Disusun oleh:
02011282227189
Kelas A Indralaya
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023/2024
ANALISIS JURNAL
Pasal 27 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau isteri.” Selain itu, sudah sesuai dengan Pasal 72 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami isteri.”
Pasal 27 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 72 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam mendukung pembatalan perkawinan dalam kasus tersebut
di mana terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri pada saat
berlangsungnya perkawinan.
Kasus pembatalan perkawinan disebabkan oleh beberapa alasan antara lain sebagai
berikut:
Selain itu, anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak kehilangan hak waris
dari ayahnya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam
“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.” Ini berarti pembatalan perkawinan tidak mempengaruhi status
anak dalam hal warisan.
4. Penyesuaian Keputusan Dengan Teori Dan Praktek Dengan UUP Dan KHI
Dalam kasus ini, keputusan Pengadilan Agama Tulungagung untuk mengabulkan
gugatan pembatalan perkawinan berpegang pada keterangan saksi dan penggugat yang
tujuannya untuk melindungi kepentingan pihak penggugat yang dalam hal ini sebagai
pihak yang dirugikan dan pihak yang telah ditipu.
Adapun pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara
pembatalan perkawinan No. 1447/Pdt.G/2013/PA.Ta yaitu:
a. Penggugat pada pokoknya mengajukan gugatan pembatalan perkawinan atas
Tergugat dengan alasan perkawinan Tergugat I dengan Tergugat II tersebut
mengandung unsur penipuan, dimana pada saat perkawinan berlangsung Tergugat
II mengaku berstatus perjaka.
b. Gugatan yang diajukan tidak melewati tenggang waktu yaitu gugatan tersebut
diajukan dalam tenggang waktu satu (1) bulan dari sejak diketahui adanya penipuan
atau salah sangka pada tanggal 7 Juli 2013 maka gugatan tersebut sesuai dengan
Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, keputusan pengadilan untuk
mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan karena cacat hukum yang terjadi akibat
pemalsuan identitas sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUP dan KHI.
Oleh karena itu, keputusan pengadilan tersebut sesuai dengan teori dan praktek yang
diatur dalam kedua undang-undang tersebut.
1.5. Kesimpulan
Berdasarkan analisis hukum yang dilakukan atas kasus pembatalan perkawinan yang
diajukan oleh Penggugat di Pengadilan Agama Tulungagung, disimpulkan bahwa sasus
pembatalan perkawinan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Pembatalan perkawinan dilakukan karena salah satu unsur rukun nikah tidak terpenuhi,
yakni pemalsuan identitas oleh Tergugat II dengan menggunakan KTP palsu. Selain itu,
Penggugat mengajukan gugatan dalam waktu yang ditentukan oleh hukum setelah
mengetahui adanya pemalsuan identitas, sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku.
Keputusan Pengadilan Agama Tulungagung untuk mengabulkan gugatan pembatalan
perkawinan didasarkan pada fakta hukum yang relevan dengan kasus ini, termasuk bukti-
bukti yang diajukan oleh Penggugat dan pertimbangan hukum yang sesuai dengan UUP
dan KHI. Akibat hukum dari keputusan tersebut adalah pembatalan perkawinan, sehingga
hubungan suami istri dianggap tidak pernah terjadi. Meskipun demikian, anak yang lahir
dari perkawinan tersebut tetap memiliki hak waris dari ayahnya sesuai dengan Pasal 76
Kompilasi Hukum Islam.
Dengan demikian, keputusan pengadilan telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai ketentuan hukum
yang berlaku dan mendukung kepentingan hukum Penggugat yang telah dirugikan akibat
pemalsuan identitas dalam perkawinan.