Judul: Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Kredit Perbankan Melalui Gugatan
Sederhana Ditinjau dari PERMA Nomor 4 Tahun 2019 (Studi Putusan PN Muara Bulian Nomor 5/Pdt.G.S/2020/PN Mbn) Latar Belakang: Dasar hukum dilakukannya gugatan sederhana adalah Peraturan MA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana juncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019. Perma ini untuk mngantisipasi banyaknya sengketa perkara-perkara niaga atau bisnis skala kecil yang berujung ke pengadilan. Dalam gugatan sederhana, nilai gugatan materiel paling tinggi adalah Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), yang dapat diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian secara sederhana. Gugatan ini ditangani oleh hakim tunggal. Penyelesaian dengan gugatan sederhana hanya bisa digunakan untuk perkara ingkar janji (wanprestasi) dan/atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Sengketa yang rentan terjadinya ingkar janji adalah dalam sengketa perbankan termasuk dalam Studi Putusan PN Muara Bulian Nomor 5/Pdt.G.S/2020/PN Mbn. Sengketa pada perkara ini adalah antara Bank BRI dengan debiturnya. Nilai kredit yang diberikan kepada debitur tersebut senilai Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Kemudian kredit tersebut mengalami kemacetan pembayaran sehingga dilakukan pengajuan restruktursiasi kredit. Akan tetapi, setelah dilakukan restrukturisasi kredit kredit debitur tetap mengalami kemacetan. Sehingga, kemudian kreditur melakukan gugatan untuk pelunasan kredit debitur tersebut. Maka sesuai dengan Peraturan MA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana juncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019, karena nilai gugatan di bawah Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) maka dilakukan gugatan sederhana. Rumusan Masalah: 1) Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan gugatan sederhana dalam peroses penyelesaian sengketa perbankan? 2) Apa urgensi dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung tentang Gugatan Sederhana Nomor 2 Tahun 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019? 3) Bagaimanakah analisis terhadap pertimbangan hakim dalam memutus sengketa perbankan dengan gugatan sederhana dalam Putusan PN Muara Bulian Nomor 5/Pdt.G.S/2020/PN Mbn?
2. Judul: Pencantuman Klausula Arbitrase Sebagai Penyelesaian Sengketa Bisnis dalam
Kontrak Kerja Sama Operasional Proyek Pembangunan Jalan Tol Antara PT Waskita Karya (Persero) dengan PT Rimba Ayu Kencana dan PT Marinda Utama Karya Subur Latar Belakang: Dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebenarnya sudah lama dikenal. Penyelesaian sengketa bisnis melalui jalur arbitrase haruslah berdasarkan dari kesepakatan para pihak yang bersengketa. Pihak-pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi untuk diselesaikan melalui proses arbitrase. Jika para pihak yang bersengketa tidak dapat memilih arbiter yang tepat, maka dapat diserahkan kepada lembaga arbitrase, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang dicantumkan di dalam perjanjiannya. Dalam arbitrase akan dijabarkan secara jelas mengenai kegagalan kesepakatan atau kontrak yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa berkaitan dengan sengketanya. Pencantuman klausula arbitrase adalah dalam kontrak kerja sama operasional proyek pembangunan jalan tol antara PT Waskita Karya (Persero) dengan PT Rimba Ayu Kencana dan PT Marinda Utama Karya Subur. Oleh sebab itu sangat perlu untuk mengetahui dampak pencantuman klasula arbitrase tersebut. Rumusan Masalah: 1) Bagaimana perkembangan regulasi penyelesaian sengketa dengan jalur arbitrase di Indonesia? 2) Bagaimana kekuatan hukum atas suatu putusan arbitrase bagi para pihak yang berkonflik? 3) Bagaimana akibat hukum pencantuman klausula arbitrase dalam kontrak kerjasama operasional Jalan Tol PT Waskita Karya (Persero) dengan PT Rimba Ayu Kencana dan PT Marinda Utama Karya Subur?
3. Analisis Yuridis Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Pailit Atas
Adanya Wanprestasi Debitur (Studi Putusan PN Jakarta Pusat Nomor /Pdt.Sus- Pailit/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst) Latar Belakang: Seiring dengan perkembangan persaingan ekonomi global, maka suatu perusahaan akan dituntut untuk mampu mempertahankan kemampuan keuangannya (finacial), agar tidak terpengaruh oleh dampak adanya krisis global. Apabila perusahaan tidak mampu adaptasi dengan persaingan global, maka tidak sedikit perusahaan akan mengalami kasus pailit atau kebangkrutan. Salah satu produk hukum yang bertujuan untuk menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan dan perlindungan hukum yang berisi keadilan dan kebenaran yang diperlukan saat ini guna mendukung pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Produk tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tujuan dikeluarkan undang-undang tersebut adalah untuk memberikan keseimbangan antara kreditur dan debitur menghadapi masalah kepailitan, memberikan kepastian proses menyangkut waktu, prosedur, tanggungjawab pengeloaan harta pailit dan memudahkan penyelesaian hutang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif. Selain itu, tujuan dari pemberlakuan undang-undang kepailitan adalah untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif. Salah satu sengketa kepailitan yang diputus oleh pengadilan adalah dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 15/Pdt.Sus-Pailit/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. Sengketa ini diajukan perusahaan yang bergerak dalam industri barang dari plastik dan logam untuk keperluan teknik/industri lainnya atau sebagai supplier onderdil. Jalan usaha Termohon Pailit mulai tersendat-sendat dengan ditandai oleh tidak mampu membayar tagihan hutang yang telah jatuh tempo dan pemberitahuan-pemberitahuan mengenai rencana penghentian operasional produksi, sampai dengan Desember 2018 dimana Termohon Pailit telah memutuskan untuk menghentikan aktifitas perusahaan secara menyeluruh. Oleh karena itu, para kreditur kemudian melakukan permohonan Pailit dengan adanya wanprestasi debitur. Dalam hal ini perlu dianalisis mengenai putusan hakim apakah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Rumusan Masalah: 1) Bagaimanakah proses permohonan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? 2) Bagaimanakah pembuktian yang dapat dilakukan dalam perkara kepailitan di pengadilan? 3) Bagaimanakah analisis pertimbangan hakim terhadap permohonan kepailitan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 15/Pdt.Sus-Pailit/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst?