Anda di halaman 1dari 4

BERBAGAI ARGUMENTASI HUKUM DALAM PENGESAHAN NIKAH

Oleh: Muhamad Isna Wahyudi


(Hakim PA Kotabumi)

Sebagai bentuk dukungan terhadap program pelayanan terpadu kepemilikan


identitas hukum, yang mencakup akta nikah, akta kelahiran, dan akta cerai, dan
melibatkan setidaknya tiga instansi terkait yaitu Peradilan Agama, KUA, dan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, maka penulis dalam hal ini sebagai hakim ingin
berbagi pengalaman dalam menangani perkara permohonan pengesahan (itsbat)
nikah. Perkara permohonan pengesahan nikah ini merupakan pintu masuk bagi
terbitnya berbagai akta identitas hukum sebagaimana disebut di atas.

Dari berbagai perkara permohonan pengesahan nikah yang pernah penulis


tangani, maka dapat dipetakan sebagai berikut:

1. Berdasarkan waktu terjadinya perkawinan di bawah tangan, ada yang terjadi


sebelum berlaku dan sesudah berlaku UU No. 1 Tahun 1974.
2. Berdasarkan alasan melakukan perkawinan di bawah tangan, ada yang karena
faktor kesadaran hukum yang rendah, ada yang karena faktor ketidakmampuan
ekonomi, ada yang untuk melakukan penyelundupan hukum, ada yang karena
faktor kelalaian P3N, dan ada yang karena statusnya dulu duda atau janda dari
perkawinan di bawah tangan.

Tentu, dalam menangani perkara permohonan pengesahan nikah, hakim perlu


ekstra hati-hati untuk menghindari manipulasi dan penyelundupan hukum. Selama
perkawinan di bawah tangan yang dilakukan tidak melanggar hukum, dalam
pengertian telah memenuhi syarat dan rukun, maka peluang dikabulkannya
permohonan pengesahan nikah sangat besar.

Ada beberapa kasus yang perlu penulis angkat dalam tulisan ini, yang menurut
penulis memerlukan pertimbangan hukum khusus, karena berbeda dengan kasus-
kasus pada umumnya.

Kasus I:

Perkawinan para Pemohon yang dilakukan setelah berlaku Undang-Undang No. 1


tahun 1974 tidak tercatat karena kelalaian P3N, dalam hal ini para Pemohon sudah
mengurus syarat-syarat administrasi perkawinan melalui P3N tetapi tidak
ditindaklanjuti oleh P3N ke KUA, atau karena para Pemohon tidak ada biaya, atau
karena kesadaran hukum yang rendah para Pemohon, yang disebabkan
keterbelakangan, atau berada di tempat terpencil.

Bagaimana pertimbangan hukumnya ketika peristiwa perkawinan telah terbukti dan


telah memenuhi syarat dan rukunnya, sementara menurut penjelasan Pasal 49 ayat (2)
angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, pengesahan
perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

1
Dalam kasus-kasus di atas, hakim perlu mempertimbangkan alasan yang
menyebabkan perkawinan mereka tidak tercatat, yang bukan karena tujuan
penyelundupan hukum, tetapi lebih karena alasan lain di luar kemampuan mereka,
oleh karena itu membatasi hak mereka untuk mengajukan permohonan pengesahan
nikah berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 adalah bertentangan dengan keadilan.

Hakim juga perlu mempertimbangkan dampak dari perkawinan yang tidak tercatat,
baik terhadap hak dan kewajiban suami istri, harta dalam perkawinan, maupun anak
yang lahir dari perkawinan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, hakim dapat melakukan


penyimpangan terhadap ketentuan di atas, dengan memberikan akses kepada mereka
untuk mengajukan permohonan pengesahan nikah, dan merujuk kepada Pasal 7 ayat
(3) huruf (e) Kompilasi Hukum Islam, bahwa itsbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

Kasus II:

Pemohon berstatus duda/janda dari perkawinan di bawah tangan dengan mantan


istri/suami, karena telah berpisah selama beberapa tahun, kemudian menikah lagi di
bawah tangan karena PPN tidak bersedia membantu mengurus perkawinan secara
resmi dan mengajukan permohonan pengesahan nikah.

Dalam kasus di atas hakim perlu mempertimbangkan alasan yang menyebabkan


perkawinan para Pemohon tidak dicatat, yaitu karena tidak ada P3N yang berani
membantu mengurus perkawinan para Pemohon karena pada saat menikah status para
Pemohon adalah duda dan janda yang berpisah dari pasangannya dari perkawinan di
bawah tangan;

Status para Pemohon, sebagai duda atau janda dari perkawinan di bawah tangan, tidak
perlu dibuktikan dengan akta cerai untuk dapat menikah lagi sehingga tidak ada
halangan perkawinan. Kondisi para Pemohon yang telah berpisah dan tidak serumah
lagi dengan pasangan masing-masing dalam waktu lama sudah menunjukkan
putusnya hubungan perkawinan antara para Pemohon dengan pangannya masing-
masing dari hasil perkawinan di bawah tangan;

Hakim perlu mempertimbangkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat yang


rendah, pemahaman keagamaan tentang perkawinan di bawah tangan adalah sah
menurut agama, dan kondisi ekonomi masyarakat yang masih di bawah standar
kesejahteraan, merupakan faktor-faktor yang masih menggejala di masyarakat dan
berpengaruh terhadap administrasi perkawinan, sehingga fenomena yang ada di
masyarakat di atas tidak dapat diabaikan, karena mengabaikan fenomena tersebut
sama halnya dengan mengabaikan social justice;

2
Hakim juga perlu mempertimbangkan iktikad baik para Pemohon dengan mengajukan
permohonan pengesahan nikah mereka untuk mendapatkan kepastian hukum status
perkawinan mereka dan perlindungan hukum atas hak, kewajiban, harta dan
keturunan yang timbul sebagai akibat dari perkawinan mereka;

Kasus III:

Para Pemohon tidak mampu menghadirkan saksi-saksi yang menyaksikan peristiwa


perkawinan di bawah tangan mereka, baik karena sudah tidak ada saksi-saksi yang
masih hidup, atau karena saksi-saksi tersebut berada di tempat yang jauh, dan perlu
biaya untuk mendatangkan saksi-saksi tersebut, sementara para Pemohon termasuk
orang tidak mampu;

Dalam kasus di atas, hakim dapat meminta keterangan dari saksi-saksi di mana para
Pemohon tinggal menetap dan berumah tangga saat ini. Hakim perlu menggali sudah
berapa lama para Pemohon hidup berumah tangga di tempat itu, apa agama yang
dianut para Pemohon, apakah para Pemohon taat dalam beragama, apakah ada
larangan nikah antara para Pemohon, apakah para Pemohon masih tinggal bersama,
apakah ada pihak lain yang keberatan dengan hubungan perkawinan para Pemohon,
apakah para Pemohon sudah memiliki keturunan, dan ditambah dengan memeriksa
alat bukti surat berupa KTP, dan Kartu Keluarga para Pemohon.

Kemudian, bagaimana pembuktiannya? Dalam kasus ini, hakim dapat menggunakan


persangkaan hakim terhadap keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti surat para
Pemohon tadi. Dalam kasus yang lebih ekstrim, yaitu ketika para Pemohon tidak
mampu mengajukan alat-alat bukti, baik berupa surat, atau saksi, maka jika
memungkinkan hakim dapat meminta para Pemohon untuk mengucapkan sumpah
pemutus.

Kasus IV:

Para Pemohon melakukan perkawinan di bawah tangan untuk melakukan


penyelundupan hukum, karena melanggar hukum jika menikah secara resmi atau
untuk menghindari prosedur hukum yang berlaku. Kasus yang demikian ini dapat
mencakup di antaranya perkawinan yang dilakukan ketika pihak perempuan masih
dalam masa ’iddah laki-laki lain, perkawinan ketika pihak perempuan masih dalam
ikatan perkawinan resmi dengan laki-laki lain, perkawinan sesama jenis, perkawinan
beda agama, perkawinan dengan pasangan yang belum cukup umur, dan poligami liar.

Terhadap kasus di atas, penulis hanya pernah menangani permohonan pengesahan


nikah terhadap perkawinan yang dilakukan ketika pihak perempuan masih dalam
masa ’iddah laki-laki lain. Karena perkawinan tersebut melanggar hukum, maka tidak
dapat disyahkan, dan para Pemohon harus menikah ulang secara resmi. Sementara
dalam kasus perkawinan di bawah tangan dengan tujuan menghindari prosedur hukum
yang berlaku, seperti perkawinan dengan pasangan yang belum cukup umur, dan
poligami liar, hakim perlu mempertimbangkan antara aspek kemanfaatan, kepastian
hukum, dan keadilan dari penetapan pengesahan nikah.

Terlepas dari program pelayanan terpadu kepemilikan identitas hukum,


banyaknya kasus-kasus pengesahan nikah, sebenarnya menimbulkan dilema hukum,

3
dualisme pemahaman perkawinan yang sah, dan mencerminkan fungsi hukum untuk
merekeyasa masyarakat kepada ketertiban administrasi perkawinan prematur. Namun
disisi lain, negara juga belum mampu menjadi fasilitator yang baik untuk
mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan bagi seluruh warga negara,
khususnya bagi warga negara yang tidak mampu dan terpinggirkan.

Demikian yang dapat penulis bagikan dari pengalaman penulis selama


menangani perkara permohonan pengesahan nikah dalam tulisan yang sederhana ini.
Tulisan ini hanya pendapat pribadi penulis yang tentu saja masih banyak kekurangan
dan belum tentu benar. Oleh karena itu, penulis selalu terbuka terhadap berbagai saran
maupun kritik terhadap tulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai