Anda di halaman 1dari 17

Uraian Mengenai Konsep Perampasan Aset Non Conviction Based (NCB)

Shinta Octavia 2016

A. Latar Belakang

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat

dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat

menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini

dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan

sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas

karena lambat tahun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan

ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi

dimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka

tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus

dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan

melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat

penegak hukum. Saat ini sedang dibahas dalam sebuah rancangan Undang-Undang (RUU)

mengenai perampasan aset bagi pelaku tindak kejahatan terutama tindak korupsi.

Penyitaan aset NCB ini adalah salah satu cara yang diperkenalkan dalam rangka

pelaksanaan ketentuan Bab V UNCAC ( United Nation Convention Againts Corruption)

2003, khususnya mengenai pemulihan aset.1 Untuk Indonesia, NCB ini adalah hal baru

karena non-based conviction asset forfeiture ini diadopsi UNCAC dari sistem hukum

common law. Dengan konsep NCB ini, perampasan aset tidak akan terbatas dalam cakupan
1
Luhut MP Pangaribuan, Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak
Pidana Anti Korupsi Satu Pengantar dan Kompilasi Ketentuan-Ketentuannya, (Jakarta: Program Pasjasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, tanpa tahun), hlm. 672

1
nasional. Dengan begitu, NCB akan menjadi sangat fungsional dalam pengembalian aset

hasil kejahatan seperti korupsi, mengingat ekonomi global dewasa ini dimana para pelaku

dapat memindahkan aset seputar dunia dalam hitungan waktu detik hingga hanya dengan

menekan satu tombol untuk transfer.2

Ada persepsi bahwa NCB itu melanggar asas praduga tak bersalah dan hak fundamental

dari seseorang atas properti.3 Dalam kaitannya dengan masalah “constitutional rights” di

Indonesia misalnya ada Pasal 28G UUD 45 yang sudah menentukan bahwa “(1) Setiap orang

berhak atas perlindungan … harta benda yang di bawah kekuasaannya”. Dengan demikian

masalah “constitutional rights” dalam penerapan non-based conviction asset forfeiture ini

harus menjadi pertimbangan dalam penerimaan dan atau pelaksanaannya. Antara lain dengan

tetap dipenuhinya asas due process of rights dalam kesempatan banding atau upaya hukum

yang disediakan itu. Dewasa ini perancangan undang-undang tentang perampasan aset

memang sedang dilakukan.4

B. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

Konvensi Anti Korupsi/UNCAC memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan


perampasan atas kekayaan tanpa pemidanaan (without a criminal conviction), dalam hal
pelaku tidak dapat dituntut dengan alasan meninggal dunia, lari (kabur) atau tidak hadir atau
dalam kasus-kasus lain yang sama. Prinsip tersebut diatur dalam Article 54 (1) (c) of the
UNCAC. Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata dilakukan ketika mekanisme
peradilan pidana gagal melakukan penuntutan karena kondisi-kondisi terdakwa meninggal
dunia, lari (kabur), atau inabsentia. Ungkapan lain yang terkandung di dalam Article 54 (1)
(c) of the UNCAC merekomendasi Negara Peserta menggunakan/mengatur non-criminal
systems of confiscation.5
Prinsip yang diatur dalam Article 54 (1) (c) of the UNCAC yang kemudian melahirkan
konsep “In Rem forfeiture” atau “forfeiture actions to be brought against the stolen property

2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 673
4
Ibid.
5
Romli Atmasasmita, op. cit hal. 12

2
it self”, seperti diterapkan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat. 6 Sehubungan dengan
prinsip pengembalian aset ini, Konvensi Anti Korupsi mengatur mengenai kewajiban Negara-
negara Peserta, termasuk Indonesia untuk memungkinkan tiga hal, yaitu :
Negara Peserta lain mengajukan gugatan perdata di pengadilan Indonesia (Article 53
(1) UNCAC);
a. orang-orang yang telah melakukan tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi
atau ganti rugi pada negara Peserta lain yang telah dirugikan atas tidak pidana korupsi itu
dan dananya dilarikan atau dilakukan pencucian di Indonesia (Article 53 (2) UNCAC) ;
b. mengembalikan kekayaan yang telah disita oleh badan yang berkompeten di Indonesia
kepada Negara Peserta lain (yang mengajukan permintaan) (Article 57 (2) UNCAC).
Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama
internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat
mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC
mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para
negara korban yang membutuhkan.7
Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup.8 oleh karena
itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau
mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak
pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).9
Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC,
maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam
melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah
melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan
di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas
dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian
6
U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-recovery.ctm, 24 Pebruari
2008.
7
UNCAC, articel 46 paragraph (1), menyatakan: States Parties shall afford one another the widest measure
(huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in
relation to the offences covered by this Conventi.
8
Banyak negara-negara yang melindungi keberadaan perbankan negaranya dengan suatu proteksi kerahasiaan
yang sangat tinggi. Biasanya hal ini dilakukan apabila suatu negara hanya mempunyai sistem perbankan
sebagai satu-satunya atau sebagai pemasukan terbesar negarany
9
UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:
States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank
secrecy. Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak
lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka
negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.

3
aset. hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara
penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses
pengembalian aset.10

C. Stolen Asset Recovery Initiative (STAR)

Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah
perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi. Sebagai akibat tindak
pidana korupsi yang terus berlangsung, rakyat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup
sejahtera.11 Upaya pengembalian asset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery) melalui
tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tipikor
memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyian maupun
melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Sebuah
lembaga internasional, Basel Institute on Governance, International Centre for Asset
Recovery mengemukakan mengenai hal tersebut bahwa “asset recovery is a difficult task and
is fraught with the complicity of the banks involved, the navigation of a costly international
legal labyrinth and the fact that those implicated in public looting are usually those with the
most power and influence.12
Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban
(victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset
hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan
mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan
di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara
korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat
tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau
calon pelaku tindak pidana korupsi.13
Pada hakikatnya, pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi
sangat penting eksistensinya. pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu
pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).
Perkembangan itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya
pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat
10
Ibid.
11
http://www.saldiisra.web.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2014 Pkl 22.00 Wib
12
Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, 2004, hlm.
17
13
Romli Atmasasmita, Makalah Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters, disampaiikan pada pelatihan
hukum pidana , kerjasama mahupiki dan fakultas hukum ugm Tanggal 23 – 27 februari 2012

4
mengembalikan ‘kerugian’ keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut.
Kegagalan pengembalian asset hasil korupsi dapat mengurangi ‘makna’ penghukuman
terhadap para koruptor. Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor
banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di
rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam
melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang
ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.
Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan
kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan
hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian
aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak
pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya
sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui
pembangunan berkelanjutan.14

Jenis Perampasan Aset

Pada umumnya di dunia dikenal dua jenis perampasan, yaitu perampasan pidana dan
perampasan perdata. Namun di amerika dikenal tiga jenis perampasan, dengan menambahkan
perampasan administrative. Secara umum perbedaan antara jenis perampasan asset tersebut
adalah :15
a) Perampasan pidana (in personam forfeiture) merupakan perampasan terhadap asset
yang dikaitkan dengan pemidanaan seorang terpidana.
Perampasan ini dilakukan berdasarkan putusan pidana terhadap seseorang. Nexus atau
hubungan antara pelaku pidana dengan pidana dan asetnya harus dibuktikan terlebih
dahulu. Hal tersebut merupakan dasar untuk merampas asset perolehan hasil korupsi.
b) Perampasan perdata (in rem forfeiture) merupakan perampasan asset yang dilakukan
tanpa adanya pemidanaan.
Perampasan asset dengan mekanisme ini merupakan perampasan asset yang tidak
berdasarkan putusan suatu pidana. Terdapat sebuah kebingungan dalam mekanisme
perampasan asset perdata ini karena fakta bahwa standar bukti yang diperlukan untuk
perampasan aset pelaku kejahatan dan aset NCB berbeda dibeberapa yuridiksi. Dan
bahwa secara khusus di beberapa yuridiksi perampasan aset mensyaratkan pemidanaan
14
Lihat alinea pertama Mukadimah UNCAC
15
Paku Utama, Memahami Aset Recovery & Gatekeeper, (Indonesia Round Table, Jakarta : 2013), hal. 60-63

5
yang diperoleh dengan standar “tanpa keraguan yang wajar” (beyond reasonable doubt)
yang lebih tinggi, dimana perampasan aset NCB hanya mensyaratkan bukti pelanggaran
dengan standar “keseimbangan probabilitas” yang lebih rendah.
c) Perampasan administrative merupakan upaya perampasan yang dilakukan badan sita
federal untuk merampas suatu property tanpa adanya campur tangan pengadilan.

