Anda di halaman 1dari 14

Pembagian warisan dengan cara damai tidak diatur dalam fiqih

mawaris, namun diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman


takharuj, yang dibenarkan dalam Madzab Hanafi. Secara

teknis

kebiasaan damai dalam terminologi fiqih disebut Urf atau adapt. Tidak
dapat dikatakan Urf kalau tidak membawa manfaat atau kebaikan bagi
masyarakat. Umar Ibn al Khattab menasehatkan bahwa : Bagi kaum
muslim agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara
damai, kecuali perdamaian yang bertujuan menghalalkan yang haram dan
mengharamkan

yang

halal.1

Takharuj

merupakan

suatu

teknis

penyesuaian dalam pembagian harta warisan karena adanya kesepakatan


dari dua orang atau lebih ahli waris untuk menempuh pembagian warisan
di luar ketentuan syara. Takharuj dalam istilah, ialah para waris berdamai
untuk

mengeluarkan

orang-orang

tertentu

dari

pusaka

dengan

memberikan imbalan tertentu, baik yang diberikan itu harta peninggalan


ataupun bukan.2
Takharuj merupakan perjanjian yang diadakan antara para ahli waris
untuk mengundurkan diri atau membatalkan diri dari ahli warisnya
dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan dengan ikhlas,
sukarela dan tanpa paksaan.3 Jadi Takharuj adalah suatu perjanjian damai
1 Sukarmi, Perkembangan Hukum Positif di Indonesia (KHI) Atas Pengaruh Hukum Adat
(Budaya/Kultur) Dibandingkan Dengan Fiqih Konvensional (Kajian Hukum Kewarisan
DalamKHI), http://www.cyber unissula.ac.id/journal/dosen, diakses pada tanggal 20 Mei
2014, pukul 09.00.

2 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan


Menurut Syariat Islam, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2010, hlm. 254.

3 Syifaul Qulub, Takharuj Dan Akdariyah, (http://rangerwhite09artikel.blogspot.com/2010 /05/ takharuj.html), hlm. 1, diakses tanggal 02 Desember
2014, pukul 10.45.

dilakukan antara para ahli waris atas keluarnya atau mundurnya salah
seorang ahli waris atau sebagian ahli waris untuk tidak menerima hak
bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat
mendapat imbalan tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli
waris lain.
Pembagian warisan dalam bentuk Takharuj tidak dijumpai dasar
hukumnya secara jelas baik dalam Al Quran maupun Sunnah (Hadits
Nabi), tetapi dasar hukumnya merupakan hasil dari ijtihad. Pembagian
warisan dalam bentuk Takharuj ini diperbolehkan dalam syara karena
merupakan suatu perdamaian dan semacam penukaran, yaitu menukar
bagian waris dari harta peninggalan dengan memberikan yang lain dari
padanya, baik yang diberikan itu dari harta peninggalan sendiri ataupun
dari selainnya.4 Menurut syara, hal tersebut boleh dilakukan, jika ada
kesepakatan dan kerelaan (ridlo) dari seluruh ahli waris.
Dalam hal ini dikemukakan 3 macam bentuk takharuj :

Pertama : salah seorang waris keluar dari bagiannya untuk orang


lain dengan mendapat ganti yang diberikan oleh selain dari hartanya
sendiri. Apabila telah sempurna takharuj, niscaya
bertempatlah orang yang kedua ditempat orang yang pertama dan
berhaklah dia menerima bagiannya, karena waris yang pertama telah
telah menjual bagiannya dari harta peninggalan kepada yang kedua. Maka
yang kedua ini menerima dua bagian :
1) Bagian sendiri .
4 Op.cit, hlm. 254-255.
5 Op.cit, hlm. 255.

2) Bagian yang dibelinya.


Dalam bentuk ini harta peninggalan atau harta warisan dibagi
kepada semua ahli waris menurut bagian mereka masing-masing.
Kemudian apa yang diterima oleh ahli waris yang mau ditukar bagiannya
diambillah oleh ahli waris yang memberi gantinya
sebagai imbangan takharuj.
Kedua : salah seorang waris keluar dari bagiannya untuk wariswaris yang lain dengan mengambil suatu yang tertentu dari harta
peninggalan itu saja, sedang sisa harta diserahkan kepada waris-waris
yang lain. Apabila telah sempurna takharuj secara ini, maka si mutakharij
mengambil yang dimaksudkan itu,sedang sisa harta untuk waris-waris
yang lain, sesuai dengan saham-saham (bagian-bagian) mereka sebelum
terjadinya takharuj.
Ketiga : salah seorang waris keluar dari bagiannya untuk wariswaris yang lain dengan mendapat ganti rugi yang dibayar oleh waris-waris
itu dengan harta mereka sendiri. Apabila telah sempurna takharuj dalam
bentuk ini, maka waris yang keluar itu mengambil ganti bagiannya dari
harta-harta waris-waris yang lain.
Dan

dibagilah

harta

peninggalan

kepada

semua

waris

dan

masingmasing waris itu menerima bagiannya selain yang keluar itu


sendiri. Sedangkan bagiannya dibagikan kepada waris yang lain secara
sama rata.

Dan hendaklah diperhatikan bahwa pembagian sama rata ini, jika


sama banyak yang dipikul oleh masing-masing mereka, kalau tidak,
tentulah masing-masing mereka menerima seimbang dengan sempurna.6
Dalam bentuk pertama, proses takharuj ditetapkan berdasarkan
akad jual beli. Dengan demikian, waris yang memberikan pengganti itu
menempati posisi al-kharij (orang yang
keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga memiliki bagian
warisan al-kharij ditambah bagian aslinya.
Dalam

bentuk

yang

kedua,

proses

takharuj

juga

ditetapkan

berdasarkan akad jual, karena al-kharij menjual bagiannya kepada wariswaris yang lain. Dengan demikian ahli waris-ahli waris itu dapat memiliki
bagian al-kharij sesuai dengan perjanjian tersebut dalam akad takharuj.
Jika yang dibayar itu dari harta mereka masing-masing dan tidak
ditegaskan cara membagi bagian yang melepaskan haknya, maka haknya
dibagi

sama

rata,

antara

waris-waris

yang

lain.

Apabila

mereka

mempunyai sesuatu persetujuan terhadap cara pembagian itu, maka cara


itu diikuti.7
b) Pembagian Warisan Dengan Cara Tashaluh (Damai) Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pembagian warisan dengan prinsip kesepakatan dan kekeluargaan
sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama fiqh bahwa
masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh
menggunakan atau tidak menggunakan haknya dengan cara tertentu
6 Op.cit, hlm. 258.
7 Ibid, hlm. 258-259.

selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku
dalam situasi biasa. Hal ini berbeda dengan hak Allah (atau disebut juga
hak

umum),

seperti

aturan

tentang

larangan

mencuri,

berzina,

membunuh, di mana hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut


sudah jelas dan harus

ditegakkan. Dalam hal ini manusia tidak

mempunyai hak untuk memberi toleransi dan pemaafan.8


Sebagai

dasar

hukum

positif

yang

memiliki

kekuatan

legal,

Kompilasi Hukum Islam menegaskan hal ini dalam pasal 183 yang
berbunyi :
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Dengan

demikian

penyelesaian

masalah

waris

dengan

menggunakan prinsip kesepakatan ini bukanlah sesuatu yang tidak


mempunyai pijakan doktrinal dalam sistem hukum Islam.9
Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul
fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara
kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus
dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris.
Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk
tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang
lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju
atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka
8 Salman, Calon Hakim Pengadilan Agama Cilegon, Penyelesaian Pembagian Waris
Dengan Prinsip Kesepakatan (Kekeluargaan), http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/
Salman%20Artikel%20Waris%20WebsiteBadilag.pdf, hlm.1, pukul 20.00.

9 Ibid.

sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah dijelaskan


oleh Al Quran dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu.10
Pembagian waris dengan cara kekeluargaan itu, bisa didorong oleh
pertimbangan perbedaan kondisi ekonomi sebagian ahli waris yang lebih
baik dibanding ahli waris lain sehingga diharapkan warisan tersebut bisa
lebih membantu kondisi kehidupan ekononi ahli waris yang kurang
mampu. Alasan lain boleh jadi adalah karena pertimbangan para ahli
waris bahwa seorang atau lebih di antara mereka lebih banyak terlibat
dalam pengurusan pewaris dan seterusnya. Dengan demikian menjadi
logis apabila mereka mendapat bagian yang lebih selama para ahli waris
tersebut menyepakati prinsip tersebut dan merelakan setelah mengetahui
hak bagian mereka masing-masing menurut hukum waris Islam .11
Dengan demikian sistem pembagian warisan dalam Islam memberi
peluang kepada para ahli waris untuk membagi warisan tanpa harus
mengikuti detail pembagian yang telah ditetapkan oleh Al Quran dan Al
Hadits (As Sunnah). Atas Dasar kesepakatan para ahli waris, besarnya
bagian

masing-masing

ahli

waris

kemudian

bisa

berubah

sesuai

kesepakatan para ahli waris tersebut atas dasar kesadaran penuh dan
keikhlasan setiap ahli waris dimana masing-masing ahli waris harus
terlebih dahulu mengetahui kadar bagian masing-masing sesuai dengan
bagian yang sudah ditentukan dalam hukum waris Islam.
2. Tinjauan Mengenai Perjanjian Dalam Hukum Islam
10 Ibid, hlm. 1-2.
11 Ibid, hlm. 2.

a. Pengertian Perjanjian Dalam Hukum Islam


Secara etimologis, perjanjian dalam bahasa Arab sering disebut
dengan istilah al-muahadah (janji), al-ittifa (kesepakatan) dan al-aqdu
(ikatan atau sering disebut akad).
Dari segi terminologis, perjanjian atau akad secara umum
diartikan sebagaisuatu janji setia kepada Allah SWT, atau suatu
perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan manusia lainnya dalam
pergaulan hidupnya sehari-hari.12
Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia dipersamakan
dengan istilah akad dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari
kata
al

aqd

yang

berarti

mengikat,

menyambung,

atau

menghubungkan
(ar-rabt).13
e. Ash-Shulh (Perdamaian).
1) Pengertian Ash-Shulh
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab, yang berarti menghentikan
perselisihan atau perselisihan, perdamaian.14 Menurut istilah, pengertian
dari Ash-Shuluh yaitu suatu akad atau perjanjian untuk menghilangkan
12 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 2.

13 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.
68
14 Tuti Alawiyah, Ash-Shulhu ( Perdamaian ),
http://alawiyahtuti18.blogspot.co.id/2011/04/ash-shulhu-perdamaian.html, hlm. 1,
diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pukul 21.00.

dendam permusuhan, perselisihan, pertikaian atau perbantahan, misalnya


suatu perjanjian dari kedua belah pihak yang berselisih atau bertikai
untuk mengakhiri perselisihan atau pertikaiannya tersebut, sehingga tidak
saling dendam diantara keduanya.15
Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan AshShulhu adalah suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri
perlawanan antara dua orang yang berlawanan.16
Menurut Hasby Ash-Shiddiqie dalam buku Pengantar Fiqih Muamalah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ash-Shulh adalah akad yang
disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan
sesuatu, dengan akad itu dapat hilang pertengkaran.17
Imam Taqiy Al Din Abu Bakr Ibnu Muhammad Al Husaini, dalam
kitabnya Kifayatul Akhyar, mendefinisikan Ash-Shulhu adalah akad yang
memutuskan perselisihan dua pihak yang berselisih.18
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa, AshShulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang
berselisihan,

bertengkar,

saling

dendam,

dan

bermusuhan

dalam

mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat diharapkan akan


15 Wahid, Shulhu (Perdamaian), http://uyizae.blogspot.co.id/2011/01/makalah-tentangshulhu. html, hlm. 1, diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pukul 21.30. Wahid, Shulhu
(Perdamaian), http://uyizae.blogspot.co.id/2011/01/makalah-tentang-shulhu. html, hlm.
1, diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pukul 21.30.

16 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Al Maarif, Bandung, 1987, hlm. 211.
17 Hasby Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta,
1984, hlm. 92.
18 Imam Taqiy Al Din Abu Bakr Bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Toha Putra, Semarang,
hlm. 271.

berakhir perselisihan. Dengan kata lain, sebagaimana pendapat dari


Wahbah Zulhaily, yang mengemukakan Ash-Shulhu adalah akad untuk
mengakhiri semua bentuk pertengkaran atau perselisihan.19
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan, sebab dengan
perdamaian akan terhindar dari kehancuran hubungan kasih sayang
(silaturrahim)

sekaligus

permusuhan

diantara

pihak-pihak

yang

bersengketa akan dapat diakhiri.


Perdamaian (Ash-Shulh) disyariatkan oleh Allah SWT, sebagaimana
yang tertuang dalam Al Quran Surah Al Hujuraat ayat 10, yang arti
terjemahannya :

Sesungguhnya

orang

mukmin

itu

bersaudara,

karena

itu

damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah


kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.115
Penyelesaian dengan cara perdamaian itu juga dianjurkan oleh Allah
SWT, sebagaimana dalam Al Quran Surah Ali Imran ayat 159, yang arti
terjemahannya yaitu :
Maka berkat rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati
kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.

19 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, Beirut, Dar Al-Fikr al-Muashir, 2015,
Jilid IV, hlm. 4330.

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (kepadaNya).116


Di samping firman-firman Allah SWT tersebut,Rasulullah juga
mengatur tentang kebolehan untuk melakukan perdamaian, dalam hadits
Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda bahwa :
Perdamaian di antara kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian
yang mengharamkan sesuatu yang halal, atau menghalalkan sesuatu
yang haram.20
2) Syarat dan Rukun Ash-Shulh
Syarat dari Ash-Shulh yaitu :21
(1) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih (orang atau pihak
yang berdamai), yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya
dinyatakan sah secara hukum. Di sini maksudnya subyek hukum AshShulh harus cakap bertindak secara hukum yaitu dewasa dan berakal
sehat.
(2) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih bih (obyek yang
diperselisihkan oleh para pihak), yaitu harus berbentuk harta yang dapat
dinilai, diserah terimakan dan berguna, serta
diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat
menimbulkan perselisihan.
20 Hadits ini diriwayatkan HR Abu Dawud, Al Hakim dan Tirmidzi, yang dikutip Wah
Bahtur Rahili dalam Kitabnya, Fiqih Islam Wa Adahatu, diterbitkan Darrul Fikri, Damsyik,
1984.

21 Ghazali Abdul Rahman, Ihsan Ghufron, Shidiq Saipudin, Fiqih Muamalat, Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm. 197.

(3) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih anhu (persoalan


yang diperselisihkan), yaitu sesuatu yang diperkirakan termasuk hak
manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-hak
Allah maka tidak dapat diadakan Shulh.
Sedangkan Rukun Ash-Shulh, yaitu :22
(1) Mushalih, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad
perdamaian (Ash-Shulh) untuk mengakhiri perselisihan.
(2) Mushalih Anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan.
(3) Mushalih bih, yaitu sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut
dengan istilah badal Al-shulh.
(4) Shighat ijab dan qabul, yang masing-masing dilakukan oleh dua
pihak yang berdamai.
Sayyid Sabiq berpendapat bahwa rukun Ash-Shulh itu adalahijab
dan qobul, yakni lafadz apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian.23
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
(1) Menyangkut subyek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
perdamaian).
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah
orang yang cakap bertindak menurut hukum, adapun orang yang cakap

22 Fadly, Shulh (Perdamaian),


http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id/2014/09/pengertianshulh-perdamaian.html, hlm.
2, diakses pada tanggal 06 Maret 2016, pukul 10.30.

23 Sayyid Sabiq, op.cit, hlm. 212.

bertindak menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut


hukum.
(2) Menyangkut obyek perdamaian. Tentang obyek perdamaian
haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut :
(a) Berbentuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah
dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak milik atas
kekayaan intelektual (HAKI) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat
diserahterimakan, dan bermanfaat.
(b)

Dapat

diketahui

secara

jelas

sehingga

tidak

melahirkan

pertikaian yang baru terhadap obyek yang sama (sedangkan perdamaian


memutus pertikaian untuk selama-lamanya).
(3) Persoalan yang boleh didamaikan. Tidak semua persoalan dapat
didamaikan (diadakan perjanjian perdamaian). Adapun persoalan atau
pertikaian yang boleh atau dapat dilakukan perdamaian hanyalah sebatas
menyangkut hal-hal berikut :
(a) Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat dinilai.
(b) Pertikaian itu menyangkut hak manusia, maksudnya adalah
perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah
(hukum privat), sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak
Allah SWT tidak dapat diadakan perdamaian.24
3) Macam-Macam Ash-Shulh
Menurut Muhibin Aman Aly dalam bukunya Mengenal Istilah Dan
Rumus Fuqaha, membagi perdamaian menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

24 Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafindo, Jakarta, 2000, hlm.
181-183.

(1) Perdamaian antara muslim dengan kafir. Yakni membuat


perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa-masa tertentu secara
bebas atau dengan cara mengganti kerugian yang diatur dalam UndangUndang yang telah disepakati kedua belah pihak, atau biasa dikenal
dengan istilah gencatan senjata).
(2) Perdamaian antara Kepala Negara dengan pemberontak. Yaitu
membuat

perjanjian

atau

peraturan

yang

harus

ditaati

mengenai

keamanan.
(3) Perdamaian antara suami dan isteri. Yaitu membuat perjanjian
dan aturan-aturan mengenai pembagian nafkah, masalah durhaka, dan
dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi
perselisihan.
(4)

Perdamaian

dalam

bidang

muamalah.

Yaitu

membentuk

perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dalam perselisihan yang


terjadi dalam masalah muamalah.25 Perdamaian dalam bidang atau
urusan muamalah, misalnya: masalah utang-piutang, masalah jual beli,
masalah orang yang berlaku curang dengan orang yang tidak curang,
masalah pembunuhan, masalah harta termasuk harta warisan, dan lain
sebagainya.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, membagi perdamaian (AshShulh) menjadi 4 (empat), yaitu :26

25 Muhibin Aman Aly, Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha, Madrasah Hidayatul
Mubtadiin, Kediri, 2002, hlm. 65.

26 Sayyid Sabiq, loc.cit, hlm. 218-222.

(1) Perdamaian tentang ikrar (Shulhiqrar). Shulhiqrar adalah bahwa


seorang mendakwa orang lain yang berhutang atau adanya materi atau
manfaat pada si terdakwa. Kemudian si terdakwa mengakui hal tersebut,
lalu mereka berdamai (bersulhu), bahwa si pendakwa mengambil sesuatu
dari si terdakwa. Karena manusia tidak selalu berkeberatan gugurnya
semua haknya atau sebagian dari haknya.
(2) Perdamaian tentang ingkar (Shulh inkar). Perdamaian tentang
ingkar (Shulh inkar) adalah bahwa seseorang menggugat orang lain
tentang suatu materi atau hutang atau manfaat, kemudian si tergugat
ingkar, mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, lalu mereka
berdamai (bershulh).
(3) Perdamaian tentang Sukut (ShulhSukut). Perdamaian tentang
Sukut (Shulh Sukut) adalah bahwa seseorang menggugat orang lain
tentang sesuatu, kemudian yang digugat berdiam diri, tidak mengakui
dan tidak mengingkari.
(4) Perdamaian (Shulh) tentang hutang yang ditangguhkan dengan
membayar sekarang sebagian, dan tidak boleh dalam shulh yang
merupakan penyelesaian secara tuntas, dari (sesuatu yang diterima)
sebagian, yang pada asalnya penangguhan sebagian karena syarat yang
tidak ada di dalam Kitabullah, adalah batil.
Tetapi ia adalah suatu jenis tanggungan sekarang ia boleh
menunggunya

sesuai

dengan

merupakan perbuatan baik.

keinginannya

tanpa

syarat

karena

Anda mungkin juga menyukai