Anda di halaman 1dari 7

HAK SAISINE

PENDAHULUAN
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
Pada asasnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak
seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk
menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak
itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang
diwarisi oleh ahli warisnya.
Pasal 830 menyebutkan, “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Jadi,
harga peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris
masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus
dalam pasal 2 KUHPer, yaitu anak yang ada dalam kandungan seseorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak
menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada. 1
PEMBAHASAN
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan
berkewajiban menyelesaikan hutang-hutang dari pewaris. Hak dan kewajiban
tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia. Pada Pasal 833 ayat 1 BW
dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh
hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris).
Hak-hak yang dimiliki oleh ahli waris, antara lain: Pertama, hak saisine. Menurut
Pasal 833 ayat 1 BW, ahli waris karena hukum memiliki barang-barang, hak-hak dan
segala piutang dari orang yang meninggal dunia. Hal ini disebut, mereka (ahliwaris)
mempunyai “saisine”. Kata saisine diambil dari bahasa Perancis: “le mort saisit le
vif”, artinya yang mati dianggap digantikan oleh yang hidup. 2
Maksudnya, agar dengan meninggalnya pewaris, ahli waris segera menggantikan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pewaris tanpa memerlukan suatu perbuatan
tertentu, walaupun mereka (ahli waris) tidak tahu menahu akan meninggalnya si
peninggal warisan itu. Beralihnya segala hak dan kewajiban pewaris secara sendiri
1
Effendi Perangin, Hukum Waris, Rajawali Pers, 2020. Hlm 3
2
R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi (Airlangga University Press 2000). [6].
atau otomatis, tanpa dibutuhkan tindakan tertentu dari ahli waris tersebut yang
disebut dengan hak saisine. Hak Saisine tidak hanya ada pada pewarisan menurut
undang-undang (ab intestato) saja, tetapi berlaku juga pada pewarisan dengan
surat wasiat (testamenter) yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 955 BW. Hak
saisine ini tidak dipunyai oleh negara. Maka hak saisine inilah yang membedakan
negara sebagai ahli waris dengan ahli waris lainnya. Jadi apabila semua ahli waris
tidak ada, maka semua harta warisan akan jatuh kepada negara. Namun dalam hal
ini negara tidak memperoleh harta warisan secara otomatis, tetapi terlebih dahulu
harus ada keputusan dari Pengadilan Negeri (Pasal 833 ayat 3 BW).
Negara dalam memperoleh hak milik atas warisan pewaris tersebut bukan diperoleh
karena proses pewarisan karena negara dalam hal ini tidak memiliki hak saisine yang
diatur dalam Pasal 833 ayat 1 BW, melainkan negara memperoleh hak dikarenakan
pencabutan hak (onteigening) yang diikuti dengan daluwarsa (verjaring), namun
dalam proses perolehan hak tersebut, harus diputuskan melalui putusan pengadilan
dimana harta warisan tersebut berada, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 833
ayat 3 BW. Pencabutan hak (onteigening) dan daluwarsa (verjaring) disini ada,
dikarenakan pewaris dalam hal ini secara tidak langsung “menelantarkan” harta
benda yang ditinggalkannya dalam jangka waktu tertentu, dikarenakan tidak ada
pihak yang mengelola harta peninggalan tersebut.

Dalam hal ini para ahli waris secara otomatis, demi hukum, memperoleh kekayaan
sipewaris, tanpa ia harus melakukan sesuatu perbuatan apapun, juga tidak perlu
menuntut penyerahan barang-barang warisan tersebut. Bahkan seandainya si ahli
waris sendiri belum mengetahui/menyadari bahwa ia mendapat warisan dari matinya
seorang anggota keluarga yang menjadia pewarisnya. Bahwa perpindahan tersebut
berlaku segera, sesudah pewaris meninggal. 3

Jadi hak saisine adalah hak daripada ahli waris untuk tanpa berbuat sesuatu,
otomatis/demi hukum menggantikan kedudukan si pewaris dalam lapangan hukum
kekayaan. Hak dan kewajiban pewaris (secara otomatis menjadi hak dan kewajiban
ahli waris), sekalipun si ahli waris belum/tidak mengetahui adanya pewarisan.

3
J. Satrio, Hukum Waris, Hlm 86
Sehubungan dengan itu, maka dalam hal adanya suatu hubungan hukum antara dua
orang yang telah ditetapkan oleh suatu keputusan pengadilan, maka matinya salah
satu pihak, tidak menghilangkan atau membatalkan hubungan hukum tersebut,
tetapi hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum tersebut beralih kepada para ahli
warisnya.4
Jadi ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak, dan segala piutang dari pewaris, sekaligus berkewajiban
membayar utang dan kewajiban-kewajiban pewaris (Pasal 833 dan Pasal 1100
KUHPer). Ini dinamakan hak saisine.
Disebutkan dalam Pasal 833 KUHPerdata sebagai berikut:
“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas
semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Bila ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan
dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti tersebut di atas, maka
Hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan itu ditaruh lebih
dahulu dalam penyimpanan Pengadilan.
Negara harus berusaha agar dirinya ditempatkan pada kedudukan besit oleh
Hakim, dan berkewajiban untuk memerintahkan penyegelan harta
peninggalan itu, dan memerintahkan pembuatan perincian harta itu, dalam
bentuk yang ditetapkan untuk penerimaan warisan dengan hak istimewa akan
pemerincian harta, dengan ancaman untuk mengganti biaya, kerugian dan
bunga.”

Sedangkan isi dalam pasal 1100 KUHPerdata sebagai berikut:


“Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul
pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan
apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.”

4
Ibid, hlm 87
Hamaker berpendapat bahwa terbukanya warisan baru memberikan hak kepada ahli
waris untuk dengan penerimaan (tindakan menerima) mengoper hak dan kewajiban
pewaris; karenanya si ahli waris tidak dengan otomatis (demi hukum) menggantikan
hak dan kewajiban si pewaris.
Lain lagi pendapat meyer, menurut Meyer, pembentuk Undang-Undang kita
membatasi pengoperan secara otomatis, hanya untuk segi aktivanya saja.
Hanya aktivanya saja yang otomatis berpindah pada ahli waris, sedangkan untuk
passivanya, pengoperannya digantungkan pada penerimaan. Hal itu didasarkan atas
kata Undang-Undang sendiri seperti pada:
 Pasal 833 ayat 1 BW yang tegas-tegas hanya menyebutkan aktivanya saja
dari warisan (dalam pewarisan testamenter pasal 955 BW)
 Pasal 1100 BW tegas-tegas menyatakan “para ahli waris yang telah menerima
warisan, diwajibkan untuk membayar hutang-hutang, legaat-legaay dan
beban lain.”
 Pasal 1100 BW dapat ditafsirkan, bahwa para ahli waris baru mengoper
kewajiban-kewajiban pewaris, kalau ia telah menyatakan menerima warisan
tersebut.5
Tetapi kewajiban-kewajiban pewaris baru berpindah pada ahli waris kalau ahli waris
telah menerima atau melakukan tindakan-tindakan penerimanaan (pasal 1100 BW).
Sebelum itu para kreditur dan legataris dari si pewaris hanya (baru) mempunyai
tagihan pada warisan.

Akan tetapi J.G. Klassen dan J.Eggens tidak sependapat dengan Meyers, dan
menganggap pendapat Meyers tersebut bertentangan dengan ketentuan mengenai
hak berpikir dari para ahli waris. Perhatikan pasal 1044 KUHPerdaya yang
mengatakan sebagai berikut:
“Warisan dapat diterima secara murni atau dengan hak istimewa untuk mengadakan
pemerincian harta peninggalan.”
“Tindakan menerima warisan” tidak menjadikan orang yang terpanggil untuk
mewaris menjadi ahli waris. . . dan dengan itu menjadi orang yang berhak atas

5
Ibid, hlm 88
warisan. . . tetapi hanya berakibat bahwa ia kehilangan haknya untuk menolak
warisan. “Penerimaan” pada dasarnya adalah pernyataan tidak menolak “warisan”.
Jadi sejak warisan terbuka para ahli waris sudah mengoper hak dan kewajiban
pewaris. Hanya padanya diberikan kesempatan untuk menolak atau kalau ia
menyatakan “menerima”, ia kehilangan haknya untuk “menolak”. 6
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hak Saisine tidak hanya berlaku bagi
ahli waris ab-intestato, tetapi sebagaimana dalam pasal 955 Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata yaitu:
“ Pada saat si yang mewariskan meninggal dunia, sekalian mereka yang dengan
wasiat tersebut diangkat menjadi waris, sepertipun mereka yang demi undang-
undang berhak mewarisi sesuatu bagian dalam warisan, demi undang-undang pula
memperoleh hak milik atas peninggalan si meninggal.”
Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu
sebagai berikut:
1. Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang ) dalam Pasal 832.
Menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak menerima bagian warisan
adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri
yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam
empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama,
kedua, ketiga dan golongan keempat. Mengenai golongan ahli waris ini akan
dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.
2. Secara Testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat = testamen)
dalam Pasal 899. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli
warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen. Pasal 1894 KUHPerdata
mengatakan bahwa penetapan, penguatan atau pemenuhan secara sukarela sesuatu
penghibahan oleh para ahli waris pemberi hibah atau orang yang mendapatkan hak
daripadanya setelah meninggalnya pemberi hibah berakibat hilangnya kekuasaan
mereka untuk memajukan adanya sesuatu kekurangan dalam bentuk caranya
penghibahan itu.(Amanat, 2000)
Maka hak Saisine juga berlaku bagi ahli waris testamentair, karena mereka juga
mendapatkan harta warisan dan berhak atas segala hutang pewaris.

6
Ibid, hlm 89
Pasal 833 dan 955 KUH Perdata memberi pengertian bahwa semua harta kekayaan
baik aktivita dan passiva dengan matinya pewaris kepada para ahli waris. Jadi, tidak
hanya harta kekayaan berbentuk hak-hak, melainkan juga harta kekayaan yang
berupa kewajiban dan beban-beban lainnya

Jadi menurut hemat penulis Oleh karena diatur bahwa ahli waris demi hukum
mendapatkan semua hak dan kewajiban milik si pewaris, maka ada kemungkinan
yang terjadi, bahwa hutang pewaris jauh melebihi harta pewaris. Artinya bahwa aset
yang ada saat ini mungkin saja bahkan tidak cukup melunasi hutang pewaris.
Mengenai hal ini Pasal 1023 KUHPerdata mengatur bahwa :

“Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin


menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat mempertimbangkan
yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah menerima secara murni,
ataukah menerima dengan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan itu,
ataukah menolaknya, mempunyai hak untuk berpikir, dan harus memberikan
pernyataan mengenai hal itu pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka; pernyataan itu harus
didaftarkan dalam daftar yang disediakan untuk itu.”

Pasal 1032 KUHPerdata juga mengatur bahwa :


1. bahwa ahli waris itu tidak wajib membayar utang-utang dan beban-beban
harta peninggalan itu lebih daripada jumlah harga barang-barang yang
termasuk warisan itu, dan bahkan bahwa ia dapat membebaskan diri dari
pembayaran itu, dengan menyerahkan semua barang-barang yang termasuk
harta peninggalan itu kepada penguasaan para kreditur dan penerima hibah
wasiat;
2. bahwa barang-barang para ahli waris sendiri tidak dicampur dengan barang-
barang harta peninggalan itu, dan bahwa dia tetap berhak menagih piutang-
piutangnya sendiri dari harta peninggalan itu.
Pewarisan bukan semata mewarisi harta benda dari pewaris, namun lebih dari itu,
pewaris juga harus melaksakan salah satu kewajiban sebagai ahli waris yaitu dengan
membayar utang yang ditinggalakan oleh pewaris. J. Satrio mengatakan bahwa
warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang
berpindah kepada para ahli waris. Jadi jika seseorang menerima warisan dari
pewaris, maka tidak hanya hartanya yang ia terima, tetapi ia juga harus memikul
utang pewaris.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 1100, yang mana menyebutkan:
“Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul
pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan
apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.”
Dari bunyi pasal di atas jelas dikatakan bahwa setiap ahli waris yang bersedia
menerima warisan maka juga wajib untuk melakukan pembayaran terhadap utang
yang ditinggalkan oleh pewaris, yang mana hal tersebut seimbang dengan apa yang
diterima oleh si ahli waris.
Akan tetapi KUHPerdata juga mengatur bahwa seorang ahli waris juga dapat
menolak warisan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal
1045 KUHPerdata, yang berbunyi:
"Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya."
Dalam hal seseorang menolak warisan yang jatuh kepadanya, Pasal 1057
KUHPerdata menyatakan bahwa orang tersebut harus menolaknya secara tegas
dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya warisan itu, yang mana isi dari pasal 1057 KUHPerdata sebagai
berikut:
“Penolakan suatu warisan harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi
dengan cara memberikan pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka.”
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, disimpulkan bahwa ahli waris wajib
membayarkan hutang yang ditinggalkan oleh pewaris, akan tetapi dalam hal ini ahli
waris juga dapat menolak warisan tersebut dengan mengikuti dari ketentuan
Undang-Undang.

Anda mungkin juga menyukai