Anda di halaman 1dari 2

KONSEKUENSI HUKUM WNA YANG MELAKUKAN PERJANJIAN NOMINEE UNTUK

MEMILIKI HAK ATAS TANAH

Perjanjian nominee adalah perjanjian pinjam nama yang dibuat antara seseorang menurut
hukum tidak dapat menjadi subjek hak atas tanah. perjanjian ini dibuat dengan maksud
agar orang asing (WNA) dapat menguasai tanah hak milik secara de facto (keadaan
sebenarnya) namun secara dejure (menurut hukum yang sah) tanah hak milik tersebut
diatasnamakan warga negara indonesia. dengan kata lain warga negara indonesia dipinjam
namanya oleh warga negara asing (nominee)1. Perjanjian nominee pada dasarnya belum
diatur dalam KUHPerdata namun dalam kenyataannya tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, perjanjian ini juga masuk dalam kategori jenis perjanjian tidak bernama.

Perjanjian nominee sebagai sarana untuk penguasaan hak atas tanah oleh WNA adalah
bertentangan dengan undang-undang yaitu Pasal 9, Pasal 21 ayat (1) dan dipertegas
dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Selain hal tersebut perjanjian nominee juga tidak
memenuhi syarat objektif sah nya suatu perjanjian. Sebagaimana yang di sebutkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata bahwa suatu perjanian dianggap sah apabila perjanjian tersebut
dibuat berdasarkan dengan causa yang halal. Dengan tidak terpenuhinya syarat objektif ini
maka akibat hukum yang ditimbulkan adalah batal demi hukum, yang berarti bahwa
perjanjian nominee yang dilakukan oleh WNA dan WNI dianggap tidak pernah ada. hal ini
juga dipertegas dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA juga memberikan akibat hukum jika
penguasaan hak milik atas tanah dikuasai oleh WNA maka perbuatan hukum tersebut batal
demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.

Pasal 26 ayat (2) UUPA

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat dan perbuatan-perbuatan lain


yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada warga negara yang disamping kewarganegaraan indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang
ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum
dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali”

1
Natalia Christine Purba, Keabsahan Perjanjian Nominat Dalam Bentuk Nominee Agreement (Analisis Kepemilikan
Tanah Oleh Warga Negara Asing). Depok, Fakultas Hukum Ui, Hlm. 45
Perjanjian nominee antara WNA dan WNI terkait kepemilikan tanah ini, tidak dapat
dilepas-pisahkan dari peran seorang Notaris / PPAT. Dalam prakteknya, kebanyakan WNA
dan WNI menggunakan jasa seorang Notaris / PPAT untuk melegalkan perjanjian nominee
dan membuat akta-akta yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Notaris/PPAT sebagai
pejabat umum yang diberikan kewenangan dalam pembuatan akta otentik seharusnya
bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya. Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh
tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, sehingga Notaris/PPAT dapat dimintakan
pertanggung jawaban baik secara perdata berupa tuntutan gantirugi atau secara pidana berupa
penuntutan dengan pasal pidana penipuan dan pemalsuan terhadap akta yang dibuatnya.
Kemudian pemerintah sebagai pihak regulator dapat memberikan sanksi administratif kepada
notaris/PPAT berupa pemberhentian tidak terhormat

Anda mungkin juga menyukai