Anda di halaman 1dari 5

2.

3 Analisis Putusan Terhadap Kasus Hak Asuh Anak antara Kimin Tanoto dam Kim J
un Hee
Kimin Tanoto dan Kim Jun Hee merupakan pasangan beda kewarganegaraan yang
melaksanakan perkawinan di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1999 di Vihara Mahavira
Graha Pusat Jakarta Utara. Perkawinan tersebut telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil
Kabupaten Bekasi sebagaimana terbukti dalam Kutipan Akta Perkawinan No.02/1999 tanggal
18 Februari 2000 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bekasi. Kimin
Tanoto adalah seorang warga negara Indonesia (WNI) dan Kim Jun Hee adalah seorang
warga negara Amerika. Dari perkawinan ini, Kimin Tanoto dan Kim Jun Hee dikaruniai tiga
orang anak, yaitu Ariel Young Tanoto, Kaylee Faith Tanoto, dan Emily Hope Tanoto.

Perkawinan campuran antara Kimin Tanoto dan Kim Jun Hee telah putus berdasarkan
Putusan Pengadilan Singapura No.DT4907/2008/N tanggal 11 Maret 2010 dan telah
dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bekasi
sebagaimana terbukti dalam Kutipan Akta Perceraian No.08/BKS/2010 tanggal 19 Mei 2010.
Namun, kuasa asuh terhadap anak-anak belum ditentukan sehingga ketiga anak-anak berada
dalam pengawasan Kim Jun Hee yang terakhir diketahui bertempat tinggal di Singapura. Kim
Jun Hee terakhir kali diketahui beralamat di 3 Grange Garden, The Grange #07-01 Singapore
249633 dan sekarang tidak diketahui pasti alamat pastinya berada dimana. Sedangkan Kimin
Tanoto bertempat tinggal di Tangsi RT 004/RW 006 Kelurahan Sukadanu, Kecamatan
Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Kimin Tanoto yang tidak diberikan akses untuk menemui
dan mengasuh ketiga anaknya kemudian mengajukan gugatan hak asuh anak atas ketiga
anaknya dengan surat gugatan tanggal 10 September 2018, yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 September 2018, di bawah Register Nomor:
502/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst.

Menurut pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, orang tua memiliki
kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 1 Kewajiban ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan tetap berlaku meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus. UU No. 1 Tahun 1974 memang tidak mengatur
secara khusus hak asuh anak pasca perceraian. Namun, dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun
1974, dijelaskan bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Apabila terdapat perselisihan
mengenai penguasaan anak, maka pengadilanlah yang akan memberi putusan kepada siapa
1
Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
penguasaan atas anak itu diberikan.2 Menurut pasal 105 KHI, hak asuh atas anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun merupakan hak ibunya. Jika anak tersebut sudah
berusia 12 tahun, maka anak akan diberikan hak untuk memilih siapa yang menjadi
pemegang hak asuhnya, apakah ayahnya atau ibunya. 3 Adapun menurut Putusan Mahkamah
Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan, “Berdasarkan
yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang
diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang
menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara
anaknya.”4 Selain Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975,
terdapat putusan lain yang menyatakan bahwa sudah sewajarnya hak asuh atas anak di bawah
umur jatuh di tangan ibu, yakni Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal
28 Agustus 2003 yang menyatakan bahwa “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah
umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si
anak, yaitu ibu.”5 Adapun hal-hal yang mendasari pembatalan/pencabutan hak asuh anak
adalah Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, yakni apabila orang tua melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan
tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.6

Dalam kasus ini, diketahui bahwa akses Penggugat terhadap ketiga anak telah dibatasi
oleh Tergugat. Penggugat sampai harus melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib di
Singapura. Hal ini dibuktikan dengan Laporan Polisi sebagaimana disebutkan dibawah ini:

a. Laporan Polisi yang diajukan oleh Penggugat tanggal 20 Oktober 2008;


b. Laporan Polisi yang diajukan oleh Penggugat tanggal 24 September 2011;
c. Laporan Polisi yang diajukan oleh Penggugat tanggal 22 Oktober 2011;
d. Laporan Polisi yang diajukan oleh Penggugat tanggal 4 November 2011

Pengugat sebagai seorang ayah kandung dari ketiga anak telah membuktikan bahwa ia
menjalankan tanggung jawab untuk menafkahi ketiga anak Pengugat secara rutin dengan
mengirimkan uang nafkah yang jumlahnya lebih dari cukup untuk kebutuhan dasar dan
pendidikan kepada ketiga anak Penggugat tersebut melalui Tergugat. Dengan adanya
tindakan-tindakan Tergugat yang tidak memberikan akses dan menghambat Penggugat untuk

2
Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam
4
Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975
5
Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003
6
Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
menemui dan memberikan pengasuhan terhadap ketiga anak Pengugat diatas telah
membuktikan bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan hukum dan telah melanggar hak
anak untuk mendapatkan pengasuhan dari ayah kandung mereka yang tidak tergantikan oleh
manusia manapun. Gugatan kuasa asuh ini juga dikuatkan dengan surat pernyataan yang
dibuat oleh anak-anak Penggugat yang pada intinya menginginkan untuk tinggal dan hidup
dibawah pengasuhan Penggugat selaku ayah kandung.

Dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 502/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst, terdapat bukti


berupa keterangan saksi atas nama Siti Muyasaroh yang pernah bekerja sebagai asisten rumah
tangga penggugat dan tergugat dan setelah penggugat dan tergugat bercerai. Berdasarkan
kesaksian yang diberikan, dinyatakan bahwa tergugat menghalang-halangi penggugat untuk
bertemu dengan anak-anaknya dengan berbagai alasan. Frekuensi pertemuan penggugat
dengan anak-anaknya dikurangi dari yang awalnya tiga kali seminggu menjadi sekali
seminggu kemudian menjadi dua minggu sekali tanpa adanya alasan yang jelas. Kemudian,
tergugat pernah menghalangi kepergian penggugat dengan anak-anaknya dengan menolak
memberikan paspor anak-anaknya ketika hendak berangkat ke luar negeri. Tergugat juga
pernah mengurung anak-anaknya selama seminggu tanpa alasan yang jelas serta pernah
menghalangi penggugat bertemu dengan anak-anaknya dengan cara menendang penggugat di
depan ketiga anaknya dan saksi. Dalam urusan mengurus anak, tergugat menyerahkan
sebagian besar tugasnya kepada saksi selaku asisten rumah tangga. Tergugat sering
meninggalkan anak-anaknya ke Amerika Serikat selama beberapa hari tanpa memberitahukan
alasannya kepada anak-anaknya. Ketika anak-anaknya sakit, tergugat tidak pernah lagi
mengantarkan anak-anaknya untuk berobat ke dokter ataupun rumah sakit dan menyuruh
saksi yang melakukannya. Tergugat juga sering kali membentak, berteriak dan memukul
meja jika sedang marah sehingga membuat anak-anaknya takut karena hal-hal sepele,
misalnya ketika anak-anaknya tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Menurut kesaksian Siti
Muyasaroh, penggugat memenuhi kewajibannya untuk memenuhi biaya hidup ketiga
anaknya termasuk biaya uang sekolah yang dibayarkan langsung oleh penggugat. Penggugat
juga rutin mengunjungi anak-anaknya meski lama kelamaan dihalang-halangi oleh tergugat.

Menurut kesaksian Limwaty Lie, ibu dari penggugat, alasan perceraian penggugat dan
tergugat bercerai adalah karena sering bertengkar diakibatkan tergugat yang emosional dan
temperamental. Selain itu, tergugat tidak bekerja dan hanya mengandalkan dukungan
financial dari penggugat dan/atau keluarga penggugat. Menurut sepengetahuan saksi, biaya
yang diberikan oleh penggugat kepada tergugat setiap bulannya sekitar $10,000 (sepuluh ribu
dolar Singapura).

Berdasarkan kesaksian yang terlampir pada Putusan PN Jakarta Pusat Nomor


502/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst, dapat dilihat bahwa tergugat melalaikan kewajibannya sehingga
hak asuhnya dapat dicabut. Menurut Pasal 13 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain yang berkewajiban atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik dari ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, serta ketidakadilan dan perbuatan salah lainnya. 7
Kewajiban-kewajiban yang dilalaikan oleh tergugat itu antara lain seperti tidak membiarkan
anak-anaknya bertemu dengan ayahnya yakni si penggugat, menelantarkan anak-anaknya
dengan sering bepergian ke Amerika Serikat tanpa alasan yang jelas serta tidak mengantarkan
anak-anaknya ke sekolah, tidak mengantarkan anak-anaknya ke rumah sakit ataupun
membuat janji dengan dokter ketika anak-anaknya sakit. Selain itu, berdasarkan keterangan
saksi, tergugat merupakan orang yang emosional dan temperamental. Diakibatkan oleh
sikapnya yang temperamental itu, tergugat bercerai dengan penggugat dan dalam mengasuh
anak pun sering kali marah karena hal-hal sepele sehingga anak-anaknya takut.

Oleh karena itu, berpatokan kepada ketiga sumber hukum yang sebelumnya telah
dijelaskan dan kronologi di atas, maka meskipun seharusnya hak asuh anak seharusnya jatuh
kepada sang ibu yang posisinya dalam persidangan adalah sebagai yang tergugat, yakni Kim
Jun Hee, akan tetapi, apabila kita memperhatikan kembali isi Putusan Mahkamah Agung RI
No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975, dikatakan bahwa ibu memang menjadi patokan
perwalian anak kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara
anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa ada hal-hal yang dapat dijadikan alasan mengapa hak
asuh anak bisa jatuh ke tangan ayah.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam mengadili kasus ini mengeluarkan Putusan PN
Jakarta Pusat Nomor 502/Pdt.G/2018/PN Jakarta Pusat. Dalam putusan ini, gugatan si
penggugat diterima dan dikabulkan sebagian dengan verstek dikarenakan si tergugat yakni
Kim Jun Hee tidak menghadiri persidangan meski telah dipanggil dengan sah dan patut.
Gugatan atas hak asuh Ariel Young Tanoto, Kaylee Faith Tanoto, dan Emily Hope Tanoto
yang merupakan ketiga anak hasil perkawinan campuran antara seorang warga negara

7
Pasal 13 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Indonesia (Kimin Tanoto) dan warga negara Amerika Serikat (Kim Jun Hee) resmi jatuh
kepada si penggugat, yakni Kimin Tanoto.

Anda mungkin juga menyukai