KAIDAH-KAIDAH FIQIH
PENGERTIAN
Kaidah fiqih merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu kaidah dan fiqih.
Kaidah secara etimologis berarti dasar atau pondasi sesuatu.1 Sementara fiqih secara etimologis
berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.2 Dengan demikian arti kaidah fiqih dari
segi etimologi ialah dasar atau pondasi ilmu atau pemahaman.
Dan dari segi terminologi, kaidah fiqih ialah: “Dasar atau pondasi fiqih yang bersifat
kulli (universal) yang mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam
berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk di dalam ruang lingkupnya”. 3
1
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 3/357.
2
Ibid, 13/522,
3
An-Nadawy, Ali Ahmad, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Damascus: Dar al-Qalam, 1994), hal. 43.
Jumlah kaidah fiqih itu sangat banyak. Namun kaidah-kaidah tersebut berpangkal dan
menginduk kepada lima kaidah pokok. Dari lima kaidah pokok inilah dibentuk bermacam-
macam kaidah fiqih yang bersifat cabang.
Lima kaidah fiqih yang menjadi asas kepada kaidah-kaidah lainnya adalah seperti
berikut:
األمور بمقاصدها.1
(Segala urusan tergantung kepada tujuannya).
الضرر يزال.4
(Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan).
العادة محكمة.5
(Adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum).
Berikut ini keterangan lebih rinci mengenai lima kaidah fiqih pokok di atas beserta
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari:
األمور بمقاصدها.1
(Segala urusan tergantung kepada tujuannya).
a. Keterangan.
Segala urusan atau hal atau perkara itu akan diterima oleh Allah Ta’ala atau tidak
diterima tergantung kepada tujuan atau niat mengerjakannya. Jika niat mengerjakannya itu
adalah ikhlas karena Allah maka akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Sebaliknya jika
niatnya tidak ikhlas atau hanya demi kepentingan duniawi saja maka tidak akan diterima dan
tidak akan diberi pahala oleh Allah.
Demikian pula, seseorang akan mendapat banyak pahala dari Allah atau mendapat sedikit
juga tergantung kepada niatnya. Semakin baik dan beragam niatnya itu semakin besar pahala
yang akan diperolehinya. Sebaliknya, semakin buruk dan sedikit niatnya, semakin sedikit pula
pahala yang akan diterima.
Masalah niat adalah masalah hati. Hanya Allah yang Maha Mengetahui tujuan dan niat
seseorang ketika akan melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan. Oleh karena itu, mengerjakan
apa pun, baik urusan duniawi atau ibadah sekali pun, harus dimulai dengan tujuan yang baik atau
niat yang ikhlas supaya diterima dan diberi pahala.
b. Dasar kaidah.
Kaidah fiqih di atas berasal dan berdasarkan firman Allah dan sabda Rasulullah SAW.
Adapun dasar kaidah di atas dari al-Quran adalah seperti berikut:
Firman Allah:
الز َكاةَ َوذَلِكَ ِدينُ ْالقَ ِِّي َم ِة صينَ لَهُ ال ِدِّينَ ُحنَفَا َء َويُ ِقي ُموا ال ه
صالةَ َويُؤْ تُوا ه َو َما أ ُ ِم ُروا ِإال ِل َي ْعبُدُوا ه
ِ َّللاَ ُم ْخ ِل
)٥(
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Firman Allah:
ت قُلُوبُ ُك ْم َو ه
ٌ َُّللاُ َغف
)٢٢٥( ور َح ِلي ٌم ْ َسب ِ َّللاُ ِبالله ْغ ِو فِي أَ ْي َمانِ ُك ْم َولَ ِك ْن يُ َؤ
َ اخذُ ُك ْم ِب َما َك اخذُكُ ُم ه
ِ ال يُ َؤ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh
hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 225).
Firman Allah:
َاس َو َم ْن َي ْف َع ْل ذَلِك
ِ الح َب ْينَ النه
ٍ ص ْ صدَقَ ٍة أ َ ْو َم ْع ُروفٍ أ َ ْو ِإ
َ ِير ِم ْن ن َْج َواهُ ْم ِإال َم ْن أَ َم َر ب ٍ ِال َخي َْر فِي َكث
)١١٤( ف نُؤْ تِي ِه أ َ ْج ًرا َع ِظي ًما َ س ْو َ ََّللا ف
ِ ضاةِ ه َ ا ْبتِغَا َء َم ْر
“Tdak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisak: 114).
