A. Latar Belakang
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat
dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat
menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini
sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas
karena lambat tahun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan
dimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka
tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus
dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan
melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat
penegak hukum. Saat ini sedang dibahas dalam sebuah rancangan Undang-Undang (RUU)
mengenai perampasan aset bagi pelaku tindak kejahatan terutama tindak korupsi.
Penyitaan aset NCB ini adalah salah satu cara yang diperkenalkan dalam rangka
2003, khususnya mengenai pemulihan aset.1 Untuk Indonesia, NCB ini adalah hal baru
karena non-based conviction asset forfeiture ini diadopsi UNCAC dari sistem hukum
common law. Dengan konsep NCB ini, perampasan aset tidak akan terbatas dalam cakupan
1
Luhut MP Pangaribuan, Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak
Pidana Anti Korupsi Satu Pengantar dan Kompilasi Ketentuan-Ketentuannya, (Jakarta: Program Pasjasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, tanpa tahun), hlm. 672
1
nasional. Dengan begitu, NCB akan menjadi sangat fungsional dalam pengembalian aset
hasil kejahatan seperti korupsi, mengingat ekonomi global dewasa ini dimana para pelaku
dapat memindahkan aset seputar dunia dalam hitungan waktu detik hingga hanya dengan
Ada persepsi bahwa NCB itu melanggar asas praduga tak bersalah dan hak fundamental
dari seseorang atas properti.3 Dalam kaitannya dengan masalah “constitutional rights” di
Indonesia misalnya ada Pasal 28G UUD 45 yang sudah menentukan bahwa “(1) Setiap orang
berhak atas perlindungan … harta benda yang di bawah kekuasaannya”. Dengan demikian
masalah “constitutional rights” dalam penerapan non-based conviction asset forfeiture ini
harus menjadi pertimbangan dalam penerimaan dan atau pelaksanaannya. Antara lain dengan
tetap dipenuhinya asas due process of rights dalam kesempatan banding atau upaya hukum
yang disediakan itu. Dewasa ini perancangan undang-undang tentang perampasan aset
2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 673
4
Ibid.
5
Romli Atmasasmita, op. cit hal. 12
2
it self”, seperti diterapkan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat. 6 Sehubungan dengan
prinsip pengembalian aset ini, Konvensi Anti Korupsi mengatur mengenai kewajiban Negara-
negara Peserta, termasuk Indonesia untuk memungkinkan tiga hal, yaitu :
Negara Peserta lain mengajukan gugatan perdata di pengadilan Indonesia (Article 53
(1) UNCAC);
a. orang-orang yang telah melakukan tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi
atau ganti rugi pada negara Peserta lain yang telah dirugikan atas tidak pidana korupsi itu
dan dananya dilarikan atau dilakukan pencucian di Indonesia (Article 53 (2) UNCAC) ;
b. mengembalikan kekayaan yang telah disita oleh badan yang berkompeten di Indonesia
kepada Negara Peserta lain (yang mengajukan permintaan) (Article 57 (2) UNCAC).
Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama
internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat
mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC
mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para
negara korban yang membutuhkan.7
Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup.8 oleh karena
itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau
mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak
pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).9
Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC,
maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam
melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah
melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan
di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas
dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian
6
U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-recovery.ctm, 24 Pebruari
2008.
7
UNCAC, articel 46 paragraph (1), menyatakan: States Parties shall afford one another the widest measure
(huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in
relation to the offences covered by this Conventi.
8
Banyak negara-negara yang melindungi keberadaan perbankan negaranya dengan suatu proteksi kerahasiaan
yang sangat tinggi. Biasanya hal ini dilakukan apabila suatu negara hanya mempunyai sistem perbankan
sebagai satu-satunya atau sebagai pemasukan terbesar negarany
9
UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:
States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank
secrecy. Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak
lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka
negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.
3
aset. hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara
penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses
pengembalian aset.10
Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah
perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi. Sebagai akibat tindak
pidana korupsi yang terus berlangsung, rakyat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup
sejahtera.11 Upaya pengembalian asset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery) melalui
tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tipikor
memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyian maupun
melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Sebuah
lembaga internasional, Basel Institute on Governance, International Centre for Asset
Recovery mengemukakan mengenai hal tersebut bahwa “asset recovery is a difficult task and
is fraught with the complicity of the banks involved, the navigation of a costly international
legal labyrinth and the fact that those implicated in public looting are usually those with the
most power and influence.12
Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban
(victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset
hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan
mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan
di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara
korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat
tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau
calon pelaku tindak pidana korupsi.13
Pada hakikatnya, pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi
sangat penting eksistensinya. pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu
pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).
Perkembangan itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya
pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat
10
Ibid.
11
http://www.saldiisra.web.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2014 Pkl 22.00 Wib
12
Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, 2004, hlm.
17
13
Romli Atmasasmita, Makalah Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters, disampaiikan pada pelatihan
hukum pidana , kerjasama mahupiki dan fakultas hukum ugm Tanggal 23 – 27 februari 2012
4
mengembalikan ‘kerugian’ keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut.
Kegagalan pengembalian asset hasil korupsi dapat mengurangi ‘makna’ penghukuman
terhadap para koruptor. Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor
banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di
rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam
melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang
ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.
Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan
kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan
hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian
aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak
pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya
sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui
pembangunan berkelanjutan.14
Pada umumnya di dunia dikenal dua jenis perampasan, yaitu perampasan pidana dan
perampasan perdata. Namun di amerika dikenal tiga jenis perampasan, dengan menambahkan
perampasan administrative. Secara umum perbedaan antara jenis perampasan asset tersebut
adalah :15
a) Perampasan pidana (in personam forfeiture) merupakan perampasan terhadap asset
yang dikaitkan dengan pemidanaan seorang terpidana.
Perampasan ini dilakukan berdasarkan putusan pidana terhadap seseorang. Nexus atau
hubungan antara pelaku pidana dengan pidana dan asetnya harus dibuktikan terlebih
dahulu. Hal tersebut merupakan dasar untuk merampas asset perolehan hasil korupsi.
b) Perampasan perdata (in rem forfeiture) merupakan perampasan asset yang dilakukan
tanpa adanya pemidanaan.
Perampasan asset dengan mekanisme ini merupakan perampasan asset yang tidak
berdasarkan putusan suatu pidana. Terdapat sebuah kebingungan dalam mekanisme
perampasan asset perdata ini karena fakta bahwa standar bukti yang diperlukan untuk
perampasan aset pelaku kejahatan dan aset NCB berbeda dibeberapa yuridiksi. Dan
bahwa secara khusus di beberapa yuridiksi perampasan aset mensyaratkan pemidanaan
14
Lihat alinea pertama Mukadimah UNCAC
15
Paku Utama, Memahami Aset Recovery & Gatekeeper, (Indonesia Round Table, Jakarta : 2013), hal. 60-63
5
yang diperoleh dengan standar “tanpa keraguan yang wajar” (beyond reasonable doubt)
yang lebih tinggi, dimana perampasan aset NCB hanya mensyaratkan bukti pelanggaran
dengan standar “keseimbangan probabilitas” yang lebih rendah.
c) Perampasan administrative merupakan upaya perampasan yang dilakukan badan sita
federal untuk merampas suatu property tanpa adanya campur tangan pengadilan.
Di bawah ini adalah table yang menggambarkan perbedaan antara perampasan aset secara in
personam dan in rem.
16 ?
Pasal 46 (24) menerangkan bahwa negara peserta yang diminta wajib melaksanakan permintaan tersebut
sesegera mungkin dan harus sedapat mungkin mematuhi batas waktu yang diusulkan Negara Peserta yang
meminta.
6
D. Non Conviction Based Asset Forfeiture (NCB)
7
dalam perkara pidana pada umumnya.
Karakteristik NCB
Status Perkara & : Tidak diperlukan adanya hukuman pidana lebih dulu
8
Dikatakan di dalam Pasal tersebut bahwa setiap orang berhak atas perlindungan harta
benda yang berada dibawah kekuasaannya. Hal ini menarik untuk dipertimbangkan karena
dengan dirampasnya barang-barang seseorang yang terlibat suatu tindak kejahatan dilematis
akan dianggap sebagai pelanggaran hak konstitusional dari warga negara sekalipun terdapat
undang-undang yang mengatur tindak pidana tertentu yang menyatakan bahwa perampasan
aset orang yang terlibat dengan suatu tindak pidana itu merupakan suatu keharusan.
Konsep NCB wajar dikatakan melanggar HAM dan Hak Konstitusi dari Warga Negara,
karena tanpa adanya tuntutan pidana, tanpa adanya pernyataan bersalah dari pengadilan maka
harta atau aset seseorang dapat dirampas oleh Negara demi pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana. Oleh karena itu agar diperhatikan mekanisme perampasan aset tersebut jangan
sampai melanggar hak konstitusi dari tiap warga negara, dan tetap mengedepankan
terpenuhinya asas due process of rights dalam kesempatan banding atau upaya hukum yang
disediakan itu.
Perampasan Aset NCB berguna dalam berbagai konteks, terutama ketika perampasan
pidana tidak memungkinkan atau tidak tersedia, sebagaimana terlihat dalam contoh-contoh
berikut:
9
dapat mencapai harta benda yang dipegang oleh pihak ketiga yang bonafid,
Perampasan Aset NCB dapat menyita harta benda dari pihak ketiga tanpa pembelaan
yang bonafid.
Tiada bukti yang layak untuk melanjutkan dengan penuntutan pemidanaan.
Mengenai jumlah nilai minimum aset dan perubahannya yang dapat dirampas diatur
17
Masukan terhadap RUU Perampasan Aset, http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43-
sosialisasi/56-perampasan-aset.html, diakses tanggal 12 Mei 2014
10
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Aset yang Tidak Seimbang dengan Penghasilan
Dalam Ketentuan Perampasan Aset Tindak Pidana ini, juga diatur mengenai aset
yang dimiliki oleh setiap orang yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat
membuktikan asal-usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas.
3. Penelusuran Aset
Kewenangan melakukan penelusuran dalam rangka perampasan aset tindak
pidana(in rem) diberikan kepada penyidik atau penuntut umum. Dalam
m elaksanakan penelusuran tersebut, penyidik atau penuntut umum diberi wewenang
untuk meminta Dokumen kepada setiap orang, Korporasi, atau instansi pemerintah.
Selanjutnya diatur juga:
4. Ketentuan Pemblokiran dan Penyitaan
Dalam ketentuan ini diberikan juga kewenangan kepada penyidik atau penuntut
umum untuk melakukan pemblokiran dan penyitaan terhadap aset-aset yang menjadi
objek yang dapat dirampas yang akan diatur dalam undang-undang. Selanjutnya juga
diatur:
a. Dalam hal diperoleh dugaan kuat mengenai asal usul atau keberadaan Aset
Tindak Pidana berdasarkan Hasil Penelusuran, penyidik atau penuntut
umum dapat memerintahkan Pemblokiran kepada lembaga yang berwenang.
b. Pemblokiran dapat diikuti dengan tindakan Penyitaan. Lembaga yang
berwenang wajib melakukan Pemblokiran segera setelah perintah Pemblokiran
diterima.
c. Pihak ketiga yang menguasai asset yang diblokir tersebut dapat mengajukan
keberatan.
5. Perampasan Aset
Tindakan perampasan aset di dalam ketentuan perampasan asset tindak pidana
dilakukan terhadap:
a. Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen,
atau tidak diketahui keberadaannya;
b. Terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan;
c. Aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan; atau
d. Aset yang perkara pidananya telah diputus bersalah oleh pengadilan yang
11
berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui
terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas.
Tindakan perampasan aset sebagaimana telah dikemukakan di atas tidak
menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana.
