Kepada Yth.
Ibu Jean Yaputra
Di Tempat
A. LATAR BELAKANG
Bahwa berdasarkan penuturan Ibu Jean Yaputra kepada salah satu tim konsultan hukum
pada Kantor Hukum Susan Himawan & Associates (Advocates & Bussines Law Consultants),
dapat kami tarik informasi seperti berikut:
- Bahwa Ibu Jean Yaputra telah menikah dan dikaruniakan dua anak yang keduanya
masing-masing berumur 3 (tiga) tahun dan (enam) bulan, yang mana masing-masing
masih berumur dibawah 12 tahun (dua belas tahun);
- Bahwa menurut keterangannya, suaminya berprofesi sebagai dokter yang bertipikal
pekerja keras atau sering disebut sebagai Workaholic;
- Bahwa karena suaminya bertipikal Workaholic, suaminya seringkali lebih mementingkan
pekerjaan secara berlebihan dari pada keluarga, sehingga melalaikan kewajibannya
sebagai suami dalam keluarga;
- Bahwa menurut keterangannya suaminya tidak lagi memperlakukan istrinya
sebagaimana semestinya;
- Bahwa menurut keteranganya, suaminya melakukan tindakan-tindakan tanpa
persetujuan istri;
- Bahwa menurut keterangannya suaminya sudah lalai dalam memberikan nafkah kepada
kedua anaknya, terlebih lagi untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi
anak guna memenuhi kebutuhan tumbuh dan kembangnya seorang anak;
- Bahwa setelah menerangkan sebagaimana tersebut diatas, Ibu Jean yaputra ingin
mempertanyakan perihal hak asuh anak sebagai suatu konsekuensi dari perceraian.
B. ISU HUKUM
1. Bagaimana kedudukan hak asuh anak menurut hukum apabila terjadi perceraian?
C. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan; dan
4. Yurisprudensi.
D. ANALISA HUKUM
Setelah mendengarkan keterangan sebagaimana tersebut diatas, maka Tim Kami telah
menganalisa dan menerangkan sebagai berikut:
Berdasarkan uraian tersebut diatas, menurut kami keterangan yang disampaikan Ibu Jean
Yaputra sudah sangat beralasan guna mengajukan gugatan cerai terhadap suami. Mengingat
juga, suami tidak lagi memperlakukan istri sebagaimana mestinya dan tidak memberikan
nafkah lahir dan nafkah batin secara rutin sesuai kemampuannya. Lebih lanjut, mengenai
Workaholic dapat saja dijadikan alasan telah terjadinya suatu perselisihan ataupun
pertengkaran. Misalnya, merujuk pada Putusan Nomor: 352/Pdt.G/2018/PN.JKT.Utr. Pada
putusan tersebut diterangkan bahwa Tergugat (suami) selalu bekerja hingga larut malam
ataupun pulang saat pagi, terlebih lagi Tergugat (suami) tidak pernah mempercayakan
gaji/pendapatannya kepada istri serta ketika diminta selalu dibilang habis.
Disamping itu, akibat dari perceraian tidak membatasi hak-hak anak yang harus diperoleh
olehnya sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak bahwa anak berhak untuk:
a) Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang
tuanya;
b) Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk
proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat
dan minatnya;
c) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan
d) Memperoleh hak anak lainnya.
Mengenai hak asuh, walaupun secara normatif tidak dinyatakan secara eksplisit kepada
siapa (suami/istri) hak asuh anak diberikan. Sehingga menurut kami, berdasarkan sumber
hukum Yurisprudensi, pertimbangan hak asuh anak jatuh ketangan Ibunya. Adapun kaidah
hukum yang mendasari adalah Putusan Mahkamah Agung No. 126/K/Pdt/2001 yang
menyatakan bahwa: “Bila terjadi perceraian, anak yang masih dibawah umur
pemeliharaannya seyogyanya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si
anak yaitu Ibu”.
Demikian legal opinion atau pendapat hukum ini kami buat berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, kami sampaikan agar dapat
digunakan sebagaimana mestinya, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih
Hormat kami,
SUSAN HIMAWAN & ASSOCIATES
Advocates & Business Law Consultans