Dasar kaidah di atas dari hadits:
Hadits Umar bin al-Khattab ra.:
َو ِإ هن َما، (( ِإ هن َما األ َ ْع َما ُل ِبالنِِّيه ِة:َّللا صلى هللا عليه وسلم ُ َقا َل َر:ب َقا َل
ِ سو ُل ه ع َم َر ب ِْن ْالخ ه
ِ َطا ُ َع ْن
ُت ه ِْج َرتُه ْ َ َو َم ْن َكان،سو ِل ِه سو ِل ِه فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى ه
ُ َّللاِ َو َر َت ه ِْج َرتُهُ ِإلَى ه
ُ َّللاِ َو َر ْ فَ َم ْن َكان،ئ َما ن ََوىٍ ِال ْم ِر
رواه مسلم.))صيبُ َها أَ ِو ْام َرأَةٍ يَتَزَ هو ُج َها فَ ِه ْج َرتُهُ إِلَى َما َها َج َر ِإلَ ْي ِه
ِ ُِلدُ ْنيَا ي
Dari Umar bin al-Khattab [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya
pekerjaan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang apa yang diniatkannya. Maka
barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu kepada Allah dan
RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ia ingin mendapatkannya, atau
perempuan yang ia ingin menikahinya, maka hijrahnya itu sesuai tujuannya itu” (HR. Muslim). 4
Hadits ‘Aisyah ra.:
ي ِ صلى هللا عليه وسلم يُ ْب َعث ُونَ َعلَى نِيهاتِ ِه ْم)) رواه البخاري
ِّ َّللاُ َع ْن َها (( َع ِن النه ِب
ي ه َ ض
ِ عن َعائِشَة َر
Dari ‘Aisyah ra. dari Nabi SAW.: “Orang-orang itu akan dibangkitkan sesuai dengan niat
mereka” (HR. Al-Bukhari). 5
Hadits Abu Mas’ud al-Anshari ra.:
((إِذَا أَ ْنفَقَ ْال ُم ْس ِل ُم نَفَقَةً َعلَى أَ ْه ِل ِه:َي ِ صلى هللا عليه وسلم قَال
ِّ ِ َع ِن النهب،ِ ي
ِّ ار
ِ صَ َع ْن أَبِي َم ْسعُو ٍد األ َ ْن
َ َُت لَه
صدَقَة)) رواه البخاري ْ َو ْه َو يَ ْحتَ ِسبُ َها َكان
Dari Abu Mas’ud al-Anshari [diriwayatkan], dari Nabi SAW. bersabda: “Jika seorang Muslim
memberi nafkah kepada keluarganya dan ia berharap pahala atasnya maka hal itu dianggap
sedekah baginya”. (HR. Al-Bukhari). 6
4
Muslim, Op.Cit., 3/1515.
5
Al-Bukhari, Op. Cit., 2/672.
6
Al-Bukhari, Op. Cit., 5/2047.
Ayat-ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa tujuan atau niat itu sangat
penting. Tujuan atau niat itu merupakan salah satu penentu diterima atau tidaknya suatu amal
perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun kebiasaan rutin kita. Jika dalam melakukan
perbuatan tersebut ikhlas karena Allah maka akan diterima oleh Allah dan diberiNya pahala.
Demikian pula sebaliknya, jika niatnya jahat atau untuk riyak atau untuk keduniaan, maka Allah
tidak akan menerima perbuatan kita tersebut dan tidak akan memberinya pahala.
Tujuan atau niat itu bisa menjadikan suatu kebiasaan menjadi suatu ibadah yang
berpahala di sisi Allah. Makan minum umpamanya, adalah kebiasaan yang dilakukan semua
orang karena merupakan kebutuhan hidup. Jika makan minum dilakukan dengan niat ikhlas
karena Allah supaya kuat beribadah dan beraktivitas maka makan minum tersebut bernilai ibadah
dan berpahala di sisi Allah.
Lebih dari itu, tujuan atau niat juga menentukan seberapa banyak pahala yang akan kita
perolehi dari Allah. Semakin baik dan beragam niat kita itu semakin besar pahala yang akan kita
perolehi.
c. Contoh penerapan kaidah.
Jika seseorang menemukan uang atau harta di jalan, lalu ia mengambilnya dengan niat
untuk mengembalikannya kepada pemiliknya maka hal itu halal atau dibenarkan. Tapi jika ia
mengambilnya untuk dimilikinya, maka harta itu haram baginya. Hal ini karena menemukan
uang atau harta di jalan bukan cara pemilikan yang dibenarkan dalam Islam. Jadi walaupan di
dalam kasus di atas sama-sama mengambil uang atau harta di jalan tapi hukumnya berbeda
karena niatnya juga berbeda.
Jika seseorang membeli anggur dengan niat untuk memakannya, maka hal itu halal atau
dibenarkan. Tapi jika ia membeli anggur untuk dibuat khamar atau minuman keras maka
perbuatan membeli itu menjadi haram. Jadi dalam hal ini sama-sama membeli anggur, namun
karena niatnya berbeda maka hukumnya juga berbeda.
Ada orang membuka rekening di bank konvensional dengan niat untuk menerima
transferan dari pelanggan atau menerima gaji atau pensiunan maka hal ini halal dan dibenarkan.
Tapi jika niatnya membuka rekening di bank konvensional tersebut untuk mendapatkan bunga
atas simpanannya maka hukumnya menjadi haram, karena banyak ulama sepakat bahwa bunga
bank itu termasuk riba yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya.
Ada orang pergi ke masjid dengan niat untuk shalat berjama’ah. Ini baik dan berpahala.
Tapi ada orang lain pergi ke masjid dengan pahala yang lebih karena niatnya lebih banyak,
seperti contohnya ia pergi masjid dengan niat i’tikaf, shalat berjama’ah, silaturrahim,
menyebarkan salam, menjadi imam, berceramah dan seterusnya. Dua orang ini sama-sama pergi
ke masjid, tapi yang satu pahalanya lebih daripada yang lain karena niatnya lebih banyak.
Ada orang bekerja dengan niat untuk menghidupi diri sendiri. Ini baik dan berpahala.
Namun ada orang lain yang bekerja dengan niat untuk menghidupi diri sendiri, keluarga,
membayar zakat, bersedekah, membantu orang lain dan seterusnya. Orang ini tentu pahalanya
lebih banyak karena niatnya juga lebih banyak.
7
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 13/547.
8
Az-Zarqa, Ahmad bin Muhammad, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Tanpa tempat penerbit: Dar al-
Qalam, tanpa tahun penerbitan), hal. 30.
9
Ibid, hal 30.
Sesuatu yang yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan. Hal ini
karena sesuatu yang yakin itu adalah pasti, sementara sesuatu yang meragukan itu tidak pasti.
Oleh karena itu, sesuatu yang pasti tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang tidak pasti.
Sesuatu yang pasti hanya bisa dihilangkan dengan sesuatu yang pasti pula.
Di dalam beribadah atau beraktivitas seringkali seseorang itu diganggu dengan sesuatu
yang meragukan. Hal ini tentu akan menyulitkan. Oleh karena itu kaidah ini menghilangkan
kesulitan tersebut dengan cara mengakui keyakinan dan meniadakan keraguan yang timbul
setelahnya.
b. Dasar kaidah.
Kaidah di atas dibuat oleh para ulama berdasarkan firman Allah di dalam al-Quran dan
sabda Rasulullah SAW. di dalam hadits. Adapun dasar kaidah tersebut dari al-Quran adalah:
Firman Allah:
ش ْيئًا فَأ َ ْش َك َل ْ (( ِإذَا َو َجدَ أ َ َحدُ ُك ْم ِفى َب:َّللا صلى هللا عليه وسلم
َ ط ِن ِه ِ سو ُل ه ُ قَا َل َر:َع ْن أَ ِبى ه َُري َْرةَ قَا َل
ص ْوتًا أَ ْو َي ِجدَ ِري ًحا)) رواه مسلم َ َى ٌء أَ ْم الَ فَالَ َي ْخ ُر َج هن ِمنَ ْال َمس ِْج ِد َحتهى َي ْس َم َع
ْ َعلَ ْي ِه أَخ ََر َج ِم ْنهُ ش
Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila salah seorang
di antara kamu merasakan sesuatu di perutnya sehingga membuatnya ragu, apakh keluar darinya
sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sehingga mendengar suara (kentut) atau
mencium bau (kentut)”. (HR. Muslim). 10
Hadits Abu Said al-Khudri ra.:
10
Muslim, Op.Cit., 1/276.
صلهى ِإتْ َما ًما أل َ ْر َب ٍع َكانَتَا تَ ْر ِغي ًما َ ُشفَ ْعنَ لَه
َ َ َو ِإ ْن َكان،ُصالَتَه ً صلهى خ َْم
َ سا َ َ فَإِ ْن َكان،س ِلِّ َم
َ ُي
.ان)) رواه مسلم ِ طَ ش ْي ِلل ه
Dari Abu Said al-Khudri [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila salah
seorang di antara kamu ragu di dalam shalatnya, sehingga ia tidak tahu berapa rakaat ia shalat,
tiga atau empat, maka hendaklah ia meninggalkan keraguan tersebut, dan mendasarkan atas apa
yang diyakininya, kemudian hendaklah ia bersujud dua kali sujud sebelum mengucapkan salam.
Jika ia shalat lima rakaat maka ia mengembalikan shalatnya menjadi empat baginya, dan jika ia
shalat menyempurnakan empat rakaat maka dua sujud itu adalah untuk membuat marah dan hina
setan”. (HR. Muslim).11
Dari ayat dan dua hadits di atas didapatkan bahwa sesuatu yang masih dalam kategori
keraguan itu tidak dapat menghilangkan sesuatu yang yakin. Hal ini karena memang sesuatu
yang yakin itu hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan yang lain.
c. Penerapan kaidah.
Apabila ada orang yakin telah berwudlu di rumah, lalu ia pergi ke masjid. Sampai di
masjid, ia ragu-ragu apakah wudlunya itu masih atau sudah batal. Maka wudlunya dihukumi
masih sah dan belum dianggap batal. Hal ini karena ia telah wudlu secara yakin, sementara
perasaan batal atau tidaknya wudlunya itu hanya diperolehi secara ragu-ragu. Yang ragu-ragu
tidak bisa menghilangkan yang yakin. Tapi apabila di masjid ia buang angin atau buang air maka
itu hal yang meyakinkan bahwa wudlunya batal, karena keyakinan hanya bisa dihilangkan
dengan keyakinan.
Apabila ada sepasang suami istri telah yakin menikah, lalu keduanya berpisah untuk
waktu yang lama, maka pertanyaannya adalah apakah keduanya masih berstatus suami istri?
Atau sudah batalkah perkawinan mereka itu dengan perpisahan yang lama? Keduanya itu
dihukumi masih sebagai suami istri walaupun telah lama tidak saling berjumpa, selagi belum ada
hal yang mempastikan perceraian keduanya.
Ada dua orang bertransaksi hutang piutang. Setelah sekian lama, yang menghutangi
minta supaya piutangnya dibayar. Tapi yang berhutang merasa sudah membayar, meskipun tanpa
bukti atau saksi. Dalam hal ini, ia dianggap belum membayar hutangnya itu karena yang pasti
11
Muslim, Op.Cit., 1/400.
dan yakin ialah ia telah berhutang dan belum membayar. Sedang anggapan bahwa ia telah
membayar harus dibuktikan.
Ada orang membeli suatu barang lalu ia bawa pulang. Sampai di rumah ia mendapati
barang tersebut cacat, maka ia segera mengembalikannya. Namun si penjual menolak adanya
cacat sehingga ia tidak mau menerima. Dalam hal ini kata-kata si penjuallah yang diterima,
karena pada asalnya barang tersebut utuh dan tidak cacat. Cacat tidak boleh ditetapkan dengan
keraguan, karena yang yakin tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Ada orang makan makanan orang lain dengan alasan pemiliknya telah mengizinkan.
Namun ternyata pemilik makanan itu mengingkari (tidak mengizinkan). Dalam kasus ini yang
diterima adalah perkataan pemilik makanan, karena yang yakin adalah bahwa makanan orang
lain itu tidak halal sampai diizinkan oleh pemiliknya.
ً َّللاُ نَ ْف
سا ِإال ُو ْسعَ َها ف ه ُ ِّال يُ َك ِل
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al-
Baqarah: 286).
Firman Allah:
ش ُِروا َوالَ تُنَ ِفِّ ُروا)) رواه ِّ ِ َس ُِروا َوالَ ت ُع
ِّ َ َوب،س ُروا ِّ َِع ْن أَن ٍَس َع ِن النهب
ِّ َ ((ي:ي ِ صلى هللا عليه وسلم قَا َل
البخاري
Dari Anas [diriwayatkan] dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Permudahlah dan janganlah
mempersulit. Berikanlah kabar gembira dan janganlah membuat orang menjauh” (HR. Al-
Bukhari).13
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits di atas didapati bahwa ajaran-ajaran Islam itu mudah
dilaksanakan dan memudahkan umat Islam dalam melaksanakannya. Islam tidak menghendaki
kesukaran karena hal itu akan membebani umat Islam lebih dari kemampuannya.
c. Penerapan kaidah.