6. Permohonan Perampasan Aset
Permohonan perampasan aset dapat dilakukan setelah penyidik atau penuntut
umum melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan. Permohonan perampasan
aset diajukan oleh penuntut umum kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
secara tertulis dalam bentuk surat permohonan yang dilengkapi dengan berkas perkara.
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
perampasan asset adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat keberadaan aset. Apabila terdapat beberapa aset yang
dimohonkan untuk dirampas dalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri,
penuntut umum dapat memilih salah satu dari pengadilan negeri tersebut untuk
mengajukan permohonan perampasan aset.
Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri
untuk memeriksa suatu permohonan Perampasan Aset, maka atas usul Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk
Pengadilan Negeri lain yang layak untuk memeriksa permohonan dimaksud. Apabila
asset yang dimohonkan untuk dirampas berada di luar negeri, namun telah
memenuhi syarat sebagai objek Perampasan Aset, maka Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang memeriksa.
7. Pembuktian dan Putusan Pengadilan
Untuk kepentingan Pemeriksaan di sidang Pengadilan, pemilik, pihak
yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan terhadap permohonan
perampasan aset, wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana .
Dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, hakim memerintahkan pemilik,
pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan terhadap
permohonan perampasan aset agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang
terkait dengan permohonan perampasan aset dimaksud bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana. Pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak
ketiga yang keberatan terhadap permohonan perampasan aset membuktikan bahwa
12
harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan
tindak pidana dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Dalam hal pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang
tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut bukan berasal dari tindak pidana,
hakim memutuskan aset tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada
yang berhak. Dalam hal pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga tidak
hadir di persidangan atau menolak memberikan bukti, hakim memutuskan aset
tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
8. Pengelolaan Aset
Ketentuan ini mengatur bahwa pengelolaan aset dilaksanakan
berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan
akuntabilitas. Pengelolaan aset dilaksanakan oleh LPA yang bertanggung jawab
kepada Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan asset oleh LPA
diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam melaksanakan tugasnya, kementerian menyelenggarakan fungsi: (a)
penyimpanan; (b) pengamanan; (c) pemeliharaan; (d) penilaian; (e) penggunaan; (f)
pemanfaatan; (g) pemindahtanganan; (h) pengawasan; dan/atau (j) pengembalian Aset
Tindak Pidana.
Dalam menjalankan fungsinya, LPA mempunyai wewenang sebagai berikut:
(a) menerima Aset hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh penyidik atau
penuntut umum termasuk dokumen-dokumen pendukungnya; (b) menunjuk atau
menetapkan pihak lain yang bertugas melakukan pengurusan Aset Tindak
Pidana yang bersifat khusus atau kompleks; (c) membantu penyidik atau
penuntut umum dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu dengan melaksanakan penjualan,
pemusnahan, pengembalian kepada pemilik sesuai dengan putusan pengadilan.
LPA atas permintaan penyidik atau penuntut umum berwenang menjual aset
sebelum adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam hal
Aset yang disita m empunyaisifat mudah rusak, mudah busuk, atau nilai
ekonomisnya cepat menurun, atau penyimpanan,pemeliharaan,dan pengamanan
asset tersebut memerlukan biaya yang cukup besar
13
pemeliharaan aset yang ada di bawah penguasaannya.Penyimpanan,pengamanan,
dan pemeliharaan asset dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan
nilai Aset. Dalam melakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset,
LPA dapat menunjuk pihak lain untuk membantu melakukan pemeliharaan
Aset.
Ketentuan ini mengatur pula hal sebagai berikut:
a. Pengamanan terhadap aset meliputi pengamanan administrasi, pengamanan
fisik, dan pengamanan hukum.Dalam melakukan pengamanan fisik aset, LPA
dapat bekerja sama dengan aparat keamanan.
b. Terhadap aset tertentu, LPA dapat melakukan penilaian pada saat
diterima dan diserahkan kepada penuntut umum. Hasil penilaian asset
dituangkan dalam bentuk laporan hasil penilaian aset. Laporan hasil
penilaian aset disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum.
c. Penjualan Aset yang telah diputus dirampas dilakukan dengan lelang
melalui Kantor Lelang. Hasil lelang Aset disetor langsung ke kas Negara
sebagai penerimaan negara bukan pajak. Pengelolaan aset yang dirampasberlaku
ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan barang milik negara .
d. Penggunaan Aset yang masih dalam status benda sitaan dapat dilakukan oleh
LPA dengan persetujuan Menteri. Dalam hal Aset yang dirampas
diperlukan penggunaannya oleh instansi Pemerintah, dapat dilaksanakan setelah
memperoleh persetujuan Menteri. Dalam hal persetujuan Menteri tidak
diperoleh, Aset harus dijual melalui lelang. Penggunaan Aset
dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan
kepentingan negara dan kepentingan umum.
e. Pengembalian Aset baik sebagian atau seluruhnya dilakukan terhadap pihak
ketiga atau orang lain sebagaimana disebutkan dalam Putusanperampasan
Aset.
f. LPA dapat meminta lembaga pemerintah yang berwenang untuk
melakukan audit atas pelaksanaan pengembalian Aset. Hasil audit
disampaikan kepada LPA untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan eraturan
perundang-undangan.
g. Hasil yang diperoleh dari pengelolaan Aset disetorkan langsung ke kas
negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Penggunaan dana dari
14
penerimaan negara bukan pajak dari hasil pengelolaan aset rampasan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
h. Sebagian dana dari penerimaan negara bukan pajak dari hasil
pengelolaan aset rampasan dapat digunakan untuk: (a) pendidikan dan
pelatihan terkait penelusuran, penyelidikan, penyidikan, pengelolaan asset
rampasan; (b) penegakan hukum terkait perampasan aset; (c) penelitian dan
pengembangan teknologi terkait perampasan aset; dan (d) pelayanan yang
melibatkan kemampuan intelektual tertentu.
10. Ganti Rugi dan/atau Kompensasi
Adanya pengaturan dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat dilakukannya
pemblokiran atau penyitaan maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
ganti rugi dan/atau kompensasi.
11. Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga
Adanya ketentuany g i mengatur bahwa dalam hal Aset Tindak Pidana yang diajukan
permohonan perampasan terdapat milik pihak ketiga yang beritikad baik, pihak
ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan kepada
Ketua Pengadilan Negeri. Pihak ketiga yang beritikad baik wajib membuktikan hak
kepemilikannya atas Aset.
12. Kerjasama Internasional
Adanya ketentuan yang mengatur kerjasama internasional mengenai bantuan
untuk penelusuran, pemblokiran, penyitaan, perampasan, danpengelolaan Aset
Tindak Pidana dilakukan berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional,
maupun multilateral, atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip
resiprositas sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dalam hal
permintaan Pemblokiran atau Penyitaan aset yang berada di luar negeri ditolak,
maka penyidik atau penuntut umum dapat memblokir atau menyita aset lainnya
sebagai pengganti yang terdapat di Indonesia yang nilainya setara dengan nilai
aset yang akan diblokir atau disita.
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidangHukum dan
HAM dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan Negara asing untuk
mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil asset yang dirampas: (a)
di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan
putusan perampasan atas permintaan Pemerintah; atau (b) di Indonesia, sebagai hasil
15
dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas
permintaan negara asing.
DAFTAR PUSTAKA
16
Indonesia.
Utama, Paku. Memahami Aset Recovery & Gatekeeper. Indonesia Round Table, Jakarta :
2013.
Levi, Michael. Tracing and Recovering the Proceeds of Crime. Cardiff University, Wales,
UK, Tbilisi, Georgia, 2004.
Atmasasmita, Romli. Makalah Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters,
disampaiikan pada pelatihan hukum pidana , kerjasama mahupiki dan fakultas hukum
ugm Tanggal 23 – 27 februari 2012
C. Artikel
17