Anda di halaman 1dari 2

Mengenal “Penolakan Hak Waris” dalam Hukum Waris Barat dan Hukum Waris Islam

Waris/warisan adalah kata yang tidak asing didengar di kalangan masyarakat. Berbicara tentang warisan
pasti selalu dikaitkan dengan harta dan kematian. Ketika seseorang meninggal baik orang tua, suami dan
istri akan selalu ada pertanyaan tentang “kemana dan kepada siapa harta almarhum/almarhumah akan
diturunkan (diwariskan)?. Perlu diingat warisan yang diturunkan tidak selalu harta seperti tabungan, rumah,
tanah dan sebagainya, warisan juga bisa berupa hutang, tagihan, serta kewajiban-kewajiban lainnya yang
harus ditunaikan oleh ahli waris setelah menerima warisan tersebut. Meskipun bagi kebanyakan orang
sebagai ahli waris akan menerima hak warisan, akan tetapi tak sedikit juga ahli waris yang menolak hak
waris. Karena secara tegas diatur dalam Pasal 1100 KUHPerdata “Para ahli waris yang telah menerima
suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang hibah wasiat dan beban yang lain, memikul
bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”

Didalam Hukum perdata barat memperbolehkan ahli waris untuk menolak hak waris, sebagaimana bunyi
dari Pasal 1045 KUHPerdata “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke
tangannya.” akan tetapi dalam penolakannya harus dilakukan secara tegas untuk menghindari
masalah/perdebatan yang akan timbul dikemudian hari. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1057
KUHPerdata “Penolakan suatu warisan harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara
memberikan pernyataan di kepaniteraan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu
terbuka”.

Terkait penolakan hak waris, bagai Hukum Islam mengatur tentang hal ini?

Di dalam hukum islam pada dasarnya tidak mengenal penolakan hak waris,karena terdapat asas ijbari
dalam hukum waris islam, yang mana dengan meninggalnya pewaris dengan otomatis ahli waris langsung
memiliki hak dan kewajiban atas harta yang ditinggalkan serta segala hal-hal yang bersangkutan dengan
pewaris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh
tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh
Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan
penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis
hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan.

Akan tetapi bagi ahli waris yang enggan menerima hak waris nya dengan tujuan bukan untuk terhindar dari
beban hutang atau segala kewajiban yang melekat dengan harta waris tersebut dapat melakukan suatu
perjanjian dengan para ahli waris yang dikenal dengan perjanjian takharuj dan tashaluh.

Takharuj dapat didefinisikan sebagai perjanjian diantara para ahli waris untuk mengeluarkan
(mengundurkan) sebagian ahli waris dari menerima harta warisan dan meninggalkan bagiannya dalam
harta warisan dengan diganti imbalan tertentu dari harta warisan atau diluar harta warisan, baik perjanjian
itu diantara para seluruh ahli waris maupun sebagian dari mereka.

Sedangkan tashaluh adalah perjanjian perdamaian (damai) yang dilakukan antara para ahli waris untuk
tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris.
Kompilasi hukum Islam juga mengatur terkait pembagian hak waris pada pada Pasal 183 menyatakan :

“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya”

Untuk menghindari sengketa di kemudia hari, dianjurkan bagi para ahli waris untuk mengetahui terlebih
dahulu bagian atau hak nya yang akan diterima sebelum melakukan perjanjian takharuj atau tashaluh.
Setelah masing-masing ahli waris mengetahui bagiannya dalam harta warisan, barulah
harta warisan tersebut dibagikan. Dalam pelaksanaan perjanjian takharuj dan tashaluh tidak ada
jangka waktu lewat waktu (daluwarsa) ketentuan perjanjian tersebut kapan harus dilaksanakan, ahli waris
kapan saja boleh melakukan perjianjian tersebut berdasarkan kesepakatan dan sepanjang harta warisan
telah dibagi sebagaimana semestinya. Kemudian juga dalam Pasal 1062 KUHPerdata juga mnegatur
terkait wewenang untuk menolak warisan yang tidak dapat hilang karena lewat waktu atau daluwarsa.
Akan tetapi dengan adanya daluwarsa menerima warisan yang lewat dengan lampaunya 30 (tiga puluh)
tahun, maka secara otomatis, setelah 30 (tiga puluh) tahun berlalu, orang tersebut sama kedudukannya
dengan orang yang menolak warisan.

Anda mungkin juga menyukai