Anda di halaman 1dari 3

Surabaya, 07 April 2021

No. 002 / LO / SH - ASC / IV / 2021

Kepada Yth.
Ibu Jean Yaputra
Di Tempat

HAL : LEGAL OPINION

A. LATAR BELAKANG
Bahwa berdasarkan penuturan Ibu Jean Yaputra kepada salah satu tim konsultan hukum
pada Kantor Hukum Susan Himawan & Associates (Advocates & Bussines Law Consultants),
dapat kami tarik informasi seperti berikut:
- Bahwa Ibu Jean Yaputra telah menikah dan dikaruniakan dua anak yang keduanya
masing-masing berumur 3 (tiga) tahun dan (enam) bulan, yang mana masing-masing
masih berumur dibawah 12 tahun (dua belas tahun);
- Bahwa menurut keterangannya, suaminya berprofesi sebagai dokter yang bertipikal
pekerja keras atau sering disebut sebagai Workaholic;
- Bahwa karena suaminya bertipikal Workaholic, suaminya seringkali lebih mementingkan
pekerjaan secara berlebihan dari pada keluarga, sehingga melalaikan kewajibannya
sebagai suami dalam keluarga;
- Bahwa menurut keterangannya suaminya tidak lagi memperlakukan istrinya
sebagaimana semestinya;
- Bahwa menurut keteranganya, suaminya melakukan tindakan-tindakan tanpa
persetujuan istri;
- Bahwa menurut keterangannya suaminya sudah lalai dalam memberikan nafkah kepada
kedua anaknya, terlebih lagi untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi
anak guna memenuhi kebutuhan tumbuh dan kembangnya seorang anak;
- Bahwa setelah menerangkan sebagaimana tersebut diatas, Ibu Jean yaputra ingin
mempertanyakan perihal hak asuh anak sebagai suatu konsekuensi dari perceraian.

B. ISU HUKUM
1. Bagaimana kedudukan hak asuh anak menurut hukum apabila terjadi perceraian?

C. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan; dan
4. Yurisprudensi.

D. ANALISA HUKUM
Setelah mendengarkan keterangan sebagaimana tersebut diatas, maka Tim Kami telah
menganalisa dan menerangkan sebagai berikut:

PERIHAL: HAK ASUH ANAK

Secara elementer konsekuensi logis atas terjadinya perceraian di pengadilan mengakibatkan


pengadilan memutus dan/atau menetapkan mengenai perceraian, nafkah, hak asuh dan
harta gono-gini, namun pada legal opinion ini akan difokuskan mengenai hak asuh
anak. Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perceraian harus
didasarkan pada alasan yang cukup, oleh karena itu sebagaimana Pasal 19 huruf (f) PP No.
9 Tahun 1975 salah satu alasan gugatan perceraian yaitu “Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perselisihan atau
pertengkaran tersebut terjadi karena suami/istri telah lalai memenuhi kebutuhan hidup
baik secara lahiriah maupun batiniah.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, menurut kami keterangan yang disampaikan Ibu Jean
Yaputra sudah sangat beralasan guna mengajukan gugatan cerai terhadap suami. Mengingat
juga, suami tidak lagi memperlakukan istri sebagaimana mestinya dan tidak memberikan
nafkah lahir dan nafkah batin secara rutin sesuai kemampuannya. Lebih lanjut, mengenai
Workaholic dapat saja dijadikan alasan telah terjadinya suatu perselisihan ataupun
pertengkaran. Misalnya, merujuk pada Putusan Nomor: 352/Pdt.G/2018/PN.JKT.Utr. Pada
putusan tersebut diterangkan bahwa Tergugat (suami) selalu bekerja hingga larut malam
ataupun pulang saat pagi, terlebih lagi Tergugat (suami) tidak pernah mempercayakan
gaji/pendapatannya kepada istri serta ketika diminta selalu dibilang habis.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, jika nantinya berakhir kepada perceraian, maka


kewajiban suami & istri sebagaimana Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
maka:
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b) Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Disamping itu, akibat dari perceraian tidak membatasi hak-hak anak yang harus diperoleh
olehnya sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak bahwa anak berhak untuk:
a) Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang
tuanya;
b) Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk
proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat
dan minatnya;
c) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan
d) Memperoleh hak anak lainnya.

Mengenai hak asuh, walaupun secara normatif tidak dinyatakan secara eksplisit kepada
siapa (suami/istri) hak asuh anak diberikan. Sehingga menurut kami, berdasarkan sumber
hukum Yurisprudensi, pertimbangan hak asuh anak jatuh ketangan Ibunya. Adapun kaidah
hukum yang mendasari adalah Putusan Mahkamah Agung No. 126/K/Pdt/2001 yang
menyatakan bahwa: “Bila terjadi perceraian, anak yang masih dibawah umur
pemeliharaannya seyogyanya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si
anak yaitu Ibu”.
Demikian legal opinion atau pendapat hukum ini kami buat berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, kami sampaikan agar dapat
digunakan sebagaimana mestinya, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih

Hormat kami,
SUSAN HIMAWAN & ASSOCIATES
Advocates & Business Law Consultans

SUSAN HIMAWAN, S.H., M.A.

Anda mungkin juga menyukai