Anda di halaman 1dari 12

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI

PPC
Program Pendidikan dan
Modul Diklat Tahap 3

“Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah.”


Pelatihan Calon Hakim

TERPADU
PERADILAN AGAMA

e-learning.mahkamahagung.go.id 1
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah ©2019
PEMERIKSAAN PERKARA ISBAT NIKAH

I. TUJUAN HASIL BELAJAR

a. Peserta dapat menjelaskan definisi dan dasar hukum isbat nikah di peradilan
agama.
b. Peserta dapat menjelaskan dua jenis (bentuk) perkara isbat nikah.
c. Peserta dapat menjelaskan prosedur dan mekanisme pemeriksaan perkara isbat
nikah.
d. Peserta dapat menerangkan persoalan-persoalan dan regulasi terbaru terkait
isbat nikah.

II. MATERI

No. POKOK MATERI SUB POKOK MATERI


1 Definisi dan Dasar 1. Definisi
Hukum Isbat Nikah 2. Dasar Hukum
2 Jenis/Bentuk 1. Voluntair
Perkara Isbat Nikah 2. Contentious

3. Prosedur 1. Prosedur Pemeriksaan Isbat Nikah


Pemeriksaan 2. Prosedur Pemeriksaan Isbat Nikah dalam
Perkara Isbat Nikah Pelayanan Terpadu Sidang Keliling
4. Persoalan dan 1. Persoalan krusial terkait Isbat Nikah
Kaidah Hukum 2. SEMA (Rumusan Kamar Agama) dan
Terbaru tentang Perma.
Isbat Nikah

1. III. URAIAN MATERI


1. Definisi dan Dasar Hukum Isbat Nikah
Definisi secara eksplisit mengenai isbat nikah dapat ditemukan dalam Pasal
1 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Dalam Rangka
Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran. Menururt Pasal 1 ayat
(3) Perma No. 1/2015 tersebut, Itsbat Nikah didefinisikan sebagai pengesahan
nikah bagi masyarakat beragama Islam yang dilakukan oleh Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah sesuai ketentuan yang berlaku.
Aturan pengesahan nikah/isbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan
yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang
berwenang. Secara runut waktu, dasar hukum isbat nikah dapat dilihat dari berbagai
aturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebagai berikut:

2
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk.
Pasal 3 ayat (5):
“Jika terjadi salah satu hal tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan
ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan
mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan
kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan
mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang
bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam
buku pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim
yang menyatakan hal itu.”

b. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai-


Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan
Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam.
Pasal 39 ayat (4):
“Jika Kantor yang dahulu mengeluarkan surat-surat itu tidak bisa membuat
duplikasinya disebabkan catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab-
sebab lain, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak, cerai atau rujuk, harus
dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama.”

c. Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


Pasal 49 ayat (2):
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan antara lain adalah:
1. Izin beristeri lebih dari seorang
2. ...
3. ...
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan lain.

d. Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 49 huruf (a):
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. Izin beristeri lebih dari seorang
2. ...
3. ...

3
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan lain.

e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Pasal 7:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.

Peraturan Menteri Agama No. 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan


Perkawinan, Pasal 22 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pencatatan perkawinan
berdasarkan pengesahan perkawinan atau isbat dapat dilakukan di KUA Kecamatan
yang ditunjuk dalam penetapan pengadilan agama.”

2. Jenis/Bentuk Perkara Isbat Nikah


Pada dasarnya perkara isbat nikah masuk dalam kategori perkara
permohonan (voluntair). Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi, yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI Tahun 2013.
Sebagaimana dipaparkan pada halaman 51-52 Buku tersebut bahwa jenis-jenis
permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
antara lain:
a) Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua.
b) Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi orang dewasa yang kurang
ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi.
c) Permohonan dispensasi kawin.
d) Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
e) Permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua suami isteri.
f) Permohonan pengangkatan anak.
g) Permohonan untuk menunjuk wasit (arbiter).
h) Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai.
i) Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita.
j) Permohonan agar seseorang dinyatakan mafqud.
k) Permohonan penetapan ahli waris.

Halaman 73 Buku II selanjutnya menjelaskan bahwa perkara yang tidak


wajib mediasi adalah perkara volunter dan perkara yang salah satu pihaknya tidak
hadir di persidangan dan perkara yang menyangkut legalitas hukum, seperti itsbat
nikah, pembatalan nikah, hibah dan wasiat dan lain-lain. Berdasarkan hal tersebut,

4
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
perkara isbat nikah baik dalam bentuk voluntair maupun contentious tidak wajib
mediasi seperti yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2016 karena isbat nikah
termasuk dalam perkara yang menyangkut legalitas hukum.
Tidak wajibnya mediasi untuk perkara isbat nikah diatur dalam Pasal Perma
No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 4 ayat (2)
menetapkan bahwa sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian
Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1) Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu
penyelesaiannya;
2) Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau
tergugat yang telah dipanggil secara patut;
3) Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara
(intervensi);
4) Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan
perkawinan;
5) Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar
Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan mediator bersertifikat yang
terdaftar di pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan
pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator bersertifikat.

Pada perkembangan selanjutnya, perkara isbat nikah dapat berbentuk


voluntair atau contentious tergantung, antara lain, kondisi atau status yang
menyertai pemohon perkara isbat nikah. Hal ini akan dipaparkan pada bagian
berikutnya dari narasi di bawah ini.

3. Prosedur Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah


Secara normatif, Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa
isbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama/mahkamah syar’iyah terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian; (b) hilangnya akta nikah; (c) adanya keraguan tentang sah
atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan (e) perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam Pasal 49 angka (22) Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal
7 ayat (3) huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya
perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Akan tetapi Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam
memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang dicatat oleh PPN yang
dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 untuk kepentingan perceraian (Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam).

5
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
Kemudian Pasal 7 ayat (4) KHI mengatur bahwa yang berhak mengajukan
permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan
pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Prosedur pemeriksaan perkara isbat nikah secara lebih rinci dijelaskan
dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,
Edisi Revisi, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA
RI Tahun 2013, sebagai berikut:
a. Itsbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian tidak dibuat secara
tersendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian.
b. Untuk menghindari adanya penyelundupan hukum dan poligami tanpa
prosedur, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah harus berhati-hati dalam
menangani permohonan itsbat nikah.
c. Proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan pengesahan
nikah/itsbat nikah harus memedomani hal-hal sebagai berikut:
1) Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami isteri atau
salah satu dari suami isteri, anak, wali nikah dan pihak lain yang
berkepentingan dengan perkawinan tersebut ke Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum Pemohon bertempat
tinggal, dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan
kepentingan yang jelas serta konkrit.
2) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua
suami isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi
penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami dan
isteri bersama-sama atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan
upaya hukum kasasi.
3) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah
seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukan isteri
atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon,
produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan
upaya hukum banding dan kasasi.
4) Jika dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka (2)
dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam
perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu
tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika Pemohon tidak mau
merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai
pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
5) Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak
lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan
suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.
6) Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapat
mengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius dengan
mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya

6
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum
banding dan kasasi.
7) Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli
waris lain selain dirinya maka permohonan itsbat nikah diajukan secara
voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut
ditolak, maka Pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
8) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6) dapat
melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah.
9) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5)
dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah yang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara
belum diputus.
10) Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak
dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan
(5), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah, dapat mengajukan gugatan pembatalan
perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah tersebut.
11) Ketua Majelis Hakim 3 (tiga) hari setelah menerima PMH, membuat PHS
sekaligus memerintahkan jurusita pengganti untuk mengumumkan
permohonan pengesahan nikah tersebut 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau
sekurang-kurangnya diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah.
12) Majelis hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari
setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir,
Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang.
13) Untuk keseragaman, amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan sah perkawinan antara _______ dengan ________ yang dilaksanakan
pada tanggal _________ di __________”.

4. Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah dalam Pelayanan Terpadu Sidang


Keliling
Sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2015, pemeriksaan
perkara isbat nikah dalam Pelayanan Terpadu Sidang Keliling dilakukan melalui
prosedur yang sedikit berbeda. Berikut adalah beberapa ketentuan terkait
pemeriksaan isbat nikah tersebut:
a. Perkara isbat nikah dalam Pelayanan Terpadu adalah perkara isbat nikah yang
bersifat permohonan/voluntair (Pasal 12 Ayat 1).

7
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
b. Sidang isbat nikah dihadiri oleh pasangan suami isteri yang masih hidup secara
pribadi (in person) kecuali ada alasan lain (Pasal 12 Ayat 2).
c. Pemeriksaan permohonan isbat nikah dalam Pelayanan Terpadu dapat
dilaksanakan oleh hakim tunggal (Pasal 12 Ayat 4).
d. Dalam hal permohonan isbat nikah dikabulkan, salinan penetapan diberikan
oleh pengadilan kepada pemohon pada hari yang sama (Pasal 10 Ayat 1).

5. Persoalan dan Regulasi Terbaru Seputar Isbat Nikah


Seiring semakin kompleksnya persoalan hukum keluarga yang berkembang
dewasa ini termasuk dalam hal isbat nikah/pengesahan perkawinan, Mahkamah
Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) menetapkan aturan-aturan
baru yang belum ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terkait
persoalan hukum dalam isbat nikah. SEMA tersebut berisi pemberlakuan Hasil
Rumusan Kamar Agama MA RI dalam Rapat Pleno Kamar MA RI.
Berikut adalah kaidah-kaidah hukum ‘baru’ mengenai isbat nikah yang
tersebar dalam berbagai SEMA:
1) Penggabungan Isbat Nikah dan Perceraian
Pada prinsipnya isbat nikah dalam rangka perceraian dapat dibenarkan, kecuali
pernikahan yang akan diisbatkan tersebut nyata-nyata melanggar undang-
undang.
(SEMA No. 7 Tahun 2012, Kamar Agama – 11)

2) Kumulasi Isbat Nikah Atas Pernikahan Kedua dengan Perceraian


Dalam hal terjadi kumulasi isbat nikah atas pernikahan kedua dengan
perceraian, sedangkan pernikahan yang kedua tidak mendapatkan persetujuan
dari isteri pertama, pernikahan tersebut tidak dapat diisbatkan kecuali sudah
ada izin poligami dari Pengadilan Agama.
(SEMA No. 7 Tahun 2012, Kamar Agama – 12)

3) Isbat Nikah Atas Perkawinan Siri


Pada prinsipnya nikah siri dapat diisbatkan sepanjang tidak melanggar undang-
undang. Ketentuan hukum penetapan isbat nikah sama dengan kekuatan hukum
akta nikah (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam).
(SEMA No. 7 Tahun 2012, Kamar Agama – 13)

4) Isbat Nikah Poligami Atas Dasar Nikah Siri


Permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan
kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk menjamin
kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal usul anak.
(SEMA No. 3 Tahun 2018, Kamar Agama – III.A-8)

8
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
5) Gugatan Pembatalan Isbat Nikah Atas Perkawinan Siri
Seorang isteri dapat mengajukan gugatan pembatalan penetapan isbat nikah
seorang suami dengan isteri barunya yang tidak melibatkan isteri sebelumnya
ke Pengadilan Agama yang menerbitkan penetapan isbat nikah tersebut. Jika
isbat nikah dilakukan di luar negeri, maka gugatan diajukan ke Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
(SEMA No. 5 Tahun 2014, Kamar Agama – 7)

6) Isbat Nikah Massal di Dalam Negeri dan Luar Negeri


Isbat nikah massal yang dilaksanakan di dalam negeri dengan dana Pemerintah
Daerah maupun yang dilaksanakan di luar negeri dapat dilaksanakan, akan
tetapi harus memperhatikan syarat-syarat syar’i yang ketat dan prinsip kehati-
hatian. Khusus untuk isbat nikah yang dilakukan di luar negeri, pelaksanaannya
harus mendapat izin dari Ketua Mahkamah Agung.
(SEMA No. 5 Tahun 2014, Kamar Agama – 1)

7) Isbat Nikah terhadap Perkawinan di Luar Negeri yang Tidak


Didaftarkan
Perkawinan bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri yang tidak didaftarkan
setelah kembali ke Indonesia lebih dari satu tahun, maka dapat diajukan isbat
nikah ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Pemohon.
(SEMA No. 3 Tahun 2015, Rumusan Hukum Kamar Agama – 8)

8) Pengesahan Anak dalam Perkawinan Siri


Pada prinsipnya anak yang lahir dalam perkawinan siri dapat mengajukan
permohonan pengesahan anak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
Permohonan pengesahan anak dapat dikabulkan apabila nikah siri orang tuanya
telah diisbatkan berdasarkan penetapan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah.
(SEMA No. 7 Tahun 2012, Kamar Agama – 14)

IV. AKTIVITAS DAN AGENDA PELATIHAN


Kegiatan pelatihan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang telah
disebutkan sebelumnya. Rincian kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ceramah oleh pemberi materi yang akan memberikan gambaran definis dan
dasar hukum isbat nikah, jenis perkara isbat nikah, prosedur pemeriksaan
perkara isbat nikah, dan aturan-aturan baru mengenai isbat nikah.
2. Latihan mengerjakan soal contoh kasus perkara isbat nikah.
3. Diskusi kelompok memecahkan persoalan krusial seputar pemeriksaan perkara
isbat nikah.

9
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
Total waktu untuk pokok bahasan ini adalah 4 JPL (180 menit) dengan
perkiraan agenda sebagai berikut:

No AKTIVITAS WAKTU
Ceramah umum terkait dengan materi pembelajaran: 1.
Definis dan Dasar Hukum Isbat Nikah; 2. Jenis Perkara
1 60 Menit
Isbat Nikah; 3. Prosedur Pemeriksaan Perkara Isbat
Nikah; dan 4. Kaidah Hukum Baru tentang Isbat Nikah
2 Diskusi Kasus 100 Menit
3 Kesimpulan oleh fasilitator 10 Menit
4 Pop Quiz 10 Menit
Total 180 Menit

V. SUMBER-SUMBER
Pada daftar di bawah ini dapat dilihat uraian bahan bacaan terkait setiap sub
pokok bahasan yang akan disampaikan oleh pemberi materi. Untuk memudahkan
proses pembelajaran, bahan-bahan bacaan yang ada dalam daftar ini telah
disediakan pada bagian lampiran dalam bahan ajar ini.

Bahan Bacaan:
Buku II, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi
Revisi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI Tahun, Jakarta,
2013.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Kewajiban Pegawai-Pegawai Nikah
dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan
Perundang-Undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu
Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan
Akta Kelahiran.

10
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018.

Apa yang peserta dapatkan dan apa yang diharapkan dari peserta?

Peserta akan diperkenalkan pada tugas-tugas mereka ketika menjalankan praktik


sebagai hakim pada pengadilan tingkat pertama. Selain diperkenalkan dengan tugas-
tugas hakim dalam memeriksa perkara isbat nikah, peserta juga mendapat kesempatan
untuk berlatih menjelaskannya.
Untuk persiapan mengikuti pelatihan, sebelumnya peserta dapat berlatih sendiri
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana proses pemeriksaan perkara isbat nikah di pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah?
2. Apa saja persoalan krusial di seputar perkara isbat nikah?
Selepas mengikuti pelatihan ini, peserta diharapkan memahami dan dapat
menjelaskan tugas-tugas hakim dalam memeriksa perkara isbat nikah.

11
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah
12
Pemeriksaan Perkara Isbat Nikah

Anda mungkin juga menyukai