Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.


Kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
NYA, sehingga kami penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tidak lupa
shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW
yang telah membimbing umatnya di jalan yang benar.
Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khusunya para
remaja. Penyusun juga meminta maaf apabila banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................ 2
C. Tujuan Perumusan Masalah..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................... 3
A. Karakteristik remaja sebagai pelaku pernikahan dini............................................................3
B. Faktor-faktor munculnya pernikahan dini.............................................................................5
C. Pernikahan dini dipandang dalam perspektif hukum Islam..................................................8
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan menjadi sebuah acara dalam menyatukan ikatan perkawinan antara wanita dan
pria secara sah di mata agama maupun hukum. Upacara pernikahan di Indonesia sendiri terdapat
berbagai ragam ciri khas, sesuai dengan agama, adat istiadat, serta suku budaya masing-masing.
Di Indonesia, pernikahan ialah suatu hal yang penting dan patut diperhatikan saat akan
melakukannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya peraturan hukum khusus yang dibuat
pemerintah mengenai pernikahan atau perkawinan. Undang-undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1974 mengatur mengenai perkawinan di Indonesia. Dalam undang-undang ini, memuat 14
peraturan perkawinan seperti dasar perkawinan, syarat perkawinan, perjanjian perkawinan, hak
dan kewajiban suami istri, kedudukan anak, perwalian, dan lain sebagainya. Selain di sahkan
secara legal oleh pemerintah dan dibuat peraturan hukum, pernikahan juga di atur dalam setiap
agama di Indonesia contohnya saja diatur dalam agama Islam.
Dalam pandangan agama Islam, menikah merupakan ibadah dan Sunnah dari Rasulullah
SAW untuk menyempurnakan separuh agamanya serta taat akan peraturan Allah SWT. Dalam
Islam, perintah untuk menikah berada pada salah satunya ayat dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa'
Ayat 22 serta pada beberapa hadist yang shahih. Umumnya, pernikahan dapat terjadi apabila
kedua pihak baik pria maupun wanita sudah baligh atau sudah dewasa sehingga mampu
mengemban tugas individu dalam rumah tangga. Di Indonesia pun usia pria dan wanita yang
diperbolehkan untuk menikah berada di kisaran minimal 19 tahun. Hal tersebut telah
dicantumkan pada pasal 7 ayat 1 Undang-undang pernikahan tahun 1974. Namun, pernikahan di
bawah umur 19 tahun juga bukan merupakan topik yang asing di telinga masyarakat Indonesia.
Hal tersebut sudah lama terjadi bahkan menjadi sebagian tradisi di daerah tertentu.
Pada dasarnya, pernikahan dini ialah suatu ikatan janji suci yang dilakukan oleh pria dan
wanita yang berusia kurang dari ketentuan dengan tujuan membina rumah tangga. Menurut
Ramulyo (dalam Shufiyah 2018), pernikahan dini merupakan pernikahan yang berlangsung saat
memasuki usia remaja, belum usia remaja atau baru berakhir usia remaja. Di Indonesia sendiri,
meski hukum perundang-undangan menentang keras pernikahan dini, namun kasus ini acap kali

1
bertambah di setiap tahunnya. Selain karena faktor tradisi yang melekat, paksaan orang tua,
faktor ekonomi, dan sosial, atau yang sering terjadi adalah karena faktor hamil di luar nikah.

Menikah pada usia dini bukan suatu hal yang diperbolehkan, mengingat bahwa menikah
berarti memikul tugas dan tanggung jawab baru seperti mengurus keluarga, bertanggung jawab
mengurus anak, menjamin kehidupan yang layak bagi anak, itu semua bukan perkara yang
mudah untuk dilakukan, apalagi jika dilakukan pada usia yang belum seharusnya.
Dikhawatirkan, jika usia dini sudah mengemban tugas rumah tangga, kesehatan psikisnya akan
terganggu, bahkan bagi seorang wanita pernikahan dini beresiko menyebabkan keguguran di usia
muda atau kematian ibu dan anak.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik remaja sebagai pelaku pernikahan dini?
2. Apa saja faktor-faktor munculnya pernikahan dini?
3. Bagaimana pernikahan dini dipandang dalam perspektif hukum Islam?

C. Tujuan Perumusan Masalah


1. Untuk mengetahui karakteristik remaja sebagai pelaku pernikahan dini.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor munculnya pernikahan dini.
3. Untuk mengetahui bagaimana pernikahan dini dipandang dalam perspektif hukum Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik remaja sebagai pelaku pernikahan dini


Seringkali banyak yang mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak-
anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah
laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan bahagianya. Tetapi
mendefinisikan remaja tidak semudah itu. Sebagai pelaku pernikahan dini, remaja termasuk
dalam golongan usia seseorang yang sangat menarik untuk dikaji. Konsep tentang remaja
bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan berasal dari bidang ilmu-ilmu sosial lainnya
seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan pedagogi (ilmu pendidikan).2

Menurut Muangman (1980), dalam Sarwono (2013:12) menyebutkan bahwa remaja


merupakan suatu masa di mana:
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa.
Terjadilah peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif
lebih mandiri.

Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini makin berkembang konkrit ke arah operasional.
Ditinjau dari bidang WHO, yaitu kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak
mengenai kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok
ini, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Kehamilan dalam
usia-usia tersebut memang mempunyai resiko yang lebih tinggi (kesulitan waktu
melahirkan, sakit atau cacat, dan lain-lain). Tentu saja definisi tersebut tidak memperhatikan
aspek sosial-psikologis orang-orang pada kurun usia tersebut. Dalam kenyataannya, orang-orang
yang sama berada dalam satu kurun waktu yang sama dapat memiliki keadaan sosial-psikologis

3
yang berbeda-beda. Sebagian sudah menikah, sebagian belum, sebagian sudah bekerja, sebagian
sudah dewasa secara kejiwaan, yang lain belum.3

Dalam hubungan ini, Csikszentimihalyi & Larson (1984:19) menyatakan bahwa remaja adalah
"restrukturisasi kesadaran". Dari sini, dia meninjau remaja dalam perkembangan jiwanya dari
berbagai sudut, bahwa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pasar tahap-
tahap sebelumnya. Hal ini terlihat dalam Teori Piaget tentang perkembangan kognitif (kesadaran,
intelegensi), Teori Kohlberg tentang perkembangan moral, maupun Teori Freud tentang
perkembangan seksual. Csikszentimihalyi & Larson menyatakan bahwa puncak perkembangan
jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi entropy ke kondisi negotropy.

Entropy adalah keadaan manusia dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi.
Walaupun isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan, dan sebagainya), namun isi-isi tersebut
belum saling terkait dengan baik. Sehingga belum bisa berfungsi secara maksimal. Istilah
entropy ini sebenarnya meminjam istilah dalam ilmu fisika dan ilmu komunikasi khususnya teori
informasi. Dalam ilmu alam entropy, berarti keadaan dimana tidak ada sistem tertentu dari suatu
sumber energi sehingga sumber tersebut kehilangan energinya. Dalam teori informasi, entropy
berarti keadaan dimana tidak ada pola tertentu dari stimulus (rangsangan) yang diterima
seseorang sehingga rangsangan tersebut kehilangan artinya. Secara psikologis, entropy berarti isi
kesadaran masil saling bertentang, saling tidak berhubungan sehingga mengurangi kapasitas
kerjanya dan menimbulkan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi orang-orang yang
bersangkutan. (Sarwono,2013:14).

Kondisi entropy selama masa remaja, secara bertahap disusun, diarahkan, dan distrukturkan
kembali sehingga lambat lain terjadi kondisi negative entropy atau negentropy. Adapun kondisi
negentropy merupakan keadaan dimana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang
satu terkait dengan pengetahuan yang lain, yang jelas berhubungan dengan perasaan atau sikap.
Selain itu, Menurut Carballo (1978:250), ada beberapa penyesuaian diri yang perlu
dilakukan remaja yaitu:
1. Menerima dan mengintegrasikan pertumbuhan badannya dalam kepribadiannya.

4
2. Menentukan peran dan fungsi seksualnya yang adekuat (memenuhi syarat) dalam
kebudayaan di mana ia berada.
3. Mencapai kedewasaan dengan kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk
menghadapi kehidupan.
4. Mencapai posisi yang diterima oleh masyarakat.
5. Mengembangkan hati nurani, tanggung jawab, moralitas, dan nilai-nilai yang sesuai
dengan lingkungan dan kebudayaan.4

B. Faktor-faktor munculnya pernikahan dini


Beberapa faktor terjadinya pernikahan dini sangat bervariasi diantaranya karena hamil
diluar nikah, karena faktor perjodohan, ekonomi dan budaya. Dalam hal ini, seorang laki-laki
dan perempuan terpaksa menikah di usia muda karena perempuan telah hamil duluan. Dalam
rangka memperjelas status anak yang dikandung, maka dilakukan pernikahan antar keduanya.
Meskipun hal ini akan berdampak negatif bagi keduanya, terutama jika keduanya masih berstatus
sebagai pelajar dan belum bekerja, sehingga pasangan pengantin baru ini akan rawan terjadi
cekcok yang berawal dari munculnya masalah-masalah kecil seperti bara api yang kena panas
sedikit langsung terbakar.
Secara lebih detail, berikut faktor-faktor terjadinya pernikahan dini, diantaranya:

a) Faktor ekonomi
Kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pernikahan dini,
keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi akan cenderung menikahkan anaknya pada
usia muda untuk melakukan pernikahan dini. Pernikahan tersebut diharapkan menjadi
solusi bagi kesulitan ekonomi keluarga, dengan harapan mengurangi beban ekonomi di
keluarga. Disamping itu, masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menyebabkan
orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anak dan tidak bisa membiayai sekolah
hingga mereka memilih untuk menikahkan anaknya dan berharap anak tersebut bisa
memperoleh penghidupan yang lebih layak.

b) Orang Tua

5
Pada sisi lain, terjadinya pernikahan dini juga dapat disebabkan karena pengaruh
bahkan paksaan orang tua. Ada beberapa alasan orang tua menikahkan anaknya secara
dini karena khawatir anaknya akan terjerumus pada pergaulan bebas dan berakibat
negatif. Karena ingin melanggengkan hubungan relasinya, orang tua melakukan cara
menjodohkan anaknya dengan anak relasinya tersebut. Menjodohkan anaknya dengan
anaknya saudara dengan alasan agar harta yang dimiliki tidak jatuh ke orang lain, tetapi
tetap dipegang oleh keluarga.

c) Kecelakaan (marride by accident)


Terjadi hamil diluar nikah karena kedua manusia (laki-laki dan perempuan) melakukan
hubungan intim layaknya suami istri yang sah, memaksa mereka untuk melaksanakan
pernikahan dini guna memperjelas status anak yang dikandung. Pernikahan ini memaksa
mereka menikah dan bertanggung jawab untuk berperan menjadi sepasang suami istri
serta menjadi ayah dan ibu. Srhinggal hal ini nantinya akan berdampak pada penuaan
dini, karena mereka belum siap lahir maupun batin.

d) Karena tradisi di keluarga (kebiasaan nikah usia dini pada keluarga dikarenakan agar
tidak dikatakan perawan tua)
Cap negatif bagi perempuan yang tidak segera menikah ini juga menjadi suatu beban
baik dari segi psikologis dan sosial. Pasalnya, stigma buruk ini selalu menghinggapi dan
mempengaruhi perempuan tersebut dalam bermasyarakat.
Pada beberapa keluarga tertentu, dapat dilihat ada yang memiliki tradisi atau
kebiasaan menikahkan anaknya pada usia muda, hal ini berlangsung secara terus
menerus, sehingga anak-anak yang ada pada keluarga tersebut secara otomatis akan
mengikuti tradisi tersebut. Pada keluarga yang menganut kebiasaan ini, biasanya
didasarkan pada pengetahuan dan informasi yang diperoleh bahwa dalam Islam tidak
ada batasan usia untuk menikah, yang penting adalah sudah mumayyis (baligh) dan
berakal, sehingga sudah selayaknya untuk dinikahkan.

6
e) Karena kebiasaan dan adat istiadat setempat
Adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu semakin menambah presentase
pernikahan dini di Indonesia. Misalnya, keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan
seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia 18 tahun terkadang dianggap
menyepelekan dan merendahkan orang tua. Untuk itu, kebanyakan orang tua ingin
menikahkan putrinya tersebut.