Di bawah ini adalah table yang menggambarkan perbedaan antara perampasan aset secara in
personam dan in rem.

Tindakan Perampasan Aset Secara in Perampasan Aset Secara in


Personam Rem
Objek Objek perampasan adalah Objek perampasan adalah aset
Perampasan personam atau individu. atau in Rem
Perampasan bagian dari
pemidanaan
Pembuktian Perampasan aset berdasarkan pada Pembuktian kesalahan terdakwa
pembuktian kesalahan terdakwa. bukan dasar untuk merampas aset.
Harus terdapat nexus antara Perampasan ini memungkinkan
terdakwa, kejahatan dan aset. digunakannya upaya pembalikan
beban pembuktian

Bantuan Hukum Timbal Balik (MLA)


Dalam upaya pengembalian aset perolehan hasil korupsi, kerja sama internasional
merupakan suatu hal yang wajib dilakukan untuk memeroleh informasi, bukti, ataupun dalam
proses persidangan terkait upaya pengembalian aset, serta cara formal merupakan langkah
yang harus dicermati dan dikerjakan dengan sempurna.
Bentuk kerjasama internasional yang paling signifikan dalam pengembalian aset adalah
upaya bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance), yaitu saat suatu negara meminta
negara lain atau instansi terkait yang berada di luar negeri untuk membantu pengembalian
aset tersebut. Dalam bahasa sederhana ini merupakan upaya surat menyurat antar negara.
Salah satu prinsip penting dalam MLA berdasarkan UNCAC adalah bona fide yaitu
negara peserta yang meminta bantuan diyakini membawa itikad baik dalam permintaanya.
Dengan demikian negara peserta yang diminta seharusnya tidak boleh mempertanyakan
keaslian fakta-fakta dalam permintaan itu.16

16 ?
Pasal 46 (24) menerangkan bahwa negara peserta yang diminta wajib melaksanakan permintaan tersebut
sesegera mungkin dan harus sedapat mungkin mematuhi batas waktu yang diusulkan Negara Peserta yang
meminta.

6
D. Non Conviction Based Asset Forfeiture (NCB)

NCB merupakan mekanisme pelaksanaan BAB V United Nationd Convention Against


Corruption (UNCAC) yang secara khusus membahas mengenai pemulihan aset. Sebagaimana
diketahui Indonesia telah meratifikasi UNCAC dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nationd Conventuon Against Corruption.
Dengan adanya NCB, maka urusan pengembalian aset tidak akan terbatas pada cakupan
nasional saja, melainkan lintas negara sehingga sifatnya internasional. Oleh karena itu NCB
akan sangat berfungsi bagi pengembalian aset hasil tindak pidana khususnya korupsi yang
saat ini perputaran uang hasil korupsi tersebut telah ditransfer atau melibatkan banyak negara
dikarenakan kemudahan yang diberikan di sektor jasa perbankan.
NCB berasal dari negara-negara yang menganut aliran common law, sehingga bagi
Indonesia yang berkiblat dengan aliran eropa continental konsep ini merupakan konsep baru.
Konsep NCB di common law bermula dari suatu pemikiran bahwa “apabila sesuatu
melanggar hukum, maka sesuatu itu dapat disita untuk negara”. Pemikiran tersebut dikenal
dengan istilah in rem.
Salah satu negara common law yang telah lama memliki NCB dalam sistem hukumnya
adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat telah mempunyai Undang-Undang mengenai NCB
sejak tahun 1776. Adapun konsep NCB awalnya dipergunakan untuk memerangi
perdangangan Narkoba, dimana dalam konteks ini ada pembagian kategori harta benda.
Pertama, harta benda hasil tindak pidana, dan yang Kedua harta benda untuk memudahkan
jalannya tindak pidana tersebut (instrumen melakukan kejahatan).
Berdasarkan dikotomi jenis harta benda tersebut di atas, dalam konsep NCB kemudian
dibagi menjadi 2 (dua) jenis perampasan yang diterapkan untuk memulihkan aset, yakni aset
hasil dari tindak kejahatan dan aset sebagai instrumentalitas dari tindak kejahatan. Kedua
jenis aset tersebut memiliki tujuan yang sama yakni perampasan aset oleh Negara dengan
menggunakan hukum untuk memberantas suatu tindak kejahatan seperti korupsi. Sedangkan
perbedaannya adalah perampasan sebagai instrumentalitas untuk memastikan bahwa aset
hasil kejahatan tidak akan digunakan untuk tujuan kejahatan selanjutnya, sehingga sifatnya
preventif (pencegahan) dan dapat dirampas tersendiri tanpa ada putusan terlebih dahulu pada
pelakunya.
Perampasan aset dalam satau perkara pidana adalah merupakan suatu perintah in
personam yakni suatu tindakan terhadap seseorang dan ada aset yang dirampas atau disita
karena ada hubungannya dengan tindak pidana itu. Perintah in personam ini biasa dilakukan

7
dalam perkara pidana pada umumnya.
Karakteristik NCB

Tindakan : Terhadap perkara atas barang (in rem), perampasan


adalah tindakan paksa yang ditujukan terhadap
barang tersebut.

Waktu : Dilakukan sebelum, selama atau setelah hukuman


pidana, atau bahkan tanpa adanya tuntutan pidana
terhadap seseorang.

Status Perkara & : Tidak diperlukan adanya hukuman pidana lebih dulu

Standar Pembuktian dan dengan standar bukti keseimbangan probabilitas


(balance of probabilities atau preponderance of the
evidence)

Objek : Menyita objek tersebut berdiri sendiri, sekalipun


pemilik belum pernah dinyatakan bersalah.

NCB dan HAM

Terhadap konsepsi NCB, timbul persepsi di khalayak umum mengenai adanya


pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah dan hak fundamental dari seseorang atas
suatu aset atau properti. Sejak tahun 1986, Komisi Hak-Hak Azasi Manusia Eropa
mendeklarasikan Perampasan Aset NCB adalah konsisten dengan asas praduga tak bersalah
dan hak fundamental atas harta benda. Namun demikian, komisi telah menyatakan bahwa
setiap pemulihan aset harus menerima untuk ditantang (diajukan) di pengadilan serta juga
harus layak dan proporsional.
Setalah pandangan yang menganggap NCB melanggar asas praduga tak bersalah dan
hak fundamental, di Indonesia timbul perspketif bahwa NCB melanggar hak konstitusi yang
tercantum dalam Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan sebagai
berikut :
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.”

8
Dikatakan di dalam Pasal tersebut bahwa setiap orang berhak atas perlindungan harta
benda yang berada dibawah kekuasaannya. Hal ini menarik untuk dipertimbangkan karena
dengan dirampasnya barang-barang seseorang yang terlibat suatu tindak kejahatan dilematis
akan dianggap sebagai pelanggaran hak konstitusional dari warga negara sekalipun terdapat
undang-undang yang mengatur tindak pidana tertentu yang menyatakan bahwa perampasan
aset orang yang terlibat dengan suatu tindak pidana itu merupakan suatu keharusan.

Konsep NCB wajar dikatakan melanggar HAM dan Hak Konstitusi dari Warga Negara,
karena tanpa adanya tuntutan pidana, tanpa adanya pernyataan bersalah dari pengadilan maka
harta atau aset seseorang dapat dirampas oleh Negara demi pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana. Oleh karena itu agar diperhatikan mekanisme perampasan aset tersebut jangan
sampai melanggar hak konstitusi dari tiap warga negara, dan tetap mengedepankan
terpenuhinya asas due process of rights dalam kesempatan banding atau upaya hukum yang
disediakan itu.

Kegunaan dan Manfaat Perampasan Aset NCB

Perampasan Aset NCB berguna dalam berbagai konteks, terutama ketika perampasan
pidana tidak memungkinkan atau tidak tersedia, sebagaimana terlihat dalam contoh-contoh
berikut:

 Pelanggar merupakan buronan. Hukuman pidana tidak memungkinkan apabila


terdakwa merupakan buronan.
 Pelanggar telah tiada atau meninggal dunia sebelum adanya penghukuman. Kematian
mengakhiri suatu proses peradilan pidana.
 Pelanggar sedemikian berkuasanya sehingga penyelidikan atau penuntutan pidana
tidak realistis atau tidak memungkinkan.
 Pelanggar tidak dikenal dan asetnya ditemukan. Apabila aset tersebut diperoleh dari
suatu tindak kejahatan, seorang pemilik atau pelanggar mungkin tidak berkeinginan
untuk menghadapi proses peradilan perdata pemulihan, dikarenakan khawatir ini akan
menuju ke suatu penuntutan pidana. Keraguan demikian sangat mempersulit
penuntutan pidana terhadap seorang pelanggar, bahkan tidak mungkin.
 Harta benda yang berkaitan dipegang oleh pihak ketiga yang tidak dituntut dengan
pelanggaran kejahatan namun menyadari – atau membutakan diri terhadap fakta –
bahwa harta benda tersebut tercemar adanya. Meskipun perampasan pidana tidak

9
dapat mencapai harta benda yang dipegang oleh pihak ketiga yang bonafid,
Perampasan Aset NCB dapat menyita harta benda dari pihak ketiga tanpa pembelaan
yang bonafid.
 Tiada bukti yang layak untuk melanjutkan dengan penuntutan pemidanaan.

Perampasan Aset NCB juga bermanfaat dalam keadaan sebagai berikut:


 Pelanggar telah dibebaskan dari pelanggaran pidana pokok dikarenakan kurang
adanya bukti yang dapat digunakan atau kegagalan dalam memenuhi beban
pembuktian. Ini berlaku dalam yurisdiksi di mana Perampasan Aset NCB ditetapkan
atas standar pembuktian yang lebih rendah daripada standar penghukuman pidana.
Meskipun ada kemungkinan bahwa bukti tidak memadai untuk sebuah penghukuman
pidana tanpa keraguan yang layak, namun ada kemungkinan adanya bukti yang layak
untuk menunjukkan bahwa aset diperoleh dari kegiatan haram atas dasar
keseimbangan probabilitas.
 Perampasan tidak dipermasalahkan. Dalam yurisdiksi di mana Perampasan Aset NCB
dilaksanakan sebagai proses peradilan perdata, prosedur putusan wanprestasi
digunakan untuk menyita aset, sehingga terjadi efisiensi dalam waktu dan biaya.

Konsep Pengaturan NCB Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset17


1. Aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana yang dapat dirampas
adalah aset yang diperoleh atau diduga dari tindak pidana yaitu:
a. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana
termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan
pribadi, orang lain, atau korporasi baik berupa modal, pendapatan, maupun
keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. Aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
c. Aset lainnya yang sah sebagai pengganti Aset Tindak Pidana; atau
d. Aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Mengenai jumlah nilai minimum aset dan perubahannya yang dapat dirampas diatur

17
Masukan terhadap RUU Perampasan Aset, http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43-
sosialisasi/56-perampasan-aset.html, diakses tanggal 12 Mei 2014

10
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Aset yang Tidak Seimbang dengan Penghasilan
Dalam Ketentuan Perampasan Aset Tindak Pidana ini, juga diatur mengenai aset
yang dimiliki oleh setiap orang yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat
membuktikan asal-usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas.
3. Penelusuran Aset
Kewenangan melakukan penelusuran dalam rangka perampasan aset tindak
pidana(in rem) diberikan kepada penyidik atau penuntut umum. Dalam
m elaksanakan penelusuran tersebut, penyidik atau penuntut umum diberi wewenang
untuk meminta Dokumen kepada setiap orang, Korporasi, atau instansi pemerintah.
Selanjutnya diatur juga:
4. Ketentuan Pemblokiran dan Penyitaan
Dalam ketentuan ini diberikan juga kewenangan kepada penyidik atau penuntut
umum untuk melakukan pemblokiran dan penyitaan terhadap aset-aset yang menjadi
objek yang dapat dirampas yang akan diatur dalam undang-undang. Selanjutnya juga
diatur:
a. Dalam hal diperoleh dugaan kuat mengenai asal usul atau keberadaan Aset
Tindak Pidana berdasarkan Hasil Penelusuran, penyidik atau penuntut
umum dapat memerintahkan Pemblokiran kepada lembaga yang berwenang.
b. Pemblokiran dapat diikuti dengan tindakan Penyitaan. Lembaga yang
berwenang wajib melakukan Pemblokiran segera setelah perintah Pemblokiran
diterima.
c. Pihak ketiga yang menguasai asset yang diblokir tersebut dapat mengajukan
keberatan.
5. Perampasan Aset
Tindakan perampasan aset di dalam ketentuan perampasan asset tindak pidana
dilakukan terhadap:
a. Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen,
atau tidak diketahui keberadaannya;
b. Terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan;
c. Aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan; atau
d. Aset yang perkara pidananya telah diputus bersalah oleh pengadilan yang

11
berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui
terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas.
Tindakan perampasan aset sebagaimana telah dikemukakan di atas tidak
menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana.
6. Permohonan Perampasan Aset
Permohonan perampasan aset dapat dilakukan setelah penyidik atau penuntut
umum melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan. Permohonan perampasan
aset diajukan oleh penuntut umum kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
secara tertulis dalam bentuk surat permohonan yang dilengkapi dengan berkas perkara.
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
perampasan asset adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat keberadaan aset. Apabila terdapat beberapa aset yang
dimohonkan untuk dirampas dalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri,
penuntut umum dapat memilih salah satu dari pengadilan negeri tersebut untuk
mengajukan permohonan perampasan aset.
Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri
untuk memeriksa suatu permohonan Perampasan Aset, maka atas usul Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk
Pengadilan Negeri lain yang layak untuk memeriksa permohonan dimaksud. Apabila
asset yang dimohonkan untuk dirampas berada di luar negeri, namun telah
memenuhi syarat sebagai objek Perampasan Aset, maka Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang memeriksa.
7. Pembuktian dan Putusan Pengadilan
Untuk kepentingan Pemeriksaan di sidang Pengadilan, pemilik, pihak
yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan terhadap permohonan
perampasan aset, wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana .
Dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, hakim memerintahkan pemilik,
pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan terhadap
permohonan perampasan aset agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang
terkait dengan permohonan perampasan aset dimaksud bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana. Pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak
ketiga yang keberatan terhadap permohonan perampasan aset membuktikan bahwa

12
harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan
tindak pidana dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Dalam hal pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang
tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut bukan berasal dari tindak pidana,
hakim memutuskan aset tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada
yang berhak. Dalam hal pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga tidak
hadir di persidangan atau menolak memberikan bukti, hakim memutuskan aset
tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
8. Pengelolaan Aset
Ketentuan ini mengatur bahwa pengelolaan aset dilaksanakan
berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan
akuntabilitas. Pengelolaan aset dilaksanakan oleh LPA yang bertanggung jawab
kepada Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan asset oleh LPA
diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam melaksanakan tugasnya, kementerian menyelenggarakan fungsi: (a)
penyimpanan; (b) pengamanan; (c) pemeliharaan; (d) penilaian; (e) penggunaan; (f)
pemanfaatan; (g) pemindahtanganan; (h) pengawasan; dan/atau (j) pengembalian Aset
Tindak Pidana.
Dalam menjalankan fungsinya, LPA mempunyai wewenang sebagai berikut:
(a) menerima Aset hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh penyidik atau
penuntut umum termasuk dokumen-dokumen pendukungnya; (b) menunjuk atau
menetapkan pihak lain yang bertugas melakukan pengurusan Aset Tindak
Pidana yang bersifat khusus atau kompleks; (c) membantu penyidik atau
penuntut umum dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu dengan melaksanakan penjualan,
pemusnahan, pengembalian kepada pemilik sesuai dengan putusan pengadilan.
LPA atas permintaan penyidik atau penuntut umum berwenang menjual aset
sebelum adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam hal
Aset yang disita m empunyaisifat mudah rusak, mudah busuk, atau nilai
ekonomisnya cepat menurun, atau penyimpanan,pemeliharaan,dan pengamanan
asset tersebut memerlukan biaya yang cukup besar

9. Tata Cara Pengelolaan Aset


LPA bertanggung jawab atas penyimpanan, pengamanan, dan

13
pemeliharaan aset yang ada di bawah penguasaannya.Penyimpanan,pengamanan,
dan pemeliharaan asset dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan
nilai Aset. Dalam melakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset,
LPA dapat menunjuk pihak lain untuk membantu melakukan pemeliharaan
Aset.
Ketentuan ini mengatur pula hal sebagai berikut:
a. Pengamanan terhadap aset meliputi pengamanan administrasi, pengamanan
fisik, dan pengamanan hukum.Dalam melakukan pengamanan fisik aset, LPA
dapat bekerja sama dengan aparat keamanan.
b. Terhadap aset tertentu, LPA dapat melakukan penilaian pada saat
diterima dan diserahkan kepada penuntut umum. Hasil penilaian asset
dituangkan dalam bentuk laporan hasil penilaian aset. Laporan hasil
penilaian aset disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum.
c. Penjualan Aset yang telah diputus dirampas dilakukan dengan lelang
melalui Kantor Lelang. Hasil lelang Aset disetor langsung ke kas Negara
sebagai penerimaan negara bukan pajak. Pengelolaan aset yang dirampasberlaku
ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan barang milik negara .
d. Penggunaan Aset yang masih dalam status benda sitaan dapat dilakukan oleh
LPA dengan persetujuan Menteri. Dalam hal Aset yang dirampas
diperlukan penggunaannya oleh instansi Pemerintah, dapat dilaksanakan setelah
memperoleh persetujuan Menteri. Dalam hal persetujuan Menteri tidak
diperoleh, Aset harus dijual melalui lelang. Penggunaan Aset
dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan
kepentingan negara dan kepentingan umum.
e. Pengembalian Aset baik sebagian atau seluruhnya dilakukan terhadap pihak
ketiga atau orang lain sebagaimana disebutkan dalam Putusanperampasan
Aset.
f. LPA dapat meminta lembaga pemerintah yang berwenang untuk
melakukan audit atas pelaksanaan pengembalian Aset. Hasil audit
disampaikan kepada LPA untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan eraturan
perundang-undangan.
g. Hasil yang diperoleh dari pengelolaan Aset disetorkan langsung ke kas
negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Penggunaan dana dari

14
penerimaan negara bukan pajak dari hasil pengelolaan aset rampasan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
h. Sebagian dana dari penerimaan negara bukan pajak dari hasil
pengelolaan aset rampasan dapat digunakan untuk: (a) pendidikan dan
pelatihan terkait penelusuran, penyelidikan, penyidikan, pengelolaan asset
rampasan; (b) penegakan hukum terkait perampasan aset; (c) penelitian dan
pengembangan teknologi terkait perampasan aset; dan (d) pelayanan yang
melibatkan kemampuan intelektual tertentu.
10. Ganti Rugi dan/atau Kompensasi
Adanya pengaturan dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat dilakukannya
pemblokiran atau penyitaan maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
ganti rugi dan/atau kompensasi.
11. Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga
Adanya ketentuany g i mengatur bahwa dalam hal Aset Tindak Pidana yang diajukan
permohonan perampasan terdapat milik pihak ketiga yang beritikad baik, pihak
ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan kepada
Ketua Pengadilan Negeri. Pihak ketiga yang beritikad baik wajib membuktikan hak
kepemilikannya atas Aset.
12. Kerjasama Internasional
Adanya ketentuan yang mengatur kerjasama internasional mengenai bantuan
untuk penelusuran, pemblokiran, penyitaan, perampasan, danpengelolaan Aset
Tindak Pidana dilakukan berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional,
maupun multilateral, atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip
resiprositas sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dalam hal
permintaan Pemblokiran atau Penyitaan aset yang berada di luar negeri ditolak,
maka penyidik atau penuntut umum dapat memblokir atau menyita aset lainnya
sebagai pengganti yang terdapat di Indonesia yang nilainya setara dengan nilai
aset yang akan diblokir atau disita.
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidangHukum dan
HAM dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan Negara asing untuk
mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil asset yang dirampas: (a)
di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan
putusan perampasan atas permintaan Pemerintah; atau (b) di Indonesia, sebagai hasil

15
dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas
permintaan negara asing.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Karya Ilmiah


Pangaribuan, Luhut MP. Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Tindak Pidana Anti Korupsi Satu Pengantar dan Kompilasi
Ketentuan-Ketentuanny., Jakarta: Program Pasjasarjana Fakultas Hukum Universitas

16
Indonesia.
Utama, Paku. Memahami Aset Recovery & Gatekeeper. Indonesia Round Table, Jakarta :
2013.
Levi, Michael. Tracing and Recovering the Proceeds of Crime. Cardiff University, Wales,
UK, Tbilisi, Georgia, 2004.
Atmasasmita, Romli. Makalah Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters,
disampaiikan pada pelatihan hukum pidana , kerjasama mahupiki dan fakultas hukum
ugm Tanggal 23 – 27 februari 2012

B. Undang-Undang dan Konvensi


Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Maalah
Pidana
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Penegsahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi
United Nations Convention against Corruption (UNCAC), 2003.

C. Artikel

http://www.saldiisra.web.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2014 Pkl 22.00 Wib


U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-recovery.ctm,
24 Pebruari 2008.
Masukan terhadap RUU Perampasan Aset, http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-
peraturan-lainnya/43-sosialisasi/56-perampasan-aset.html, diakses tanggal 12 Mei 2014

17

Anda mungkin juga menyukai