Ada beberapa kasus yang perlu penulis angkat dalam tulisan ini, yang menurut
penulis memerlukan pertimbangan hukum khusus, karena berbeda dengan kasus-
kasus pada umumnya.
Kasus I:
1
Dalam kasus-kasus di atas, hakim perlu mempertimbangkan alasan yang
menyebabkan perkawinan mereka tidak tercatat, yang bukan karena tujuan
penyelundupan hukum, tetapi lebih karena alasan lain di luar kemampuan mereka,
oleh karena itu membatasi hak mereka untuk mengajukan permohonan pengesahan
nikah berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 adalah bertentangan dengan keadilan.
Hakim juga perlu mempertimbangkan dampak dari perkawinan yang tidak tercatat,
baik terhadap hak dan kewajiban suami istri, harta dalam perkawinan, maupun anak
yang lahir dari perkawinan tersebut.
Kasus II:
Status para Pemohon, sebagai duda atau janda dari perkawinan di bawah tangan, tidak
perlu dibuktikan dengan akta cerai untuk dapat menikah lagi sehingga tidak ada
halangan perkawinan. Kondisi para Pemohon yang telah berpisah dan tidak serumah
lagi dengan pasangan masing-masing dalam waktu lama sudah menunjukkan
putusnya hubungan perkawinan antara para Pemohon dengan pangannya masing-
masing dari hasil perkawinan di bawah tangan;
2
Hakim juga perlu mempertimbangkan iktikad baik para Pemohon dengan mengajukan
permohonan pengesahan nikah mereka untuk mendapatkan kepastian hukum status
perkawinan mereka dan perlindungan hukum atas hak, kewajiban, harta dan
keturunan yang timbul sebagai akibat dari perkawinan mereka;
Kasus III:
Dalam kasus di atas, hakim dapat meminta keterangan dari saksi-saksi di mana para
Pemohon tinggal menetap dan berumah tangga saat ini. Hakim perlu menggali sudah
berapa lama para Pemohon hidup berumah tangga di tempat itu, apa agama yang
dianut para Pemohon, apakah para Pemohon taat dalam beragama, apakah ada
larangan nikah antara para Pemohon, apakah para Pemohon masih tinggal bersama,
apakah ada pihak lain yang keberatan dengan hubungan perkawinan para Pemohon,
apakah para Pemohon sudah memiliki keturunan, dan ditambah dengan memeriksa
alat bukti surat berupa KTP, dan Kartu Keluarga para Pemohon.
Kasus IV:
3
dualisme pemahaman perkawinan yang sah, dan mencerminkan fungsi hukum untuk
merekeyasa masyarakat kepada ketertiban administrasi perkawinan prematur. Namun
disisi lain, negara juga belum mampu menjadi fasilitator yang baik untuk
mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan bagi seluruh warga negara,
khususnya bagi warga negara yang tidak mampu dan terpinggirkan.