Anda di halaman 1dari 5

STUDI KASUS PERKAWINAN

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perihal Perkawinan telah diatur menurut Undang-Undang no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1975. Sebelum dibentuk undang-undang tersebut, perkawinan di Indonesia dilakukan berdasarkan KUH Perdata, yang kemudian lebih lanjut diatur dengan hukum adat dan agama setempat. KUH Perdata dan hukum-hukum yang mengatur lebih lanjut tidak digunakan lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sesuai dengan pasal 66 Undang-Undang no.1 Tahun 1974 yang berbunyi Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Undang-undang ini mengatur tentang syarat, tata cara, keabsahan, pencegahan pembatalan, akibat hukum, dan putusnya suatu perkawinan. Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang isi undang-undang perkawinan tersebut, kami mengangkat dua masalah perkawinan yaitu perceraian Ahmad Dhani-Maia Estianti dan pernikahan di bawah umur oleh Syekh Puji . Kami membahas kasus tersebut menurut Undang-Undang no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana Undang-undang Perkawinan, dan Undang-undang No. 23 tentang Perlindungan Anak sebagai akibat dari suatu perkawinan.

A.

Perceraian Ahmad Dhani-Maia Estianti

Sebelum menggugat cerai ke pengadilan agama, Maia dan Dhani terlibat perang dingin. Mereka saling adu argumen di media dan saling tuduh. Maia menuding Dhani memiliki hubungan khusus dengan Mulan. Sedangkan Dhani menuduh, wanita asal Surabaya itu berselingkuh dengan salah satu pemilik televisi swasta di Indonesia. Merasa yakin rumah tangganya tak bisa diperbaiki, akhirnya Maia menggugat cerai Ahmad Dhani ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 16 November 2007. Dalam sidang cerainya itu, Maia menggandeng 11 pengacara seperti Elza Syarief, Sheila A Salomo dan Kapitra.

Perceraian pasangan ini juga diwarnai dengan aksi saling melapor ke polisi. Maia melaporkan Dhani ke polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Proses perceraian mereka juga berjalan alot karena pasangan ini saling tak mau mengalah. Proses perceraian Ahmad Dhani dengan Maia Estianty yang menyangkut harta gono gini juga mempersulit keadaan. Setelah meminta agar Maia ikut menanggung hutang milyaran rupiah, Dhani melakukan somasi menuntut istrinya itu membeberkan kekayaannya. Jika tidak bersedia, Maia dianggap menggelapkan harta dan akan dilaporkan pidana. Menanggapi gugatan balik pihak Dhani, yang meminta Maia agar ikut menanggung hutang bernilai puluhan milyar rupiah, pihak Maia mempersilakan agar hal itu dibuktikan di Pengadilan. Persidangan mereka merupakan persidangan yang paling lama hampir berjalan satu tahun lebih. Akhirnya, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan cerai yang diajukan Maia pada 23 September 2008. Dalam putusannya itu hakim juga memutuskan hak asuh anak jatuh pada Maia. Dan Dhani wajib memberikan nafkah untuk anak-anaknya sebesar Rp 7,5 juta/bulan bagi satu anak. Meski demikian, Maia tak bisa bersama ketiga anaknya. Dhani tak memberikan izin Maia mendekati anak-anaknya. Mereka pun berseteru soal perebutan hak asuh anak. Untuk kasus ini, Maia dan Dhani melibatkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan juga Kak Seto. Dhani mengajukan banding. Tetapi, karena belum memenuhi syarat banding, maka bandingnya dibatalkan. Tak berhenti di situ, Dhani mengajukan kasasi. Pada tanggal 12 Januari 2011, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang memenangkan Maia hasil dari kasasi yang diajukan oleh Ahmad Dhani. Hak asuh anak berada di tangan Maia. Ahmad Dhani masih belum bisa menerima dan akan melakukan peninjauan kembali tentang keputusan MA tersebut.

Dari pembahasan yang kami lakukan, dapat disimpulkan:

1.

Perceraian tersebut diawalai dengan dugaan perselingkuhan, baik yang didugakan oleh Maia terhadap Dhani maupun dugaan Dhani terhadap Maia. Dugaan perselingkuhan tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan cerai. Sesuai dengan pasal 39 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 ayat 2 tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya yang berbunyi Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Alasan yang digunakan adalah perselingkuhan, sesuai dengan pasal 19 a Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian yang berbunyi Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1975 adalah pelaksana Undang-undang no. 1 Tahun 1974. Maia kemudian mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Hal ini telah sesuai dengan pasal 40 ayat 1 dan 2 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya yang berbunyi (1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. dan (2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Yang dimaksud Pengadilan dalam pasal tersebut adalah Pengadilan Agama karena Maia beragama Islam. Sesuai dengan pasal 1 b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Umum yang berbunyi Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya. Pelaporan Maia tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh ahmad dhani kepada dirinya juga memperkuat alasan perceraian sesuai Peraturan Pemerintah no.9 tahun 1975 pasal 19 d tentang Tata Cara Perceraian yang berbunyi Salah satu pihak melakukan kekejaman atau

2.

3.

penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain dan 19 f yang berbunyi Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 4. Setelah diputuskan bercerai, terdapat masalah pembagian harta dan utang antara Maia dan Ahmad dhani. Maia dan Ahmad Dhani tidak setuju dengan cara dan porsi harta yang dibagikan. Menurut Kompilasi Hukum Islam, sesuai dengan pasal 97 KHI, berbunyi Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta tidak diatur dalam undang-undang karena pembagian harta tersebut merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah keputusan perceraian dikeluarkan, Ahmad Dhani tetap berkewajiban untuk menafkahi Maia dan menjamin kehidupan ketiga anaknya. Sesuai dengan pasal 41 b Undang no. 1 Tahun 1974 yang berbunyi Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut sebagai akibat perceraian. Besarnya nafkah yang harus dikeluarkan berdasarkan kesepakatan atau keputusan pengadilan. Terjadi perebutan hak asuh anak yang telah diputuskan pengadilan bahwa hak asuh anak ada dipihak Maia. Pada saat keputusan cerai dikeluarkan (2008), umur ketiga anak Maia-Dhani adalah 12, 10, dan 8 tahun. Menurut Kompilasi Hukum Islam, hak asuh anak dimiliki oleh ibunya, sesuai pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi Dalam hal perceraian Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pada saat itu ketiga anak tersebut diasuh oleh Dhani meskipun yang berhak adalah Maia. Dhani tetap bersikukuh memiliki hak asuh tersebut melalui banding dan kasasi. Namun pengadilan tetap memerikan hak asuh anak kepada Maia. Hak asuh anak yang masih diperdebatkan tersebut masih dalam pembahasan setelah diajukan peninjauan kembali oleh Ahmad Dhani di MA. Menurut Undang-undang no.1 Tahun 1974, hak asuh anak tidak diberikan tertentu kepada bapak atau ibu karena bapak dan ibu berkewajiban dan berhak atas anak mereka. Sesuai dengan pasal 41 Undang-undang no.1 Tahun 1974 yang berbunyi Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : (a.)Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; (b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; (c.) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

5.

6.

B.

Perkawinan dibawah Umur Syekh Puji-Lutfiana Ulfa

Pada November 2008, kasus syekh Puji mencuat ke publik. Pujiono Cahyo Widianto (43) atau Syekh Puji menikahi Lutfiana Ulfa (12). Tingginya angka perkawinan usia belasan terkait erat dengan terlalu cepatnya anak-anak kehilangan aksesbilitas terhadap pendidikan. Orangtua seharus menyadari untuk tidak mengizinkan menikahkan anak dalam usia dini dan harus memahami peraturan perundangundangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak mengajukan class-action kepada pelaku dan melapor pada KPAI kemudian diteruskan pada penegak hukum. Jaksa Penuntut Umum memperkarakan tiga undang-undang, yakni UU No 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) dan Pasal 6 (2), UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) dan Pasal 81, UU No 21 /2007 tentang Perdagangan Manusia.

Kasus pemeriksaan terhadap Syekh Pujiono Cahyo bukan semata soal kasus nikah siri. Pemeriksaan itu terkait dugaan pelanggaran pernikahan di bawah umur. Jadi harus bisa dibedakan mengenai soal nikah siri dengan kasus Syekh Pujiono. Dalam kasus pernikahan siri, Syekh Pudjiono diduga ada pelanggaran eksploitasi terhadap anak di bawah umur dan dugaan ada unsur pemaksaan.

Kasus pernikahan di bawah umur dengan tersangka Syekh Puji memasuki babak baru ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus ini mendatangi Kantor Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. JPU menyatakan perlawanan hukum di tingkat Pengadilan Tinggi setelah dalam putusan sela, majelis hakim memutuskan membebaskan Syekh Puji. Perlawanan hukum ke tingkat Pengadilan Tinggi ditempuh setelah dalam persidangan putusan sela, majelis hakim memutuskan Syekh Puji bebas tanpa syarat. Dalam perlawanan hukum ini, JPU tidak akan mengubah dakwaan terhadap Syekh Puji. Setelah pernyataan perlawanan hukum diterima PN Kabupaten Semarang, JPU diberi waktu tujuh hari untuk menyerahkan berkas memori perlawanan. Selanjutnya kasus Syekh Puji dilimpahkan ke PT Jateng.

Mahkamah Agung harus secepatnya mengeluarkan keputusan atas kasasi yang diajukan agar proses hukum kasus tersebut tidak berhenti. Dijelaskan bahwa tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Jawa Tengah telah mengajukan memori perlawanan (verset) atas kasasi yang diajukan pengacara Syekh Puji. Banyak kejanggalan dalam proses hukum kasus tersebut sehingga kasus tersebut masih dilanjutkan. Dari pembahasan kelompok kami, kami membahas dalam segi undang-undang perkawinan, kami menyimpulkan bahwa: 1. Syekh Puji diduga telah melanggar tiga undang-undang, yakni UU No 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) dan Pasal 6 (2), UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) dan Pasal 81, UU No 21 /2007 tentang Perdagangan Manusia. Syekh Puji tidak menyalahi pernikahan siri, tetapi pernikahannya di cegah oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai pasal 16 UU Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi (1)Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi dan (2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Jaksa Penuntut Umum mencegah perkawinan tersebut karena beranggapan bahwa perkawinan tersebut tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 2 yang berbunyi Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. dan pasal 7 ayat 1 yang berbunyi Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Meskipun Syekh Puji telah mendapat izin dari orang tua Lutfiana Ulfa, sesuai dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 2 yang berbunyi Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua dan pasal 7 ayat 2 yang berbunyi Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita, diduga ada tawar-menawar ekonomi dan ancaman yang membuat orang tua Lutfiana Ulfa mengijinkan anaknya dinikahi oleh Syekh Puji, sehingga kasus ini juga menyangkut Undang-undang No. 23 tentang Perlindungan Anak, pasal 26 ayat 1 yang berbunyi Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :(a.) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;(b.) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;dan (c.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. dan pasal 81 yang berbunyi (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

2.

3.

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dari pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa terjadi penjualan/perdagangan anak sehingga kasus ini juga menyangkut UU No 21 /2007 tentang Perdagangan Manusia.

Anda mungkin juga menyukai