Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia

1. Definisi

Lansia dapat dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Menurut UU No. 13/Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang

telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014).

2. Klasifikasi Lansia

Menurut Depkes RI (2003) dalam buku Dewi, 2014

mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut:

a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah

kesehatan.

d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan atau kegitan yang dapat menghasilkan barang/jasa.

e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Sedangkan klasifikasi lansia menurut WHO dalam buku Dewi, 2014

adalah sebagai berikut:

8
9

a. Elderly : 60-74 tahun.

b. Old : 75-89 tahun.

c. Very old : > 90 tahun.

3. Karakteristik Lansia

Lansia memiliki tiga karakteristik sebagai berikut : (Dewi, 2014)

a. Berusia lebih dari 60 tahun.

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai

sakit, dari kebutuhan biopsikososial hingga spiritual, serta dari

kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

4. Tipe Lansia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman

hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya

(Nugroho, 2000 dalam buku Maryam, 2008). Tipe tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut:

a. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi

panutan.

b. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif, dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.


10

c. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik

dan banyak menuntut.

d. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama,

dan melakukan pekerjaan apa saja.

e. Tipe bingung

Kaget kehilangan kepribadian mengasingkan diri, minder,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen

(kebergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan serius, tipe

pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu,

serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri) ( Maryam, 2008 ).

Sedangkan bila dilihat dari kemandiriannya yang dinilai berdasarkan

kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian

Katz), para lansia digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu, lansia

mandiri sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung

keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak langsung,

lansia dengan bantuan badan sosial, lansia di panti wreda, lansia yang

dirawat di rumah sakit, dan lansia dengan gangguan menta (Maryam,

2008).
11

5. Teori Proses Menua

Teori proses menua menurut Padila ( 2013) dan Dewi (2014) sebagai

berikut:

a. Teori Biologis

Teori yang merupakan teori biologis sebagai berikut:

1) Teori jam genetik

Menurut Hay Ick (1965) dalam Padila (2013), secara genetik

sudah terprogram bahwa material di dalam inti sel dikatakan

bagaikan memiliki jam genetis terkait dengan frekuensi mitosis.

Teori ini didasrkan pada kenyataan bahwa spesies-spesies

tertentu memiliki harapan hidup (life span) yang tertentu pula.

a) Teori cross-linkage (rantai silang)

Kolagen yang merupakan unsur penyusun tulang antara

susunan molecular, lama kelamaan akan meningkatkan

kekakuannya (tidak elastis). Hal ini disebabkan oleh karena

sel-sel yang sudah tua dan reaksi kimianya menyebabkan

jaringan yang sangat kuat.

b) Teori radikal bebas

Radikal bebas merusak membrane sel yang menyebabkan

kerusakan dan kemunduran secara fisik.

c) Teori genetic

Menurut teori ini, menua telah terprogram secara genetic

untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat

dari perubahan biokimia yang deprogram oleh molekul-


12

molekul/ DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami

mutasi.

d) Teori immunologi

Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan

bertambahnya usia dan masukya virus ke dalam tubuh yang

dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

e) Teori stress-adaptasi

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan

tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan

kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress

menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

f) Teori wear and tear (pemakaian dan rusak)

Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh lelah

terpakai.

b. Teori psikologis

1) Teori kebutuhan dasar manusia

Menurut hierarki Maslow tentang kebutuhan dasar manusia,

setiap manusia memiliki kebutuhan dan berusaha untuk

memenuhi kebutuhannya itu. Dalam pemenuhan kebutuhannya,

setiap individu memiliki prioritas. Seorang individu akan

berusaha memenuhi kebutuhan di piramida lebih atas ketika

kebutuhan di tingkat piramida di bawahnya telah terpenuhi.

Kebutuhan pada piramida tertinggi adalah aktualisasi diri.


13

Ketika individu mengalami proses menua, ia akan berusaha

memenuhi kebutuhan di piramida tertinggi yaitu aktualisasi diri.

2) Teori individu Jung

Menurut teori ini, kepribadian seseorang tidak hanya

berorientasi pada dunia luar namun juga pengalaman pribadi.

Menurut teori ini proses menua dikatakan berhasil apabila

seorang individu melihat ke dalam dan nilai dirinya lebih dari

sekedar kehilangan atau pembatasan fisiknya.

3) Teori pusat kehidupan manusia

Teori ini berfokus pada identifikasi dan pencapaian tujuan

kehidupan seseorang menurut lima fase perkembangan, yaitu:

a) Masa anak-anak; belum memiliki tujuan hidup yang

realistik.

b) Remaja dan dewasa muda; mulai memiliki konsep tujuan

hidup yang spesifik.

c) Dewasa tengah; mulai memiliki tujuan hidup yang lebih

kongkrit dan berusaha untuk mewujudkannya.

d) Usia pertengahan; melihat ke belakang, mengevaluasi tujuan

yang dicapai.

e) Lansia; saatnya berhenti untuk melakukan pencapaian tujuan

hidup.

4) Teori tugas perkembangan

Menurut tugas tahapan perkembangan ego Ericksson, tugas

perkembangan lansia adalah integrity versus despai. Jika lansia


14

dapat menemukan arti dari hidup yang dijalaninya, maka lansia

akan memiliki integritas ego untuk menyesuaikan dan mengatur

proses menua yang dialaminya. Jika lansia tidak memiliki

integritas maka ia akan marah, depresi dan merasa tidak adekuat,

dengan kata lain mengalami keputusasaan.

c. Teoi sosiologi

1) Teori interaksi sosial

Menurut teori ini pada lansia terjadi penurunan kekuasaan dan

prestise sehingga interaksi sosial mereka juga berkurang, yang

tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk

mengikuti perintah.

2) Teori penarikan diri

Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat

kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan

menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Lansia mengalami

kehilangan ganda, yang meliputi:

a) Kehilangan peran.

b) Hambatan kontak sosial.

c) Berkurangnya komitmen.

3) Teori aktivitas

Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung

pada bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam

melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut


15

lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang

dilakukan.

4) Teori berkesinambungan

Menurut teori ini, setiap orang pasti berubah menjadi tua namun

kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak akan

mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu

saat merupakan gambarannya kelak pada saat menjadi lansia.

5) Subculture theory

Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub

kultur. Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan

standar budaya sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi

perilaku, keyakinan, dan harapan yang membedakan lansia dari

kelompok lainnya.

B. Konsep Kecemasan

1. Definisi

Kecemasan merupakan suatu keadaan dimana muncul perasaan

afektif yang tidak menyenangkan yang di sertai dengan sensasi fisik

yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang.

Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk

dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Lestari,

2015).

Kecemasan merupakan keseluruhan yang terkait kondisi

kegelisahan, yang terlihat sangat berbeda pada setiap orang (Nasir &

Muhith, 2011).
16

2. Tanda dan gejala kecemasan

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang

mengalami kecemasan antara lain: (Lestari, 2015 dan Nasir & Muhith,

2011).

a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri,

mudah tersinggung.

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang

d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

e. Gangguan kosentrasi dan daya ingat.

f. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak napas,

gangguan pencernaaa, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

g. Cepat marah dan resah

h. Merasa seperti hilang dari pikiran kosong

i. Merasakan adanya tanda-tanda bahaya

3. Rentang Respon Kecemasan

Tingkat kecemasan dibagi menjadi 4 bagian, antara lain:

Respon adaptif respon maladaptif (Lestari, 2015 dan Donsu, 2017).

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan meyebabkan seseorang menjadi waspada

dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat


17

meningkatkan motivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan

kreatifitas.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan

pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain

sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat

melakukan sesuatu yang terarah.

c. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan

pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir

tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan

untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain.

d. Panik (sangat berat)

Panik berhubungan dengan terpengarah, ketakutan dan teror karena

mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak

mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

4. Proses terjadinya kecemasan

a. Faktor predisposisi kecemasan

Menurut Lestari (2015) penyebab kecemasan dapat dipahami

melalui beberapa teori yaitu:

1) Teori psikoanalitik

Menurut Freud, kecemasan adalah konflik emosional yang

terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id


18

mewakili dorongan insting dan implus primitif seseorang,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego

berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang

bertentangan dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego

bahwa ada bahaya.

2) Teori tingkah laku (pribadi)

Teori berkaitan dengan pendapat bahwa kecemasan adalah hasil

frustasi, dimana segala sesuatu yang menghalangi terhadap

kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan

dapat menimbulkan kecemasan. Faktor presipitasi yang aktual

mungkin adalah sejumlah stressor internal dan eksternal, tetapi

faktor-faktor tersebut bekerja menghambat usaha seseorang

untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan. Selain itu

kecemasan juga sebagai suatu dorongan untuk belajar

berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari

kepribadian.

3) Teori keluarga

Menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang

biasa ditemui dalam suatu keluarga dan juga terkait dengan tugas

perkembangan individu dalam keluarga.

4) Teori biologis

Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur


19

kecemasan. Penghambat asam aminobutirik gamma

neroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama

dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan,

sebagaimana halnya dengan endorfin. Selain itu, telah

dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai

akibat nyata sebagai predisposisi terhadap kecemasan.

Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi

stresor.

b. Faktor presipitasi kecemasan

Faktor pencetus mungkin berasal dari sumber internal dan eksternal.

Ada dua kategori faktor pencetus kecemasan, yaitu ancaman

terhadap integritas fisik dan terdapat sidtem diri.

1) Ancaman terhadap integritas fisik

Ancaman pada kategori ini meliputi ketidakmampuan fisiologis

yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan

aktifitas hidup sehari-hari. Sumber internal dapat berupa

kegagalan mekanisme fisiologis seperti jantung, sistem imun,

regulasi temperatur, perubahan biologis yang normal seperti

kahamilan dan penuaan. Sumber eksternal dapat berupa infeksi

virus atau bakteri, zat polutan, luka trauma. Kecemasan dapat

timbul akibat kekhawatiran terhadap sesuatu yang

mempengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan.


20

2) Ancaman terhadap sistem tubuh

Ancaman pada kategori ini dapat membahayakan identitas,

harga diri dan fungsi sosial seseorang. Sumber internal dapat

berupa kesulitan melakukan hubungan interpersonal di rumah,

di tempat kerja dan di masyarakat. Sumber eksternal dapat

berupa kehilangan pasangan, orangtua, teman, perubahan status

pekerjaan, dilema etik yang timbul dari aspek religius seseorang,

tekanan dari kelompok sosial atau budaya. Ancaman terhadap

sistem diri terjadi saat seorang pasien mengalami tindakan yang

membuat kecemasan itu muncul.

5. Faktor yang mempengaruhi kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut:

(Lestari, 2015).

a. Umur

Bahwa umur yang lebih muda lebih mudah menderita stress dari

pada umur tua.

b. Keadaan fisik

Penyakit adalah salah satu faktor yang menyebabkan kecemasan.

Seseorang yang sedang menderita penyakit akan lebih mudah

mengalami kecemasan dibandingkan dengan orang yang tidak

sedang menderita penyakit.

c. Sosial budaya

Cara hidup orang dimasyarakat juga sangat memungkinkan

timbulnya stress. Individu yang mempunyai cara hidup teratur akan


21

mempunyai filsafat hidup yang jelas sehingga umumnya lebih

sukar mengalami stress. Demikian juga dengan seseorang yang

keyakinan agamanya rendah.

d. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan

respon terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari

luar. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan

respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang memiliki

pendidikan lebih rendah atau mereka yang tidak berpendidikan.

Kecemasan adalah respon yang dapat dipelajari. Dengan demikian

pendidikan yang rendah menjadi faktor penunjang terjadinya

kecemasan.

e. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah

mengalami stress. Ketidaktahuan terhadap suatu hal dianggap

sebagai tekanan yang dapat mengakibatkan krisis dan dapat

menimbulkan kecemasan. Stress dan kecemasan dapat terjadi pada

individu dengan tingkat pengetahuan yang rendah, disebabkan

karena kurangnya informasi yang diperoleh.

6. Pengukuran kecemasan atau skala kecemasan

Menurut Lestari (2015) kecemasan ini bisa diukur dengan alat

kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Ada

pula kecemasan dapat diukur menggunakan alat kecemasan yang

disebut HADS (Hospital Anxiety and Depression Scale). Skala HADS


22

merupakan alat penapis yang dikembangkan untuk diprgunakan dalam

kepentingan medis. Pertama kali dikembangkan oleh Zigmond dan

Snaith pada tahun1983 yang bertujuan untuk memberikan alat bantu

yang dapat diterima, dapat dipercaya, valid dan mudah bagi para klinisi

untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi kecemasan dan depresi.

Menurut skala HADS terdapat 14 pernyataan yang dibagi menjadi 2

subskala, yaitu untuk menilai kecemasan (7 pernyataan) dan depresi (7

pernyataan), yang mana penderita menggolongkan masing-masing

pernyataan dalam 4 skala nilai, dari 0 (tidak pernah) sampai nilai 3

(selalu) (M, Widyadharma, PE, Adnyana, & IM, 2015).

C. Konsep Murottal Al-Qur’an

1. Definisi Murottal

Murottal merupakan rekaman suara Al- Qur’an yang dilagukan oleh

seorang Qori’ (pembaca Al- Qur’an) (Purna, 2006 dalam Handayani

dkk, 2014). Lantunan Al-Qur’an secara fisik mengandung unsur- unsur

suara manusia, suara manusia dapat diartikan sebagai instrumen

penyembuhan yang menakjubkan dan alat yang paling mudah

dijangkau. Suara manusia ini dapat menurunkan hormon-hormon stres,

mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks,

dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang,

memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah

serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan

aktivitas gelombang otak. Laju atau irama pernafasan yang lebih dalam

atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan,


23

kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih

baik (Heru, 2008 dalam Handayani dkk, 2014). Terapi murotal ini juga

bekerja pada otak , dimana ketika didorong oleh rangsangan dari luar

(terapi Al-Quran), maka otak memproduksi zat kimia yang disebut

neuropeptide. Molekul ini akan menangkutkan kedalam reseptor-

reseptor mereka yang ada didalam tubuh dan akan memberikan umpan

balik berupa kenikmatan atau kenyamanan (O’Riordon, 2002 dalam

Ariyanti, M., Bahtiar, H., & Albayani, M. I, 2015).

Murottal adalah pengumpulan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an lewat

rekaman bacaan Al-Qur’an yang bertujuan untuk melestarikan Al-

Qur’an dengan cara merekam bacaan Al-Qur’an. Sudah diketahui

bahwa terdapat hukum-hukum bacaan (tajwid) yang harus diperhatikan

dalam pembacaan Al-Qur’an.Oleh karena itu untuk menguatkan

(tahqiq) kelestarian Al-Qur’an maka digunakanlah media rekaman

(Awad, 2010 dalam Uprianingsih, 2013).

Murrottal adalah rekaman suara al-Qur’an yang dilagukan oleh

seorang qori’/pembaca al-Qur’an (Siswantinah, 2011 dalam HR, 2017).

Bacaan al-Qur’an secara Murottal mempunyai irama yang konstan,

teratur dan tidak ada perubahan yang mendadak. Tempo dari murottal

al-Qur’an ini berada antara 60-70/menit, serta nadanya rendah sehingga

menimbulkan efek relaksasi dan dapat menurunkan stress dan

kecemasan (Widyayarti, 2011 dalam HR, 2017).

Intensitas suara yang memiliki nada rendah antara 50-60 desibel

menimbulkan kenyamanan dan tidak nyeri serta membawa pengaruh


24

positif bagi pendengarnya. Suara murottal Al-Qur‟an akan

membangkitkan gelombang otak yaitu gelombang alpha, gelombang ini

merupakan gelombang otak pada frekuensi 7-14 Hz. Ini merupakan

keadaan energi otak yang optimal dimana tubuh dalam keadaan tenang,

dan menyebabkan aktivasi sistem saraf parasimpatis dimana sirkulasi

tubuh, detak jantung, sirkulasi nafas, dan peredaran nafas pun menjadi

tenang (Al-Kaheel, 2010 dalam Uprianingsih, 2013).

2. Definisi Al-Qur’an Surah As-Sajdah

Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling istimewa. Betapa tidak, Al-

Qur’an adalah firman Allah SWT. Al-Qur’an mengandung banyak

kemukjizatan yang tidak dapat tertandingi. Al-Qur’an diturunkan

kepada seorang Nabi yang juga istimewa, Muhammad Saw. Al-Qur’an

Menjadi penyempurna kitab suci yang datang sebelumnya. Sehingga

memahami definisi Al-Qur’an,ada dua pendekatan yang bisa digunakan,

yaitu pendekatan secara lughawi (bahasa/etimologi) dan ishthilahy

(terminologi).Secara bahasa Al-Qur’an berasal dari kata Qara’a,

Yaqra’u, Qira’tan, wa-qur’anun yang berarti menghimpun atau

mengumpulkan “baca‟an”. Jadi Al-Qur’an didefinisikan sebagai

baca’an atau kumpulan huruf-huruf yang terstruktur dengan rapi.

(Syarbini, 2012 dalam Uprianingsih, 2013).

Al-Qur’an dapat menjadi obat bagi penyakit dzahir dan bathin

manusia. (Shihab, 2011 dalam Uprianingsih, 2013). Al-Qur’an didalam

beberapa penjelasan sejatinya adalah obat yang menyembuhkan dan

menyehatkan manusia. Al-Qur’an dapat menyembuhkan berbagai


25

macam penyakit jasmani maupun rohani seperti kegelisahan,

kecemasan, dan kejiwaan (Maulina, 2015).

Surah As-Sajdah adalah salah satu surah yang ada dalam Al-Qur’an

yang artinya sujud. Dimana dalam surah ini jelaskan bahwa manusia

harus selalu bersyukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan alam

semesta dan mengaturnya dengan rapi serta harus selalu ingat kepada-

NYA. Dan dalam surat ini juga jelaskan proses terjadinya manusia dan

periode-periode yang ditempuhnya. Pada ayat 15 dijelaskan bahwa

“sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami

adalah mereka yang apabila diperingatkan (dibacakan) kepadanya ayat-

ayat kami itu, sujud dan tasbih memuji Tuhannya dan mereka tidak

sombong”. Sehingga kita sebagai manusia diperuntukan untuk selalu

bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah SWT kepada kita dan kita

selalu ingat kepada-NYA.

3. Manfaat Murottal

Ada beberapa manfaat dari terapi murottal ini adalah sebagai berikut:

(Siswantinah, 2011 dalam Maulina, 2015)

a. Dengan mendengarkan bacaan tartil Al-Qur’an akan mendapatkan

ketenangan jiwa

b. Lantunan Al-Qur’an secara fisik mengandung unsur suara manusia,

dimana suara manusia adalah instrumen penyembuh yang

menakjubkan dan alat yang paling mudah di jangkau. Suara dapat

menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin,

meningkatkan perasaan rileks dan mengalihkan perhatian dari rasa


26

takut, cemas, tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga

menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak

jantung, denyut nadi, dan aktifitas gelombang otak. Laju pernafasan

yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik

menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih

dalam dan metabolisme yang lebih baik.

D. Penelitian Terkait

1. Penelitian yang telah dilakukan oleh Juliana (2014) dengan judul “

Pengaruh terapi murottal Al-Qur’an terhadap penurunan tingkat

insomnia pada lansia di Unit Pelayanan Sosial lanjut usia “ Pucang

Gading” Semarang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui

bahwa dari 34 responden, 17 kelompok intervensi dan 17 kelompok

kontrol. Berdasarkan hasil yang didapat bahwa rata-rata skor tingkat

insomnia pada lansia kelompok intervensi sesudah pemberian terapi

murottal Al-Qur’an sebesar 23,00, skor ini lebih rendah dari pada

kelompok kontrol sesudah perlakuan sebesar 12,00. Dari hasil uji Mann

Whitney sesudah pemberian terapi murottal Al-Qur’an antara kelompok

intervensi dan kontrol, didapatkan nilai p-value 0,000 ≤ a (0,005), maka

dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan penurunan

tingkat insomnia pada lansia sesudah pemberian terapi murottal Al-

Qur’an antar kelompok intervensi dan kelompok kontrol dan ini juga

menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pemberian terapi

murottal Al-qur’an terhadap penurunan insomnia pada lansia di Unit

Pelayanan Sosial lanjut usia “Pucang Gading” Semarang


27

2. Penelitian yang juga dilakukan oleh Rohmi Handayani, Dyah Fajarsari,

Dwi Retno Trisna Asih, Dewi Naeni Rohmah dengan judul “ Pengaruh

terapi murottal Al-Qur’an untuk penurunan nyeri persalinan dan

kecemasan pada ibu bersalin kala 1 fase aktif “. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut diketahui bahwa responden sebanyak 42 ibu bersalin,

analisis yang digunakan adalah uji paired t test. Rata-rata intensitas

nyeri sebelum terapi murottal adalah 6,57, rata-rata setelah dilakukan

terapi murottal Al-Qur’an adalah 4,93. Uji paired t test menunjukkan

bahwa ada perbedaan rerata penurunan intensitas nyeri persalinan kala

1 fase aktif sebelum dan sesudah dilakukan terapi murottal dengan nilai

p-value < a (0,000 <0,05). Rata-rata kecemasan sebelum dan sesudah

terapi murottal Al-Qur’an adalah 26,67 dan 20,52. Uji paired t test ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata penurunan tingkat kecemasan

sebelum dan sesudah dilakukan terapi murottal Al-Qur’an dengan nilai

p-value < a (0,000<0,05).

3. Penelitian yang juga telah dilakukan oleh Pomarida Simbolon dengan

judul “ Pengaruh terapi musik terhadap tingkat kecemasan pada pasien

pre operasi di ruang rawat bedah Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

Tahun 2015 “. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti pada pasien pre operasi di Ruang Rawat Bedah Rumah Sakit

Santa Elisabeth Medan 2015 dengan jumlah respon 20 orang, sebelum

pemberian terapi musik terdapat 13 orang (65%) mengalami tingkat

kecemasan berat dan 7 orang (35%) mengalami tingkat kecemasan

sedang. Setelah dilakukan terapi musik terdapat 18 orang (90%) yang


28

memiliki tingkat kecemasan lebih kecil setelah terapi musik dan ada 2

orang (10%) sama tingkat kecemasannya setelah pemberian terapi

musik. Dan berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon sign rank test,

diperoleh p = 0,000 dimana p < 0,05. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa ada pengaruh yang bermakna antara terapi musik terhadap

perubahan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di Ruang Rawat

Bedah Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai