Anda di halaman 1dari 14

SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber hukum yang sebenarnya di dalam hukum Islam adalah Allah Ta'ala. Hukum
Allah itu ditemukan atau didapatkan oleh para ulama melalui bukti-bukti yang menunjukkan
hukum tersebut. Bukti-bukti inilah yang disebut sumber-sumber hukum Islam.
Di dalam hukum Islam, istilah yang digunakan untuk menyebut sumber hukum ialah dalil
(pluralnya adillah). Dengan demikian, sumber hukum Islam ialah dalil yang disandari dan
dijadikan dasar pijakan hukum Islam tersebut. Hal ini karena menurut para ulama, setiap hukum
harus mempunyai sandaran atau pijakan. Tidak boleh ada hukum tanpa sandaran atau pijakan.
Selain dalil, istilah lain yang digunakan untuk menyebut sumber hukum Islam ialah
Ushul al-Ahkam (asal hukum) dan Mashadir at-Tasyri' (sumber pensyariatan/penetapan hukum).
Semua istilah tersebut mempunyai makna yang sama yaitu sumber hukum.
Keseluruhan sumber hukum Islam ada sebelas yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma', al-
Qiyas, al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, Sadd adz-Dzarai', Qaul as-Shohabi, al-'Urf, Syar'u
Man Qablana, dan al-Istishab.

Urutan Dalil-dalil:
Al-Qur’an (al-Kitab) itu adalah sumber hukum pertama dan utama, oleh karena itu al-
Kitab wajib didahulukan dari semua dalil ketika seseorang hendak mengetahui hukum syar’i
(hukum Islam). Jika hukum syar’i tersebut tidak terdapat di dalam al-Kitab maka as-sunnah
(hadits) wajib dijadikan rujukan kedua, karena ia merupakan pemberi keterangan mengenai
makna-makna yang ada di dalam al-Kitab. Jika hukum syar’i tidak terdapat di dalam as-sunnah,
maka ijma’ wajib dirujuk, karena sandaran ijma’ adalah nash (teks) dari al-Kitab atau as-sunnah.
Dan jika di dalam masalah yang dicari hukumnya itu tidak ada ijma’, maka wajib merujuk
kepada qiyas.
Dengan demikian urutan sumber hukum yang harus harus dirujuk untuk menyimpulkan
hukum secara tertib ialah: al-Kitab, kemudian as-sunnah, kemudian ijma’, kemudian qiyas. Hal
ini menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) fuqaha.
Selanjutnya, para ulama mengkategorikan sumber-sumber hukum tersebut menjadi dua
berdasarkan kepada kemandirian sumber hukum dalam menunjukkan hukum, yaitu seperti
berikut:
Pertama: Sumber Hukum Primer, yaitu al-Qur’an dan as-sunnah. Kedua sumber hukum
ini juga disebut dalil naqli karena merujuk kepada sesuatu yang dinukil dari Pembuat hukum
(Allah), tanpa merujuk kepada pandangan atau pendapat manusia.
Kedua: Sumber Hukum Sekunder, yaitu al-ijma', al-qiyas, al-istihsan, al-maslahah al-
mursalah, sadd adz-dzarai', qaul al-shohabi, al-'urf, syar'u man qablana, dan al-istishab. Dalil-
dalil ini juga disebut dalil ‘aqli karena asalnya adalah pandangan dan pendapat manusia, bukan
sesuatu yang dinukil dari Pembuat hukum.
Pembagian ini mengacu kepada hakikat bahwa keberadaan sumber hukum sekunder itu
bergantung kepada sumber hukum primer.
Berikut ini dipaparkan keterangan lebih rinci mengenai sumber hukum Naqli, lalu diikuti
sumber hukum ‘Aqli.

1. SUMBER HUKUM NAQLI


A. AL-QUR’AN
Secara etimologis, al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti al-qiroah (bacaan).1
Makna ini mengisyaratkan agar al-Qur’an selalu dibaca oleh umat Islam. Al-Qur’an adalah kata
yang digunakan untuk menamai kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Selain al-Qur’an, nama-nama lainnya ialah al-Kitab, Kalam Allah, adz-Dzikr, at-Tanzil, al-
Furqan, al-Huda, al-Mau'idhoh, ar-Rahmah, asy-Syifa', an-Nur, dan lainnya.2
Secara terminologis, para ulama mendefinisikan al-Qur’an dengan beragam definisi yaitu
antara lain sebagai berikut:
1. Al-Qur’an merupakan kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada RasulNya
Muhammad SAW. untuk menjadi pedoman hidup bagi ummat manusia hingga akhir
zaman.
2. Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berupa lafaz dalam bahasa Arab,
yang sampai kepada kita dengan periwayatan (penyampaian berita) secara mutawatir,
sehingga otentisitasnya sangat terjamin.

1
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 1/128.
2
Az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah bin Bahadir, al-Burhan Fi 'Ulum al-Qur'an (Cairo:
Dar Ihya' al-Kutub al-‘Arabiyyah Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakaih, cetakan pertama, 1376H/1957M),
1/273-282.
3. Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi
SAW., ditulis di mushaf (lembaran), disampaikan secara mutawatir, dan membacanya
dianggap ibadah.3
Kata “mutawatir” dalam pengertian ketiga di atas mengandungi arti bahwa al-Qur’an itu
diterima oleh Rasulullah SAW. lalu disampaikannya kepada sekelompok sahabat Nabi yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, kemudian para sahabat tersebut menyampaikan
kepada sejumlah tabi’in (generasi setelah sahabat) yang juga tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta, demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dalam keadaan utuh, tidak ada
penambahan maupun pengurangan terhadap huruf-huruf dan kata-katanya, sehingga tidak ada
keraguan padanya bahwa itu adalah firman Allah. Hal tersebut ditambah lagi dengan telah
ditulisnya al-Qur’an itu tatkala Nabi SAW. masih hidup dan janji Allah akan memelihara sendiri
al-Qur'an ini sebagaimana firmanNya:
ُ ِ‫ِإنَّا ن َْحنُ ن ََّز ْلنَا ال ِذِّ ْك َر َو ِإنَّا لَهُ لَ َحاف‬
)٩( َ‫ظون‬
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)

Qath’i dan Dhonni


Kepastian al-Qur’an datang dari Allah ini disebut oleh para ulama ushul fiqh sebagai
qath’iy al-wurud. Artinya, nash-nash (teks-teks/ayat-ayat) al-Qur’an pasti datangnya dari Allah.
Sedang dari sudut dilalahnya (penunjukannya terhadap hukum), al-Qur’an itu mempunyai dua
bentuk. Pertama, qath’iy ad-dilalah, yaitu penunjukannya terhadap hukum itu pasti, karena
hanya mempunyai satu pengertian. Seperti firman Allah: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-
Nisak: 12) dan seperti firmanNya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,” (QS. An-Nuur: 2). Dalam dua ayat di
atas kata-kata 'seperdua', 'seperempat' dan 'seratus' itu qath'iy ad-dilalah, artinya tidak
mengandungi selain satu arti yaitu seperti yang disebutkan. Kedua, dhonniy ad-dilalah, yaitu

3
Az-Zarqani, Muhammad Abdul Adhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr,
1408H/1988M), 1/19.
penunjukannya terhadap hukum itu hanya berdasarkan dugaan yang kuat. Hal ini terjadi karena
nash-nash al-Qur'an yang dhonniy ad-dilalah itu mempunyai dua arti atau lebih. Seperti firman
Allah: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (QS.
Al-Baqarah: 228). Kata “quru’” dalam ayat ini mempunyai dua makna yaitu “haid” dan “suci”.
Oleh karena itu, ia adalah dhonniy ad-dilalah. Bagian kedua inilah yang sering terjadi
perselisihan di kalangan para ulama. 4
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dan 6235 ayat, diturunkan selama kurun waktu lebih
kurang 23 tahun, terbagi dalam dua periode yakni periode Mekkah selama 12 ½ tahun, dan
periode Madinah selama 9 ½ tahun5. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah atau sebelum Nabi
SAW. berhijrah ke Madinah dinamakan dengan ayat-ayat Makkiyyah, sedangkan ayat-ayat yang
diturunkan di Madinah atau setelah Nabi SAW. berhijrah ke Madinah disebut dengan ayat-ayat
Madaniyyah. Ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-
‘Alaq, dan ayat yang terakhir turun adalah ayat ketiga dari surah al-Maidah.
Dari keseluruhan ayat yang terdapat dalam al-Qur’an yang secara khusus berbicara
tentang hukum-hukum (ayat-ayat ahkam) ada sekitar 500 ayat menurut imam al-Ghazali dan
lainnya, meskipun ayat-ayat lain yang berbicara tentang kisah-kisah umat terdahulu,
perumpamaan-perumpamaan dan lainnya bisa diambil kesimpulan hukum darinya6.
Cara al-Qur'an menerangkan hukum ada tiga:7
1) Keterangan Kulliyy (Umum): Yakni dengan menyebutkan kaidah-kaidah atau
prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar-dasar hukum, seperti contohnya:
a) Perintah untuk bermusyawarah, dalam firman Allah: “Dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159).
b) Perintah untuk berlaku adil. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. Al-Nisak: 58).
c) Seseorang tidak dimintai tanggung jawab atas dosa orang lain. Firman Allah: “Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,” (QS. Al-Israk: 15).

4
Zaydan, Al-Wajiz, hal.159-160.
5
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Circle for the Qur’an and Humanity Studies, 1996), hal. 17-21.
6
Az-Zarkasyi, Op. Cit., 2/3.
7
Zaydan, Al-Madkhal, 157-158.
d) Hukuman itu sesuai kejahatannya. Allah berfirman: “Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa,’ (QS. Al-Syura: 40).
e) Haramnya harta orang lain. Firman Allah: “Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
f) Saling tolong-menolong dalam hal kebajikan dan yang bermanfaat bagi umat. Allah
berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-
Maidah: 2).
g) Memenuhi kesepakatan. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah: 1).
h) Tidak ada kesempitan dalam agama. Firman Allah: “Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78). Dan
firmanNya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
i) Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang. Allah berfirman: “tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”
(QS. Al-Baqarah: 173).
2) Keterangan Mujmal (Global): Yaitu dengan menyebutkan hukum-hukum secara
global yang perlu diterangkan dan dirincikan lebih lanjut. Contohnya seperti berikut:
a) Kewajiban shalat dan zakat. Allah berfirman: “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat” (QS. Al-Baqarah: 43). Al-Qur’an tidak menerangkan jumlah rakaat shalat dan
cara mengerjakannya, maka datanglah as-sunnah untuk memerinci hal tersebut.
Rasulullah SAW. bersabda: "Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
shalat" (HR. al-Bukhari).8 As-sunnah juga datang memberi keterangan mengenai
hukum-hukum zakat, dan penentuan kadar zakat serta nisabnya.

8
Al-Bukhari, Op. Cit., 5/2238.
b) Kewajiban haji. Allah berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Datanglah as-sunnah memberikan rincian cara
mengerjakan haji dan rukun-rukunnya. Rasulullah SAW. bersabda: “Hendaknya
kamu ambil dariku cara manasik kamu, karena sungguh aku tidak tahu barangkali aku
tidak berhaji lagi setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).9
c) Kewajiban qisas. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah: 178).
Lalu datanglah as-sunnah menerangkan syarat-syarat qisas.
d) Kehalalan jual beli dan keharaman riba. Allah berfirman: “Dan Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Maka datanglah as-sunnah
menerangkan jual beli yang halal dan jual beli yang haram serta maksud riba.
3) Keterangan Tafshili (Rinci): Yaitu menyebutkan hukum-hukum secara rinci.
Contohnya seperti bagian-bagian ahli waris, cara talak dan jumlahnya, cara li’an antara suami
istri, perempuan-perempuan yang haram dinikahi, dan seperti sebagian hukuman hudud yaitu
seperti hukuman hudud zina, pencurian, perampokan, qadzaf dan hukum-hukum lainnya yang
terperinci di dalam al-Qur’an.
Gaya bahasa al-Qur'an dalam menunjukkan hukum sangat variatif. Dalam hal yang
dianjurkan atau wajib dikerjakan umpamanya, al-Qur’an seringkali menggunakan kata
“perintah”, seperti firman Allah: “Dan dirikanlah shalat”. Dan acapkali menggunakan kata-kata
yang mengandungi pujian atau pahala bagi yang mengerjakannya, atau orang yang
mengerjakannya itu akan dicintai Allah dan seterusnya. Dan dalam hal yang diharapkan atau
wajib untuk ditinggalkan, al-Qur’an sering menggunakan kata “larangan” seperti firman Allah:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri”. Dan kadang-kadang menggunakan kata-kata
yang mencela pelakunya atau kata-kata yang menerangkan bahwa perbuatan tersebut
menyebabkan azab atau kebencian Allah atau kemurkaanNya atau menyebabkan masuk neraka
atau laknat bagi pelakunya atau dengan cara mensifati perbuatan tersebut sebagai najis atau fasiq
atau kata-kata lain yang menunjukkan perbuatan tersebut perlu dihindari atau ditinggalkan. Dan

9
Muslim, Op.Cit., 2/943.
dalam masalah-masalah yang dibolehkan, al-Qur’an biasanya menggunakan kata-kata
"dihalalkan" atau "diizinkan" atau "tidak ada masalah" atau "tidak ada dosa" dan lainnya. 10
Secara keseluruhan, kandungan pokok al-Qur’an adalah nash-nash (teks-teks atau ayat-
ayat) tentang aqidah, akhlaq, ibadah dan muamalat. Al-Qur’an merupakan sumber hukum pokok
dan merupakan sumber dari segala sumber hukum, dengan demikian semua sumber hukum
lainnya kedudukannya berada di bawah al-Qur’an dan karenanya tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur’an.

B. AS-SUNNAH
1. Pengertian as-Sunnah menurut bahasa dan al-Qur'an
Secara etimologis, kata 'as-sunnah' berasal dari bahasa Arab yang berarti 'cara yang biasa
dilakukan'.11 Dan di dalam al-Qur’an, kata as-sunnah digunakan sebanyak 16 kali dengan arti
'kebiasaan yang berlaku', dan 'jalan yang diikuti'. Makna-makna as-sunnah yang ditunjukkan
oleh bahasa Arab dan al-Qur’an itu kemudian dipakai dalam arti khusus yaitu, 'cara yang biasa
dilakukan dalam pengamalan agama'. Makna inilah yang dikenal oleh kaum Muslimin pada
periode awal.
2. Pengertian as-Sunnah menurut Ulama Fiqih
Adapun definisi as-sunnah menurut ulama fiqih ialah "Sifat hukum bagi perbuatan
yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti, dengan pengertian
orang yang melakukannya akan diberi pahala, dan tidak berdosa bagi orang yang
meninggalkannya."12 Contohnya, puasa Senin Kamis itu sunnah, shalat tahajjud itu sunnah.
Para ahli fiqh melihat Sunnah sebagai bagian dari ketentuan hukum syara’ yang lima (al-
ahkaam al-khamsah), yakni wajib, sunnah/sunnat, mubah/halal, makruh dan haram.
3. Pengertian as-Sunnah menurut ulama Hadits dan Ushul Fiqih
Ulama hadits dan ulama ushul fiqih mendefinisikan as-sunnah sebagai berikut: "Apa
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.–selain al-Qur'an--baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan."13

10
Zaydan, Al-Madkhal, hal. 157-158.
11
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 13/220.
12
Asy-Syaukani, Op. Cit., 1/95.
13
Ibid, 1/95.
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut as-sunnah adalah hadits. Jadi secara
terminologis, definisi as-sunnah atau sunnah sama dengan definisi hadits, seperti yang disebut di
atas. Definisi inilah yang dipakai dalam pembahasan berikut ini.
4. Macam-macam Sunnah.
Ditinjau dari hakikat dan isinya, sunnah dapat dikategorikan menjadi tiga macam,
yaitu:14

a. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan Nabi Muhammad SAW. yang didengar oleh
sahabat beliau dan kemudian disampaikan kepada orang lain. Dalam
meriwayatkannya sahabat menggunakan perkataan: “Nabi SAW. bersabda:
‘Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya
dengan tangannya….” (HR. Muslim).15
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW. yang dilihat atau
diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada orang lain. Dalam
meriwayatkannya sahabat menggunakan perkataan: “Saya melihat Nabi SAW.
berwudhuk seperti wudhukku ini …” (HR. Al-Bukhari).16
c. Sunnah Taqriiriyah, yaitu sikap Nabi Muhammad SAW. mendiamkan (membiarkan)
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat beliau padahal beliau melihat atau
mengetahuinya. Diamnya Nabi tersebut kemudian disampaikan oleh sahabat yang
mengetahuinya kepada orang lain. Dalam meriwayatkannya sahabat menggunakan
perkataan: “Aku memakan dab (biawak) tersebut sementara Nabi memandangku
(tidak melarangku)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).17
Dan jika ditinjau dari segi sanad atau perawinya, Sunnah itu oleh muhadditsun (para
ulama hadits) dibagi menjadi tiga macam; Sunnah atau hadits Mutawatir, Sunnah atau hadits
Masyhur, dan Sunnah atau hadits Ahad.18
a. Hadits Mutawatir.
Hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. oleh sekelompok
perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, karena banyaknya dan karena amanahnya

14
Zaydan, Al-Madkhal, hal 162.
15
Muslim, Op.Cit., 1/69.
16
Al-Bukhari, Op. Cit., 1/72, dan Muslim, Op.Cit., 1/204.
17
Al-Bukhari, Op. Cit., 5/2060, dan Muslim, Op.Cit., 3/1543.
18
Ibid, hal. 161.
mereka itu, lalu diriwayatkan dari mereka itu sekelompok perawi yang sama, demikianlah
seterusnya sehingga sampai kepada kita. Hadits mutawatir ada dua: Lafdhi dan maknawi. Contoh
mutawatir lafdhi adalah seperti hadits: “Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja maka
hendaklah ia menduduki tempatnya di neraka” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).19 Contoh
mutawatir maknawi sangat banyak seperti hadits-hadits berkaitan dengan jumlah shalat yang
wajib, jumlah raka’atnya, rukun-rukunnya, dan seperti hadits-hadits tentang kewajiban puasa,
zakat, dan haji. Dan hadits mutawatir ini memberi faidah al-’ilm al-yaqini (pengetahuan yang
meyakinkan).
b. Hadits Masyhur
Hadits masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau lebih akan
tetapi tidak sampai ke derajat mutawatir, kemudian hadits tersebut tersebar dan terkenal dan
diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang mutawatir di kalangan tabi'in, kemudian dari mereka
itu diriwayatkan kepada kelompok mutawatir lainnya sehingga sampai kepada kita. Contohnya
adalah seperti hadits: “Tawaf di masjidil Haram adalah shalat, hanya saja Allah membolehkan
berbicara di dalamnya. Maka barangsiapa berbicara hendaklah ia tidak berbicara melainkan yang
baik” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).20 Dan hadits masyhur ini menurut madzhab
Hanafi juga memberi faidah al-’ilm al-yaqini, namun derajatnya di bawah hadits mutawatir.
c. Hadits Ahad
Hadits ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak
mencapai derajat mutawatir, kemudian dari perawi atau sekelompok perawi tersebut
diriwayatkan lagi kepada perawi atau sekelompok perawi yang semacamnya sehingga sampai
kepada kita. Kebanyakan hadits adalah dari macam ketiga ini. Contohnya ialah seperti hadits:
“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya, dan bagi setiap orang itu apa yang
diniatkannya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).21 Dan hadits dari macam ahad ini memberi faidah
al-’ilm al-dhonni ar-rajih (pengetahuan berdasarkan persangkaan kuat) dan wajib diamalkan.
Sebagian besar dari hadits Nabi SAW. dalam bentuk hadits ahad. Semua hadits tersebut,
baik yang mutawatir, masyhur maupun ahad, ada sebagian daripadanya memenuhi persyaratan
hadits sahih sehingga bisa dijadikan sebagai dalil, dan sebagiannya lagi tidak memenuhi

19
Al-Bukhari, Op. Cit., 1/434, dan Muslim, Op.Cit., 1/10.
20
Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad, Sahih Ibnu Hibban, (Tanpa tempat penerbit:
Muassasah ar-Risalah, tanpa tahun penerbitan), 9/143-144, dan Ibnu Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq,
Sahih Ibnu Khuzaimah, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1970M/1390H), 4/222.
21
Al-Bukhari, Op. Cit., 1/3, dan Muslim, Op.Cit., 3/1515.
persyaratan hadits yang bisa diterima menjadi dalil. Dengan demikian, dipandang dari segi bisa
diterima atau ditolaknya menjadi dalil atau sumber hukum, hadits dapat dibagi menjadi
Hadits Maqbul dan Hadits Mardud. Berikut keterangannya:22
a. Hadits Maqbul.
Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima menjadi hujjah atau dalil syar’i dan wajib
diamalkan. Hadits maqbul ada dua macam yaitu:
i. Hadits Sahih: Ialah hadits yang bersambung sanadnya (jalur periwayatan) melalui
penyampaian perawi yang ‘adil lagi dhabith, dari perawi yang semisalnya, sampai
akhir jalur periwayatan, tanpa ada syudzudz, dan juga tanpa ‘illat. Maksud
“bersambung sanadnya” dalam definisi di atas ialah masing-masing perawi
mengambil hadits dari perawi di atasnya secara langsung, dari awal periwayatan
hingga ujung (akhir) periwayatan.
Maksud “perawi yang ‘adil”adalah seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan
juga tidak cacat maruah wibawanya di masyarakat. Maksud “dhabith”ialah perawi ini
adalah orang yang kuat hafalannya. Maksud “tanpa syudzudz”, hadits yang
diriwayatkan itu tidak bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dengan
jalur lebih terpercaya. Dan maksud “tanpa ‘illat”ialah tanpa cacat hadits, yaitu sebab
tersembunyi yang mempengaruhi kesahihan hadits, meskipun bisa jadi zahirnya
tampak sahih. Contoh hadits sahih, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im
[diriwayatkan] dari ayahnya berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. membaca
surat ath-Thuur pada shalat maghrib.” (HR. Al-Bukhari).23
ii. Hadits Hasan: Ialah hadits yang bersambung sanadnya (jalur periwayatan) melalui
penyampaian perawi yang ‘adil namun kurang dhabith, dari perawi yang semisalnya
sampai akhir jalur periwayatan, tanpa ada syudzudz, dan juga tanpa ‘illat. Dari
definisi ini didapati bahwa perbedaan antara hadits hasan dengan hadits sahih ialah
terletak pada perawinya. Perawi hadits hasan mempunyai sifat dhabith, namun
kualitasnya lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadits sahih. Contohnya, dari
Mu’awiyah [diriwayatkan] Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang

22
Al-Qatthan, Manna’, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadits, (Cairo: Maktabah Wahbah, cetakan pertama,
1987M), hal. 90-103.
23
Al-Bukhari, Op. Cit., 1/265.
dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah memperdalam kefahamannya
terhadap agama”. (HR. Ahmad).24
b. Hadits Mardud.
Hadits mardud ialah hadits lemah yang ditolak menjadi hujjah atau dalil syar’i. Hadits
mardud ada satu macam saja yaitu hadits dho’if. Hadits dho’if ialah hadits yang tidak
memiliki syarat-syarat hadits sahih dan tidak pula syarat-syarat hadits hasan. Contohnya,
dari Abu Hurairah [diriwayatkan] berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa
shalat setelah maghrib enam raka’at tidak berkata apa-apa di antaranya niscaya shalat-
shalat tersebut mengimbangi ibadah selama dua belas tahun” (HR. At-Tirmidzi).25
Berdasarkan kelemahan hadits, hadits dho’if ini dibagi menjadi banyak macam hadits
yaitu antara lain: hadits mursal, hadits munqathi’, hadits mu’dhol, hadits mudallas, hadits
mu’allal, hadits mudhtorib, hadits maqlub, hadits syadz, hadits munkar, hadits matruk.
Semua macam-macam ini bisa dipelajari keterangan dan contoh-contohnya di buku-buku
Mustholah al-Hadits atau ‘Uluum al-Hadits.

Qath’i dan Dhonni.


Dari segi wurud (datangnya) dari Rasulullah SAW., hanya hadits mutawatir saja yang
disebut qath'iy al-wurud (datangnya pasti dari Rasulullah SAW.). Sedang hadits masyhur itu
pasti datangnya dari sahabat, bukan pasti datang dari Rasulullah SAW. Sedang hadits ahad itu
adalah dhonniy al-wurud yakni datangnya dari Rasulullah SAW. adalah berdasarkan
persangkaan kuat.
Adapun dari segi dilalah (penunjukannya terhadap hukum), semua hadits yang tidak bisa
ditakwilkan lagi itu disebut qath'iy ad-dilalah, sedang hadits-hadits yang mengandungi unsur
takwil, atau dengan kata lain masih bisa ditafsirkan karena menunjukkan lebih dari satu alternatif
hukum itu disebut dhonniy ad-dilalah.
Semua hadits itu dengan berbagai macamnya menjadi hujjah syar'iyyah (dalil syar’i) dan
sumber hukum yang mengikat segenap kaum Muslimin. Semua umat Islam wajib mematuhi
hadits, baik ia adalah qath'iy al-wurud atau dhonniy al-wurud karena al-Qur'an mewajibkan
demikian.

24
Ahmad, Op. Cit., 4/95.
25
At-Tirmidzi, Op. Cit., 2/298.
5. Fungsi Sunnah
Fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Ayat-ayat hukum yang
terdapat di dalam al-Qur’an sebagian besar dalam bentuk garis-garis besar yang secara amaliyah
belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunnah. Dengan demikian maka bila al-Qur’an
merupakan sumber asli hukum Islam, maka sunnah merupakan sumber bayani (penjelasan).
Pada umumnya, fungsi sunnah ada tiga macam yaitu menjelaskan hukum yang telah
dinyatakan dalam al-Qur'an, memperkuat hukum yang telah dinyatakan dalam al-Qur'an, dan
menjadi sumber hukum yang mandiri (independent).26 Berikut ini masing-masing fungsi sunnah
akan dijelaskan secara lebih detil.
a. Bayan Tafsir: Menjelaskan hukum yang telah dinyatakan al-Qur'an.
Fungsi pertama dari sunnah atau hadits adalah menjelaskan hukum yang telah dinyatakan
dalam al-Qur’an. Penjelasan hadits terhadap al-Qur'an itu bisa berupa pengkhususan sesuatu
yang umum atau pemuqayyadan (pembatasan) sesuatu yang mutlak atau lainnya. Yang jelas
hadits itu menerangkan atau memerincikan suatu hukum yang dinyatakan dalam al-Qur'an secara
umum atau global. Seperti firman Allah:

َّ ‫ار َكعُوا َم َع‬


)٤٣( َ‫الرا ِكعِين‬ ْ ‫الز َكاةَ َو‬ َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫صالةَ َوآتُوا‬
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (Q.S. al-
Baqarah:43)
Di dalam al-Qur'an tidak diterangkan bagaimana cara shalat, berapa kali shalat dalam
sehari, berapa rakaat shalat subuh, dhuhur dan perincian lainnya, maka hadits atau sunnah Nabi
Muhammad SAW. yang menjelaskan semua itu. Demikian pula zakat, di dalam al-Qur'an tidak
diterangkan berapa kadar yang harus dikeluarkan, berapa nisabnya dan harta apa saja yang wajib
dizakati, maka haditslah yang menjelaskan perincian pelaksanaan perintah Allah dalam al-Qur'an
tersebut.
b. Bayan Ta'kid: Memperkuat hukum yang telah dinyatakan oleh al-Qur'an.
Fungsi kedua dari hadits adalah memperkuat hukum yang telah dinyatakan dalam al-
Qur'an. Jadi dengan demikian hukum suatu perkara itu sumbernya adalah dari al-Qur'an dan
hadits. Penguatan oleh hadits terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an

26
Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i (Beirut: Muassat
ar-Risalah, cetakan kesebelas, 1412H/1992M), 1/174-175.
dapat dilihat dalam beberapa kasus seperti haramnya membunuh tanpa hak, sumpah palsu,
pencurian dan lainnya.
Dalam masalah pembunuhan misalnya, Allah berfirman:

ِ ِّ ‫َّللاُ إِال بِ ْال َح‬


‫ق‬ َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬
َ ‫َوال تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
”dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar” (Q.S. al-An’am: 151).
Ayat ini diperkuat dan dipertegas oleh hadits berikut:

‫ ))ال يحل دم امرئ مسلم يشهد أن ال إله‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن عبد هللا قال‬
‫ والمفارق لدينه التارك‬،‫ والثيب الزاني‬،‫ النفس بالنفس‬:‫إال هللا وأني رسول هللا إال بإحدى ثالث‬
.‫للجماعة)) رواه البخاري ومسلم‬
”Dari Abdullah [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak halal darah
seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah
Rasulullah kecuali dengan tiga perkara; orang yang membunuh orang lain tanpa hak, orang
muhsan yang berzina dan orang pisah dengan agamanya meninggalkan jamaah (maksudnya
orang murtad)". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).27
c. Bayan Tasyri'i: Menjadi sumber hukum yang mandiri (independent).
Fungsi ketiga dari hadits adalah menjadi sumber hukum yang mandiri, maksudnya hadits
itu menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur'an. Jadi dengan
demikian hadits secara independen menentukan hukum tanpa ada sumbernya dari al-Qur'an. Hal
ini dibenarkan karena Allah sendiri yang memerintahkan kita untuk mentaati RasulNya. Dan
Allah sendiri yang menyatakan bahwa barangsiapa yang mentaati RasulNya berarti telah
mentaatiNya. Hadits-hadits yang menentukan hukum secara independen ini antara lain seperti
sabda beliau:

‫عن أبى هريرر قرالق قرال رسرول هللا صرلى هللا عليره وسرلمق ححال مرنة المررأ علرى عمتهرا وال‬
.‫على خالتها)) رواه مسلم‬

27
Al-Bukhari, Op. Cit, 6/2521, dan Muslim, Op.Cit.,3/1302.
Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: "Seorang wanita itu
tidak (boleh) dinikahi bersama bibinya dari pihak ayah dan bibinya dari pihak ibu." (HR. Al-
Bukhari dan Muslim).28
Dan seperti hadits berikut:

‫عن عائشة قالتق قال لي رسول هللا صلى هللا عليه وسلمق ححيحرم من الرضاعة مرا يحررم مرن‬
.‫الوالد )) رواه البخاري ومسلم‬
Dari Aisyah [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda kepadaku: "Diharamkan
(menikahi perempuan) disebabkan karena penyusuan seperti diharamkan (menikahi perempuan)
karena sebab kelahiran". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).29

28
Al-Bukhari, Op. Cit., 5/1965, dan Muslim, Op. Cit., 2/1029.
29
Al-Bukhari, Op. Cit., 5/2007, dan Muslim, Op. Cit., 2/1068.

Anda mungkin juga menyukai