Anda di halaman 1dari 24

PERNIKAHAN DINI DAN PERMASALAHANNYA

DALAM
KESEHATAN REPRODUKSI DAN SOSIAL

Dosen Pembimbing: Ns. Awatiful Azza, M.Kep.,Sp.Kep.Mat.

Disusun Oleh: Kelompok 5

1. Citra Aida (1411011002)


2. Novil Iqbal (1411011005)
3. Alfiyatul Hasanah (1411011008)
4. Dwi Andriyani (1411011015)
5. Linda Andayani (1411011019)
6. Lutfi Nur Fatakh (1411011030)
7. Fitriatus Sa’adah (1411011039)
8. Edi Purwanto (1411011043)
9. Fathaniatul Islamiyah (1411011046)

S1-ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah KESEHATAN REPRODUKSI dengan judul “Pernikahan
Dini dan Permasalahannya dalam Kesehatan Reproduksi dan Sosial ”.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun,
kami menyadari kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan berbagai pihak, sehingga hambatan yang kami hadapi dapat teratasi
dengan baik.
Makalah ini disusun agar kami maupun pembaca dapat mengetahui mengenai
Kesehatan Reproduksi. Makalah ini disusun oleh kami dengan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari kami sendiri maupun dari luar. Namun, dengan penuh kesabaran dan
pertolongan dari Allah SWT, makalah ini dapat terselesaikan.
Kami mengetahui “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang positif yang bersifat membangun, sehingga makalah ini
menjadi sempurna dan bermanfaat pada masa mendatang. Akhirnya kami mengucapkan
terima kasih.

Jember, 14 Oktober 2016

Kelompok 5

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ..............................................................................................................i


Kata Pengantar ..............................................................................................................ii
Daftar Isi .......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan .....................................................................................................3
1.2.1 Tujuan Umum .............................................................................................3
1.2.2 Tujuan Khusus ............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................4
2.1 Pernikahan...............................................................................................................4
2.2 Pengertian Pernikahan Dini ....................................................................................8
2.3 Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Dini................................................................8
2.4 Pernikahan Anak dan Derajat Pendidikan ..............................................................11
2.5 Masalah Domestik dalam Pernikahan Usia Dini ....................................................11
2.6 Dampak Pernikahan Dini ........................................................................................11
2.7 Kesehatan Reproduksi dan Pernikahan Usia Dini ..................................................13
2.8 Anak yang Dilahirkan dari Pernikahan Usia Dini ..................................................18
2.9 Pengalaman Perempuan dalam Mengambil Keputusan tentang Pernikahan Dini ..18
BAB III PENUTUP ......................................................................................................20
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................20
3.2 Saran .......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan
anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai
belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda
yang terabaikan. Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus
dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Implementasi
Undang-Undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi
yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat (Azza, 2014).
Pernikahan usia dini terjadi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan di Indonesia
serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang (Larasaty, 2009).
Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak
perempuan mendapat haid pertama. Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan
bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah (Azza,
2014).
Kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia
perkawinan 19,1 tahun. Di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Jawa Barat,
angka kejadian pernikahan dini berturut-turut 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan 36% (Azza,
2014).
Dalam konteks regional ASEAN, angka perkawinan anak di Indonesia adalah
tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak ini perlu mendapat perhatian serius
karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan, seperti pendidikan, bermain,
perlindungan, keamanan, dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya
(Djamilah, 2014).
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas
bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit untuk
mengubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial setelah
menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah di usia muda
(Larasaty, 2009).
Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi
kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun
4
orang yang mengawini sehingga pernikahan dini tidak dapat terhindarkan. Beberapa
bentuk eksploitasi tersebut diantranya adalah mengeksploitasi anak atas nama ekonomi
atau materi, karena gengsi atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang
dianggap terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri
atau belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah
belum. Selain itu ada yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari
kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur, karena
kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas nama agama,
walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak
bukanlah ajaran agama, terutama apabila diklaim sebagai bagian dari sunah Nabi SAW
(Azza, 2014).
Komunitas internasional menyadari pula bahwa masalah pernikahan anak merupakan
masalah yang sangat serius. Implikasi secara umum bahwa kaum wanita dan anak yang
akan menanggung risiko dalam berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan yang tidak
diinginkan, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang sangat muda,
selain juga meningkatnya risiko penularan infeksi HIV, penyakit menular seksual lainnya,
dan kanker leher rahim. Konsekuensi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan tentunya
merupakan hambatan dalam mencapai Millennium Developmental Goals (Larasaty,
2009).
Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan anak berusia 16
tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita
sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi
pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan
tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan
dini (Azza, 2014).
Pernikahan dini merupakan gejala sosial masyarakat yang dipengaruhi oleh
kebudayaan yang mereka anut, yaitu tindakan yang dihasilkan oleh olah pikir masyarakat
setempat yang sifatnya bisa saja masih mengakar kuat pada kepercayaan masyarakat
tersebut. Banyak dampak yang ditimbulkan akibat pernikahan dini baik secara sosial,
psikologi, dan kesehatan terutama kesehatan reproduksi. Hal ini sangat penting karena
kesehatan reproduksi berpengaruh pada kualitas janin yang dihasilkan, dan juga
5
mempengaruhi tingkat kesehatan ibu, karena majunya suatu negara dapat diimplikasikan
dengan angka kematian ibu (Azza, 2014).

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mampu menguraikan “Pernikahan Dini dan Permasalahannya dalam Kesehatan
Reproduksi dan Sosial”.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menguraikan tentang pernikahan.
2. Menguraikan tentang pengertian pernikahan dini.
3. Menyebutkan penyebab faktor-faktor pernikahan dini.
4. Mendeskripsikan mengenai pernikahan anak dan derajat pendidikan.
5. Menjelaskan masalah domestik dalam pernikahan dini.
6. Menyebutkan dampak dari pernikahan dini.
7. Menjelaskan kesehatan reproduksi dan pernikahan usia dini.
8. Mendeskripsikan mengenai anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini.
9. Menguraikan tentang pengalaman perempuan dalam mengambil keputusan
tentang pernikahan dini.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan
Menurut pasal 1 Undang-undang Perkawinan disebutkan pengertian pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan sorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut
UU Pernikahan diatur dalam pasal 7 ayat (1), yaitu jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Jika ada penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi kepada
Peengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun
wanita (pasal 7 ayat 2) (Indriyani & Asmuji, 2014).
Dalam hukum keluarga menyatakan manfaat dari perkawinan adalah menghasilkan
keturunan yang sah, yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan
ibunya.
Tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi tuntunan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang tenteram (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan penuh rahmat, agar dapat
melahirkan keturunan yang saleh dan berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga
bahagia (Ihsan, 2008 dalam (Indriyani & Asmuji, 2014).
Dalam suatu pernikahan perlu adanya kesiapan, di bawah ini beberapa kesiapan dalam
pernikahan yaitu:
1. Kesiapan ilmu
Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hokum-hukum fiqih yang berkaitan
dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, pada saat menikah,
maupun sesudah menikah.
2. Kesiapan materi atau harta
Maksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta
sebagai nafkah suami kepada istri untuk memenuhi kebutuhan pokok atau berupa
sandang, pangan, dan papan. Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa
harta secara materiil, tetapi bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada
istri, misal suami mengajarkan suatu ilmu kepada istri. Sementara kebutuhan primer,

7
wajib diberikan dalam kadar yang layak, yaitu setara dengan kadar nafkah yang
diberikan kepada perempuan lain (Lutfiyanti, 2008).
3. Kesiapan fisik
a) Pemeriksaan kesehatan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan
perlu melakukan pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui secara dini penyakit-
penyakit tertentu yang ada pada calon pengantin. Ini karena keadaan tersebut
dapat mempengaruhi bila kedua calon menikah dan memiliki keturunan, yang
mana kemungkinan dapat terjadi anak yang dikandung berisiko cacat, mewarisi
penyakit kongenital / kelainan bawaan, atau tertular penyakit. Pemeriksaan
kesehatan pranikah sangat penting untuk mendeteksi kemungkinan adanya
penyakit keturunan, seperti thalasemia, hemofilia, buta warna, asma / alergi, dan
sebagainya sehingga calon pengantin dapat mengambil keputusan yang bijaksana
dan bertanggung jawab, disertai kesadaran atau risiko yang mungkin terjadi. Hal-
hal yang perlu diperiksa, antara lain pemeriksaan fisik (untuk melihat
kemungkinan calon istri menderita tumor rahim, tumor indung telur,
endometriosis, yang menyebabkan sulit hamil, juga pemeriksaan TBC paru,
kelainan jantung, dan asma), pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan Hb,
golongan darah, pemeriksaan darah untuk IMS, pemeriksaan gula darah, dan
pemeriksaan TORCH).
b) Persiapan gizi pra – nikah
(1) Penanggulangan KEK
Seorang remaja / calon pengantin perempuan dengan KEK, bila tidak
mendapat perbaikan gizi akan berisiko melahirkan anak dengan bayi berat
lahir rendah (BBLR).
Beberapa upaya dalam meningkatkan kesehatan gizi dan risiko KEK pada
calon pengantin perempuan, antara lain :
a. Memberikan penyuluhan tentang gizi dan kesehatan
b. Ketersediaan pangan di tingkat keluarga, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif
c. Pola konsumsi dan distribusi intra keluarga
(2) Anemia gizi
Disebut anemia gizi bila calon pengantin menderita kekurangan kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk membentuk Hb. Risiko bila remaja menderita anemia dapat
8
mempengaruhi penurunan produktivitas kerja serta konsentrasi belajar. Selain
itu, bila kelak menikah dan hamil akan berdampak besar terhadap risiko
perdarahan dan kematian ibu.
Dosis pemberian tablet tambah darah, yaitu calon pengantin perempuan
mengonsumsi tablet tambah darah sebelum menikah, 1 tablet seminggu sekali
selama 16 minggu dan ketika haid dianjurkan minum 1 tablet setiap hari
selama 10 hari.
(3) Imunisasi
Untuk mencegah bayi terserang tetanus neonatorum, calon pengantin
perempuan diberikan suntikan TT (Tetanus Toxoid) 2 kali.
4. Persiapan psikis dan psikososial
a) Proses adaptasi setelah menikah
Setelah menikah akan terjadi perubahan besar dalam kehidupan. Perempuan akan
menjadi istri dan pria akan menjadi suami yang akhirnya akan menjadi ayah dan
ibu. Perubahan status ini akan diikuti oleh perubahan fungsi dan peran masing-
masing di dalam kehidupan berkeluarga. Sebagai proses adaptasi pada awal
perkawinan, pasti terjadi perbedaan, kesalah pahaman, dan perselisihan di satu
pihak.
Masalah yang dapat menibulkan konflik dalam suatu perkawinan, antara lain ;
1. Tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga
2. Tidak dapat memenuhi keinginan pasangan
3. Tidak dapat bergaul dengan lingkungannya
4. Tidak mampu mengadakan hubungan seks yang memuaskan
5. Tidak mampu memberikan cinta dan kasih sayang yang diharapkan oleh
pasangannya
6. Tidak mampu melepaskan diri dari ikatan masa lampaunya atau pengalaman
yang tidak menyenangkan
7. Tidak mampu mengasuh dan membimbing anak
b) Syarat kedewasaan dalam perkawinan
(1) Dewasa secara fisik
Seseorang dikatakan dewasa secara fisik apabila ia telah mampu menghasilkan
keturunan. Masa ketika seseorang telah dewasa secara fisik ialah masa akil
balig.

9
(2) Dewasa secara mental
Seseorang dikatan dewasa secara mental jika telah mampu mengembangkan
segenap potensi kejiwaannya (pikiran, emosi, dan kemauan) secara serasi,
selaras, dan seimbang sehingga mampu menghadapi berbagai macam
persoalan hidup.
(3) Dewasa secara psikososial
Seseorang dikatakan dewasa secara psikososial apabila telah mampu hidup
mandiri, tidak tergantung secara ekonomis kepada orang tuannya dan dapat
mengembangkan kehidupan sosial secara memuaskan dengan lingkungannya.
Adapun hal-hal yang mempengaruhi pernikahan antara lain:
1) Faktor agama
Agama merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang perkawinan. Calon
pasangan diharapkan berasal dari agama yang sama dan memiliki keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hal ini melandasi kekukuhan suatu
perkawinan.
2) Faktor kepribadian
Kedua pasangan perlu saling mengenal kepribadian masing-masing agar dapat
menyesuaikan diri, saling mengisi, dan memberi kasih sayang.
3) Faktor kesehatan jiwa
Kesehatan jiwa amat berpengaruh dalam membina perkawinan. Seseorang yang
cemas berlebihan, merasa rendah diri, atau mengalami ketergantungan terhadap zat
adiktif (termasuk minuman keras dan rokok) merupakan salah satu risiko yang perlu
diatasi sebelum menikah.
4) Faktor umur
Faktor umur memegang peranan penting dalam membina kelurga harmonis, meskipun
usia tidak selalu menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang. Sebaiknya usia suami
lebih tua dari pada istri, dengan perbedaan 3-6 tahun.
5) Faktor pendidikan
Pendidikan merupakan faktor penting yang menunjang keberhasilan keluarga. Hal
yang terutama di sini bukan latar belakang pendidikan formal atau gelarnya.
Sebaiknya, pasangan tersebut berasal dari tingkat pendidikan yang tidak jauh berbeda.
6) Faktor ekonomi, sosial, dan budaya
Perbedaan dari latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya di setiap wilayah di
Indonesia menyebabkan perbedaan dalam norma, adat, dan perilaku. Perbedaan latar
10
belakang ekonomi, sosial, dan budaya sering kali menimbulkan prasangka dan
kesalah pahaman.
7) Faktor latar belakang keluarga
Perkawinan selalu melibatkan keluarga dari masing-masing pihak. Oleh karena itu,
latar belakang keluarga pasangan penting diketahui, terutama dalam hal keharmonisan
orang tua (DepKes RI, 2003).

2.2 Pengertian Pernikahan Dini


Anak adalah seseorang yang terbentuk sejak masa konsepsi sampai akhir masa
remaja. Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun 2008 (pasal
19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Sedangkan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974
menjelaskan batas usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun dan lelaki 19 tahun.
Definisi anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun, termasuk dalam anak yang masih berada dalam kandungan (Larasaty, 2009).
Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk
melaksanakan pernikahan (Nukman, 2009 dalam (Indriyani & Asmuji, 2014). Sedangkan
menurut (Azza, 2014) Pernikahan dini merupakan gejala sosial masyarakat yang
dipengaruhi oleh kebudayaan yang mereka anut, yaitu tindakan yang dihasilkan oleh olah
pikir masyarakat setempat yang sifatnya bisa saja masih mengakar kuat pada kepercayaan
masyarakat tersebut.

2.3 Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Dini


Di berbagai penjuru dunia, pernikahan anak merupakan masalah sosial dan ekonomi,
yang diperumit dengan tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat. Stigma sosial
mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan
tertentu, meningkatkan pula angka kejadian pernikahan anak. Motif ekonomi, harapan
tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak
orangtua menyetujui pernikahan usia dini. Alasan orangtua menyetujui pernikahan anak
ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat
pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan. Secara umum, pernikahan anak
lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan
keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan
kemiskinan. Negara dengan kasus pernikahan anak, pada umumnya mempunyai produk

11
domestik bruto yang rendah. Pernikahan anak membuat keluarga, masyarakat, bahkan
negara mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan hal ini
tentunya menyebabkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan yang rendah baik anak
maupun keluarga dan lingkungannya (Larasaty, 2009).
Menurut Ahmad (2009) dalam (Indriyani & Asmuji, 2014), terdapat dua factor
penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari
luar anak.
1. Sebab dari Internal Anak
a. Faktor pendidikan
Faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap penyebab terjadinya pernikahan
dini. Bila anak berada pada status pelajar, hal ini akan menunda terjadinya uatu
pernikahan. Namun, jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah,
kondisi pernikahan biasanya tidak bisa dihindari. Karena anak dengan drop out
sekolah akan cenderung menganggur dan tidak ada kegiatan sehingga mendorong
orangtua akan berpikir bahwa menikah akan lebih baik daripada berdiam diri di
rumah, apalagi bila anak gadis terebut sudah memiliki teman dekat.
b. Faktor telah melakukan hubungan biologis
Bila orangtua mengetahui anak gadisnya telah melakukan hubungan biologis
dengan lawan jenis maka alah satu kekhawatiran orangtua adalah risiko terjadinya
kehamilan di luar nikah ataupun khawatir ditinggalkan oleh pasangan yang tidak
bertanggung jawab. Karena hilangnya kesucian seorang gadis merupakan aib
dalam keluarga. Kondisi kekhawatiran inilah yang mendorong orang tua untuk
segera menikahkan anak gadisnya mekipun usianya masih sangat muda.
c. Hamil sebelum menikah
Bila seorang anak gadi telah hamil sebelum dilangsungkan pernikahan, biasanya
keluarga akan mengambil keputusan menikahkan putri mereka. Hal ini biasanya
orngtua memiliki alasan agar terhindar dari malu, karena masalah ini mrupakan
aib dalam keluarga. Keputusan pernikahan ini biasanya diambil tanpa
memerhatikan usia anak saat peristiwa ini terjadi.
2. Sebab dari Eksternal Anak
a. Faktor pemahaman agama
Terdapat keyakinan alam agama bahwa bila seorang anak telah memiliki
hubungan yang sangat dekat dengan lawan jenis, orangtua akan mengambil

12
keputusan menikahkan mereka. Hal ini dimaksudkan karena kondisi prgaulan
seperti ini dilarang oleh agama dan supaya mnghindari adanya perzinaan.
b. Faktor ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan. Maka, untuk meringankan beban orang tuanya, anak gadisnya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. Dengan adanya perkawinan
tersebut, dalam keluarga gadis tersebut akan berkurang satu anggota keluarganya
yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya)
(Hamid, 2003 dalam (Indriyani & Asmuji, 2014).
c. Faktor adat dan budaya
Masih kita temui fenomena di masyarakat, terutama masyarakat pedesaan suatu
kondisi budaya yang menikahkan anaknya padda usia yang masih belia. Hal ini
bisa bermula dengan adanya perjodohn yang direncanakan oleh orangtua, maupun
pemahaman bahwa anak gadis sudah layak menikah kalau sudah menapatkan
menstruasi yang pertama kali (menarche), bahkan ada yang menikahkan putrinya
sebelum memasuki usia menarche. Selain itu, juga adanya anggapan bila anak
gadis tidak segera menikah akan membuat malu keluarga karena dapat disebut
sebagai gadi yang jauh dengan jodoh.
Menurut (Artono, 2016), factor-faktor yang mempengaruhi tindakan pernikahan dini
adalah pengetahuan dan sikap remaja terhadap kesehatan reproduksi yakni : bahwa
berbagai masalah gangguan kesehatan reproduksi yang terjadi pada remaja dewasa ini
yang mengancam remaja, misalnya pendarahan, kehamilan diluar nikah dan berbagai
kelainan-kelainan kesehatan yang dialami oleh remaja siswa SMP dan SMA sudah
melakukan seks bebas diluar pengetahuan orang tua mereka. Memberikan dampak pada
remaja baik dari kesehatan reproduksi yang semestinya belum mengenal seksual pada
saat berada dalam kondisi mengenyam pendidikan. Keterpaksaan pernikahan terjadi
karena pengakuan bahwa hamil terjadi tanpa pengikat pernikahan yang sah, kejadian ini
mengarah pada pertanggungjawaban terhadap janin yang dikandung membuat siswa
putus sekolah ada pula yang ketingkat menggugurkan demi kepentingan pribadi dengan
sembunyi. Ada kala juga langsung melakukan pernikahan untuk memutuskan berhenti
sekolah demi pertanggung jawaban masa depan anak dalam kandungannya. Beberapa
kasus yang ada dalam perkembangan masyarakat dan pergaulan bebas dampak kepada
angka kelahiran meningkat dan tidak sesuai dengan angka kematian (Sukhinah H./V.200).

13
2.4 Pernikahan Anak dan Derajat Pendidikan
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai
oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah,
karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau
kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah
tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah. Pola
lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak berhenti sekolah dan
kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggungjawab orangtua menghidupi
anak tersebut kepada pasangannya (Larasaty, 2009).
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan
dan usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak
relatif lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia dini menurut
penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya berhubungan pula dengan derajat pendidikan
yang rendah. Menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat
mengenyam pendidikan lebih tinggi (Larasaty, 2009).

2.5 Masalah Domestik dalam Pernikahan Usia Dini


Ketidaksetaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak. Mempelai
anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan
keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak.
Demikian pula dengan aspek domestik lainnya. Dominasi pasangan seringkali
menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam
rumah tangga tertinggi terjadi di India, terutama pada perempuan berusia 18 tahun.
Perempuan yang menikah di usia yang lebih muda seringkali mengalami kekerasan. Anak
yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan
perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak mendapat pemenuhan rasa aman baik di
bidang sosial maupun finansial. Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh
usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau
menjanda karena pasangan meninggal dunia (Larasaty, 2009).

2.6 Dampak Pernikahan Dini


Risiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek menurut Ihsan (2008)
dalam (Indriyani & Asmuji, 2014), sebagai berikut.

14
1. Segi kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya
angka kematian ibu melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya
derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, usia yang kecil risikonya
dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun. Artinya, melahirkan pada usia
kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun berisiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun
ke bawah erring mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar
kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan, dan ketulian.
2. Segi fisik
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan
keterampilan fiik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi
kebutuhan keluarga. Factor ekonomi adalah salah satu factor yang berperan dalam
mwujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tiak boleh
berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orangtua
harus dihindari.
3. Segi mental/jiwa
Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada hal-hal yang
menjadi tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental karena
masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.
4. Segi pendidikan
Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan
yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengurangi bahtera hidup.
5. Segi kependudukan
Perkawinan usia muda ditinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas
(kesuburan) yang tinggi seehingga kurang mendukung pembangunan I bidang
kesejahteraan.
6. Segi kelangsungan rumah tangga
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat
kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan tingginya angka perceraian.
Banyak dampak yang ditimbulkan akibat pernikahan dini baik secara sosial,
psikologi, dan kesehatan terutama kesehatan reproduksi. Hal ini sangat penting karena
kesehatan reproduksi berpengaruh pada kualitas janin yang dihasilkan, dan juga
mempengaruhi tingkat kesehatan ibu, karena majunya suatu negara dapat diimplikasikan
dengan angka kematian ibu (Azza, 2014).
15
2.7 Kesehatan Reproduksi dan Pernikahan Usia Dini
Reproduksi adalah cara dasar mempertahankan diri yang dilakukan oleh semua
bentuk kehidupan; setiap individu organisme ada sebagai hasil dari suatu proses
reproduksi oleh pendahulunya. Jadi, reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan
manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian dan kelangsungan hidup.
(Wikipedia,2013)
Adapun makna Kesehatan reproduksi (Kespro) menurut WHO dalam Rejeki (2011)
adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit
atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi
serta prosesnya. Sementara menurut hasil ICPD 1994 dalam Haryanto (2010), kesehatan
reproduksi adalah keadaan sempurna fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan tidak
semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan
sistem reproduksi, fungsi, dan proses. Pengertian kesehatan reproduksi ini mencakup hal-
hal sebagai berikut :
1) Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan
memuaskan serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi
2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya
3) Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh
aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau, baik secara ekonomi maupun kultural
4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga
perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
Tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran
kemandirian wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupa
seksualitasnya sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya
menuju penigkatan kualitas hidupnya (Sanusi dan Arma, 2005 dalam Indriyani 2014).
Sementara tujuan khusus dari kesehatan reproduksi menurut Sanusi dan Arma (2005)
dalam Indriyani (2014) adalah sebagai berikut :
a. Meningkatnya kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi
reproduksinya.
b. Meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil,
jumlah, dan jarak kehamilan.
c. Meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku
seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-
anaknya.
16
d. Dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan
proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi
kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat
berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi, sebagai berikut :
1. Faktor social-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah dan ketidaktauan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi serta
lokasi tempat tinggal yang terpencil).
2. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktik tradisional yang berdampak buruk
pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rezeki, informasi
tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling
berlawanan satu dengan yang lain, dsb).
3. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orangtua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb).
4. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit
menular seksual, dsb).
Pengaruh dari semua faktor di atas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang
tepat guna terfokus pada penerapan reproduksi wanita dan pria dengan dukungan di
semua tingkat administrasi sehingga dapat diintegrasikan ke dalam berbagai program
kesehatan, pendidikan, sosial, dan pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam
pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
Ruang lingkup kesehatan reproduksi diantaranya adalah:
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
b. Keluarga berencana
c. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk PMS-
HIV/AIDS
d. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
e. Kesehatan reproduksi remaja
f. Pencegahan dan penanganan infertilitas
g. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis
h. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genetalia,
fistula, dan lain-lain.

17
Dibawah ini merupakan masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
menurut Mariana Amiruddin (2003) dalam Sausi dan Arma (2005), antara lain sebagai
berikut :
a. Masalah reproduksi
Masalah ini berkaitan dengan kesehatan, morbilitas (gangguan kesehatan) dan
kematian perempuan yang berkaitan dengan kehamilan. Termasuk di dalamnya juga
masalah gizi dan anemia di kalangan perempuan, penyebab serta komplikasi dari
kehamilan, masalah kemandulan dan ketidaksuburan. Adanya peranan atau kendali
sosial budaya terhadap masalah reproduksi. Maksudnya bagaimana pandangan
masyarakat terhadap kesuburan dan kemandulan, nilai anak dan keluarga, sikap
masyarakat terhadap perempuan hamil.
b. Gender dan seksualitas
Berhubungan dengan gender dan seksualitas di antaranya pengaturan Negara terhadap
masalah seksualitas. Maksudnya adalah peraturan dan kebijakan negara mengenai
pornografi, pelacuran, dan pendidikan seksualitas. Selain itu, bagaimana pengendalian
sosio-budaya terhadap masalah seksualitas, bagaimana norma-norma sosial yang
berlaku tentang perilaku seks, homoseks, poligami, dan penceraian, seksualitas di
kalangan remaja, status dan peran perempuan serta perlindungan terhadap perempuan
pekerja.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Faktor yang menjadi masalah dalam hal ini adalah pembunuhan bayi, pengguguran
kandungan terutama yang dilakukan secara tidak aman termasuk dampak kehamilan
yang tidak diinginkan terhadap kesehatan perempuan dan keluarga.
d. Kekerasan dan perkosaan
Permasalahan yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah kecenderungan pengguna
kekerasan secara sengaja kepada perempuan, perkosaan, serta dampaknya terhadap
korban, norma sosial mengenai kekerasan dalam rumah tangga, serta mengenai
berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan, sikap masyarakat mengenai
kekerasan perkosaan terhadap pelacur serta berbagai langkah untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut.
e. Penyakit menular seksual
Faktor-faktor yang menjadi masalah adalah masalah penyakit menular seksual yang
lama (seperti sifilis dan gonorrhea), masalah penyakit menular seksual yang relative
baru (seperti chamydia dan herpes, dan masalah HIV/AIDS). Selain itu, dampak
18
sosial dan ekonomi dari penyakit menular seksual serta kebijakan dan program
pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut (termasuk penyediaan pelayanan
kesehatan bagi pelacur/pekerja seks komersial), juga sikap masyarakat terhadap
penyakit menular seksual.
f. Pelacuran
Faktor-faktor yang menjadi masalah dalam hal ini mencakup demografi pekerja
seksual komersial atau pelacur, faktor-fakor yang mendorong pelacuran dan sikap
masyarakat terhadapnya, serta dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, baik bagi
pelacur itu sendiri maupun bagi konsumennya dan keluarganya.
g. Teknologi
Faktor-faktor yang berkaitan pada masalah ini misalnya teknologi reproduksi dengan
bantuan (inseminasi buatan dan bayi tabung), pemilihan bayi berdasarkan jenis
kelamin (gender fetal screening), penapusan genetic (genetic screening),
keterjangkauan dan kesamaan kesempatan serta etika dan hukum yang berkaitan
dengan masalah teknologi reproduksi ini.
Perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Dari segi
fisik, remaja belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa
membahayakanproses persalinan.Anak perempuan berusia 10-14 memiliki kemungkinan
meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, di bandingkan
dengan perempuan berusia 20-25 tahun sementara itu anak perempuan berusia 15-19
tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar (Azza, 2014).
Mereka tidak menyadari resiko yang akan terjadi jika melakukan pernikahan dini.
Sehingga mereka juga tidak memahami tentang hak-haknya terkait kesehatan reproduksi.
Sebagai salah satu contoh adalah bagaimana seorang perempuan dalam memutuskan
kapan dia akan hamil dan melahirkan. Salah satu partisipan mengatakan bahwa keinginan
mempunyai anak merupakan keputusan yang diputuskan pasangannya (Azza, 2014).
Kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya sisi tawar perempuan tentang kesehatan
reproduksinya. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan partisipan bahwa suami
menyuruhnya untuk ikut KB dulu agar tidak cepat hamil (Azza, 2014).
Budaya patriarki yang berkembang di masyarakat membuat posisi perempuan selalu
merasa tersubordinasi, begitu pula tentang sexual saat hamil. Perempuan tidak terbiasa
mengungkapkan keinginannya untuk berinisiatif memulai terlebih dahulu. Berbagai
reaksi perempuan tentang hubungan sex saat hamil juga mampu diidentifikasi.
Diantaranya malu kalau perempuan harus memulai, takut dimarahi suami kalau menolak
19
hubungan sex, dan hubungan sex merupakan kewajiban istri untuk melayani suami (Azza,
2014).
Dalam menentukan berapa anak yang diinginkan, biasanya diputuskan oleh suami.
Istri hanya menuruti saja kehendak suami, mereka pada umumnya tidak keberatan disaat
suami menginginkan untuk mempunyai anak lagi. Berkaitan dengan adaptasi reproduksi,
mereka sering mengeluhkan tentang keputihan dan gangguan menstruasi namun mereka
menganggap hal tersebut bukan menjadi masalah dalam keluarganya, karena mereka
masih sering melakukan hubungan sexual. Mereka juga belum pernah memeriksakan
kondisinya di layanan kesehatan (Azza, 2014).
Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan,
sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula. Data
dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini
disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan
pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.
Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric
fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia dini Pernikahan anak
berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Larasaty, 2009).
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan
risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak remaja yang menikah
dini berhenti sekolah saat mereka terikat dalam lembaga pernikahan, mereka seringkali
tidak memahami dasar kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya risiko terkena infeksi
HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang
telah terinfeksi sebelumnya. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang terlampau jauh
menyebabkan anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks yang aman akibat
dominasi pasangan. Pernikahan usia muda juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
karsinoma serviks. Keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur kondisi ijin suami, keterbatasan
ekonomi, maka penghalang ini tentunya berkontribusi terhadap meningkatnya angka
morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil (Larasaty, 2009).

20
2.8 Anak yang Dilahirkan dari Pernikahan Usia Dini
Saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persaingan
nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit
naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu
berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Anatomi panggul yang masih dalam
pertumbuhan berisiko untuk terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka
kematian bayi dan kematian neonatus. Depresi pada saat berlangsungnya kehamilan
berisiko terhadap kejadian keguguran, berat badan lahir rendah dan lainnya. Depresi juga
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
eklamsi yang membahayakan janin maupun ibu yang mengandungnya (Larasaty, 2009).
Asuhan antenatal yang baik sebenarnya dapat mengurangi terjadinya komplikasi
kehamilan dan persalinan. Namun sayangnya karena keterbatasan finansial, keterbatasan
mobilitas dan berpendapat, maka para istri berusia muda ini seringkali tidak mendapatkan
layanan kesehatan yang dibutuhkannya, sehingga meningkatkan risiko komplikasi
maternal dan mortalitas (Larasaty, 2009).
Menjadi orangtua di usia dini disertai keterampilan yang kurang untuk mengasuh
anak sebagaimana yang dimiliki orang dewasa dapat menempatkan anak yang dilahirkan
berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini berisiko mengalami
keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung
menjadi orangtua pula di usia dini (Larasaty, 2009).

2.9 Pengalaman Perempuan dalam Mengambil Keputusan tentang Pernikahan Dini


Dalam perspektif Islam, Perkawinan merupakan sebuah kontrak antara dua orang
pasangan yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam posisi yang
setara. Seorang perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat
menetapkan syarat-syarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki (Azza, 2014).
Jika pernikahan dini dilihat dari budaya terutama budaya Madura, pertunangan
merupakan hal yang sudah tidak asing bagi mereka yang belum menikah. Alasan adanya
pertunangan ini pun bermacam-macam, misalnya: untuk menjaga ikatan keluarga, untuk
menjaga kelanjutan hubungan, untuk menghilangkan fitnah dan sebaginya. Secara
sepintas tujuan dari semua ini adalah baik. Namun realitas yangtampak saat ini lebih
menunjukkan dampak negative bukan dampak positif yang terkandung dalam tradisi ini,
21
sehingga mengakibatkan pergeseran terhadap nilai sesungguhnya dan yang paling
merasakan dampak negative tersebut adalah perempuan (Azza, 2014).
Masyarakat madura berkeyakinan jika cepat melakukan pernikahan maka ia akan
lebih dekat dengan Allah S.W.T. dan menikah itu merupakan suatu ibadah yang
dianjurkan untuk umat Islam. Dari beberapa alasan itulah masyarakat Madura
menjodohkan dan menikahkan anak mereka pada usia belia. Sebenarnya, pernikahan di
usia muda lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada positifnya. Emosi yang
masih labil dapat memicu perselisihan dan dapat menimbulkan masalah Hal ini yang
dapat menyebabkan masalah tidak cepat terselesaikan dan akhirnya bisa menyebabkan
perceraian. Kurangnya wawasan pasangan karena pendidikan yang rendah juga dapat
menghasilkan keluarga yang tidak harmonis (Azza, 2014).
Selama ini masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang hak
reproduksinya dan dampak kesehatan reproduksinya apabila mereka melakukan
pernikahan dini.Orang tua mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan pilihan
hidup. Disaat harus menentukan pendamping hidupnya-pun perempuan tidak mempunyai
pilihan untuk bisa menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya. Perempuan
terkadang tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menerima apa yang telah menjadi
keinginan dari orang tuanya (Azza, 2014).
Selain itu ada hal lain yang melatar belakangi perempuan untuk segera menikah,
diantaranya dipengaruhi oleh usia, keinginannya untuk melanjutkan keturunan, dan
tuntutan lingkungan. Rata-rata mereka tidak tamat SD dan hanya 1 yang tamat SMA
(Azza, 2014).
Pengambilan keputusan tentang pernikahan dini banyak dipengaruhi oleh budaya,
keyakinan serta tuntutan orangtua. Mereka tidak pernah berpikir lebih jauh akibat yang
dapat terjadi pada kesehatan reproduksi dari pernikahan dini. Pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh perempuan sangat erat kaitannya dengan pengaruh sosial dan
lingkungan. Masih belum ada keberanian bagi perempuan untuk mengambil keputusan
menurut pandangan mereka (Azza, 2014).

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kurangnya pengetahuan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang dampak
keputusan yang diambil dan adalam hal ini adalah keputusan untuk melakukan
pernikahan dini. Perempuan tidak menyadari bahwa setiap anggota keluarga atau
pasangan suami istri berhak memiliki hubungan yang didasari penghargaan terhadap
pasangan masing-masing dan dilakukan dalam situasi dan kondisi yang diinginkan
bersama, tanpa unsur pemaksaan, ancaman dan kekerasan. Perempuan cenderung
melakukan kewajibannya dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu dari anak-
anaknya sebagai pengabdian yang wajar, mereka kurang memahami bahwa perempuan
juga mempunyai hak untuk hidup dan bebas dari resiko kematian karena kehamilan, atau
masalah gender. Budaya yang berkembang di masyarakat juga ikut mempengaruhi
pandangan mereka terhadap pengambilan keputusan tentang pernikahan dini. Adanya
mitos yang melekat, serta ketaatan terhadap orangtua menyebabkan perempuan mengikuti
anjuran bahkan paksaan untuk segera menikah walaupun usia mereka masih belum
matang (Azza, 2014).
3.2 Saran
Tenaga Kesehatan berperan serta dalam memberikan penyuluhan pada remaja dan
orangtua mengenai pentingnya mencegah terjadinya pernikahan di usia dini serta
membantu orangtua untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada
anak sesuai tahapan usianya. Dan juga berperan membantu remaja untuk mendapatkan
informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi juga alat kontrasepsi, menilai kemampuan
orangtua berusia remaja dalam mengasuh anak untuk mencegah terjadinya penelantaran
atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat untuk mencegah
terjadinya pernikahan di usia dini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah. (2012). Pernikahan Dini pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Akar Masalah &
Peran Kelembagaan di Daerah (3 ed.). (T. A. Yuswono, Ed.) Jakarta.
Artono, I. M. (2016, Mei 2). Fenomena Pernikahan Dini (Studi Kasus Fenomena Pernikahan
Dini Desa Sudimara Kecamatan Tabanan Kabupaten Tabanan Antropologi
Kesehatan). E-Jurnal Humanis, 15, 48-54.
Desiyanti, I. W. (2015, April). Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini
Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado. JIKMU, 5(2).
Djamilah, & Kartikawati, R. (2014, Mei). Dampak Perkawinan Anak di Indonesia. Studi
Pemuda, 3(1).
Fadlyana, E., & Larasaty, S. (2009, Agustus). Pernikahan Usia Dini dan Permaslahannya.
Sari Pediatri, 11(2).

Indriyani, D., & Asmuji. (2014). Buku Ajar Keperawatan Maternitas: Upaya Promotif,
Preventif dalam Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi. (R. KR, Ed.)
Yogyakarta.

Murni, S. (2015). Dampak Pernikahan Dini Terhadap Perilaku Sosial Keagamaan (Studi
Kasus pada Perilaku Pernikahan Dini di Dusun Nongkosawit, Desa Kentengsari,
Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung). Skripsi, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Sosiologi Agama, Yogyakarta.
Rusiani, S. (2013). Motif Pernikahan Dini dan Implikasinya dalam Kehidupan Keagamaan
Masyarakat Desa Girikarto Kecamatan Panggang Kabupaten Gunung Kidul. Skripsi,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sosiologi Agama, Yogyakarta.
Setyawati, B., Fuada, N., & Salimar. (2013). Profil Sosial Ekonomi, Paritas, Status dan
Perilaku Kesehatan pada Wanita yang Menikah Dini di Indonesia.
Susilo, C., & Azza, A. (2014, Juni). Pernikahan Dini dalam Perspektif Kesehatan Reproduksi.
The Indonesian Journal of Health Science, 4(2).
Utami, H. Y. (2015). Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Sikap
Orang Tua dengan Kejadian Pernikahan Dini di Desa Karang Tengah Wonosari
Gunung Kidul. Naskah Publikasi, STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta, Bidang Pendidik
Jenjang D IV, Yogyakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai