Anda di halaman 1dari 35

FIQIH MU'AMALAH

Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat,
mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci

PENGERTIAN UMUM
1. Dalam arti luas : kumpulan hukum yang disyariatkan Islam yang mengatur hubungan
kepentingan antarsesama manusia dalam berbagai aspek.
2. Dalam arti khusus: adalah peraturan yang menyangkut hubungan kebendaan; ia berisi
pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain, seperti hak pembeli
terhadap harta dan hak penjual mendapatkan uang

PEMBAGIAN HUKUM ISLAM


3. Ibnu Abidin (1198 H/1784M – 1252H/1836 M;
Berpendapat bahwa pokok-pokok Hukum Islam ialah akidah, akhlak, ibadah, muamalah dan
jinayah. Dari pokok-pokok tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Ibadah (shalat, zakat, puasa, haji dan jihad),
2. Muamalah (transaksi keharta bendaan, perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya
seperti gugat cerai, warisan dll,
3. Jinayah (qisas, zina, murtad dll)
4. Ulama’ mazhab Syafi’I, lapangan Hukum Islam adalah;
→ Ibadah,
→ Muamalah,
→ Munakahah dan
→ Uqubah.
5. Ulama’ kontemporer :
→ Fiqh Ibadah,
→ Fiqh Muamalah,
→ Fiqh Siyasah,
→Fiqh Munakahat dan
→ Fiqh Jinayah
Meskipun ada perbedaan pendapat dalam pembidangan Hukum Islam (fiqh), ulama’ sepakat
secara garis besar Hukum Islam terbagai ke dalam 2 bidang Ibadah dan Muamalah.

PEMBAGIAN FIQH MUAMALAH


1. Ibnu Abidin : → Maliyah (hukum kebendaan),
: → Munakahat (Hukum Perkawinan),
: → Murafa’at (Hukum Acara),
: → Amanat dan ‘Ariyat (Pinjaman),
: → Tirkah (Harta peninggalan).
2. Ali Fikri membaginya :
1. Muamalah al Madiyah : (muamalah yang mengkaji segi obyeknya, benda. Yakni benda
yang halal, haram, madlarat, manfaat dll);
2. Muamalah al-Adabiyah : (mengkaji dari sisi aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan
aktivitas manusia dari segi subyeknya, manusia sebagai pelakunya ex; jujur, dusta, iri,
dendam dll)

RUANG LINGKUP FIQH MUAMALAH


Berdasarkan pembagian Ali Fikri, ruang lingkup fiqh Muamalah:
1. Yang tekait dengan aturan transaksinya (Muamalah Adabiyah): ijab kabul, saling meridlai,
hak dan kewajiban dll
2. Yang terkait dengan pola trnasaksi pada obyeknya; seperti gadai, syirkah, ujrah, musaqah,
syuf’ah dll.

Lanjuuut……….!!!
RUANG LINGKUP FIQIH MUAMALAH
Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
1. Al-Muamalah Al-Adabiyah.
Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada
keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan,
pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta.
2. Al-Muamalah Al-Madiyah
1. Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
2. Gadai (rahn)
3. Jaminan/ tanggungan (kafalah)
4. Pemindahan utang (hiwalah)
5. Jatuh bangkit (tafjis)
6. Batas bertindak / Boikot (al-hajru)
7. Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
8. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
9. Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
10. Upah (ujral al-amah)
11. Gugatan (asy-syuf’ah)
12. Sayembara (al-ji’alah)
13. Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
14. Pemberian (al-hibbah)
15. Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
16. beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi,
kredit, dan masalah lainnnya.
17. Pembagian hasil pertanian (musaqah)
18. Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
19. Pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
20. Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
21. Pinjaman barang (‘ariyah)
22. Sewa menyewa (al-ijarah)
23. Penitipan barang (wadi’ah)

SUMBER-SUMBER FIQIH MUAMALAT


Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang
berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih
islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.  
1) Al-Quran
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab
yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-
Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hokum dan
perundang-undangan.sebagai sumber hukum yang utama,Al-Quran dijadikan patokan pertama
oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. 
2) Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-
Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.
3) Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka
penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain
yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja.
Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam
nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah
terdapat dalam nash.
KONSEP HAK, MILIK, AKAD DAN HARTA dalam FIQH MUAMALAH

1. HAK
Hak adalah: Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau
suatu bebean
 Dari segi Pemilik hak dibagi menjadi hak Allah, hak manusia, dan hak berserikat.
 Dari segi Obyek, hak dibagi menjadi:
 Haq Al Mal (hak yang terkait dengan harta),
 Haq Ghairu Al-Mal (yang tidak terkait dengan harta),
 Haq Al-Syakhsyi (hak pribadi),
 Haq Al-Aini (hak materi, misal meskipun sebuah harta ada ditangan pencuri tetapi ia
tetap permanen milik yang punya),
 Haq Mujarrad (hak murni, misal: dalam persoalan hutang, jika pemberi utang
menggugurkan hutangnya, maka hal tersebut tidak memberi bekas sedikitpun bagi yang
berutang,
 Haq Ghairu Al-Mujarrad (hak apabila digugurkan akan tetap memberika bekas bagi
yang melanggar hak, misal qisas, apabila ahli wris memaafkan pembunuh, pembunuh
yang tadinya halal dibunuh haram dibunuh).

2. MILIK
adalah pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkan untuk bertindak
terhadap benda tersebut sesuai dengan keinginannya.
Sebab-sebab milik:
 Ikhraj al Mubahat; melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau
badan hukum, seperti kayu di belantara
 Al Milk bi al-Aqd; kepemilikan yang terjadi melalui suatu akad yang dilakukan dengan
seseorang atau badan hukum, seperti jual beli, hibah dan waqaf
 Al Milk bi al-Khalafiyah; kepemilikan yang terjadi dengan cara penggantian dari seseorang
kepada orang lain (waris), maupun penggantian suatu dari suatu benda yang disebut tadmin
atau ta’wid (ganti rugi)
 Tawallud Min Mamluk, yakni hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik hasil
itu datang secara alami (seperti buah di kebun) atau melalui usaha pemiliknya (seperti hasil
usaha sebagai pekerja atau keuntungan yang diperoleh seorang pedagang)
3. AKAD
a. Pengertian Akad
 Bahasa: al-aqd = perikatan, perjanjian, pertalian, permufakatan (al-ittifaq)
 Istilah: pertalian ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada
obyek
b. Rukun akad ****
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari :
 Sighat al-’Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri
 Pihak-pihak yang berakad
 Obyek akad
Ulama’ mazhab Hanafi: rukun akad hanya satu sighatu al-’aqd. Sedangkan pihak-pihak yang
berakad dan obyek akad tidak termasuk rukun, tetapi syarat.
c. Syarat-syarat umum akad
 Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak (mukalaf). Jika akad dilakukan
oleh orang yang belum cakap bertindak, maka harus dilakukan walinya.
 Obyek akad diakui syara’
 Akad tidak dilarang syara’
 Akad harus memenuhi syarat, baik syarat umum maupun khusus
 Bermanfaat
 Ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya kabul (contoh, pembeli menyampaikan
ijabnya dengan tertulis, yang memerlukan waktu beberpa hari. Sebelum surat yang
mengandung ijab itu sampai penjual, pembeli meningal atau gila. Maka akad tersebut
batal.
 Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis
 Tujuan akad jelas dan diakui syara’.
d. Macam-macam akad
1) Akad Shahih
2) Akad nafidz; yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan
tidak ada penghalang untuk melaksanakannya
3) Akad mauquf; yaitu akad yang dilakukan oleh orang yang cakap bertindak tetapi ia tidak
memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad tersebut. Seperti akad
yang dilaksanakan anak mumayyiz, akad fudluli ialah akad yang dilakukan seseorang
atas nama orang lain
4) Akad Bathil; yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehinga
seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang
berakad.
5) Mazhab hanafi: menambahkannya dengan akad fasid, ialah akad yang dilakukan sesuai
syara’ tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas.
e. Berakhirnya Akad
 Berakhirnya masa berlaku akad, jika akad tersebut memiliki tenggang waktu
 Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, jika akad tersebut bersifat tidak mengikat
 Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat berakhir jika:
 Akad tersebut fasid seperti salah satu rukun atau sarat tidak terpenuhi
 Berlakunya khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar rukyah
 Akad tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
 Sudah tercapainya tujuan akad secara sempurna
 Wafatnya salah pihak yang berakad contoh akad rahn, kafalah, sewa, syirkah dll; akan
tetapi ulama’ fiqh menyatakan, tidak semua akad berakhir bersamaan dengan wafatnya
salah satu pihak contoh wakaf, hibah dll.

4. HARTA
Adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara baik dalam bentuk
materi maupun dalam bentuk manfaat.
Ulama’ fiqh membagi harta yang bisa dimiliki seseorang kepada 3 bentuk:
1) harta yang bisa dimiliki dan dijadikan dalam penguasaan seseorang secara khusus, misalnya
milik yang dihasilkan melalui sebab-sebab kepemilikan
2) Harta yang sama sekali tidak bisa dijadikan milik pribadi, yaitu harta yang ditetapkan untuk
kepentingan umum.
3) Harta yang hanya bisa dimiliki apabila ada dasar hukum yang membolehkannya, seperti harta
wakaf yang biaya pemeliharaannya melebihi nilai harta itu sendiri.

5. TASHARRUF
ialah segala tindakan yang muncul dari seseorang dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan
beberapa hak atas orang tersebut.
Tasharruf ada dua macam:
1) Tasharruf Fi’li ; segala tindakan yang dilakukan dengan anggota badan selain lidah
2) Tasharruf Qauli ; ada dua bentuk:
 Qauli Aqdi → ialah perkataan kedua belah pihak yang berhubungan seperti
jual beli dan sewa menyewa;
 Qauli Gharu Aqdi → ialah pernytaan mengadakan hak atau menggugurkannya
(seperti wakaf dan talak) dan ada yang berupa tuntutan hak seperti gugatan, ikrar dan
sumpah untuk menolak gugatan.
Lanjutan……….
HARTA (AL-AMWAL)
 Secara etimologis : harta = mal (amwal) = condong atau berpaling dari tengah ke salah satu
 Therminologis : segala sesuatu yang menyenangkan manusia, dan menjadikannya untuk
condong mengusai, memelihara baik dalam bentuk materi maupun manfaat.

 Ulama’ mazhab Hanafi ; harta = segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan
ketika dibutuhkan (sesuatu yang dapat, dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan
 Jumhur Ulama’ ; harta= sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi
bagi orang yang merusak atau yang melenyapkan.

Perbedaan esensi harta antara Ulama’ mazhab Hanafi dan jumhur


 Bagi Jumhur Ulama’ harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di
dalamnya
 Ulama’ mazhab hanafi pengertian harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk
ke dalam pengertian hak milik. (meskipun begitu, Ulama’ mazhab Hanafi Mutaakhirin
seperti Musthafa Ahmad az-Zarqa’ Wahbah az-Zuhaily, mengikuti pendapat jumhur

Implikasi perbedaan pendapat


 Apabila seseorang mempergunakan harta orang lain secara ghasab, menurut jumhur Ulama’
orang tersebut dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat harta tersebut mempunyai nilai harta,
sedangkan mazhab hanafi sebaliknya
 Dalam kasus sewa menyewa; apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain,
kemudian pemilik rumah wafat, maka kontrak sewa menyewa tersebut harus dibatalkan, dan
rumah harus diserahkan kepada ahli warisnya, karena manfaat tidak termasuk harta yang bisa
diwariskan; sementara pendapat jumhur menyatakan kontrak tersebut dapat berlangsung terus
sampai masa kontrak habis, karena manfaat adalah harta yang dapat diwariskan

PEMBAGIAN HARTA DAN AKIBAT HUKUMNYA


A. Berdasarkan kebolehan memanfaatkan
1) Harta Mutaqowwim (halal untuk dimanfaatkan)
2) Ghair Mutaqawwim (tidak halal untuk dimanfaatkan/tidak dianggap sebagai harta)
Implikasi hukumnya;
 Tidak dibolehkannya umat islam menjadikan harta ghairu mutaqowwim sebagai obyek
transaksi
 Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi apabila mereka merusak atau melenyapkan
harta ghairu Mutaqawwim
Harta ghairu mutaqawwim di tangan kafir dzimmi
 Jumhur Ulama’ ; berpendapat bahwa ia tetap tidak bernilai harta (ghairu
mutaqqwwim), sehingga umat islam yang melenyapkan harta tersebut tidak dituntut ganti
rugi, karena ia bukan harta
 Ulama’ Mazhab Hanafi; berpendapat bahwa harta tersebut mutaqwwim bagi kafir dzimmi,
sehingga umat Islam yang melenyapkannya tetap dituntut ganti rugi

B. Berdasarkan Jenisnya
1) Harta bergerak
2) Harta tidak bergerak
Akibat hukumnya
 Adanya hak syuf’ah (hak istimewa yang dimiliki seseorang terhadap rumah tetangganya
yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya) bagi harta tidak
bergerak.
 Harta yang boleh diwakafkan. Hanafiy, harta yang boleh diwakafkan hanyalah yang tidak
bergerak atau harta bergerak yang sulit dipisahkan dengan harta yang tidak bergerak
 Seorang yang diwasiyati untuk memelihara harta anak kecil, tidak boleh menjual harta tidak
bergerak si anak kecuali atas seizin hakim dalam hal yang amat mendesak (contoh untuk
membayar hutang si anak) sedangkan terhadap harat yang dapat bergerak boleh menjualnya
untuk kebutuhan sehari-hari
 Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ghasab tidak mungkin dilakukan pada harta
tidak bergerak, karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan, sedangkan menurut mereka
syarat ghasab adalah barang yang dighasab dapat dikuasai dan dipindahkan oleh orang yang
mengghasab, di samping itu sekedar memanfaatkan benda tidak bergerak tidak dinamakan
ghasab, sebab manfaat tidak termasuk harta, akan tetapi jumhur Ulama’ berpendapat ghasab
bisa terjadi pada benda bergerak maupun benda tidak bergerak, sebab manfaat disebut juga
harta.

C. Berdasarkan segi pemanfaatannya


1) Harta Isti’mali : pemanfatannya tidak menghabiskan benda tersebut (contoh; rumah,
lahan pertanian, buku, dll).
2) Harta Istihlaki : pemanfatannya menghabiskan harta tersebut (contoh makanan, sabun,
pakaian dll)

D. Berdasarkan ada dan tidaknya di pasaran


1) Harta al-Mistli : (harta yang ada jenisnya di pasaran)
2) Harta al-Qimi : (harta yang tidak ada jenis yang sama di pasaran atau ada jenisnya
tetapi pada setiap satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan pepohonan. Logam
mulia, dan alat-alat rumah tangga.
Akibat Hukum
 Dalam harta yang bersifat al-qimi, tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak
sama, namun pada harta yang bersifat al-misli bisa berlaku trnasaksi yang menjurus pada
riba.
 Dalam suatu perserikatan harta yang bersifat al-misli, seorang mitra serikat boleh
mengambil bagiannya ketika mitra dagangnya sedang tidak di tempat. Akan tetapi pada
harta yang bersifat al-qimi, masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama
pihak lainnya tidak berada di tempat
 Apabila harta yang bersifat al-misli dirusak seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti
dengan harta sejenis, namun apabila pengrusakan dengan sengaja terhadap harta yang
bersifat al-qimi harus diganti dengan memperhitungkan nilainya

E. Berdasarkan status harta


1) Al-Mal al-Mamluk ; harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi mapun badan hukum
2) Al-Mal al-Mubah ; harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di
hutan belantara dll
3) Al-Mal al Mahjur : harta yang dilarang syara’ untuk dimilikinya, baik karena harta itu
harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.

F. Berdasarkan bisa dibagi atau tidaknya


1) Harta “bisa dibagi” ; ialah harta yang apabila dibagi, maka harta tersebut tidak rusak atau
manfaatnya tidak hilang.
2) Harta “tidak bisa dibagi”, ialah apabila harta tersebut dibagi akan rusak atau hilang manfaatnya
Implikasinya;
 Terhadap harta yang bisa dibagi, bisa dilakukan eksekusi putusan hakim untuk
membaginya. Adapun terhadap harta yang tidak bisa dibagi keputusan hakim tidak bisa
memaksa untuk membagi harta tersebut, tetapi harus dilakukan eksekusi berdasarkan
kerelaan masing-masing pihak
 Apabila seseorang mengeluarkan biaya untuk memelihara harta serikat tanpa seizin
mitranya dan tanpa seizin hakim, sedangkan harta serikat itu termasuk harta yang bisa
dibagi, maka ia tidak bisa nuntut ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan kepada mitranya,
karena harta yang dikeluarkan tersebut dianggap sedekah. Namun apabila harta serikat
tersebut tidak bisa dibagi, maka tuntutan ganti rugi atas biaya pemeliharaan harta yang telah
dikeluarkan satu pihak, dapat diajukan kepada pihak lain.
G. Berdasarkan segi berkembang tidaknya
1) Al-mal al-ashl; ialah harta yang menghasilkan seperti pohon, rumah, tanah dll
2) Al-mal al-tsamr; ialah buah yang dihasilkan dari suatu harta seperti hasil sewa rumah, buah-
buahan dari pohon tertentu, hasil panenan, dll
Implikasi hukumnya;
 Asal harta wakaf tidak bisa dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi
buah atau hasil darinya dapat dibagikan kepada mereka
 Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi
hasilnya bisa dimiliki siapapun
 Dalam suatu transaksi yang obyeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak atas
hasilnya. Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang pekarangannya ada
pohon buah, maka buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh
memperjualbelikannya kepada orang lain.

H. Berdasarkan pemiliknya;
 Harta bisa berubah status dari milik pribadi ke milik umum, begitu juga sebaliknya.
Perubahan status ini dapat terjadi melalui:
 Kehendak sendiri dari pemiliknya; misal seseorang menyerahkan hartanya menjadi harta
wakaf yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umat
 Kehendak syara’; seperti kebutuhan umat yang mendesak untuk membuat jalan umum di
atas tanah milik pribadi. Dalam hal ini penguasa bisa mempergunakan tanah pribadi untuk
kepentingan umum

JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli


Etimologis: Al-bai’ = menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain; dalam
bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata as-syira’ (beli). Maka,
kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga beli
Therminologis:
 Di kalangan Ulama’ Hanafi terdapat dua definisi:
Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu
Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.
 Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali:
“jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan
pemilikan”.

Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan; karena ada pula tukar menukar harta/barang
yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa menyewa.
B. Dasar Hukum Jual Beli
 Islam memandang jual sebagai sarana tolong menolong antar sesama manusia
QS: al-Baqarah 275 artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
QS al-baqarah:198 “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu
QS al-Nisa’: 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu
 Hadis dari Rifaah bin Rafi’ al-Bazzar dan al-Hakim yang menyatakan bahwa Rasulullah
SAW bersabada ketika ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang
paling baik, Rasulullah ketika itu menjawab : “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual
beli yang diberkati. Maknanya adalah jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan dan
mendapat berkat dari Allah SWT.
Rasulullah bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga)
dengan para Nabi, para siddiqin dan para Syuhada’.
C. Hukum Jual Beli
Hukum asal Jual beli adalah mubah
Akan tetapi, dalam situsi tertentu, jual beli bisa menjadi wajib. Syatibi mengambil contoh: ketika
terjadi ihtikar, sehingga terjadi harga yang melonjak, maka pemerintah wajib memaksa penimbun
untuk menjual barang dagangannya, dan penjual wajib untuk menjual barang dagangannya sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah.
D. Syarat Jual beli:
a. Syarat orang yang berakad
1) Berakal
Jumhur: anak kecil yang belum akil baligh tidak syah melakukan transaksi jual beli,
meskipun mendapatkan izin dari walinya
Mazhab Hanafi: anak kecil yang sudah mumayyiz syah melakukan akad apabila akad
tersebut membawa keuntungan bagi dirinya (seperti menerima hibah, wasiyat, sadaqah).
Sebaliknya apabila akad tersebut membawa kerugian bagi dirinya seperti meminjamkan
hartanya kepada orang lain, mewakafkan, atau menghibahkan, maka tindakan hukumnya
dipandang tidak syah. Dan jika akad yang dilakukannya mengandung manfaat dan madarat
sekaligus, maka tindakan hukumnya dipandang syah jika diizinkan oleh walinya
2) Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda

b. Syarat yang terkait dengan ijab kabul


1) Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal menurut jumhur, atau berakal
menurut mazhab Hanafi (sesuai dengan persyaratan poin a.)
Kabul sesuai dengan ijab; contoh aku jual baju ini 10 ribu, pembeli menjawab: saya beli
baju ini 10 ribu.
2) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis; artinya antar penjual dan pembeli hadir dalam
satu ruang yang sama.
Ulama’ fiqh kontemporer, seperti Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ dan Wahbah Zuhaily,
berpendapat bahwa satu majlis tidak harus diartikan hadir dalam satu tempat, tetapi satu
situasi dan kondisi, meskipun antara keduanya berjauhan, tetapi membicarakan obyek
yang sama.
tentang persyaratan ini muncul istilah ba’I al-mu’athah; ialah jual beli yang dlakukan
dimana pembeli mengambil barang dan membayar, dan penjual menerima uang dan
menyerahkan barang tanpa ada ucapan apapun, seperti yang terjadi di swalayan

c. Syarat barang yang diperjualbelikan


1) Barang tersebut ada. Atau tidak berada di tempat tetapi penjual dapat meyakinkan dia bisa
menghadirkan barang tersebut.
2) Barang tersebut bermanfaat bagi manusia
3) Barang berada dalam milik penjual.
Dapat diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati saat akad
berlangsung

E. Rukun Jual Beli


Mazhab Hanafi: rukun jual beli hanya satu ialah ijab. Menurut mereka, yang paling prinsip jual
beli adalah saling ridla yang diwujudkan dengan kerelaan untuk saling memberikan barang.
Jumhur Ulama’ : Rukun jual beli ada 4 yaitu:
 orang yang berakad (penjual dan pembeli)
 Shighat (lafal ijab dan qabul)
 Barang yang dibeli
 Nilai tukar pengganti barang

Menurut mazhab hanafi: orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk
dalam syarat jual beli bukan rukun.
F. Bentuk-bentuk Jual Beli
1. Jual beli shahih; ialah jual beli yang dilakukan dengan memenuhi syarat rukun syara’
2. Jual beli bathil; ialah jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukun yang sesuai dengan
syara’. Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut:
 Jual beli sesuatu yang tidak ada
 menjual barang yang tidak bisa diserahkan kepada pembeli
 Jual beli yang mengandung tipuan
 Jual beli benda-benda najis
 Jual beli al-’arbun; yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian; jika
barang yang sudah dibeli dikembalikan oleh pembeli, maka uang yang telah diserahkan
kepada penjual merupakan hibah bagi penjual.
 Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut. Akan tetapi air sumur pribadi menurut
jumhur boleh diperjualbelikan.
3. Jual beli yang fasid : bentuk jual beli ini adalah menurut pendapat Mazhab Hanafi. Menurut
mazhab Hanafi, apabila kerusakan barang terkait dengan barang yang diperjualbelikan maka
hukumnya batil, namun jika kerusakan jual beli itu menyangkut harga barang dan bisa
diperbaiki, maka hukum jual beli tesebut fasid. Seperti jual beli dalam ke-majhul-an sebagian
barang. Di samping kemajhulan terhadap barang yang dibeli, juga bisa terkait dengan harga
dan nilai tukar
Pengertian lain dari jual beli fasid: jual beli dilakukan dengan akad yang disyaratkan tetapi
sifat yang diakadkan tidak jelas.

RAHN
A. Pengertian Rahn
 Lughawi: tetap, kekal dan jaminan
 Istilah
- Mazhab Maliki: harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat. Menurutnya harta tersebut bukan saja berupa materi, namun juga berupa manfaat.
- Mazhab hanafi: menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagiannya.
- Mazhab Syafi’I dan Hanbali: menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar hutangnya.
Harta yang dimaksud oleh mazhab ini sebatas berupa materi, bukan termasuk manfaat
B. Rukun Rahn
- Jumhur Ulama’: 1. sighat, 2. rahin wal murtahin, 3. marhun (barang yang dijadikan obyek), 4.
al-marhun bih (hutang)
- Mazhab Hanafi: rukun rahn hanya satu ijab.
C. Syarat-syarat Rahn (yang terkait dengan orang yang berakad)
- Cakap bertindak
Jumhur: akil baligh
Mazhab Hanafi: kedua belah yang berakad tidak disyaratkan baligh, namun cukup berakal; oleh
karena itu anak kecil yang telah mumayyiz dibolehkan melakukan akad rahn, dengan syarat
mendapatkan izin walinya

Syarat sighat
- Hanafi: dalam akad rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan
masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad rahn
dikaitkan dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang maka syaratnya batal sedang
akadnya syah. Misal: “debitor mensyaratkan apabila tenggat waktu utang telah habis dan utang
belum terbayar, maka rahn diperpanjang satu bulan”.
- Mazhab syafi’i, Maliki, Hanbali: apabila syarat tersebut mendukung kelancaran akad, maka
syarat tersebut dibolehkan, tetapi jika syarat tersebut bertentangan dengan tabiat rahn, maka
syarat tersebut dinyatakan batal
D. Syarat al-marhun bih
- Hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
- Utang bisa dilunasi dengan agunan tersebut
- Utang jelas dan tertentu
E. Syarat al-Marhun (barang yang dijadikan agunan)
- Agunan bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang
- Bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
- Jelas dan tertentu
- Milik syah debitor
- Tidak terkait dengan hak orang lain
- Merupakan harta yang utuh dan tidak bertebaran di beberapa tempat
- Bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya
F. Pemeliharaan Barang Jaminan
- Ulama’ fiqh sepakat bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk memelihara barang jaminan
mejadi tanggungjawab pemiliknya.
- Ulama’ fiqh juga sepakat, bahwa barang jaminan tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena
tindakan tersebut termasuk tindakan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah
G. Pemanfaatan Barang Jaminan
- Jumhur Ulama’ berpendapat: bahwa pemegang agunan tidak boleh memanfaatkan barang
agunan tersebut, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang agunan
terhadap barang tersebut hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan dan apabila debitor
tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa mengambil barang tersebut.
- Jika pemanfaatan tersebut atas seizin pemiliknya, menurut sebagian mazhab Hanafi
membolehkannya, sebab dengan adanya izin tidak ada lagi halangan bagi pemegang agunan
untuk memanfaatkan.
- Menurut mazhab Syafi’I, Mazhab Maliki dan sebagian mazhab Hanafi yang lain; sekalipun
pemilik barang tersebut mengizinkannya, pemegang agunan tidak boleh memanfaatkannya,
sebab apabila barang tersebut dimanfaatkan, hasil barang tersebut termasuk riba yang dilarang
syara’.
H. Jaminan Berupa binatang ternak
- Ulama’ mazhab Hanafi: pemegang jaminan boleh memanfaatkan jaminan apabila mendapatkan
izin dari pemiliknya
- Ulama’ mazhab Maliki dan Syafi’i: apabila binatang tersebut dibiarkan saja, tanpa diurus oleh
pemiliknya, maka bagi pemegang jaminan boleh memanfaatkannya.
- Ulama’ mazhab Hanbali: pemegang agunan boleh mengambil susunya sebesar untuk biaya
perawatannya, selebihnya diangap riba.

Pemanfaatan Jaminan oleh Rahin?


 Ulama’ mazhab Hanafi dan Hanbali: pemilik barang boleh memanfaatkan barang jaminan, jika
diizinkan oleh murtahin (pihak yang ditipi barag gadai), segala resiko menjadi tangungjawab
yang memanfaatkan.
 Ulama’ Syafi’i: bagi pemilik barang boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, karena
sesungguhnya barang tersebut miliknya dan pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk
memanfaatkannya. Akan tetapi pemanfaatan tersebut tidak boleh merusak barang tersebut.
 Ulama’ mazhab Maliki: pemilik barang tidak boleh memanfaatkan barang jaminan, baik
diizinkan maupun tidak, sebab barang tersebut berstatus sebagai jaminan utang dan tidak lagi
hak pemilik penuh.
RIBA, GHARAR DAN MAYSIR

RIBA
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.” al-Quran 2 : 275 – 278
A. Pengertian Riba
Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam
bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang
diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
Kelebihan ini mengacu pada dua hal:
1. Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot
maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang fakih,
dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd memaparkan beberapa sumber riba
ke dalam delapan jenis transaksi:
a. Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam pelunasan)
dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
b. Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
c. Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
d. Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
e. Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
f. Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
g. Penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
h. atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.

B. Jenis-Jenis Riba
1. Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik
penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja
seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang
habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda
yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah
transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl,
karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu.
Riba al-fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman, riba al-fadl merupakan bunga
yang harus dibayar. Namun pada umumnya riba ini mewakili peningkatan tambahan terhadap
nilai tanding yang diminta oleh satu pihak.
2. Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan)
yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak
dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium
pembayaran (emas, perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
Riba an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam pertukaran (safar) jenis
benda yang serupa. Tetapi pengharaman ini diperluas sampai perdagangan umum jika dayn
mewakili uang yang melampaui ciri privatnya dan menggantikan ‘ayn sebagai alat pembayaran
umum. Memahami riba an-nasiah amat sangat penting agar mampu mengerti kedudukan kita
berkenaan dengan uang kertas. Alasan mengapa kaum ulama modernis mengambil pandangan
yang menyimpang tentang riba jelas-jelas untuk mensahkan perbankan yang sebetulnya tidak
bisa diterima. Pembenaran ini kemudian hari menjelma menjadi perbankan Islam. Prinsip
darurat digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah memungkinkan mereka
membenarkan penggunaan uang kertas dan pada gilirannya membenarkan perbankan dengan
cadangan uang (fractional reserve banking) yang merupakan basis sistem modern perbankan.

GHARAR
A. Pengertian dari Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak
mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. Dalam kitab
fikih, gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar
(pertaruhan) dan menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan,
al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3] Sedangkan menurut Al-
Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual
beli dalam bahaya, yang tidak diketahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan
memperolehnya, dan hal ini termasuk dalam kategori perjudian.
Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya menggiurkan
pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar
semua jual beli tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga
ada faktor atau pihak lain yang menjelaskannya
B. Dalil tentang Pelarangan Gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang
dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.
Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah
diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan
baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur
penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[5] “Rasulullah SAW telah melarang jual beli
muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).
C. Macam-macam Gharar
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga;
1. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar al-katsir)
yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual
beli mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al-madhamin, dan
sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad
seperti ini.
2. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir). Para
ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad.
Contohnya seseorang membeli rumah dengan tanahnya
3. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua?
Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-
beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini,
disebabkan sebagian mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau
tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga
memperbolehkannya.

D. Klasifikasi Gharar
a.    Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu
yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh.
b.    Zero Sum Game
     Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang
hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak
adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik
tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero
sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang
mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar
sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada
yang rugi)[7] juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika
transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan
sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing).
Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa
berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku
spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan
ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.
c.    Normal Exchange
     Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah
pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal
ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih
besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang
yang dijual.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921)
risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis.

MAISIR
A. Pengertian dari Maisir dan Dalil yang Mendasari Pelarangannya
 Makna Bahasa: Maisir dan Undian
Maisir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya sama,yaitu menjadi judi
 Makna Istilah: Maisir dan Undian
Berikut beberapa definisi judi (Maisir/Qimar) :
- Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahawa judi adalah
setiap permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua pihak (muraahanah).
- Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rawa’i’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat
Al-Ahkam (I/279),menyebut bahawa judi adalah setiap permainan yang menimbulkan
keuntungan (rabh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya.

Maysir atau Qimar secara harfiah bermakna judi. Secara tekniknya adalah setiap permainan yang
di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa loteri) yang diambil dari pihak yang kalah untuk
pihak yang menang

Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
1. Adanya taruhan (tambahan) harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah
3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan
pihak yang kalah kehilangan hartanya

Jika 3 syarat diatas terpenuhi maka termasuk kategori judi dan Islam mengharamkannya.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (al-maysir),
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al-Maidah 90)
IJARAH

PENGERTIAN
 Lughawi : upah, sewa, jasa atau imbalan
 Istilah :
- Ulama’ mazhab Hanafi: transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.
- Ulama’ mazhab Syafi’i : transaksi terhadap suatu barang yang dituju, tertentu, bersifat mubah
dan bisa dimanfaatkan.
- Ulama’ mazhab Maliki dan Hanbali: pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu
tertentu dengan suatu imbalan.
Beberapa Batasan
- Akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat
- Akad ijarah tidak berlaku bagi sesuatu (barang) yang menghasilkan sesuatu (barang), seperti
pohonan yang menghasilkan buah, sebab buah itu sendiri berujud materi, sedangkan dalam akad
ijarah harus berujud manfaat
- Akad ijarah juga tidak boleh terhadap nilai tukar uang, sebab penyewaan terhadap uang akan
menghabiskan materinya, sedangkan dalam akad ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu
benda
Ibn Taymiyah tidak sepakat dengan batasan poin 2 di atas; menurutnya, manfaat sama dengan materi.
Ia menyamakan dengan bolehnya orang mewakafkan manfaat suatu barang.

DASAR HUKUM IJARAH


- QS : Az-Zukruf : 32
- QS : At-Thalaq : 6
- QS : Al-Qashash : 26
- Sabda Rasulullah SAW :
“berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka ”
(HR: Abu Ya’la, Ibn Majah, al-Tabrani, al-Tirmidzi).
“Siapa yang menyewa seseorang, maka hendaklah ia beritahu upahnya”. (HR: Abd al-razaq dan
al-Baihaqi)
Ibnu Abbas berkata: Rasullah SAW berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang
membekamnya. :HR Al-Bukhari, Muslim, Amad Bin Hanbal)

RUKUN IJARAH
 Jumhur al-Ulama’:
- Orang yang berakad
- Sewa/imbalan
- Manfaat
- Sighat (Ijab kabul)
 Mazhab Hanafi: rukun ijarah satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan kabul (persetujuan
terhadap sewa menyewa).

SYARAT IJARAH
1. Kedua orang yang berakad telah berusia akil baligh, menurut Mazhab syafi’i dan Hanbali.
Sementara menurut mazhab Hanafi dan Maliki, orang yang berakad cukup pada batas mumayyiz
dengan syarat mendapatkan persetujuan wali
2. Ada kerelaan antara kedua belah pihak
3. Manfaat yang menjadi obyek ijarah diketahui sempurna dengan cara menjelaskan jenis dan berapa
lama manfaat ada di tangan penyewa.
- Imam Syafi’i: tentang waktu ia mencontohkan; “apabila sesorang menyewa sebuah rumah satu
tahun dengan akad per bulan, maka transaksi sewa tersebut batal, sebab akad tsb harus diulang
setiap bulan dan hal tersebut mengurangi kejelasan waktu akad.
- Jumhur: akad di atas dipandang syah dan mengikat untuk bulan pertama. Sedangkan bulan
berikutnya, jika terjadi pembayaran dianggap syah meski tanpa akad lagi, sebagaimana yang
terjadi pada al-bay’ al-mu’athah.
4. Obyek ijarah dapat diserahkan dan tidak cacat. Jika terjadi cacat, ulama’ fiqh sepakat bahwa
penyewa memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkannya
5. Obyek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan syara’
6. Yang disewakan bukan kewajiban bagi penyewa. Misal menyewa orang untuk melaksanakan
shalat.
Ada perbedaan pendapat tentang menyewa orang untuk menjadi muadzin, menjadi Imam Shalat,
mengajarkan al-Qur’an dll:
- Mazhab Hanbali dan Hanafi: tidak boleh menyewa orang untuk menjadi muazin, Imam shalat,
mengajarkan al-Qur’an dll; sebab hal tersebut merupakan pekerjaan taat, dan terhadap
pekerjaan taat seseorang tidak boleh menerima gaji, berdasarkan riwayat Amr Bin Ash:
“apabila salah seorang diantara kamu dijadikan muadzin, maka janganlah kamu meminta upah
atas adzan tersebut”.
- Mazhab Maliki dan Syafi’i: Boleh menerima gaji dalam mengajarkan al-Qur’an, karena
pekerjaan mengajarkan al-Qur’an adalah pekerjaan yang jelas. Berdasarkan sabda Rasulullah
yang menjadikan hafalan al-Qur’an sebagai mahar, sedangkan mahar biasanya berbentuk harta.
Meskipun demikian mazab syafi’I tidak memblehkan mengaji orang untuk Imam Shalat.
- Seluruh Ulama’ fiqh sepakat: boleh menerima gaji dari mengajarkan berbagai disiplin ilmu
(termasuk ilmu agama), sebab merupakan fardlu kifayah.
- Mazhab Hanafi: tidak boleh mengambil upah dari penyelengaraan shalat jenazah, karena hal
tersebut kewajiban bagi orang muslim; sementara jumhur Ulama membolehkannya, karena
menshalatkan jenazah merupakan kewajiban kolektif.
7. Obyek ijarah merupakan sesuatu yang biasa dimanfaatkan untuk disewa: misal tidak boleh
menyewa pohon untuk jemuran.
8. Upah/sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta
9. Mazhab Hanafi: bahwa upah/sewa tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. Misal: A
menyewakan rumah kepada B. B dalam membayar sewa tersebut menyewakan rumahnya pula
kepada A, sedangkan dari segi kualitas dan kuantitasnya berbeda. Sewa menyewa seperti ini tidak
syah. Akan tetapi jumhur Ulama tidak menyetujui syarat ini. Menurut mereka antara sewa dan
manfaat yang disewakan boleh sejenis.

SIFAT AKAD IJARAH


Ada perbedaan pendapat, apakah sifat akad ijarah tersebut mengikat kedua belah pihak atau tidak:
 Mazhab Hanafi : akad ijarah mengikat kedua belah pihak, tetapi bisa dibatalkan secara sepihak
jika terdapat uzdur dari salah satu pihak seperti meninggal, kehilangan kecakapan bertindak
 Jumhur: akad ijarah bersifat mengikat, kecuali jika pada barang tersebut terdapat cacat atau
barang tesebut tidak bisa dimanfaatkan.

MACAM-MACAM IJARAH
 Dilihat dari segi obyek ijarah
- Ijarah manfaat (Al-Ijarah ala al-Manfaah), contoh sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian
dll.
- Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala al-a’mal); dengan cara memperkerjakan seseorang
untuk melakukan sesuatu.
TANGGUNG JAWAB ORANG YANG DIUPAH/DIGAJI
 Jika terjadi kerusakan pada obyek ditangan orang yang disewa/digaji bukan karena kelalaian dan
kesengajaan, maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi.
 Penjual jasa untuk orang banyak, jika melakukan kesalahan sehingga barang yang dikerjakan
rusak, di kalangan ulama’ fiqh terdapat perbedaan pendapat masalah ganti ruginya :
- Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanbali, dan Syafi’i: apabila kerusakan bukan karena kelalaian
dan kesengajaan, maka penjual jasa tidak wajib dituntut ganti rugi
- Imam Abu Yusuf dan Hasan Al-Syabani: bahwa penjual jasa bertanggung jawab terhadap
barang yang rusak baik disengaja maupun tidak, kecuali kerusakan tersebut di luar batas
kemampuannya.
- Mazhab Maliki: jika pekerjaan tersebut bersifat membekas pada barang yang dikerjakan seperti
pekerjaan binatu, juru masak, maka kerusakan baik disengaja maupun tidak, penjual jasa wajib
bertangungjawab.
MUDHARABAH

PENGERTIAN
Istilah Mudharabah dikemukakan oleh Ulama Iraq, sedangkan Ulama’ Hijaz menyebutnya dengan
istilah qirad
Adalah salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal dan seseorang yang ahli dalam berdagang.
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan. Sedangkan
keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian dalam
perdagangan, kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal.

RUKUN MUDHARABAH
 Jumhur:
- Orang yang berakad
- Modal
- Keuntungan
- Kerja
- Akad
 Hanafi : Ijab (ungkapan penyerahan modal dari pemiliknya)

SYARAT MUDHARABAH
 Terkait dengan orang yang melakukan transaksi: harus cakap bertindak hukum dan cakap
diangkat sebagai wakil.
 Terkait dengan modal: berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada
pedagang.
 Terkait dengan keuntungan: pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing
diambilkan dari keuntungan dagang tersebut. Jika ada persyaratan bagi rugi dari pemilik modal,
maka dengan sendirinya –menurut Hanafi- persyaratan tersebut fasad, kerugian tetap ditanggung
pemilik modal.

PEMBAGIAN MUDHARABAH
 Mudharabah Mutlaqah : penyerahan modal secara mutlak tanpa syarat. Pekerja bebas mengelola modal
untuk usaha apapun yang mendatangkan keuntungan dan daerah manapun yang ia inginkan
 Mudharabah Muqayadah: penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Pekerja harus mengikuti syarat-
syarat yang ditetapkan oleh pemilik modal.
Apakah sifat Akad Mudharabah mengikat kedua belah pihak?
 Imam Malik: bahwa akad mudharabah bersifat mengikat kedua belah pihak, masing-masing pihak
tidak bisa membatalkan akad secara seihak, jika perdagangan telah dimulai oleh pekerja.
Alasannya pembatalan akad sepihak akan mendatangkan madarat bagi pihak lain
 Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad Bin Hanbal; bahwa akad mudharabah tidak bersifat
mengikat sekalipun pekerjaan telah dimulai. Sebab pekerja melakukan tindakan hukum atas milik
orang lain atas seizinnya. Oleh sebab itu masing-masing pihak bisa membatalkan akad tersebut,
seperti dalam akad wadi’ah. Namun demikian, jika akad akan dibatalkan oleh salah satu pihak,
maka pihak lain harus diberiahu
Jika Mudharabah memenuhi syarat dan rukun:
 Modal di tangan pekerja berstatus amanah, dan seluruh tindakannya sama dengan tindakan
seorang wakil dalam jual beli.
 Apabila akad ini berbentuk mudharabah mutlaqah, pekerja bebas mengelola modal dengan
ketentuan diduga keras akan mendatangkan keuntungan. Akan tetapi, ia tidak boleh
mengutangkan modal tersebut kepada pihak lain dan tidak boleh me-mudharabah-kan modal
tersebut kepada orang lain.
 Jika kerja sama itu mendatangkan keuntungan, baik pihak Pekerja maupun pemilik modal dalam
mudharabah berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
 Jika kerja sama tersebut mengalami kerugian, kerugian ditanggung oleh pemilik modal, pekerja
tidak boleh ditarik ganti rugi
BIAYA PEKERJA DALAM MENGELOLA MODAL
 Imam Syafi’i: pekerja tidak boleh mengambil biaya hidupnya dari modal tersebut, sekalipun untuk
bepergian bagi kepentingan dagang, kecuali dengan seizin pemilik modal.
 Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Ulama’ mazhab Zaidiyah: jika pekerja tersebut memerlukan
bepergian dalam rangka perdagangan, maka ia boleh mengambil biayanya dari modal itu.
 Mazhab Hanbali: Pekerja boleh mengambil biaya hidupnya dari modal yang diputar selama
mengelola modal tersebut.

BERAKHIRNYA AKAD MUDHARABAH


 Masing-masing pihak menyatakan akad tersebut batal, atau pekerja dilarang bertindak hukum,
atau pemilik modal menarik modalnya.
 Salah seorang yang berakad gila
 Pemilik modal murtad
 Modal habis di tangan pemilik, sebelum dikelola oleh pekerja
 Salah seorang yang berakad meninggal dunia.

Akad Mudharabah jika ditinggal meninggal


 Jumhur Ulama’: bahwa akad tersebut tidak boleh diwariskan.
 Ulama’ mazhab Maliki: Jika salah seorang yang berakad meninggal dunia, akadnya tidak batal,
namun dapat diteruskan oleh ahli warisnya, sebab akad mudharabah dapat diwariskan.

SYIRKAH

PENGERTIAN
Lafdzi: percampuran sehingga sulit dibedakan.
 Adalah ikatan kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam perdagangan.
 Ulama’ mazhab Maliki: suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerja
sama terhadap mereka.
 Mazhab Syafi’i dan Hanbali: hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang
mereka sepakati.
 Ulama’ mazhab Hanafi: akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal
dan keuntungan.

BENTUK SYIRKAH
1. Syirkah al-Amlak; adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui akad
syirkah. Syirkah dalam kategori ini terbagi menjadi:
- Syirkah Ihtiyar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang
muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat. Seperti dua orang bersepakat membeli
suatu barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiyat dll
- Syirkah Jabr; yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak
mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari orang yang wafat.
2. Syirkah al-Uqud; adalah syirkah yang akadnya disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan
diri dalam perserikatan modal dan keuntungan

PEMBAGIAN SYIRKAH AL-UQUD


 Ulama’ madzhab Hanbali:
- Syirkah al-Inan; penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak harus sama
jumlahnya
- Syirkah al-Mufawadhah; perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerja sama yang
mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata
- Syirkah al-abdan; perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama
- Syirkah al-Wujuh; Perserikatan tanpa modal (zaman sekarang banyak dilakukan mirip
makelar)
- Syirkah al-Mudharabah; bentuk kerja sama antara pemilik modal dan seseorang yang punya
keahlian dagang, dan keuntungan dibagi dua.
 Ulama’ mazhab Maliki dan Syafi’i membagi syirkah al-uqud menjadi empat bentuk: Syirkah al-
Inan, Syirkah al-Mufawadlah, syirkah al-abdan, syirkah al-Wujuh
 Ulama’ mazhab Hanafi membagi syirkah al-uqud kepada tiga bentuk: Syirkah al-Amwal, Syirkah
al-A’mal, Syirkah al-Wujuh. Menurut mereka, ketiga bentuk perserikatan ini bisa masuk kategori
al-Inan dan bisa juga al-Mufawadlah

1. SYIRKAH AL-INAN
 Perserikatan harta dalam sebuah perdagangan
 Modal yang digabung oleh masing-masing pihak tidak harus sama
 Dalam soal tanggung jawab dan kerja juga tidak harus sama
 Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan
 Kerugian ditanggung sesuai dengan persentase modal masing-masing.
 Dalam hal ini Ulama’ fiqh membuat kaidah: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, kerugian
sesuai persentase modal masing-masing”.
2. SYIRKAH AL-MUFAWADLAH
 Perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek
 Jumlah modal dari masing-masing pihak harus sama
 Pihak-pihak yang berserikat harus sama-sama kerja, tanpa ada yang lebih dominan
 Unsur terpenting dari syirkah dalam jenis ini adalah adanya hak dan kewajiban yang sama
dari masing-masing pihak.
 Apabila modal, kerja, dan keuntungan masing-masing beda, maka menurut Ulama’ Hanafi,
perserikatan tersebut berubah menjadi syirkah al-Inan.
 Masing-masing pihak bertindak atas nama orang-orang yang berserikat.
 Masing-masing pihak boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari yang lain
(menurut mazhab Hanafi), akan tetapi menurut mazhab Maliki tidak membolehkan akad
syirkah mufawadhah seperti yang dipahami oleh Mazhab Hanafi ini. Syirkah mufawadlah
dapat dianggap syah apabila masing-masing yang berserikat dapat bertindak hukum secara
mutlak dan mandiri terhadap modal, kerja, tanpa minta izin kepada mitra serikatnya.
Demikian pula mazhab Syafi’I dan Hanbali

3. SYIRKAH AL-ABDAN/AL-A’MAL
 Ialah perserikatan yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menerima suatu
pekerjaan, seperti pandai besi, memperbaiki alat-alat elektronik, binatu dan tukang jahit.
 Hasil yang diterima dari pekerjaan tersebut dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan
 Menurut Ulama’ mazhab Maliki, syirkah tersebut syah dengan syarat bahwa pekerjaan
tersebut sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kuantitas kerja
masing-masing.
 Menurut Mazhab Syafi’I dan Syiah Imamiyah, jenis syirkah ini tidak boleh, karena pada
dasarnya yang menjadi obyek syirkah harus modal/harta atau modal dan kerja, bukan kerja
semata. Di samping itu, kerja yang dilakukan dalam perserikatan tersebut tidak dapat diukur,
sehingga terjadi kemungkinan penipuan dan menimbulkan perselisihan.

4. SYIRKAH AL-WUJUH
 Syirkah yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, Pihak yang
berserikat membeli barang secara kredit, atas dasar kepercayaan, kemudian barang yang
mereka beli kredit tersebut mereka jual tunai, sehingga mereka meraih keuntungan.
 Menurut mazhab Hanafi, Hanbali, Zaidiyah bahwa syirkah ini boleh, karena masing-masing
pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain terikat pada transasksi yang
telah dilakukan mitra serikatnya, di samping itu syirkah jenis ini telah menjadi urf dalam
beberpa wilayah negara Islam
 Menurut Ulama mazhab Syafi’I, Maliki dan syiah Imamiyah syirkah seperti ini tidak syah,
karena obyek dalam syirkah al-wujuh tidak jelas
BERAKHIRNYA AKAD SYIRKAH
 Salah satu pihak mengundurkan diri, karena menurut ahli fikih akad perserkatan tidak bersifat
mengikat, boleh dibatalkan
 Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia
 Salah satu pihak kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila yang sulit disembuhkan
 Salah satu pihak murtad dan merangi Islam

MUZARA’AH & MUKHOBAROH

PENGERTIAN MUZARA’AH
 Kerjasama di bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap (indonesia: paroan
sawah), bibit dari petani
 Ulama’ Maliki: Perserikatan dalam pertanian
 Ulama’ Hanbali: penyerahan lahan pertanian kepada petani untuk diolah dan hasilnya dibagi dua

MUKHABARAH
Ulama’ Iraq menyebut nama lain al-muzara'ah dengan istilah al-Mukhabarah, namun perbedaannya
dalam al-Mukhabarah bibit berasal dari pemilik lahan.
 Imam Syafi’I : Pengolahan lahan oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan oleh pemilik lahan.

HUKUM AKAD MUZARA’AH


Terjadi perbedaan pendapat terhadap syahnya akad muzara'ah:
 Imam Abu Hanifah; bahwa akad muzara’ah tidak diperbolehkan, sebab ada hadis Rasulullah
riwayat Sabit Bin Dhahhak bahwa Rasulullah SAW melarang muzara’ah (HR: Muslim).
Menurutnya obyek akad dalam muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang
dijadikan imbalan adalah hasil pertanian yang tidak ada (al-ma’dum) belum jelas kadarnya (al-
jahalah).
 Imam Syafi’i, senada dengan Imam Abu Hanifah, ia juga menyatakan tidak syah akad tersebut
dengan alasan yang sama. Kecuali, akad muzara’ah tersebut mengikut akad musaqah (kerjasama
pemilik kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan di kebun tersebut, dan hasilnya dibagi
menurut kesepakatan).
Misalnya, apabila terjadi kerja sama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah
kosong yang dapat dimanfaatkan untuk muzara’ah, maka menurut mazhab Syafi’I
muzara’ah bisa dilakukan.
 Ulama’ mazhab Maliki, mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hassan Asy-
Syaibani dan Ulama’ mazhab al-Dzahiri juga Jumhur Ulama’: bahwa akad muzara’ah hukumnya
boleh, karena akadnya cukup jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam pengolahan
sawah.
Menurut mereka, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah melakukan akad
muzara’ah dengan penduduk Khaibar dan hasilnya dibagi antara Rasulullah dan penduduk.
Menurut mereka, akad berdasarkan asas tolong menolong, dimana pemilik lahan
mempunyai lahan sementara ia tidak bisa menggarap lahannya, sementa petani memiliki
waktu dan tenaga untuk mengarap lahan tersebut. Kemudian mereka mereka berserikat
untuk menggarap lahan tersebut

RUKUN MUZARA’AH
 Pemilik lahan
 Petani pengarap
 Obyek muzara’ah (manfaat lahan dan hasil kerja petani)
 Ijab dan Kabul
SYARAT MUZARA’AH
 Orang yang berakad keduanya harus orang yang telah akil baligh. Imam Abu Hanifah
menambahkan bukan orang murtad, meski tambahan tersebut ditolak oleh Abu Yusuf, karena
akad muzara'ah boleh dilakukan oleh orang Islam dengan non muslim termasuk orang murtad
 Benih yang akan ditanam jelas dan akan menguntungkan
 Lahan pertaniannya dapat diolah dan menghasilkan (jika tandus akad tidak syah), batasnya jelas,
diserahkan sepenuhnya kepada petani pengolah.
 Jangka waktu harus dijelaskan sejak semula.
 Jelas obyeknya, dari siapa ia berasal

PEMBANGIAN MUZARA’AH
Dilihat dari syah tidaknya, muzara'ah ada empat macam (Abu Yusuf)
1. Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi
obyek muzara'ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah
2. Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan, sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan
kerja, sehingga yang menjadi obyek muzara'ah adalah manfaat lahan, maka muzara'ah juga syah
3. Apabila lahan, alat dan bibit dari pemilik lahan dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi
obyek muzara'ah adalah jasa petani maka akad syah
4. Apabila lahan pertanian dan alat disediakan pemilik lahan sedangkan bibit dan kerja dari petani,
maka akad ini tidak sah. Menurutnya manfaat lahan tidak sejenis dengan manfaat alat, lahan untuk
menghasilkan buah dan alat sekedar mengolah. Alat pertanian harus mengikut petani penggarap,
bukan kepada pemilik lahan.

AKIBAT AKAD MUZARA’AH


Apabila akad muzara'ah memenuhi syarat dan rukunya, maka akibat hukumnya:
 Petani bertanggungjawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian tersebut
 Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman ditanggung oleh
petani dan pemilik lahan sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
 Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak
 Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan.
 Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku dan yang meninggal
diwakili ahli waris

BERAKHIRNYA AKAD MUZARA'AH


 Jangka waktu yang disepakati berakhir. Jika sampai berakhirnya jangka waktu, sementara belum
panen, maka akad masih tetap berlanjut hingga panen.
 Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, apabila salah seorang yang berakad wafat, maka akad
muzaraah berakhir, sebab tidak bisa diwariskan. Akan tetapi mazhab Maliki danUlama’ mazhab
Syafi’I berpendapat bahwa akad muzaraah dapat diwariskan
 Adanya uzur salah satu pihak; seperti, pemilik lahan terbelit hutang dan harus menjual lahan.
Namun jika tumbuhan belum laik panen maka lahan tidak boleh dijual sebelum panen.
MURABAHAH

DEFINISI MURABAHAH
1. Jual beli yang menaikkan harga dasar barang sebagai keuntungan penjual dengan
sepengetahuan pembeli.
2. Akad jual beli dengan memberitahukan harga pokok barang kepada pembeli dan besar
keuntungan yang didapat berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli.
3. Jual beli dimana penjual dan pembeli bersepakat atas nilai keuntungan yang akan didapat oleh
penjual.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat
dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya
adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta
jumlah keuntungan yang diperoleh.
Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan antara
keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad , kalau terjadi
kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan
denda. Denda tersebut akan dianggap sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi
harus dianggap sebagai pengurang piutang

LANDASAN HUKUM
 Al-Qur'an
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
rela diantaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang
kepadamu." (QS.An-Nisa’ : 29)

 Hadits Nabi dari Said al-Khudri :

ُ‫ َو َخ ْلط‬,ُ‫ضة‬
َ ‫ َو ْال ُمقَ َر‬,‫ اَ ْلبَ ْي ُع إِلَ َى أَ َج ٍل‬:ُ‫ث فِ ْي ِه َّن اَ ْلبَ َر َكة‬ َ َ‫صلَّي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ٌ َ‫ ثَال‬: ‫ال‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
)‫ت الَ لِ ْلبَي ِْع (رواه ابن ماجه عن صهيب‬ ِ ‫ْالبُ ِّر بِال َّش ِعي ِْر لِ ْلبَ ْي‬
“ nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah : jual beli secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual. “ (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)

 Kaidah Fikih
‫احةُ اِالَّ أَ ْن يَ ُدلُّ َدلِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا‬ ْ
َ َ‫االب‬
ِ ‫ت‬ ِ َ‫اَألَصْ ُل فِى ْال ُم َعا َمال‬,
“ Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan.”
َّ ‫اَل‬
‫ض َر ُر يُ َز ُل‬
“ Kemudharatan harus dihilangkan”

RUKUN MURABAHAH
1. Muta’aqidain (penjual dan pembeli)
2. Sighot (ijab qabul)
3. Barang
4. Alat tukar (uang)
5. Keuntungan
SYARAT MURABAHAH:
1. Harga pokok barang diberitahukan penjual kepada pembeli
2. Penjual mendapatkan barang sesuai dengan cara yang ditetapkan oleh syara’
3. Kontrak murabahah bebas dari riba
4. Penjual berkewajiban memberitahukan segala hal tentang kondisi barang
5. Penjual harus memberitahukan kepada pembeli berkaitan dengan segala hal transaksi (dengan
cash atau kredit)

JENIS MURABAHAH
1. Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah
memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang
tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang
tersebut .
2. Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan
tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh
penjual.

BATALNYA
1. Tidak terpenuhinya syarat-syarat murabahah
2. Selesainya pembayaran oleh pembeli

KETENTUAN UMUM MURABAHAH


1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah
berada ditangan penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang
lazim dikeluarkan dalam jual beli..
3. 3 .Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga
diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
4. Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin
kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak
boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan
pembeli murabahah.

PERMASALAHAN
1. Bila tidak terpenuhinya syarat 2 dan 3 maka murabahah menjadi batal
2. Tidak terpenuhinya syrat 1, 4 dan 5 maka pembeli mempunyai beberapa pilihan
a. Tetap melakukan transaksi seperti semula
b. Kembali kepada penjual dan membuat transaksi baru karena tidak setuju terhadap
barang yang dijual
c. Membatalkan kontrak
SALAM DAN ISTISHNA’

--- +++ SALAM +++ ---

A. Pengertian As-Salam
 Bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan.
 Terminologis: Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu
(barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari”
Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan),
pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek
disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan
kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam)

B. Dasar Hukum
 Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya…”

 Hadits NAbi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi :
“Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu

C. Rukun dan Syarat Jual Beli As-Salam


1) Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual ( muslam ilaih)
a.       Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
b.      Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
2) Obyek transaksi ( muslam fih):
a.       Dinyatakan jelas jenisnya
b.      Jelas sifat-sifatnya
c.       Jelas ukurannya
d.      Jelas batas waktunya
e.       Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
3) Sighat ‘ijab dan qabul
4) Alat tukar/harga
a.       Jelas dan terukur
b.      Disetujui kedua pihak
c.       Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung

Contoh kasus :
Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp
5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual
dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana
perhitungannya?

Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui
negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti
total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%
--- +++ ISTISHNA’ +++ ---
A. Pengertian Al-Istishna’
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima
pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab
pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.

B. Dasar Hukum
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-
istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka
mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan.
Tujuan istishna’ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti
pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana
jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.

C. Rukun dan Syarat al-Istishna’


Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam. Maka rukun dan
syarat istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak
dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi
tergantung selesainya barang pada umumnya.  Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa
dipastikan kapan bangunannya selesai.

Contoh kasus
Seuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola
sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga
sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan
harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya
ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp
38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih
murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.

Perbandingan Antara as- Salam dan al-Istishna’

SUBYEK SALAM ISTISHNA’ KETERANGAN


Pokok Muslam Fih Mashnu’ Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
Kontrak
Harga Dibayar Bisa di awal, Cara penyelesaian pembayaran merupakan
tunai saat tangguh, dan perbedaan utama antara salam dan istishna’
kontrak akhir
Sifat Mengikat Mengikat Salam mengikat semua pihak sejak semula,
Kontrak secara asli secara ikutan sedangkan ishtisna’ menjadi pengikat untuk
melindungi produsen sehigga tidak
ditinggalkan begitu saja oleh konsumen
secara tidak bertanggung jawab.
AL – WADI’AH

PENGERTIAN:
 Secara etimologi berarti “meninggalkan”, karena barang yang dititip ditinggal di pihak yang
tempati menitip.
 Secara terminologi:
1) Hanafiah: al-wadi’ah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk dipeliharakan kepada
orang lain (Ibrahim Abi, Lisan al-hukkam (273))
2) Malikiah: al-wadi’ah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang lain untuk
dipeliharakan (Ahamd An-Nafrawi, Al-Fawakih ad-dawani (2/162))
3) Syafi’iah: al-wadi’ah adalah sesuatu harta benda yang disimpan ditempat orang lain untuk
dipeliharakan (AnNawawi, Raudhah ath-talibin (6/324))
4) Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk memeliharanya tanpa adanya
ganti rugi (al-Bahwati, Sayarah Muntaha al-iradat (2/352))
 Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya (Lihat: Sayed Sabiq: Fiqhus Sunnah

LANDASAN HUKUM
(a) Al-Quran:
1) (QS. An-Nisa: 58: (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat
(titipan) kepada yang berhak menerimanya);
2) QS. Al-Baqarah: 283: (Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya).
(b) Al-Hadits:
1) HR. Abu Daud: (Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khiyanat
kepada orang yang telah menghianatimu). Hadits tersebut menurut At-Turmuzi adalah hadits
“hasan” sedang Imam Al-Hakim mengkategorikan sebagai hadits sahih.
2) HR. At-Thabrani, diriwayatkan: Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah telah bersabda: Tiada
kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak
bersuci).
(c) Al-Ijma’ (Konsensus): Para tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (consensus)
terhadap legitimasi al-wadi’ah, karena kebutuhan manusia terhadap hal tersebut jelas terlihat.
(Lihat: Ibn Qudamah dalam Al-Mughni dan Imam As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth)

RUKUN AL-WADI’AH:
a. Menurut Hanafiah: Rukun wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu adanya pernyataan kehendak
(sighat: ijab (ungkapan kehendak menitipkan barang dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan
kesiapan menerima titipan tersebut oleh pihak yang dititipi).
b. Namun menurut Jumhur ulama Fiqh: Rukun wadi’ah ada tiga: (1) ada pelaku akad ( ‫( ;)العاقدان‬2)
barang titipan; dan (3) pernyataan kehendak (sighat ijab dan qabul) baik dilakukan secara lafad
atau hanya tindakan.

SYARAT AL-WADI’AH:
a. Syarat wadi’ah menurut Hanafiah adalah pihak pelaku akad disyaratkan harus orang yang berakal,
sehingga sekalipun anak kecil namun sudah dianggap telah berakal dan mendapat izin dari
walinya, akad wadi’ahnya dianggap sah.
b. Jumhur mensyaratkan dalam wadi’ah agar pihak pelaku akad telah balig, berakal dan cerdas,
karena akad wadi’ah mengandung banyak resiko, sehingga sekalipun berakal dan telah balig
namun tidak cerdas menurut Jumhur akad wadi’ahnya tidak dianggap sah.
CATATAN:
 Pada prinsip dasarnya, pihak penerima simpanan adalah yad amanah (tangan amanah) yang
berarti bahwa “ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada
barang titipan selama bukan dari akibat kelalaian atau kecerobohannya dalam memelihara barang
titipan tersebut”.
 Namun pada era perekonomian modern, tidak mungkin si penerima titipan tersebut akan meng-
idle-kan asset tersebut, melainkan akan menggunakan dalam aktifitas perekonomian tertentu.
Sekalipun tetap disyaratkan agar ia meminta izin kepada pihak penitip barang tersebut untuk
kemudian menggunakannya.
 Dalam kondisi seperti ini, al-wadi’ah tidak lagi berarti yad amanah tapi berobah menjadi yad
dhamanah (tangan penanggung), yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.

 Bank yang berstatus sebagai penerima dan sekaligus pengguna titipan dengan memanfaatkan dana
tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacan insentif berupa bonus dengan catatan hal itu
tidak menjadi syarat sebelumnya dan jumlahnya juga tidak ditentukan dalam nominal atau
persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manjemen bank.
Dalam hal ini, Abu Rifai’ pernah meriwayatkan hadits Rasulullah: Beliau pernah meminta
seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur + 2 tahun),
setelah selang beberapa waktu Rasulullah memerintahkan kepada Abu Rifai’ untuk
mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, akan tetapi Abu Rifai’ kembali menghadap
kepada Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada
hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun, Rasulullah menjawab: Berikanlah itu
karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar).
 Dewasa ini telah banyak bank Islam yang telah berhasil mengkombinasikan antara sistem
transaksi al-wadi’ah dengan sistem transaksi mudharabah, sehingga dalam kombinasi tersebut
dewan direksi menentukan besaran bonus dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang
dihasilkan oleh dana al-wadi’ah dalam satu periode tertentu.

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN) TENTANG DEPOSITO


DSN menetapkan:
1. Deposito ada dua macam:
a. Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga.
b. Deposito yang dibenarkan, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudhrabah.
2. Ketentuan umum Deposito berdasarkan mudharabah:
a. Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak
sebagai mudharib atau pengelola dana.
b. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah
dengan pihak lain.
c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
d. Pembagian keuntungan harus dinyyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan
yang menjadi haknya.
f. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Fatwa tersebut didasarkan atas:
a. QS. An-Nisa: 29: (Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela di
antaramu…)
b. QS. Al-Baqarah: 283: (Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah…)
c. QS. Al-Maidah: 1: (Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad (janji-janji itu…)
d. HR. At-Tabrani (290) dari Ibn Abbas: Abbas bin Abdul Muttali saat menyerahkan harta sebagai
muudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membernrkannya). (Perawi hadis ini terdapat Abu Garud al-a’ma, yang hadisnya tidak diterima karena
dianggap ppembohong, sehingga dianggap hadis tersebut lemah (Ali Al-Haitsami, Majma’ az-awaid
(4/161)
e. HR. Ibn Majah (2289) dari Shuhaib: (Nabi bersabda: ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli
tidak secara tunai, muuqaradhah (mudharabah) danmencapur gandum dengan jewawut (makaroni) untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual).
f. HR. At-Turmuzi (135), Abu Daud (3594), Ibn Majah (2353) dari Amr bin ‘Auf: Perdamaian dapat
dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram).
g. Ijma’: Sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan
tidak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah, Fiqh
al-Islam (4/838).
h. Qiyas: Transaksi Mudharabah diqiyas-kan kepada transaksi musaqah.
i. Kaidah Fiqh: ‫األصل في المعامالت› اإلباحة حتى يدل الدليل على تحريمها‬
(Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
j. Para ulama menyatakan bahwa dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak
mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkan; sementara itu, tidak sedikit pula orang yang tidak
memiliki harta kekayaan namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu,
diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut.
ARIYAH DAN AL-QARD

PENGERTIAN
 Lafadz: pergi dan kembali, sesuatu yang beredar
 Istilahi: perbuatan seseorang yang membolehkan/mengizinkan orang lain untuk mengambil
manfaat barang miliknya tanpa ganti rugi

Pengertian menurut beberapa Ulama’ mazhab


 Mazhab Maliki dan Imam Az-Sarakhsyi : kebebasan memanfaatkan sesuau tanpa ganti rugi.
 Mazhab Syafi’i: ‘ariyah adalah izin untuk memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi.

IMPLIKASI DARI PERBADAAN DEFINISI


 Menurut definisi pertama: bahwa barang yang dipinjam dari orang lain boleh dipinjamkan lagi
kepada orang lain, sebab hal tersebut terkait dengan kebebasan memafaatkan sesuatu.
 Menurut definisi kedua; bahwa barang pinjaman tidak boleh dipinjamkan lagi kepada orang lain,
ungkapan “izin untuk memanfaatkan barang orang lain” menunjukkan bahwa pemanfaatan barang
yang dipinjamkan hanya berlaku bagi pihak peminjam.

RUKUN ARIYAH
 Jumhur Ulama’ :
1. Orang yang meminjamkan
2. Orang yang meminjam
3. Ijab
4. Kabul
 Ulama’ Hanafi; rukun ariyah ijab (pernyataan meminjamkan) dari pihak yang meminjamkan.

PENETAPAN HUKUM ASAL ARIYAH


 Ulama’ Hanafi dan maliki: bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam
“memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa
imbalan dari peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang tersebut kepada
orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik
barang membatasi pemanfaatan barang kepada peminjam.
 Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa akad ariyah hanya bersifat memanfaatkan barang. Karena
itu, pemanfaatannya terbatas bagi pihak peminjam dan tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain.
 Namun demikian, Semua Ulama’ sepakat bahwa barang pinjaman tidak boleh disewakan oleh
peminjam

PEMANFAATAN BARANG PINJAMAN


 Jumhur Ulama’: bahwa pemanfaatan barang pinjaman hanya terbatas pada izin yang diberikan
pemilik barang
 Mazhab Hanafi membedakan pada dua sifat:
- pertama bersifat terbatas; peminjam hanya memiliki hak memanfaatkan sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh pemilik barang.
- dan kedua bersifat mutlak; maka peminjam berhak memanfaatkan barang pinjamannya sesuai
dengan keinginannya, demikian juga ia juga berhak meminjamkannya kepada orang lain.
Namun jika ada kerusakan peminjam harus bertangungjawab

PEMBATALAN AKAD ARIYAH


 Mazhab Hanafi, Syafi’I, Hanbali: bahwa akad ariyah bersifat tidak mengikat kedua belah pihak.
Artinya pihak pemilik barang boleh membatalkan akad tersebut secara sepihak kapanpun dan di
manapun.
 Mazhab Maliki: pihak yang meminjamkan barang tidak bisa membatalkan akad pinjaman sebelum
barang tersebut dimanfaatkan peminjam. Apabila akad ariyah tersebut dibatasi dengan waktu,
maka pemilik barang tidak boleh membatalkan akad sebelum jatuh tempo
GANTI RUGI BAGI BARANG PINJAMAN YANG RUSAK
 Ulama’ mazhab Hanafi: bahwa akad ariyah adalah akad tolong menolong, maka jika barang
pinjaman tersebut rusak di tangah peminjam, peminjam tidak boleh diminta ganti rugi kecuali
kerusakan tersebut karena sengaja dan lalai.
 Ulama’ mazhab Maliki: bahwa akad ariyah adalah akad yang mempunyai resiko ganti rugi, maka
jika barang tersebut rusak atau hilang baik oleh peminjam atau hal-hal lain di luar jangkauan
peminjam, peminjam wajib membayar ganti rugi
 Menurut Mazhab Hanafi akad ariyah yang asalnya merupakan akad tolong menolong dapat
berubah menjadi akad ganti rugi jika dalam kondisi sebagai berikut:
- Barang tersebut secara sengaja dirusak atau dimusnahkan
- Barang tersebut disewakan atau tidak dirawat
- Pemanfaatan barang tersebut tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku atau tidak sesuai
dengan kesepakatan
- Pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula
dalam akad.

HIWALAH

PENGERTIAN HIWALAH
 Lafdzi: pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikuls sesuatu di atas pundak
 Istilah: pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak
kedua untuk menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak pertama dan
pihak pertama berutang kepada pihak kedua, atau karena pihak pertama berutang kepada pihak
ketiga dan pihak kedua berutang kepada pihak pertama, baik pemindahan tersebut dimaksudkan
sebagai pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak
 Ibn Abidin (mazhab Hanafiyah): hiwalah ialah pemindahan kewajiban membayar hutang dari
orang yang berutang (al-muhil) kepada orang yang berutang lainnya (al-mhal alaih)
 Mazhab Maliki, Hanbali, dan Syafi’i: hiwalah ialah pemindahan atau pengalihan hak untuk
menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak lain.

DASAR HUKUM
 Sabda Rasulullah SAW: memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya
(mampu) merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut).
 Ijma’ Ulama’: bahwa hiwalah boleh dilakukan

JENIS HIWALAH
 Ditinjau dari obyek akad
- Hiwalah Hak (pemindahan hak); obyek yang dipindahkan tersebut merupakan hak menuntut
hutang.
- Hiwalah dain (pemindahan hutang); obyek yang dipindahkan berupa kewajiban membayar
hutang
 Ditinjau dari kewajiban pembayaran
- Hiwalah muqayyadah; pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada
pihak kedua Contoh :
A berpiutang kepada B sebesar 1 jt, sedangkan B berpiutang kepada C juga sebesar 1 jt. B kemudian
memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya (yang ada pada C) kepada A,
sebagai ganti dari pembayaran utang B kepada A. Dengan demikian, hiwalah muqayyadah pada satu
sisi merupakan hiwalah hak, karena B mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C kepada A,
sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah al-dain, karena B mengalihkan kewajibannya
membayar hutang kepada A menjadi kewajiban C kepada A
- Hiwalah mutlaqah; pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran
utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh :
A berutang kepada B sebesar 1 jt. C berutang kepada A juga sebesar I jt. A mengalihkan hutangnya
kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B, tanpa menyebutkan bahwa
pemindahan hutang tersebut sebagai ganti dari pembayaran utang C kepada A.

RUKUN HIWALAH
 Hanafi:
1. Ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama
2. Kabul (pernyataan menerima) pihak kedua
 Menurut mazhab maliki, syafi’I dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
1. Pihak pertama
2. Pihak kedua
3. Pihak ketiga
4. Utang pihak pertama kepada pihak kedua
5. Utang pihak ketiga kepada pihak pertama
6. Shighah (pernyataan hiwalah)

SYARAT HIWALAH
 Syarat yang berkaitan dengan pihak I
1. Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad (baligh dan berakal)
2. Ada pernyataan persetujuan
 Syarat yang berkaitan dengan pihak II
1. Cakap melakukan tindakan hukum
2. Ada persetujuan pihak II terhadap pihak I yang melakukan hiwalah
 Syarat yang berkaitan dengan pihak III
1. Cakap melakukan tindakan hukum
2. Hanafi: harus ada persetujuan dari pihak III, sebab hiwalah merupakan tindakan hukum yang
melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak III kepada pihak II. Sedang kewajiban
membayar hutang baru bisa dibebankan kepadanya, jika ia sendiri yang berutang kepada pihak
II, oleh karena itu, kewajiban tersebut hanya bisa dilakukan jika ia menyetujui hiwalah itu.
Sedangkan bagi mazhab Syafi’I, Hanbali dan Naliki, persetujuan dari pihak III tidak
diperlukan. Sebab dalam akad hiwalah pihak III dipandang sebagai obyek. Oleh karena itu
persetujuan pihak III bukan merupakan syarat syah hiwalah. Di sisi lain, bahwa akad yang
dilakukan oleh pihak I dan II dalam akad hiwalah adalah ibarat pelimpahan hutang kepada
wakilnya untuk menuntut pembayaran utang kepada orang yang berutang. Dalam hal ini pihak
II merupakan wakil dari pihak I
 Syarat yang berkaitan dengan hutang yang dialihkan:
1. Dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti
2. Apabila pengalihan hutang tersebut dalam bentuk hiwalah muqayyadah, semua ulama’ fikih
sepakat bahwa baik hutang pihak I kepada pihak II maupun hutang pihak III kepada pihak I,
mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika berbeda jumlah maupun kualitas (misalnya hutang
dala bentuk barang), maka hiwalah tidak syah.
3. Syafi’i menambahkan, bahwa kedua hutang tersebut mesti sama waktu jatuh tempo
pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu, maka hiwalah tidak syah

AKIBAT HUKUM DALAM HIWALAH


 Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang pada pihak
II secara otomatis terlepas. Namun menurut sebagaian Ulama’ Hanafi, kewajiban tersebut masih
tetap ada, selama pihak III belum melunasi hutangnya kepada pihak II
 Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak II untuk menuntut pembayaran utang kepada
pihak III
 Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah mutlaqah berpendapat bahwa jika akad
hiwalah mutlaqah terjadi karena inisiatif pihak I, maka hak dan kewajiban antara pihak I dan
pihak III yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang piutang sebelumnya masih tetap
berlaku.

BERAKHIRNYA AKAD HIWALAH


 Salah satu pihak membatalkan akad hiwalah sebelum akad tersebut berlaku secara tetap.
 Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan tersebut kepada pihak kedua
 Jika pihak kedua wafat, sedang pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak
kedua
 Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad
hiwalah tersebut kepada pihak ketiga
 Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan
tersebut
 Menurut mazhab Hanafi, hak pihak II tidak dapat dipenuhi karena pihak III mengalami pailit atau wafat
dalam keadaan pailit, atau dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah pihak III
mengingkari adanya akad tersebut. Adapun menurut mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali, selama akad
hiwalah sudah berlaku tetap, karena persyaratan yang ditentukan sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak
dapat berakhir karena alasan tersebut. Dengan kata lain pihak II tidak dapat menuntut pengembalian hak
pengembalian hutang kepada pihak I, dengan alasan ia tidak berhasil mendapatkan pelunasan utangnya dari
pihak III; dalam hal ini pihak II dipandang ceroboh. Akan tetapi, jika di dalam akad disebutkan persyaratan
bahwa pihak III mudah membayar hutang, ternyata kemudian ia sulit membayarnya, maka pihak II berhak
menuntut pengembalian hak kepada pihak I.

MUSAQAH
Pengertian
Transakasi antara pemilik kebun/tanaman dengan penggarap untuk memeliharan dan merawat
tanaman pada masa tertentu sampai tanaman tersebut berbuah. Sebagai imbalan pengelola mendapat
bagian tertentu dari pengelolaa tersebut sesuai perjanjian.
Ulama’ fiqih sepakat, bahwa tanaman yang diperjanjikan tersebut adalah tanaman yang sudah berusia
satu tahun dan merupakan tanaman keras
Dasar Hukum
Rasulullah SAW memperkerjakan penduduk khaibar dengan ketentuan bahwa separo dari hasil buah
sebdang kebun yang diperoleh diserahkan kepada pemilik kebun
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa seorang Ansor pernah mengusulkan kepada
Rasulullah agar para Muhajirin mengolah kebun mereka dan hasilnya dibagi bersama. Rasulullah
SAW menjawab saya tidak membolehkan. Kemudian diusulkna lagi agar kaum ansor mengolahnya
dan hasilnya dibagi bersama. Mendengar perkataan tersebut, Rasulullah membolehkan orang ansor
mengolahnya dan hasilnya dibagi
Rukun Musaqah
Imam Hanafi: rukun musaqah Ijab dan qabul
Jumhur Ulama’: musaqah harus memnuhi lima rukun:
Ada dua orang yang melakukan transaksi
Lahan yang dijadkan obyek musaqah
Jenis usaha yang akan dilakukan
Ketentuan bagian masing-masing
Sighah (perjanjian)
Syarat
Pihak yang melakukan transaksi adalah cakap bertindak hukum
Benda yang dijadikan obyek bersifat pasti, dikemukakan sifat dan keadaanya.
Hasil dari kebun merupakan hak bersama. Mazhab Syafi’I musaqah syah pada kebun yang telah mulai
berbuah tetapi buahnya belum matang.
Bentuk usaha yang dilakukan oleh pengelola harus yang ada kaitannya dengan usaha untuk merawat
dan mengolah kebun tersebut agar memberikan hasil yang maksimal dan usaha tersebut harus terinci
hingga ia tidak melakukan yang tidak ada kaitannya dengan perawatan kebun
Ada kesediaan masing-masing pihak untuk melakukan akad musaqah
Syarat-syarat benda
Bersifat pasti sehingga tidak dimungkinkan beda persepsi antara kedua pihak
Lama perjanjian harus jelas. Namun menurut Abu Yusuf, penetapan jangka waktu bukan merupakan
keharusan, bahkan Ulama’ mazhab Hanafi, justru tidak menentukan jangka waktu dipandang sebagai
suatu kebaikan (istihsan)
Dilakuakn sebelum kebun berbuah, atau sudah berbuah tetapi belum matang
Ada ketentuan pasti tentang bagian pengolah

HIBAH

Pengertian
Lafdzi: pemberian
Istilahi:
Jumhur Ulama’: akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang
dalam keadaan hidup kepada orang lain secara suka rela
Ulama’ mazhab Hanbali:pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang
yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun
tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan, tanpa mengharapkan ibalan
Syarat Hibah
Ulama’ mazhab hanafi: ijab, qabul dan qabdl (harta yang dapat dikusailangsung)
Jumhur Ulama’:
Orang yang menghibahkan
Harta yang dihibahkan
Lafadz hibah
Orang yang menerima hibah

Syarat-syarat
Orang yang menghibahkan
- Cakap bertindak hukum, yaitu baligh,berakal, dan cerdas. Anak kecil dan orang gila tidak sah
hibahnya karena mereka termasuk orang yang tidak cakap bertindak hukum
Barang yang dihibahkan
Ada ketika akad berlangsung
Bernilai harta menurut syara’
Milik orang yang menghibahkan
Dapat langsung dikuasai (qabdl); Ulama’ mazhab Hanafi, Syafi’I, dan mazhab Hanbali berpendapat
bahwa jika syarat qabd tidak terpenuhi, maka akad hibah tidak syah. Maka hibah tidak bisa dilakukan
hanya ijab dan qabul,tetapi harus dibarengi dengan qabdl. Ulama’ mazhab Maliki menyatakan bahwa
qabd hanya merupakan penyempurna, maka hibah sudah dianggap syah dengan proses ijab dan qabul
Pembagian qabdl
Secara langsung; penerima hibah langsung menerima harta yang dihibahkan
Melalui kuasa hukum
Apabila yang menerima hibah adalah seseorang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka
yang menerima hibah adalah wali.
Apabila harta yang dihibahkan berada di tangan penerima hibah secara ghasab (tidak minta izin dalam
pengambilannya), maka tidak perlu lagi ada qabdl.
Keterikatan akad hibah
Ulama’ mazhab Hanafi; hibah tidak mengikat. Oleh sebab itu pemberi hibah boleh mencabut kembali
harta hibahnya; berdasarkan hadis Rasulullah “orang yang menghibahkan lebih berhak atas hartanya,
selama hibah itu tidak dibarengi ganti rugi”.
Jumhur Ulama’; bahwa pemberi hibah tidak boleh mencabut hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali
hibah ayah terhadap anaknya. Berdasarkan hadis Rasulullah: “Orang yang menarik kembali harta
hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya”. “tidak seorangpun boleh mencabut
kembali pemberiannya, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya”.

Hal-hal yang menghalangi Pencabutan Hibah Menurut Hanafi


Penerima hibah menerima imbalan harta dari penerima hibah
Menerima imbalan maknawi, seperti harapan akan ridla Allah SWT, mempererat tali silaturrahim, dll
Penerima hibah telah menambah harta hibah dengan tambahan yang sudah tidak bisa dipisahkan
kembali.
Harta hibah telah dipindah tangankan
Wafatnya salah satu pihak yang melakukan akad hibah.
Harta hibah hilang atau hilang manfaatnya

INFAQ

Pengertian
Sesuatu yang diberikan oleh seseorang guna menutupi kebutuhan orang lain.
Mendermakan atau memberikan rizki atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa
ihlas dan karena Allah SWT semata.
Implikasi infaq
Dalam pandangan syariat Islam orang yang berinfaq:
Dijamin tidak akan jatuh miskin, malah rezkinya akan bertambah dan jalan usahanya semakin
berkembang. “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan di jalan Allah adalah serupa dengan
sebulir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan pada setiap bulir tumbuh seratus…(QS 2:261)
Mendapatkan pahala yang besar di akhirat (QS 2:262)
Harta yang diinfaqkan hakekatnya kembali kepada orang yang berinfaq
Perbedaan infaq, zakat, sedekah
Zakat merupakan derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya.
Infaq dan sedekah dari sisi pelaksanaanya tidak beda, yaitu sama-sama memberikan dan mendermakan
sesuatu kepada orang lain. Namun dari sisi waktu pelaksnaanya, infaq diberikan saat mendapatkan
rizki dari Allah SWT, sementara pada sedekah tidak.
Sayid Sabiq: Infaq-wajib masuk dalam pengertian zakat, dan infaq-sunnah masuk dalam pengertian
infaq atau sedekah sunnah
Al-Maraghi sedekah sama dengan infaq
Penerima infaq
Hadis Rasulullah SAW: “sebaik-baik uang yang diinfaqkan itu adalah yang diinfaqkan kepada
keluarganya, kepada kendaraan yang akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah dan kepada
sahabat yang berjuang di jalan Allah SWT.
Mazhab Maliki: infaq hanya diberikan kepada ayah, ibu dan anak. Sedangkan kakek dan cucu tidak
wajib menerima infaq
Mazhab Syafi’i: infaq hanya diberikan kepada orang-orang yang hidupnya susah, baik muslim maupun
non muslim. Namun, Prioritas penerima infaq adalah ayah, ibu.
Mazhab Hanbali; infaq hanya diberikan kepda kerabat yang susah atau kepada orang-orang yang
apabila dtinggal mati walinya akan mengalami kesusahan.
Hanafi; infaq diberikan kepada kerabat dekat, anak yatim dan orang yang pada umumnya mengalami
kesulitan ekonomi.
Pemberi Infaq
Tidak merasa dirinya lebih tinggi dari yang diberi infaq
Tidak menyakiti terhadap orang yang diberi infaq (QS 2:262)
Tidak berlebihan dan tidak pula terlalu kikir (QS 25:67)
Hanya mengharap ridla Allah SWT (QS 2:272)
Mendekatkan kepada Allah SWT (QS 9:99)

KAFALAH/JAMINAN

Pengertian
Lughawi: mengumpulkan, menanggung dan menjamin
Istilah
Jumhur: mengumpulkan tanggungjawab penjamin dengan tanggungjawab orang yang dijamin dalam
masalah hak atau hutang, sehingga hak atau hutang tersebut menjadi tanggungjawab keduanya
Mazhab Hanafi: mempersatukan tanggungjawab dengan tanggungjawab lainnya dalam hal tuntutan
secara mutlak, baik terkait dengan jiwa, utang, materi maupun pekerjaan.
Dua definisi tersebut dapat dilihat perbedaanya; bahwa, defenisi yang diberikan Hanafi
obyeknya lebih bersifat umum daripada definisi yang diberikan Jumhur Ulama’
Dasar Hukum
Surat Yusuf: 72 : ”…dan siapa yang dapat mengembali-kannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban onta, dan aku menjamin terhadapnya”.
Sunnah Rasulullah: “Penjamin itu menjadi penanggung jawab utang” (HR Abu Dawud, al-Tirmidzi,
Ibn Hibban).
Suatu Hari para sahabat membawa jenazah kepada Rasulullah untuk dishalatkan. Rasulullah SAW
bertanya: apakah ia meninggalkan harta? Sahabat menjawab tidak Rasulullah. Rasulullah bertanya
lagi: apakah ia meninggalkan hutang? Sahabat menjawab: ya Rasulullah, sebanyak dua dinar. Lalu
Rasulullah berkata: Shalatkanlah sahabatmu ini…! Ketika itu Abu Qatadah berkata: Ya Rasulullah,
aku menjamin utang itu. Kemudian Rasulullah mau memimpin shalat jenazah tersebut
Rukun Kafalah
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani, hanya ijab (pernyataan penerimaan
tanggungjawab dari al-kafil) dan kabul (persetujuan kreditor)
Jumhur Ulama’ termasuk Abu Yusuf, bahwa rukun kafalah ada 4:
Ijab dari al-kafil; sedangkan kabul dari kreditor tidak termasuk rukun, dengan demikian menurut
jumhur kafalah syah meskipun tanpa persetujuan kreditor.
Al-Kafil (penjamin)
Al-makful (setiap hak yang boleh diwakilkan kepada orang lain.
Al-Makful ‘anhu/al-Madlmun ‘anhu: orang yang dituntut atau debitor, baik masih hidup maupun telah
wafat.
(Imam Syafi’I menambahkan : al-Makful Lahu/al-madlmun lahu: kreditor).
Syarat kafalah
Syarat bagi al-kafil:
Baligh dan berakal
Bukan seorang budak, akad kafalah adalah akad tabarru’ (pengorbanan secara suka rela) maka budak
dianggap tidak cakap bertindak seperti itu tanpa seizin tuannya.
Syarat al-makful anhu (debitor):
Mempunyai kemampuan untuk membayar dan menyerahkan utang tersebut. Syarat ini dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah. Menurutnya, bagi orang yang tidak mampu untuk melunasi dan
menyerahkan utangnya, misal al-makful anhu wafat dan tidak meninggalkan harta untuk
membayarnya, utang tersebut gugur. Oleh sebab itu, kafalah menjadi tidak syah dengan wafanya al-
makful ‘anhu. Pendapat ini berbeda dengan jumhur, bahwa kafalah tetap syah meskipun al-makful
anhu telah wafat, berdasarkan hadis di atas.
Al-makful ‘anhu dikenal dengan baik oleh kafil; jumhur Ulama’ selain mazhab Syafi’I, bahwa
jaminan utang tidak disyaratkan harus diketahui oleh al-makful anhu.
Lanjutan … Syarat kafalah
Syarat al-makful lahu (kreditor):
Jelas dan tertentu
Imam Abu Hanifah dan Hasan asy-Syaibani menambahkan bahwa al-Makful Lahu harus hadir saat
melakukan akad kafalah, karena kafalah mengandung makna kepemilikan, dan kepemilikan dianggap
syah apabila ada ijab dan kabul. Untuk sempurnanya ijab kabul, maka al-makful lahu harus hadir.
Sedangn jumhur Ulama’ termasuk Abu Yusuf tidak ensyaratkan kehadirannya al-Makful lahu.
Berakal; syarat ini muncul akibat persyaratan kedua yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Asy-
Syaibani. Semenatara jumhur tidak mempersyaratkanya.
Syarat al-makful bihi (utang):
Makful bih menjadi tangungjawab makful anhu; Abu Hanifah berpendapat bahwa al-makful bih bisa
berbentuk materi, jiwa maupun perbuatan. Untuk kafalah dalam masalah jiwa; Imam Syafi’I
berpendapat, jika kafalah tersebut berkaitan dengan tindak pidana hudud (jarimah), maka kafalah tidak
syah. Akan tetapi jika berkaitan dengan kisas atau qadzf, kafalahnya syah. Ulama’ mazhab Hanbali
tidak membolehkan kafalah dalam masalah jiwa yang berkaitan dengan masalah hukuman baik yang
menyangkut hak Allah seperti zina maupun hak individu seperti kisas maupun qadzaf
Al-kafil mampu memenuhi atau melunasi al-makful bih; oleh karena itu kafalah dalam menerima
hukuman tidak syah. Sejalan dengan hadis Rasulullah SAW: “Tidak syah kafalah dalam masalah
hukuman”.
Makful bih bersifat shahih dan mengikat dan tidak bisa digugurkan kecuali dengan cara membayarnya
atau melalui ibra’

Akibat Hukum
Apabila akad kafalah telah memenuhi syarat dan rukunya, maka akan berakibat hukum:
Al-Makful lahu (kreditor);
ia berhak menuntut hutang kepada al-Kafil sesuai dengan hutang yang ada pada al-makful anhu
(debitor). Jika kafalah berkaitan dengan peyerahan diri al-makful ‘anhu, maka al-kafil wajib
menghadirkanya di hadapan al-makful lahu.
Menurut Jumhur: Al-makful anhu tidak bisa terlepas sama sekali dari hutangnya, meskipun al-kafil
telah menjaminnya. Al-makful lahu boleh memilih untuk menuntut apakah kepada al-makful anhu
atau al-kafil, kecuali dalam akad kafalah tersebut disyaratkan bahwa al-makful anhu bebas dari
tuntutan hutang. Akan tetapi mazhab Syafi’i berpendapat bahwa syarat terakhir tersebut tidak syah,
karena bertentangan dengan kewajibannya sebagai orang yang berutang. Imam Malik berpendapat
bahwa al-kafil baru bisa dituntut apabila ada kendala dalammenuntut al-makful ‘anhu

Lajutan … akibat hukum


Kafil;
Ia berhak menuntut al-makful anhu apabila kafalah tersebut atas permintaan al-makful anhu, dan al-
kafil telah melunasi hutang al-makful anhu; karena hutang almakful anhu telah berpindah kepada al-
kafil
Atas permintaan al-makful anhu, al-kafil berhak memenjarakan al-makful anhu.
Syarat hak al-kafil bisa melakukan penuntutan kepada al-makful ‘anhu: 1. kafalah dilakukan atas
permintaan dan izin yang syah dari al-makful anhu. 2. al-Kafil ketika menjamin utang al-makful anhu
menyatakan bahwa jaminannya itu atas nama al-makful anhu. 3. al-kafil tidak mempunyai utang
sebesar al-makful anhu yang telah dilunasi oleh al-kafil, karena hutang tersebut bisa membayar utang
al-makful anhu yang telah dibayarkan al-kafil
Berakhirnya akad kafalah
Apabila kafalah tersebut berkaitang dengan harta, maka kafalah akan berakhir apabila:
Utang telah dilunasi baik oleh almakful anhu atau oleh al-kafil
Al-makful lah menggugurkan utang

Kafalah yang berkaitan dengan jiwa bisa gugur apabila:


al-kafil menyerahkan al-makful anhu, atau al-makful anhu menyerahkan diri.
Al-makful lahu menggugurkan hak tuntutannya kepada al-kafil atau al-makful anhu
Mengambil Upah dalam masalah kafalah
Wahbah Az-Zuhaily (Guru Besar Fiqh Universitas Damascus, Syuriyah) menyatakan: bahwa
kafalah yang berkembang saat ini banyak didasari oleh adanya upah atas jasa al-kafil, karena memang
sulit mencari orang yang mau secara suka rela menjadi penjamin utang orang lain. Maka, dalam akad
kafalah boleh diberlakukan upah/jasa dengan syarat bahwa kafalah tersebut tidak dijadikan sebagai
lahan yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Dibolehkannya mengambil upah dalam akad
kafalah hanya didasarkan pada keadan darurat dan kebutuhan mendesak para makful anhu. Karena
kalau akad kafalah dengan upah atau jasa tidak dibolehkan, maka umat manusia akan menemui
kesulitan dan bisa menghilangkan kemashlahatan yang lebih penting lagi. Hukum ini dianalogikan
oleh wahbah Zuhaily dengan hukum bolehnya mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an atau
ilmu-ilmu Islam lainnya

Anda mungkin juga menyukai