Hal menarik juga terlihat dari presentase pernikahan dini di Indonesia adalah
terjadinya perbandingan yang cukup signifikan. Antara pedesaan dan perkotaan.
Berdasarkan analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) Tahun 2005 dari Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan di
perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan. Untuk Kelompok umum 15-19 tahun,
perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Hal ini
menunjukkan bahwa wanita usai muda di pedesaan lebih banyak yang melakukan
perkawinan pada usia muda.5

Dari faktor-faktor tersebut, otomatis akan menimbulkan dampak pernikahan dini bagi
pelakunya. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas
Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia memperoleh
peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan
Indonesia berusia dibawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu
diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada tahun 2030 mendatang.

Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun
biologis remaja, yaitu:
- Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi hamil dan melahirkan,
salah satu penyebab tingginya kematian ibu dan bayi.
- Kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Pada kondisi ini,
anak yang melakukan pernikahan dini cenderung tidak memperhatikan pendidikannya,
5

7
apalagi ketika menikah langsung memiliki seorang bayi. Sehingga hal ini dapat
menghambat remaja untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
- Sempitnya peluang mendapatkan kesempatan kerja yang otomatis mengekalkan
kemiskinan. Status ekonomi rendah karena pendidikan yang minim.6

C. Pernikahan dini dipandang dalam perspektif hukum Islam


Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia baik di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang. Hukum Islam bersifat luas dan luwes, humanis, dan
selalu membawa rahmat bagi seluruh manusia di alam ini. 7 Termasuk dalam ranah pemikiran
tentang hal ini adalah ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi yang mengupas masalah pernikahan,
karena pada prinsipnya semua perbuatan orang muslim yang sudah akil baligh tidak bisa terlepas
dari hukum syara' sebagaimana terumuskan dalam kaidah syara' al-ashlu fi Al 'af'aal al-
taqayyudu bi al-hukmi al-syar'iyy.8
Pada mulanya hukum menikah adalah sunnah sesuai dengan Al-Qur'an Surah An-Nisa' Ayat 3:
‫َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْقِس ُطو۟ا ِفى ٱْلَيَٰت َم ٰى َفٱنِك ُحو۟ا َم ا َطاَب َلُك م ِّم َن ٱلِّنَس ٓاِء َم ْثَنٰى َو ُثَٰل َث َو ُر َٰب َع ۖ َفِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل َتْع ِد ُلو۟ا َفَٰو ِح َد ًة َأْو َم ا َم َلَك ْت‬
‫َأْيَٰم ُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْدَنٰٓى َأاَّل َتُعوُلو۟ا‬

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya."

Perintah untuk menikah pada ayat di atas merupakan tuntutan untuk melakukan pernikahan,
namun tuntutan tersebut bersifat sunnah, bukan sebuah keharusan karena adanya kebolehan
memilih antara kawin dan pemilihan budak. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah
menjadi wajib, haram, maupun makruh jika seorang tidak bisa menjaga kesucian diri dan
akhlaknya kecuali dengan menikah. Maka, menikah menjadi wajib baginya.
Sebab, menjaga kesucian dan akhlak hukumnya wajib bagi setiap muslim
6
7
8

8
adapun menikah dini yaitu menikah pada usia remaja atau muda. Bukan usia tua, hukumnya
sunnah atau mandub. Demikian menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani dengan berlandaskan
pada hadis Nabi yang artinya: "Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu, hendaklah
menikah. Sebab dengan menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih
menjaga kehormatan. Kalau belum mampu, hendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi
perisai bagimu" (HR. Bukhari dan Muslim).

Satu hal yang perlu digaris bawahi dari hadits di atas adalah perintah menikah bagi para
pemuda dengan syarat jika ia telah mampu, maksudnya adalah siap untuk menikah. Kesiapan
menikah dalam tinjauan hukum Islam meliputi 3 hal, yaitu: (a) Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan
pemahaman hukum dan masalah pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti khitbah
(melamar), pada saat menikah seperti syarat dan rukun akad nikah, maupun sesudah menikah
seperti hukum pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa hukumnya bagi seorang muslim untuk
mengetahui hukum perbuatan sehari-hari yang dilakukannya atau yang akan dilakukannya; (b)
Kesiapan harta atau materi, yang dimaksud dengan harta di sini ada dua macam yaitu harta
sebagai mahar dan harta bagi istri berupa sandang, pangan, dan papan yang wajib diberikan
dalam kadar yang layak.

Menurut syariat Islam, tetapi tidak berarti ia di bolehkan secara mutlak bagi semua
perempuan dalam semua keadaan. Sebab pada sebagian perempuan terdapat beberapa kondisi
yang menunjukkan bahwa lebih baik ia tidak menikah pada usia dini. terdapat beberapa
ketentuan yang perlu diperhatikan dalam sebuah pernikahan dini agar tidak mengakibatkan
efek negatif sebagaimana dilansir oleh banyak kalangan yang mayoritas berpandangan bahwa
pernikahan dini selalu berkonotasi tidak baik.
Pertama, perempuan harus sudah siap sudah baligh namun belum siap untuk menikah
karena kondisi tubuhnya yang lemah atau penyakit yang membuatnya tidak menjalankan
tugasnya sebagai istri.
Kedua, perempuan tersebut sudah matang secara mental dan terdidik untuk dapat memenuhi
tanggung jawab. Ini bukan berarti ia harus mengetahui seluk beluk kehidupan berumah tangga
secara sempurna ketika berinteraksi dengan suami, mengasuh anak, dan lain sebagainya. Kedua

9
poin tersebut pantas mendapat perhatian lebih berdasar hadis Nabi bahwa beliau tidak menyuruh
menikah kepada seluruh pemuda tanpa terkecuali bagi mereka yang dianggap mempunyai.
Ketiga, pada pernikahan perempuan yang masih sangat belia, lebih utama kalau dia dan
calon suaminya tidak terpaut jauh usianya, kecuali untuk maksud yang dibenarkan. Imam An-
Nasa’i telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam Sunan-nya, demikian pula Ibnu Hibban di
dalam Shahihnya, serta Al-Hakim di dalam Al-Mustadraknya, dan ia menilai shahih riwayat
tersebut berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim yang disepakati oleh Adz-Dzahabi dari
Buraidah, menyatakan bahwa Abu Bakar dan Umar melamar Fatimah, namun Rasulullah saw
kemudian menikahkan Fathimah dengan Ali. Dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa usia calon suami perlu diperhatikan, yaitu sebaiknya tidak jauh dengan usia perempuan.
Karena kedekatan jarak usia ini di harapkan akan lebih dapat melahirkan keserasian diantara
pasangan suami istri, dan lebih dapat melanggengkan pernikahan mereka.
Begitu banyak pelajaran yang bisa kita eksplorasi dari hikmah disyariatkannya suatu hukum
baik itu mubah, sunnah, wajib, makruh, maupun haram. Jika kita cermati lebih detail bahwa
ternyata pernikahan dini berdampak positif bagi kemaslahatan jika dilakukan dengan tanpa
adanya unsur keterpaksaan baik karena kemauan orang tua maupun terpaksa menikah karena
sudah telanjur hamil. Beberapa efek positif yang ditimbulkan dari pernikahan dini adalah:
Pertama, meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan
muda-mudi, Kedua, apabila jarak usia orang tua dan anak berdekatan, maka ketiika anaknya
membutuhkan perhatian dalam hal biaya pendidikan, diharapkan menunaikan kewajiban
tersebut. Ketiga, saat belum menikah, anak-anak muda senantiasa dihinggapi lintasan-lintasan
pikiran yang mengganggu. Pelampiasan nafsu akan menjadi tujuan yang paling penting, terutama
saat mereka asyik berpacaran dengan lawan jenisnya. Karena itu untuk menghindari dampak
negative, maka keputusan untuk melakukan pernikahan dini dapat dibenarkan. Keempat,
memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan bagi perempuan yang menikah
pada usia muda akan lebih tinggi kemungkinannya dibandingkan dengan pernikahan yang
dilakukan di usia yang “sangat matang.” Kelima, meningkatkan jumlah populasi umat Islam.
Karena rentang masa produktifnya yang sedemikian panjang memungkinkan menghasilkan
keturunan yang jauh lebih banyak. Diharapkan bukan hanya jumlah populasi secara kuantitas
yang semakin banyak tetapi populasi calon penerus genarasi yang banyak secara kuantitas dan
tinggi secara kualitas; Keenam, meringankan beban para orang tua yang terlalu fakir, dan

10
menyalurkan hasrat sang suami secara syar’i. Ketujuh, kemandirian sepasang suami istri untuk
memikul tanggung jawabnya sendiri tanpa menjadi tanggungan orang lain.
Selain dampak positif pernikahan dini yang diuraikan di atas berikut ini, akan dipaparkan
pula efek negatif menunda-nunda pernikahan, diantaranya: (a) Wanita hamil beresiko tinggi bagi
mereka yang kehamilan pertama dialami pada usia tertentu yang terus menunda pernikahan
sehingga akan membahayakan baik bagi ibu hamil maupun bagi bayi yang dikandungnya; (b)
Mengakibatkan keengganan atau lemahnya semangat para pemuda untuk menikah.9
Sehingga fenomena hidup melajang menjadi salah satu pilihan atau gaya hidup karena
sudah merasa mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa perlu ada orang yang mendampingi
hidupnya sebagai pasangan hidup; (c) Semakin mundur usia nikah akan semakin menurun
semangat orang untuk menikah dan ini banyak terjadi di Negara-negara Barat, sehingga banyak
perempuan yang melahirkan anak tanpa proses pernikahan. Mereka lebih memilih hamil dengan
cara inseminasi buatan dengan sel sperma yang mereka bisa dapatkan di Bank-bank sperma; (d)
Kanker payudara dan rahim lebih kecil prosentasenya bagi wanita yang pernah hamil di usia
muda dari pada mereka yang hamil pada usia yang sangat matang; (e) Kehamilan di luar rahim
bagi wanita berusia sangat matang kemungkinannya lebih besar daripada pada wanita yang
berusia antara 15-24 tahun; (f) Ilmuwan Amerika mengatakan bahwa perbandingan jumlah kasus
aborsi pada wanita di atas usia 35 tahun lebih banyak 3 sampai 4 kali dibandingkan dengan
wanita yang hamil di bawah usia tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki
usia dibawah itu yang biasanya, di bawah 17 tahun. Baik pria maupun wanita jika belum cukup
9

11
umur (17 tahun) jika melangsungkan pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini.
Di Indonesia sendiri, pernikahan belum cukup umur ini marak terjadi, khususnya di area
pedesaan.
Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak baik dari segi fisik, psikis, maupun
biologis remaja. Remaja yang hamil akan lebih mudah mengalami anemia selagi hamil, itulah
sebabnya penyakit tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian ibu dan bayi.
Adapun dampak negatif lainnya seperti kehilangan kesempatan mengenyam bangku pendidikan
dan pupusnya berkesempatan untuk bekerja.

B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu perlunya revisi ulang dan pengecekan secara
berkala agar memastikan jika makalah ini layak untuk dijadikan sebagai bahan referensi materi
Fiqih tentang Pernikahan Dini.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, Hamdan Bakran. 2004. Konseling & Psikoterapi Islam. Yogyakarta: Pustaka Baru.

Cahyadi, Tarkariwan. 1997. Pernak-Pernik Rumah Tangga Islam: Tatanan dan Perayaannya
Dalam Masyarakat. Solo: Inetermedia.

12
Carballo, M. 1978. Adolescent Sexuality, Changing Needs and Values, Fertility in Adolescent,
Parkes AS,dkk (ed). Cambridge (Inggris): Galton Foundation.

Ridwan, M. Fuad. 2008. Membina Keluarga Harmonis. Yogyakarta: Tuju Publisher.

Hanifah. 2000. Faktor Yang Mendasari Hubungan Seks Pranikah Remaja di PKBI Yogya, Thesis,
Jakarta: FKM UI.

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.html.

Kompas edisi 20 Juni 2015, di halaman 1 dengan judul "Pernikahan Dini".

Sari Pediatri, Vol.11. No. 2, Agustus 2009

Sarwono, Sarlito W. 2013, Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

13

Anda mungkin juga menyukai