Semua rukhsah atau keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang
mendapatkan kesulitan itu termasuk dalam kaidah di atas. Contohnya, jika seseorang itu tidak
mendapatkan air atau sakit yang tidak boleh kena air maka ia boleh tayammum. Orang yang
tidak mampu shalat berdiri karena sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring. Orang yang
12
Al-Bukhari, Op. Cit., 1/23.
13
Al-Bukhari, Op. Cit., 1/38.
tidak mampu puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian boleh berbuka, namun ia
wajib menggantinya pada bulan lain.
Boleh jual beli barang yang ada di dalam tanah jika sebagiannya dapat dilihat sebagai
sampel dari yang belum kelihatan. Hal ini karena melihat keseluruhan barang tersebut susah dan
menyusahkan.
Jika ada bangkai ayam di dalam sumur maka air sumur dibuang secukupnya saja dan
tidak perlu dibuang semua karena hal itu pasti akan menyusahkan.
Lebih dari itu, boleh jual beli makanan dalam kaleng atau minuman dalam botol yang
sama sekali tidak dapat dilihat isinya. Demikian pula jual beli telur ayam atau telur itik tanpa
melihat isinya, dan hanya dengan melihat tulisan atau label atau kulit telur. Hal ini disebabkan
karena melihat isinya itu akan mempersulit diri dan merusak makanan, minuman dan telur
tersebut. Jual beli seperti ini memang mengandung gharar yasir (ketidak jelasan yang sedikit
atau ringan), namun dibolehkan karena membawa manfaat bagi manusia dan berdasarkan kaidah
di atas.
الضرر يزال.4
(Kemudharatan/bahaya itu wajib dihilangkan).
a. Keterangan.
Islam adalah agama yang baik dan menghendaki kebaikan, kebajikan, manfaat dan
maslahat untuk semua umatnya. Oleh karena itu, segala macam bentuk kemudharatan, bahaya,
kerusakan, gangguan dan ketidak-nyamanan baik bagi diri sendiri maupun orang lain harus
dihindarkan dan dihilangkan.
Islam melarang umatnya untuk menghina agama, membunuh jiwa, merusak akal,
mengganggu kehormatan, merusak keturunan dan menggunakan harta benda dengan kikir atau
berlebih-lebihan. Semua larangan ini adalah demi menghormati, menghargai dan memelihara
agama, jiwa, akal, kehormatan, keturunan dan harta yang merupakan hal-hal yang asasi bagi
kehidupan manusia.
Seluruh ajaran Islam disyariatkan oleh Allah Ta’ala untuk mendatangkan kebaikan dan
kemasalahatan manusia di dunia dan akhirat. Dan dalam waktu yang sama, semua ajaran Islam
itu ditetapkan oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari bahaya dan kerusakan di dunia dan
akhirat.
Oleh karena itu, kaidah “kemudharatan/bahaya itu wajib dihilangkan” merupakan bagian
dari ajaran Islam yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri.
b. Dasar kaidah.
Kaidah di atas dibentuk oleh para ulama berdasarkan firman-firman Allah di dalam al-
Quran dan sabda-sabda Rasulullah SAW. di dalam hadits. Dasar kaidah di atas dari al-Quran
ialah:
Firman Allah:
14
Ahmad, Op. Cit., 1/313.
Penjelasan para ulama mengenai arti dua kata: dharar dan dhirar dalam hadits di atas
bermacam-macam. Ada sebagian ulama yang mengartikan dharar sebagai sesuatu yang
membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan dhirar sebagai sesuatu yang membahayakan
orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Ulama yang lain memberi pengertian dharar
dengan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri tapi membahayakan orang lain, dan dhirar
dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain. Ulama
lainnya lagi mengatakan bahwa dharar adalah membahayakan orang lain yang tidak
membahayakan kita, sedangkan dhirar itu adalah membahayakan orang lain yang telah
membahayakan kita dengan cara yang tidak disyariatkan. 15
Dari semua pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membahayakan diri dan orang lain
bagaimanapun cara dan bentuknya itu tidak baik dan tidak dibenarkan dalam Islam dan oleh
karenanya harus dihilangkan.
c. Penerapan kaidah.
Bahaya atau gangguan dari seseorang kepada orang lain harus dihilangkan. Contohnya,
gangguan suara, bau busuk, polusi udara, pencemaran lingkungan dan lainnya. Semua itu harus
dihilangkan karena kemudharatan atau bahaya atau gangguan itu wajib dihilangkan. Ia tidak
boleh beralasan bahwa dalam gangguan suara umpamanya, radio itu miliknya sendiri dan ia buka
di rumahnya sendiri. Memang radio itu miliknya sendiri dan dibuka di rumahnya sendiri, tapi
bukankah suara radio itu mengganggu orang lain atau tetangganya yang mungkin sedang sakit
gigi atau mempunyai anak kecil atau sedang belajar?
Termasuk di dalam kaidah ini adalah masalah mengembalikan barang yang telah dibeli
karena ada cacat. Ini dibolehkan untuk menghilangkan bahaya atau kerugian pembeli. Demikian
pula macam-macam khiyar atau opsi dalam transaksi jual beli karena ada beberapa sifat yang
tidak sesuai dengan kesepakatan.
Mahjur ‘alaih (orang yang dipingit), muflis (orang yang pailit), safih (orang dungu),
majnun (orang gila) dilarang bertransaksi, supaya mereka dan pihak-pihak yang bertransaksi
dengan mereka terhindar dari kemudharatan atau bahaya atau kerugian.
15
Hidayatullah, Syarif, Qawaid Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah
Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hal. 59.
Hakim juga boleh melarang orang yang berhutang untuk bepergian atas permintaan orang
yang menghutangi, jika kepergiannya itu membahayakan atau merugikannya, atau ia pergi tanpa
meninggalkan wakil untuk membayar hutangnya.
العادة محكمة.5
(Adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum).
a. Keterangan.
Adat kebiasaan ialah suatu kebiasaan yang dapat diterima oleh tabiat yang sehat dan
berulang-ulang dikerjakan. Adat kebiasaan juga dapat didefinisikan sebagai perkataan atau
perbuatan yang menjadi kebiasaan masyarakat dan dijalaninya dalam kehidupannya.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa adat kebiasaan itu bisa berupa perkataan atau
perbuatan, bisa umum atau khusus, dan semuanya itu bisa jadi sahih (benar) karena tidak
menyalahi al-Quran atau hadits atau fasid (rusak) karena bertentangan dengan al-Quran atau
hadits.
Adat kebiasaan itu dijadikan sebagai sumber hukum di dalam permasalahan-
permasalahan muamalat, yaitu hubungan dan interaksi antara sesama manusia, seperti jual beli,
menikah, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan lainnya. Syarat-syarat adat kebiasaan yang bisa
dijadikan sumber hukum ialah seperti berikut:16
1. Hendaknya adat tidak menyalahi nash (ayat al-Quran atau hadits).
2. Hendaknya adat itu umum yaitu tersebar dan diketahui di kalangan ahlinya, dan
mayoritas yaitu ia tidak mungkin tidak berlaku melainkan sedikit.
3. Hendaknya adat yang suatu tindakan diberlakukan atasnya itu sudah ada pada waktu
pembuatannya. Dengan demikian terjadinya adat kebiasaan itu lebih dulu daripada
waktu tindakan.
4. Hendaknya tidak ada perkataan atau perbuatan yang mengandung arti kebalikan
isinya. Contohnya, umpamanya menurut adat kebiasaan di pasar harga bisa dibayar
secara angsuran, namun penjual dan pembeli sepakat melakukannya secara tunai.
Namun perlu ditekankan bahwa hukum yang dibentuk atas dasar adat istiadat itu akan
berubah jika adat istiadat tersebut juga berubah. Sebagai contoh, dahulu mengajar al-Quran itu
16
Lihat syarat-syarat adat kebiasaan yang bisa dijadikan sumber hukum di dalam pembahasan syarat-syarat
‘urf di hal. dari buku ini. @
tidak dibayar, tetapi hari ini wajib dibayar karena adat kebiasaan sudah berubah, jika tidak
dibayar maka tidak akan ada yang mengajar al-Quran.
b. Dasar kaidah.
Kaidah di atas dibentuk oleh para ulama berdasarkan kepada ayat-ayat al-Quran dan
hadits-hadits Nabi SAW. Adapun dasar kaidah di atas dari al-Quran adalah seperti berikut:
Firman Allah:
17
Al-Bukhari, Op. Cit., 5/2052.
Jual beli dengan lafaz apa pun yang biasa berlaku di kalangan manusia atau yang sudah
menjadi adat kebiasaan mereka dianggap sah meskipun tanpa ijab dan kabul. Hal ini karena jual
beli itu tidak ada batasannya dalam bahasa dan syara’, sehingga batasannya itu dikembalikan
kepada adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat.