Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

PUTU SATRIA SATWIKA ANANTHA

NIM 2082411020

ABSEN 20

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
HUKUM HARTA BENDA PERKAWINAN
Dosen: Dr. I Ketut Sudantra
TUGAS 3 CASE TASK

Putu (perempuan) melangsungkan perkawinan dengan Kadek (laki-laki) pada tahun 11


Mei 2004 dan bercerai pada tanggal 27 Desember 2009. Status perkawinan adalah
nyentana (nyeburin). Dalam perkawinan tersebut tidak dikaruniai anak. Pada tahun
2007, orang tua Kadek memberikan sejumlah uang kepada Kadek untuk membeli satu
unit rumah yang terletak di kawasan Renon Denpasar, yang kemudian menjadi rumah
tingal suami-istri Putu dan Kadek. Tanah di mana rumah tersebut berdiri disertifikatkan
(sertifikat hak milik) atas nama Kadek. Tidak ada perjanjian kawin antara pasangan
suami-istri tersebut, baik yang dibuat sebelum, pada saat, ataupun setelah perkawinan
berlangsung.

Diskusikanlah :
1. Selama perkawinan berlangsung (antara 2007 s.d. 27 Desember 2009), apakah
Kadek dapat menjual rumah di kawasan Renon tersebut tanpa persetujuan Putu ?
Berdasarkan kasus diatas harta menurut saya harta tersebut bisa merupakan harta
perkawinan bersama atau harta bawaan. Harta tersebut adalah harta bersama ketika
dalam perkawinan, orang tua Kadek memberikan uang kepada anaknya untuk dibelikan
rumah. Rumah tersebut akhirnya ditempati oleh Kadek dan Putu. Disini orang tua
Kadek memberikan uang bukan memberikan sertifikat tanah kepada Kadek jadi harta
ini bukan merupakan harta hibah atau warisan karena uang tersebut digunakan membeli
rumah bersama Putu. Namun jika harta yang diberi oleh orang tua Kadek (jiwadana)
berupa uang saat itu untuk membeli sebuah rumah. Apabila Kadek membuat perjanjian
kepada notaris untuk memisahkan hartanya tersebut maka bisa dikatakan harta tersebut
milik Kadek saja yang merupakan harta bawaan yang diberikan oleh orang tuanya. Jadi
dalam UU Perkawinan ada pemisahan antara harta bawaan dengan harta bersama,
disertai dengan pola kepemilikan yang berbeda untuk kedua golongan harta tersebut
bagi suami istri yang bersangkutan.1

1
Moch. Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 78
Pengaturan harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UU Perkawinan). Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
1. Harta bersama, adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.
2. Harta bawaan, adalah harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam
perkawinan.
3. Harta perolehan, adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai
hadiah atau warisan.
Menurut I Ketut Sudantra, dalam hukum adat Bali golongan harta bersama lazim
disebut pegunakaya atau gunakaya; sedangkan untuk harta bawaan disebut dengan
istilah-istilah berbeda tergantung asal atau cara perolehan harta bawaan tersebut.
Apabila harta bawaan tersebut berasal dari hasil usaha suami atau istri tersebut sebelum
kawin, disebut sekaya; sedangkan apabila diperoleh dari pemberian orang tua untuk
dibawa ke dalam perkawinan, disebut jiwadana. Kedua jenis harta bawaan ini lazim
disebut tetatadan. Harta benda perkawinan yang dioperoleh karena pewarisan, dalam
hukum adat Bali disebut tetamian.2
Dalam hukum adat Bali, warisan tidak saja bewujud benda-benda seperti harta
keluarga tetapi juga hak-hak kemasyarakatan seperti hak atas tanah karang desa, hak
memanfaakan kuburan dan hak untuk bersembahyang di pura Kahyangan Desa dan
lain-lainnya. Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, sedangkam
harta bawaan dan harta hadiah atau warisan diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU
Perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan kedudukan harta-harta tersebut di atas
selama perkawinan berlangsung sudah diatur cukup jelas. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1)
harta bersama dikuasai oleh suami dan istri secara bersama-sama sehingga apabila salah
satu pihak (suami atau istri) melakukan perbuatan hukum terdadap harta tersebut,
seperti misalnya menjual, menyewakan, menggadaikan; maka harus berdasarkan
persetujuan bersama suami dan istri.
Jadi pada kasus perkawinan Putu dan Kadek ini rumah yang dibelikan oleh
orang tua Kadek, menjadi harta perkawinan bersama karena rumah tersebut dibeli
sebelum perkawinan berlangsung dan bukan rumah tersebut bukan merupakan hibah /
2
I Ketut Sudantra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press,
Denpasar, hal. 28.
warisan oleh orang tua Kadek. Jadi Putu berhak memiliki / menguasai rumah tersebut.
Apabila rumah itu dijual haruslah Kadek memberi tahu Putu terkait penjualan rumahnya
tersebut dan penjualan rumah tersebut harus ada persetujuan kedua belah pihak.
Walaupun Putu dan Kadek tidak melakukan perjanjian perkawinan secara nasional
dengan adanya akta perkawinan, tetap saja perkawinan Putu dan Kadek sudah
dinyatakan sah secara adat karena adanya saksi-saksi yang telah hadir dalam
perkawinan tersebut.
Perjanjian kawin kini boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam
ikatan perkawinan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 :
(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan,
kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai
harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau
mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Dalam pembuatan perjanjian perkawinan ini harus disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan atau notaris dan harus disetujui kedua belah pihak kemudian tidak
ada unsur memberatkan salah satu pihak. Jadi dalam kasus diatas uang yang diberikan
orang tua Kadek kepada Kadek untuk membeli rumah untuk mereka tempati, kemudian
Kadek dan Putu membuat perjanjian kepada notaris untuk memisahkan harta tersebut
bukan sebagai harta bersama tetapi sebagai harta bawaan. Apabila Kadek ingin menjual
rumah tersebut tanpa sepengetahuan Putu itu diperbolehkan karena tanah tersebut sudah
dipisahkan haknya yang ada pada perjanjiannya sudah dibuatkan di notaris dan disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan. Putu pun tidak berhak dalam pembagian hasil dari
penjualan rumah tersebut karena rumah tersebut merupakan harta milik Kadek yang
sudah dipisahkan dalam perjanjian yang sudah ada. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2)
mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuat hukum mengenai harta bendanya.

2. Bagaimana status rumah di kawasan Renon tersebut ketika Putu dan Kadek
bercerai 27 Desember 2009 ?
Apabila mengacu kepada Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (1) maka dapat
ditafsirkan bahwa apabila terjadi perceraian, kedudukan suami dan istri terhadap harta
bawaan, harta hadiah dan harta warisan adalah tetap adanya, yaitu suami dan istri
masing-masing tetap menguasai hartanya itu. Dilihat dari Pasal 37 Undang-Undang
Perkawinan menjelaskan “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kemudian penjelasan Pasal 37 Undang-
Undang Perkawinan ini menjelaskan “yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-
masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya”. Dilihat dari
perspektif UU Perkawinan, tidak logis apabila pengaturan harta-harta tersebut selama
perkawinan berlangsung berbeda dengan pengaturan setelah perkawinan putus karena
perceraian. Terhadap harta bersama, sebagaimana disebutkan di atas, Undang-Undang
Perkawinan menyerahkan pengaturannnya kepada hukumnya masing-masing. Khusus
untuk masyarakat adat Bali, yang dimaksud sebagai “hukumnya masing-masing” itu
adalah hukum adat Bali yang dijiwai oleh agama Hindu.
Kedudukan suami istri terhadap harta bersama (pegunakaya) apabila terjadi
perceraian. Menurut I Ketut Sudantra, nilai-nilai dan norma hukum adat Bali berkaitan
dengan kedudukan suami istri terhadap harta bersama dalam hal terjadi perceraian telah
mengalami pergeseran. Menurutnya, pergeseran itu dimungkinkan karena hukum adat
Bali mempunyai sifat yang luwes dan dinamis. 3 Pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) belakangan ini, dapat diketahui bahwa pengadilan
selalu memutuskan bahwa kedudukan suami istri terhadap harta bersama dalam hal

3
Luh Putu Diah Puspayanthi, 2017, Kedudukan Suami Istri Terhadap Harta Benda Perkawinan
Dalam Hal Terjadi Perceraian: Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Adat Bali, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Udayana Ketha Desa, Vol. 04, No. 02, hal. 6, diakses pada tanggal 22
November 2020 Pukul 20.00.
terjadi perceraian adalah seimbang, yaitu masing-masing mempunyai hak yang sama
atas bagian harta bersama.4
Jadi kesimpulan dari penjelasan diatas apabila Kadek membuatkan perjanjian di
notaris untuk memisahkan harta kebendaannya, maka Putu tidak berhak mendapat
bagian dari rumah yang dibeli Kadek tersebut. Tetapi bila Kadek tidak membuat
perjanjian di hadapan notaris maka Putu memiliki hak atas rumah tersebut karena orang
tua Kadek memberikan uang kepada Kadek untuk membeli rumah tersebut bukan
memberikan sertifikat tanah kepada Kadek. Sehingga tanah tersebut bukan warisan
tetapi harta bersama dalam suatu perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
I Ketut Sudantra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University
Press, Denpasar
Moch. Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung
Muhammad Isna Wahyudi, 2006, Harta Bersama, Antara Konsepsi dan Tuntutan
Keadilan, Makalah Calon Hakim Agung RI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
JURNAL / KARYA ILMIAH :
I Ketut Sudantra, 2002, “Wanita Bali dan Harta Benda Perkawinan: Suatu Perspektif
Normatif”, Jurnal Studi Gender SRIKANDI, Vol. 2 No. 2
Luh Putu Diah Puspayanthi, 2017, Kedudukan Suami Istri Terhadap Harta Benda
Perkawinan Dalam Hal Terjadi Perceraian: Perspektif Undang-Undang
Perkawinan Dan Hukum Adat Bali, Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Udayana Ketha Desa, Vol. 04, No. 02
INTERNET :
https://www.pn-semarapura.go.id/tentang-pengadilan/sejarah-pengadilan

4
I Ketut Sudantra, 2002, “Wanita Bali dan Harta Benda Perkawinan: Suatu Perspektif Normatif”,
Jurnal Studi Gender SRIKANDI, Vol. 2 No. 2, hal. 86, diakses pada tanggal 20 November 2020 Pukul
13.00.

Anda mungkin juga menyukai