnya lo udah tanya apa maunya
si anak?

Kalo lo emang punya cukup bukti bahwa istri lo selingkuh, lo bisa jadiin dasar untuk
minta hak asuh anak jatuh ke tangan lo, kok.

Masalah surat nikah, minta aja turunan surat nikah nya ke instansi yg menerbitkan
(KUA or Catsip)
 Multi Quote  Quote
#3

sastro
Kaskuser
 – 
Join: 24-01-2002, Post: 111
26-08-2013 14:24

Quote:
Original Posted By Evo►

Sebelum lo nuduh istri lo punya PIL, coba lo cek dulu: apa istri lo pernah ML /
ngamar ama tuh orang? Atau cuma sekedar jalan aja?

Trus lo mau cerai n mau ambil hak asuh anak, emangnya lo udah tanya apa maunya
si anak?

Kalo lo emang punya cukup bukti bahwa istri lo selingkuh, lo bisa jadiin dasar untuk
minta hak asuh anak jatuh ke tangan lo, kok.

Masalah surat nikah, minta aja turunan surat nikah nya ke instansi yg menerbitkan
(KUA or Catsip)

gan...ane ga asal nuduh istri punya PIL !!! kan dah ane sebutkan bukti2nya.
masalah ngamar/ml jujur ane ga punya bukti tapi ya apa mungkin mereka jalan aja
sembunyi2 masa mo ngamar malah ngasih tau ane " eh mi suami ane mo ngamar
ma PIL gue nih" 
rada pake logika gan kalo nanya.
 Multi Quote  Quote
KASKUS Ads - Create Your Ads / Buat Iklan
#4

clone.appo
Auto Banned
 – 
Join: 13-12-2010, Post: 2,932
26-08-2013 14:37

Quote:
Original Posted By sastro►Para agan/aganwati yg ngerti hukum mohon
pencerahan masalah yg sedang ane hadapi ya...

Saya sudah menikah sudah sekitar 16 th dan sudah mempunyai 2 anak perempuan
tetapi untuk anak sulung kami karena sakit dan Tuhan punya rencana lain buat anak
sulung meninggal pada usia 18 bulan.
Dan adiknya sekarang berumur 9 th. dalam mengarungi rumah tangga selama itu
pastilah banyak sekali masalah rt yg kami hadapi.
Yang menjadi masalalah saat ini adalah saya ingin menceraikan istri saya.
Saya sehat jasmani rohani dan punya pekerjaan swasta tetap meskipun dg
penghasilan paspasan kami sudah punya rumah sendiri meskipun saat ini masih
belum lunas karena masih kredit di BTN dan istri adalah ibu rt biasa.
Alasan saya ingin bercerai adalah karena istri punya PIL

Bukti bukti yg bisa saya jelaskan antara lain :

1.Dari handphone istri yg banyak digunakan baik untuk telpon maupun SMS PIL nya,
sampai saat ini HP tsb masih saya pegang yg mungkin kelak bisa dijadikan barang
bukti di persidangan karene masih tersimpan log telpon masuk dan keluar serta
SMS2 dari PIL tsb.
2. Dari teman dan tetangga yg pernah melihat mereka pergi berboncengan saat
saya sedang bekerja.
3. Dari anak saya yg bisa dikatakan sering diajak makan bareng ibunya dan PIL tsb.
4. Dan masih ada beberapa bukti yg lain yg mengarah kalo istri punya PIL tetapi
terlalu panjang kalo ditulis semua.

Yang menjadi pertanyaan adalah:

1. Bagaimana caranya agar hak asuh anak yg masih 9 th bisa jatuh ke tangan saya
sebagai Bapaknya?
Karena Ibunya juga sangat ngotot ingin agar hak asuh ada padanya.
2. Bagaimana mengurus perceraian tanpa surat nikah karena surat nikah kami
terselip (waktu pindahan rumah)atau mungkin sengaja di sembunyikan istri ?

Saya sangat berterima kasih bila agan/aganwati yg ngerti hukum memberikan solusi
kepada saya.

gw ga akan komentar masalah rumah tangga, karena itu bukan urusan gw. gw
hanya akan saran bila bertanya mungkin lebih tepat di forum wedding. mereka lebih
dewasa daripada penghuni melek hukum, yang rata-rata kencing aja belum lurus,
apalagi masalah rumah tangga. 

umumnya, hak asuh anak jatuh ke ibu, terutama bila masih balita. cara
membalikkan keadaan dari yang umum adalah meyakinkan majelis hakim pemeriksa
perkara perceraian bahwa si ibu bukan orang tua tunggal yang baik. misalnya bisa
dengan laporan polisi bahwa istri melakukan perzinahan. lebih bagus kalau ada bukti
atau saksi yang bisa bercerita dia mabok-mabokan atau hura-hura dengan pasangan
zinahnya. (ini salah satu keburukan mabok, sampe sekarang gw masih ga ngerti
sama orang yang mabok bangga. moderator yang ge er diem aja, gw ga nyindir elu
kok ). ujung-ujungnya gimana pinternya penasehat hukum/advokat yang lu
gunakan 
meyakinkan majelis hakim bahwa hak asuh anak jatuhnya ke tangan lu. entah
dengan permainan kata-kata, dan/atau fakta, atau mungkin juga dana segar.

ga ada surat nikah bukan masalah. lawyer yang bagus bakal bisa nyari jalan laen.
bisa bilang surat nikah hilang, misalnya. bikin laporan kehilangan aja, beres. kalau
mau lanjut bisa minta diterbitkan salinan surat nikah dari instansi yang berwenang.
atau dengan dokumen lain yang membuktikan kalian menikah, kartu keluarga
misalnya. atau dokumen asuransi mungkin? 

cari lawyer yang bener. ga semua lawyer yang mahal itu bener dan pinter. tapi
lawyer yang bener dan pinter jelas ga murah. lu mau perang hak asuh anak,
rebutan dengan ibunya si anak. perang lu ga mudah. cari lawyer yang bener dan
pinter, biar dia yang atur strategi detilnya.

sekian.
 Multi Quote  Quote
#5

toean.demang
Kaskus Addict
 – 
Join: 15-06-2013, Post: 1,125
26-08-2013 14:52

Quote:
Original Posted By clone.appo►

gw ga akan komentar masalah rumah tangga, karena itu bukan urusan gw. gw
hanya akan saran bila bertanya mungkin lebih tepat di forum wedding. mereka lebih
dewasa daripada penghuni melek hukum, yang rata-rata kencing aja belum lurus,
apalagi masalah rumah tangga. 

umumnya, hak asuh anak jatuh ke ibu, terutama bila masih balita. cara
membalikkan keadaan dari yang umum adalah meyakinkan majelis hakim pemeriksa
perkara perceraian bahwa si ibu bukan orang tua tunggal yang baik. misalnya bisa
dengan laporan polisi bahwa istri melakukan perzinahan. lebih bagus kalau ada bukti
atau saksi yang bisa bercerita dia mabok-mabokan atau hura-hura dengan pasangan
zinahnya. (ini salah satu keburukan mabok, sampe sekarang gw masih ga ngerti
sama orang yang mabok bangga. moderator yang ge er diem aja, gw ga nyindir elu
kok ). ujung-ujungnya gimana pinternya penasehat hukum/advokat yang lu
gunakan 
meyakinkan majelis hakim bahwa hak asuh anak jatuhnya ke tangan lu. entah
dengan permainan kata-kata, dan/atau fakta, atau mungkin juga dana segar.

ga ada surat nikah bukan masalah. lawyer yang bagus bakal bisa nyari jalan laen.
bisa bilang surat nikah hilang, misalnya. bikin laporan kehilangan aja, beres. kalau
mau lanjut bisa minta diterbitkan salinan surat nikah dari instansi yang berwenang.
atau dengan dokumen lain yang membuktikan kalian menikah, kartu keluarga
misalnya. atau dokumen asuransi mungkin? 

cari lawyer yang bener. ga semua lawyer yang mahal itu bener dan pinter. tapi
lawyer yang bener dan pinter jelas ga murah. lu mau perang hak asuh anak,
rebutan dengan ibunya si anak. perang lu ga mudah. cari lawyer yang bener dan
pinter, biar dia yang atur strategi detilnya.

sekian.

wow, tumben nih om sepuh ngasih opini tanpa rasa amarah.


 Multi Quote  Quote
#6

Evo
Kaskus Addict
 – 
Join: 12-12-2004, Post: 2,827
26-08-2013 16:43

Quote:
Original Posted By sastro►

gan...ane ga asal nuduh istri punya PIL !!! kan dah ane sebutkan bukti2nya.
masalah ngamar/ml jujur ane ga punya bukti tapi ya apa mungkin mereka jalan
aja sembunyi2 masa mo ngamar malah ngasih tau ane " eh mi suami ane
mo ngamar ma PIL gue nih" 
rada pake logika gan kalo nanya.

Bold: Walah2... Dibantuin malah nyolot. Gw kan ga bilang begitu. Maksud gw itu
kalo ada bukti istri lo ngamar / ML ama PIL nya itu, lebih bagus buat perebutan anak
lo. 
 Multi Quote  Quote
#7

oofauzan
Newbie
 – 
Join: 21-06-2013, Post: 11
26-08-2013 21:06

Agan buktikan di pengadilan, klw istri agan selingkuh. "istri yg selingkuh bukan ibu
yg baik"

 Multi Quote  Quote
#8
tertindasbank
Kaskuser
 – 
Join: 03-05-2013, Post: 294
26-08-2013 22:24

Quote:
Original Posted By oofauzan►Agan buktikan di pengadilan, klw istri agan
selingkuh. "istri yg selingkuh bukan ibu yg baik"

masalahny nih agan ts apa juga suami yg baik????

 Multi Quote  Quote
#9

tertindasbank
Kaskuser
 – 
Join: 03-05-2013, Post: 294
26-08-2013 22:36

 

Quote:
Original Posted By sastro►gan...ane ga asal nuduh istri punya PIL !!! kan dah ane
sebutkan bukti2nya.
masalah ngamar/ml jujur ane ga punya bukti tapi ya apa mungkin mereka jalan aja
sembunyi2 masa mo ngamar malah ngasih tau ane " eh mi suami ane mo ngamar
ma PIL gue nih" 
rada pake logika gan kalo nanya.

jawaban si ts ada yang ganjil nih.... ingatlah wahai engkau kaum adam pada
hakekatnya kaum hawa tercipta didunia untuk menemani sang adam, gan kalo oleh
tanya nih untuk agan ts yah.... agan seminggu ml berapa kali sama istri agan?

 Multi Quote  Quote
#10

Evo
Kaskus Addict
 – 
Join: 12-12-2004, Post: 2,827
27-08-2013 09:44

Quote:
Original Posted By tertindasbank►

jawaban si ts ada yang ganjil nih.... ingatlah wahai engkau kaum adam pada
hakekatnya kaum hawa tercipta didunia untuk menemani sang adam, gan kalo oleh
tanya nih untuk agan ts yah.... agan seminggu ml berapa kali sama istri agan?

Hadeh.... Ini malah nanya soal ML.... 


 Multi Quote  Quote
#11

amdar
Kaskus Addict
 – 
Join: 13-04-2007, Post: 2,896
27-08-2013 10:04

Quote:
Original Posted By clone.appo►

gw ga akan komentar masalah rumah tangga, karena itu bukan urusan gw. gw
hanya akan saran bila bertanya mungkin lebih tepat di forum wedding. mereka lebih
dewasa daripada penghuni melek hukum, yang rata-rata kencing aja belum lurus,
apalagi masalah rumah tangga. 

umumnya, hak asuh anak jatuh ke ibu, terutama bila masih balita. cara
membalikkan keadaan dari yang umum adalah meyakinkan majelis hakim pemeriksa
perkara perceraian bahwa si ibu bukan orang tua tunggal yang baik. misalnya bisa
dengan laporan polisi bahwa istri melakukan perzinahan. lebih bagus kalau ada bukti
atau saksi yang bisa bercerita dia mabok-mabokan atau hura-hura dengan pasangan
zinahnya. (ini salah satu keburukan mabok, sampe sekarang gw masih ga ngerti
sama orang yang mabok bangga. moderator yang ge er diem aja, gw ga nyindir elu
kok ). ujung-ujungnya gimana pinternya penasehat hukum/advokat yang lu
gunakan 
meyakinkan majelis hakim bahwa hak asuh anak jatuhnya ke tangan lu. entah
dengan permainan kata-kata, dan/atau fakta, atau mungkin juga dana segar.

ga ada surat nikah bukan masalah. lawyer yang bagus bakal bisa nyari jalan laen.
bisa bilang surat nikah hilang, misalnya. bikin laporan kehilangan aja, beres. kalau
mau lanjut bisa minta diterbitkan salinan surat nikah dari instansi yang berwenang.
atau dengan dokumen lain yang membuktikan kalian menikah, kartu keluarga
misalnya. atau dokumen asuransi mungkin? 

cari lawyer yang bener. ga semua lawyer yang mahal itu bener dan pinter. tapi
lawyer yang bener dan pinter jelas ga murah. lu mau perang hak asuh anak,
rebutan dengan ibunya si anak. perang lu ga mudah. cari lawyer yang bener dan
pinter, biar dia yang atur strategi detilnya.

sekian.

salut ane ama agan satu ini........

*votecloneformoderator
 Multi Quote  Quote
#12

clone.appo
Auto Banned
 – 
Join: 13-12-2010, Post: 2,932
27-08-2013 10:45

dar, lu ngedit ya? tadi bukan itu post lu..... :


 Multi Quote  Quote
#13
tertindasbank
Kaskuser
 – 
Join: 03-05-2013, Post: 294
27-08-2013 11:27

Quote:
Original Posted By Evo►Hadeh.... Ini malah nanya soal ML.... 

untuk agan evo yth ......


kualitas ml dan kuantitas ml emang diperlukan dalam menentukan suatu
keharmonisan dalam keluarga......

katakan anda seorang wanita yang sudah petnah mengenal ml istilah kasarnya
janda... gampang banget kan gaetnya? cuman disini yg saya tanyakan jandanya
resmi atau tidak ( saya gunakan bahasa manipulasi kebenaran ) 

mungkin istri si agan ts tidak mendapatkan hal tsb ( kuantitas ) atau mendapat tapi
sukcep ...sukur tancep ( kualitas gak ada mesra2xan dll ) abis gituan langsung tidur
punggung2xan.

jadi ada baiknya nih agan ts instropeksi kenapa wanita atau istri sampai memiliki pil
karena gak mungkin donk kalo dia baik baik saja kemudian cuman gara2x sms
dijadikan bukti gugatan perceraian?

untuk agan ts ingat deh anak kamu kira kamu cerai terus mau apa? anak kamu kalo
tanya bagaimana? semua kita bisa lawan gan kecuali 1 yaitu waktu.. karena wktu
akan jawab semuanya..

utuhkan lagi keluarga agan jangan sampai anak agan jadi seperti yang saya alamin
sewaktu gw masih kecil, thats true story of my life, emang wanita kegap sekali aja
langsung yang laki marah minta cerai dll, tapi apakah agan ts ini jujur srlama 19
tahun atau 16 tahun mengarungi bahtera keluarga gak pernah jajan???

 Multi Quote  Quote
#14
Evo
Kaskus Addict
 – 
Join: 12-12-2004, Post: 2,827
27-08-2013 11:37

Quote:
Original Posted By tertindasbank►

untuk agan evo yth ......


kualitas ml dan kuantitas ml emang diperlukan dalam menentukan suatu
keharmonisan dalam keluarga......

katakan anda seorang wanita yang sudah petnah mengenal ml istilah kasarnya
janda... gampang banget kan gaetnya? cuman disini yg saya tanyakan jandanya
resmi atau tidak ( saya gunakan bahasa manipulasi kebenaran ) 

mungkin istri si agan ts tidak mendapatkan hal tsb ( kuantitas ) atau mendapat tapi
sukcep ...sukur tancep ( kualitas gak ada mesra2xan dll ) abis gituan langsung tidur
punggung2xan.

jadi ada baiknya nih agan ts instropeksi kenapa wanita atau istri sampai memiliki pil
karena gak mungkin donk kalo dia baik baik saja kemudian cuman gara2x sms
dijadikan bukti gugatan perceraian?

untuk agan ts ingat deh anak kamu kira kamu cerai terus mau apa? anak kamu kalo
tanya bagaimana? semua kita bisa lawan gan kecuali 1 yaitu waktu.. karena wktu
akan jawab semuanya..

utuhkan lagi keluarga agan jangan sampai anak agan jadi seperti yang saya alamin
sewaktu gw masih kecil, thats true story of my life, emang wanita kegap sekali aja
langsung yang laki marah minta cerai dll, tapi apakah agan ts ini jujur srlama 19
tahun atau 16 tahun mengarungi bahtera keluarga gak pernah jajan???
Tapi ga penting juga kale ditanyain di thread... -_- Mendingan kan kasi aja bahan
buat introspeksi diri, trus suruh introspeksi diri sendiri. 
 Multi Quote  Quote
#15

dedenmayaden
Kaskus Addict
 – 
Join: 24-10-2005, Post: 2,290
27-08-2013 11:54

Quote:
Original Posted By tertindasbank►

untuk agan ts ingat deh anak kamu kira kamu cerai terus mau apa? anak kamu kalo
tanya bagaimana? semua kita bisa lawan gan kecuali 1 yaitu waktu.. karena wktu
akan jawab semuanya..

utuhkan lagi keluarga agan jangan sampai anak agan jadi seperti yang saya alamin
sewaktu gw masih kecil, thats true story of my life, emang wanita kegap sekali aja
langsung yang laki marah minta cerai dll, tapi apakah agan ts ini jujur srlama 19
tahun atau 16 tahun mengarungi bahtera keluarga gak pernah jajan???

tergantung ortunya sih gan sama pilihan hidup yang diambil anaknya nanti..
bersama jg blom tentu anaknya bener/bahagia.. tapi emaknya ampe ngajak makan
si anak ama PIL.. itu aja udah ga bener.. 
 Multi Quote  Quote
#16
tertindasbank
Kaskuser
 – 
Join: 03-05-2013, Post: 294
27-08-2013 11:57

Quote:
Original Posted By Evo►Tapi ga penting juga kale ditanyain di thread... -_-
Mendingan kan kasi aja bahan buat introspeksi diri, trus suruh introspeksi diri
sendiri. 

lah niku maksud kulo om..... cuman kan emang gw hatus jelaskan dengan cara
infonesian tipikal panjang lama dan harus ada penjelasan dan juga harus ada contoh
kasus yang bertele tele om....

kalo andaikata gw cuman bilang lu ngaca aja deh sudah bener gak lu lakuin tsb
makna ngaca banyak toh om.... jadi saya ambil kesimpulan untuk lebih menjelaskan
dengan bertele tele aja deh om... karena gw ambil semboyan hsbc bank yang

bertradisi anda......

oke kita ambil satu contoh yah om evo, mengapa saya katakan indonesian tipikal,
yamaha.... selalu terdepan purna jual yang tingi gw rasa ini adanya cuman
diindonesia mungkin om evo ngarti maksud saya

 Multi Quote  Quote
#17

toean.demang
Kaskus Addict
 – 
Join: 15-06-2013, Post: 1,125
27-08-2013 12:22

 agan tertindasbank nih udah kayak dr boyke kulihat.


emang hubungannya apa gan ML ama minta cerai, emang kualitas dan kuantitas ML
menjamin pasutri takkan bercerai.
 Multi Quote  Quote
#18

tertindasbank
Kaskuser
 – 
Join: 03-05-2013, Post: 294
27-08-2013 21:06

Quote:

Original Posted By toean.demang►  agan tertindasbank nih udah kayak


dr boyke kulihat.
emang hubungannya apa gan ML ama minta cerai, emang kualitas dan kuantitas ML
menjamin pasutri takkan bercerai.

kurleb begitu gan..... kalo agan kagak percaya.... percayalahh...


maksa nih ye........ tuh buktinya ts gak nongol setelah gw tanya masalah kualitas

dan kuantitas..... 
seperti lagu air suply making love is a nothing at all tetap intinya bercinta bukan
segala galanya tetapi dilagu tsb making love malah ditekankan dijadikan judul
pula.... 

gw sekarang bingung deh mau jurusan sastra atau hukum yah

lanjut balll.....

 Multi Quote  Quote
#19

palti.raja
Auto Banned
 – 
Join: 22-07-2013, Post: 347
27-08-2013 21:57

sedikit nimbrung,

TS harus ingat perceraian hanya memutuskan perkimpoian, hubungan anak dan


orang tua tetap dan tidak putus. jadi kalau ada perselisihan tentang pengasuhan
anak, kepada siapa hak asuh diberikan, ukurannya adalah kepentingan terbaik anak.
orang tua tetap wajib membiayai semampunya agar anak cukup tumbuh kembang
sewajarnya. anak bukan piala bergilir yg diperebutkan. berlomba lombalah
memberikan kepentingan terbaik bagi anak.

 Multi Quote  Quote
#20

cinut2
Auto Banned
 – 
Join: 08-08-2013, Post: 733
27-08-2013 23:19

Quote:
Original Posted By palti.raja►sedikit nimbrung,

TS harus ingat perceraian hanya memutuskan perkimpoian, hubungan anak dan


orang tua tetap dan tidak putus. jadi kalau ada perselisihan tentang pengasuhan
anak, kepada siapa hak asuh diberikan, ukurannya adalah kepentingan terbaik anak.
orang tua tetap wajib membiayai semampunya agar anak cukup tumbuh kembang
sewajarnya. anak bukan piala bergilir yg diperebutkan. berlomba lombalah
memberikan kepentingan terbaik bagi anak.

oke itu sudah

Pertanyaan :
Bayi Ikut Bapak atau Ibu?
Saya ingin menggugat cerai, karena perlakuan dari suami yang tidak pantas. Setiap
beradu mulut, suami selalu memaki-maki saya dan mengancam cerai. Saya barusan
melahirkan, dan bayi kami baru berusia 1,5 bulan. Suami tidak mempunyai kerjaan,
sedangkan saya bekerja. Selama ini kami tinggal di rumah mertua saya yang terlalu
kecil. Sementara ini, saya dan bayi tinggal di rumah orang tua saya. Siapakah yang
berhak atas bayi? Haruskah saya memberi suami saya hak untuk melihat anaknya
setelah cerai nanti?
Jawaban :
1.      Sebelum berbicara mengenai hak, penting untuk kita ketahui bahwa putus
perkawinan karena perceraian tidak menghapus kewajiban ibu dan bapak untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya.
 
Sesuai Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan(“UUP”), yang berbunyi:

“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik


anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya”
 
Mengenai hak asuh anak, pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan
pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu, kecuali pengadilan memutuskan
untuk kepentingan terbaik bagi anak, hak pengasuhan jatuh kepada bapak. Hal
ini berdasarkan pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang
mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah
anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk
diasuh oleh ayah atau ibunya.
 
Adapun pihak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak. Namun, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Demikian ketentuan Pasal
41 huruf b UUP.
 
2.      Walaupun telah bercerai, bapak dari si anak tetap memiliki hak atas anak.
Hak bapak atas anak yang karena perceraian berada dalam pengasuhan ibu
antara lain;
-         hak berkunjung berdasarkan putusan pengadilan,
-         hak mendapat penghormatan dari anak (lihat Pasal 46 UUP),
-         hak menjadi wali nikah bila anak (perempuan) melangsungkan
perkawinan (lihat Pasal 21 ayat [1] Kompilasi Hukum Islam/KHI), dan
-         hak waris (lihat Pasal 174 KHI).
 
Sekedar menambahkan, bahwa untuk mengajukan gugatan cerai, harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
isteri (lihat Pasal 39 ayat [2] UUP). Alasan-alasan perceraiandapat anda simak
“Perceraian & Anak di Luar Nikah” disini. Lebih lanjut mengenai perceraian juga
dapat Anda simak di artikel Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.      Kompilasi Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai