Jawab: Sebagai lembaga luar biasa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama sekali tidak bisa
memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"KPK bisa menghentikan penyidikan hanya pada kondisi tertentu, seperti misal tersangka
meninggal dunia atau adanya kerusakan otak permanen saat proses pra-ajudikasi. Itu bisa
dihentikan,"
Pasal 40 UU 30/2002 itu berbunyi, KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi
Dalam perubahan tersebut tertulis pemberian SP3 harus disertai alasan dan bukti yang cukup
dan harus dilaporkan pada dewan pengawas. SP3 juga dapat dicabut kembali apabila
ditemukan hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan penghentian perkara. Menurut
Indriyanto, SP3 yang mensyaratkan alat bukti dan laporan kepada dewan pengawas justru
berdampak pelemahan yang signifikan.
"Mungkin tujuannya adalah memberlakukan secara luas asas-asas umum KUHAP
terhadap kewenangan KPK. Kalau begitu kelak KPK hanya akan berfungsi sebagai komisi biasa
(Ordinary Commision)," kata Indriyanto.
Selain itu, Indriyanto juga menjelaskan, dalam kaitannya dengan penyadapan, KPK
seharusnya tidak memerlukan izin dari siapapun, baik pengadilan maupun dewan pengawas.
"Kita melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa, karena itu KPK tidak perlu izin dari
pengadilan, apalagi dari dewan pengawas. Karena dewan pengawas sama sekali tidak dalam
kapasitas untuk ikut campur soal teknis operasional yuridis. Termasuk di dalamnya soal
penyadapan," ungkap dia. Menurut Indriyanto, kejahatan-kejahatan luar biasa, seperti korupsi,
memiliki dampak yang jelas-jelas membahayakan dan berpengaruh secara meluas pada saat itu
juga. Maka dipastikan kewenangan menyadap itu diatur dan dilindungi oleh undang-undang
(Legal by Regulated), bukan berdasarkan pada izin atau ketentuan pengadilan. "Artinya
kewenangan penyadapan adalah sah tanpa perlu izin. Sangat berbeda dengan kondisi umum
dan perbuatan pidana yang dikategorikan biasa (ordinary crime)," kata Indriyanto.
- Tidak ada pasal yag mengatur kalau tppu harus dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asalnya
1. Indonesia menganut sistem pembuktian negatif
2. Tppu berdiri sendiri
Kalau dibuktikan terlebih dahulu tidnak pidana asalnya memakan waktu dan proses
yang cukup lama.
Intinya psal 75 itu, tindak pidana asal dalam tpp memang harus ada tapi gak harus
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Tindak pidana asal gak perlu
dibuktikan akan tetapi tppu terjadi pasti karna ada pidana asalnya.