Anda di halaman 1dari 10

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : NUR MUSYAFIR

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041882078

Tanggal Lahir : 8 Agustus 1992

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4402/Hukum Perjanjian

Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu Hukum S1

Kode/Nama UPBJJ : 80/Makassar

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu, 19 Juni 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : NUR MUSYAFIR


NIM : 041882078
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4402/Hukum Perjanjian
Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : 311/Ilmu Hukum S1
UPBJJ-UT : 80/Makassar

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Maros, 19 Juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

NUR MUSYAFIR
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1.
a. Perjanjian sewa menyewa adalah salah satu perjanjian yang diatur dalam Burgerlijke Wetboek atau
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya ditulis KUHPerdata) sehingga dikelompokkan
dalam perjanjian-Perjanjian Bernama (Nominaatcontract). Dalam hal ini perjanjian sewa menyewa
diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 1548 KUH Perdata
sewa menyewa ialah : “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengkatkan dirnya untuk
memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan
dengan pembayatran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi
pembayarannya.”
Dalam kasus yang disebutkan pada soal, Pak Badrun menitipkan barang kapada Pak Nizar merupakan
suatu perjanjian yang dimana Pak Badrun mengikatkan dirinya dalam perjanjian sewa Gudang untuk
menyimpan barang mirik Pak Badrun dengan biaya sewa Rp. 500.000 per bulannya. Perjanjian sewa
menyewa adalah kesepakatan antara dua pihak dalam pengambilan manfaat suatu benda menurut batas
waktu yang telah di sepekati. Dalam perjanjian sewa menyewa, pihak pertama sebagai penyewa hanya
berhak menerima manfaat dari benda yang disewa selama waktu yang telah disekapati oleh kedua belah
pihak. Maka perjanjian dla kasus Pak Badrun dan Pak Nizar merupakan perjanjian yang diperbolehkan.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa untuk sahnya pejanjian ada 4
(empat) syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Para pihak membuat perjanian itu pada saat sama-sama berada pada satu tempat dan disanalah
terjadinya kata sepakat, sehingga menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat
dikatakan bahwa suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara
kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.
Sumber : Dessy Sunarsi, Liza Marina, Dedy Wahyudi. “Kepastian Perlindungan Hukum Dalam
Perjanjian Sewa-Menyewa”. Supremasi Jurnal Hukum Vol 4, No. 2.

b. Perjanjian penitipan barang telah diatur didalam Buku ke III BAB XI KUHPerdata mulai Pasal 1694-
1729. Perjanjian Penitipan Barang merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang diatur dalam
KUHPerdata. Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang
berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Sementara pengertian Penitipan
tersebut dinyatakan dalam Pasal 1694 KUHperdata yaitu : “Penitipan adalah terjadi, apabila seorang
menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam wujud asalnya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1694 KUHPerdata bahwa
dalam perjanjian penitipan disyaratkan barang yang dititipkan tersebut harus di simpan yang kemudian
mengembalikannya wujud asalnya. Maka sumber perikatan dalam kasus tersebut merupakan suatu
perjanjian yang melibatkan Pak Badrun dan Pak Nizar. Karena yang dikenal bahwa perikatan itu lahir
dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan, bahwa
tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun undang-undang. Sedangkan menurut
Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang dapat timbul dari
undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Perikatan mempunyai
pengertian yang lebih luas dari pengertian kontrak atau perjanjian, artinya kontrak atau perjanjian
merupakan bagian dari perikatan.
Sumber : Dwi Suryahartati. 2019. “Perjanjian Penitipan Barang bagi Perlindungan Konsumen di
Indonesia”. Acta Diurnal Volume 2, Nomor 2.

c. Penitipan barang tersebut terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan
syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya. Demikianlah definisi
yang oleh Pasal 1694 KUHPerdata diberitakan tentang perjanjian penitipan itu. Menurut kata-kata pasal
tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian “rill” yang berarti bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya
suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan; jadi tidak seperti perjanjian-
perjanjiannya pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada saat
tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Menurut Pasal 1694, sebagai pihak
dalam perjanjian penitipan barang, penerima titipan ini mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Menyimpan barang yang di titipkan.
2. Memeliharabarang yang di titipkan.
3. Mengembalikan barang titipan.
Apabila terjadi kerusakan atau kemusnahan barang yang di titipkan pada seseorang, maka penerima
titipan ini harus bertanggung jawab , kecuali apabila kerusakan atau kemusnahan tersebut terjadi
sebagai akibat adanya peristiwa yang dipungkiri. Karena bagaimanapun juga orang yang di titipi tidak
dapat dituntut pertanggungjawabannya apabila terjadi hal-hal yang tidak dapat dielakkan yang
disebabkan karena keadaan yang memaksa (overmacht), kecuali karena kecerobohannya. Dalam hal ini
ia juga tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, apabila kemungkinan ini juga akan terjadi bilamna
benda ini berada ditangan orang yang menitipkan barang itu sndiri. Dilihat dari ketentuan pada Pasal
1365 KUH Perdata, maka setiap orang yang akan menimbulkan kerugian bagi orang lain wajib
memberikan ganti rugi terhadap orang yang telah dirugikan itu. Adapun unsur-unsur perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana terdapat pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata
adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan baik dalam pengertian aktif maupun pasif.
2. Perbuatan tersebut melanggar hukum, Pada pengertian luas yaitu meliputi juga moral dan kepatuhan
dalam masyarakat.
3. Kerugian.
4. Ada hubungan causal antara kesalahan dengan kerugian yang ditimbulkan
Sehingga akibat hukum dalam kasus penitipan barang berupa beras dan gula yang mengalami kerugian
merupakan tanggung jawab penerima titipan barang, Sejak dari awal Pak Mizar menawarkan gudangya
untuk meitipkan barang milik Pak Badrun, sehingga dalam hal ini jika terjadi kerusakan merupakan
tanggung jwab Pak Mizar sebagai pemilik Gudang tersebut. Maka Pak Mizar menurut hukum yang
dijelaskan tersebut harus mengganti rugi kerusakan barang Pak Badrun. Namun, jika hal itu diluar
perjanjian atau bukan kesalahan Pak Mizar maka Pak Mizar tidak perlu menganti rugi kerusakan barang
tersbut.
Sumber : Thimony Sitinjak, dkk. 2017. “Tanggung Jawab Dalam Perjanjian Penitipan Barang
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Patik : Jurnal Hukum, Volume 6, Nomor 3.

2.
a. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu
sebab yang halal. Sepakat dan kecakapan merupakan syarat subjektif, sedangkan hal tertentu dan
sebab yang halal adalah syarat objektif. Dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat
yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri, dapat dilihat dalam Pasal 1324 dan Pasal
1325 KUHPer. Paksaan telah terjadi jika perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat
menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan
pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang
dan nyata. Paksaan juga mengakibatkan batalnya suatu perjanjian jika paksaan itu dilakukan
terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah. Pasal 1324
KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga
memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya,
orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan
hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.”
Adanya kehendak bebas dalam membuat kesepakatan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian.
Perjanjian yang di buat melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1320 Ayat 1 dan 2 KUHPer, yaitu perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat
kehendak (wilsgebreke) antara lain karena kekhilafan, paksaan atau penipuan, atau karena
ketidakcakapan pihak dalam perjanjian (ombekwaamheid), sehingga berakibat perjanjian tersebut
dapat dibatalkan (vernietigbaar). Sehingga pada kasus Amir dan Tono tersebut yang dimana Amir
menandatangani Perjanjian atas paksaan dari Tono yang membawa sejumlah saudaranya sampai
sampai Amir mengalami tekanan psikis yang padahal isi perjanjian tersebut tidak sesuatu dengan
kehendak Amir, Maka perjanjian tersebut tidak Sah menurut penjelasan dalam Undang-undang
yang disebutkan, dan juka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh Amir serta Perjanjian tersebut
tidak mengikat karena tidak adanya unsur sah dalam perjanjian tersebut.
Sumber : Yulia Dewitasari. “Akibat Hukum Terhadap Para Pihak dalam Perjanjian apabila
terjadi Pembatalan Perjanjian”. Artikel Bagian Hukum Uiversitas Udayana.

b. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 KUHPer, syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan
menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula seolah-olah tidak ada
suatu perjanjian. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian adalah
adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian
sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan
perjanjian. Penuntutan pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan sehingga yang
membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266
KUHPer. Jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian adalah lima tahun. Selain itu, perjanjian
yang dapat dibatalkan adalah harus bersifat timbal-balik yakni perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Syarat dalam Pasal 1320 KUHPer merupakan syarat yang
harus dipenuhi terhadap perjanjian yang dapat di batalkan sedangkan bagi perjanjian yang batal
demi hukum maka perjanjian tersebut tidaklah sah dan perjanjian dianggap tidak pernah ada. Hak
untuk meminta pembatalan perjanjian, menuntut pemulihan bahkan hak untuk menuntut ganti rugi
merupakan hak bagi para pihak yang merasa dirugikan, sedangkan pihak lainnya yang telah
terlanjur menerima prestasi dari pihak lain wajib mengembalikannya. Hal inilah yang dapat
dilakukan Oleh Amir dalam kasus permasalahan tersebut.
Sumber : Yulia Dewitasari. “Akibat Hukum Terhadap Para Pihak dalam Perjanjian apabila
terjadi Pembatalan Perjanjian”. Artikel Bagian Hukum Uiversitas Udayana.
3.
a. Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur.
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan.
Karena adanya kerugian oleh pihak lain, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus
menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa : Pembatalan perjanjian;
pembatalan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi; pemenuhan perjanjian dan pemenuhan perjanjian
disertai tuntutan ganti rugi. Bentuk wanprestasi dari kasus yang disebutkan yaitu, pertama PT. A
tidak melaksanakan kewajibannya kepada PT B sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama.
Kedua, PT A secara diam-diam menjual proyek pembangunan rumah kepada pihak lain. Menurut
Pasal 1234 KUHP Perdata bahwa yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu dan dianggap wanprestasi
bila seseorang :
a) Tidak melakukan apa yang disanggupi aka dilakukannya
b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat atau
d) Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.
Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi
karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan/perjanjian yang secara sengaja
dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Dengan demikian berarti perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua atau lebih
orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu
pihak dalam hubungan hukum tersebut.
Sumber : Niru Anita Sinaga. 2012. “Wanprestasi dan akibatnya dalam pelaksanaan
Perjanjian”. Artikel Ilmu Hukum.

b. Dalam wanprestasi PT B dapat meminta ganti rugi kepada PT. B akibat wanpretasi tersebut. Dalam
KUHPerdata tersebut diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang menyebutkan :
“Penggantian biaya, rugi, bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah dimuali
diwajibkan apabila debitor (pihak berhutang) setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu
tertentu telah dilampauinya.”
Dari uraian pasal tersebut disimpulkan bahwa apabila timbul suatu wanprestasi, maka para pihak
dapat meminta ganti kerugian berupa:
1. Biaya (konsen) yaitu segala pengeluaran atau ongkos yang telah nyata-nyata dikeluarkan.
2. Rugi (schaden), yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditur disebabkan oleh
kelalaian debitur atau pihak mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak.
3. Bunga (interessen), yakni keuntungan yang harus diperoleh Kreditur dari Debitur yang lalai
melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam kontrak tersebut
Ganti rugi dalam wanprestasi perjanjian dapat menggunakan model ganti rugi apa aja seperti, ganti
rugi yang ditentukan dalam perjanjian, ganti rugi ekspetas, pergantian biaya (out of pocket), restitusi, quantum
meruit dan pelaksanaan perjanjian. Model penuntutan ganti rugi tersebut dapat disesuaikan dengan kasus
wanprestasi yang terjadi. Sedangkan, dalam Perbuatan Melawan Hukum untuk PT B menuntut hak ganti
rugi tidak memerlukan peringatan lalai, namun siapa saja pihak yang merasa dirugikan dapat langsung
menuntut ganti rugi. Sehingga apabila merasa dirugikan akibat Perbuatan Melawan Hukum dapat diajukan
ke pengadilan Pada KUH Perdata tidak mengatur secara spesifik mengenai rincian dan bentuk kerugian
sehingga penggugat dapat menggugat kerugian materiil dan imateriil dan dapat menuntut pengembalian dana
seperti semula. Namun Penggugat harus mampu membuktikan di Pengadilan adanya unsur-unsur Perbuatan
Melawan Hukum yang dilakukan oleh debitur. Jadi perbuatan tersebut harus melanggar hak subjektif orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-
undang atau dengan perkataan lain menurut Pitlo, melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang
undang.
Sumber : Sri Redjeki Slamet. 2013. “Tuntutan Ganti Rugi dalam perbuatan melawan hukum : Suatu
perbandingan dengan wanprestasi”. Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2.

c. Perbuatan melawan hukum terjadi, apabila seseorang bertindak secara lain daripada yang
diharuskan dalam pergaulan masyarakat mengenai seseorang atau benda lain dan perbuatan tersebut
bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
bertentangan dengan kesusilaan, dan bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat. Sedangkan perkataan wanprestasi, berasal dari bahasa Belanda yang berarti
prestasi buruk. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktu yang
ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal
waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.
Apabila si berutang (debitor) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan ia melakukan
wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan
atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Wanprestasi membawa akibat hukum, yaitu
keharusan bagi debitor untuk membayar ganti kerugian atau dengan adanya wanprestasi oleh salah
satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian seperti yang dapat dilihat dari
Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 21 Mei 1973 No. 70HK/Sip/1972 yang menyebutkan, bahwa
apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang
yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian. ganti rugi akibat
perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi yang dapat dituntut adalah ganti rugi dalam
perbuatan melawan hukum meliputi ganti rugi kekayaan atau ganti rugi moril yang dapat berupa :
ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang; ganti kerugian dalam bentuk natura atau
pengembalian keadaan pada keadaan semula; pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah
bersifat melawan hukum; larangan untuk melakukan suatu perbuatan; meniadakan sesuatu yang
diadakan secara melawan hukum; dan pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah
diperbaiki.
Sumber : Sri Redjeki Slamet. 2013. “Tuntutan Ganti Rugi dalam perbuatan melawan hukum :
Suatu perbandingan dengan wanprestasi”. Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2.

4.
a. Pasal 1491 KUH Perdata mengatur tentang kewajiban penjual terhadap pembeli adalah untuk
menjamin dua hal, yaitu:
1. Penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram;
2. Tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian;
sebagaimana diatur dalam Pasal 1504 dan 1506 KUH Perdata berikut:
“Penjual harus menanggung barang itu terhadap cacat tersembunyi, yang sedemikian rupa
sehingga barang itu tidak dapat digunakan untuk tujuan yang dimaksud, atau yang demikian
mengurangi pemakaian, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali
tidak akan membelinya atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.” dari
sisi penjual dalam kaitanya dengan cacat tersembunyi, terdapat 2 (dua) kewajiban yang harus
dilakukan:
1. Jika penjual telah mengetahui cacat-cacat barang, maka penjual wajib mengembalikan uang
harga pembelian yang telah diterimanya dan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga;
2. Jika penjual tidak mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka penjual wajib
mengembalikan uang harga barang pembelian dan mengganti biaya untuk
menyelenggarakan pembelian dan penyerahan, sekedar itu dibayar oleh pembeli
Dalam kasus tersebut juga penjual tidak memberikan informasi yang benar terkait laptop yang
dijualnya, penjual juga melakukan kesepakatan untuk memberi garansi selama 7 hari lalu Tono
datang disertai keluhan seharusnya toko Realcom tidak menolak dan hal tersebut sudah
seharusnya kesalahan dari took Realcom tersebut.
b. Dalam hal-hal adanya cacat tersembunyi, Jonidapat memilih beberapa opsi sebagaimana diatur dalam
Pasal 1507 KUH Perdata antara lain:
1. Mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali uang harga pembelian; atau
2. Akan tetap memiliki barang itu sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian
sebagaimana ditentukan oleh hakim setelah mendengar ahli tentang itu.
Adapun dasar klaim ganti rugi di atas, jika dasar klaim adalah wanprestasi, artinya hubungan antara
pengusaha dan konsumen sudah didahului kesepakatan di awal. konsumen yang merasa dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Selain itu,
penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak.
Sumber : Alfin Sulaiman, S. H, M. H. “Pertanggungjwaban atas Barang cacat sembunyi”.
Artikel Hukum

c. Pelaku usaha memikul tanggung jawab hukum atas cacat tersembunyi pada barang yang mereka jual,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1508 dan Pasal 1509 KUHPerdata yang antara lain menjelaskan bahwa
pelaku usaha wajib mengembalikan uang sejumlah harga barang yang dibeli oleh konsumen. Selain itu
juga tertera dalam Pasal 19 UUPK sebagai tanggung jawab pelaku usaha. Hal tersebut dirasa pantas
karena konsumen dan pelaku usaha sama-sama tidak mengetahui apabila terdapat cacat tersembunyi
terhadap barang yang diperjualbelikan. Dengan itu salah satunya tidak ada yang dirugikan akibat adanya
barang cacat tersembunyi. Akibat yang dapat terjadi juga pada penjual atas penjualan barang yang cacat
dapat berupa sanksi pidana yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak 2 (dua) miliar rupiah sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 62 ayat (1) UUPK, ini merupakan
suatu upaya hukum represifdari UUPK itu sendiri. Jika penjual tidak tahu dengan cacat tersembunyi itu
maka penjual hanya perlu mengembalikan harga pembelian dan mengganti biaya yang telah dikeluarkan
oleh pembeli untuk melakukan pembelian dan penyerahan barang tersebut.Tetapi jika penjual tau
dengan adanya cacat tersembunyi itu maka penjual harus mengembalikan harga pembelian yang telah
diteriman serta segala biaya, kerugian dan bunga kepada pembeli. 24Biaya kerugian yang dimaksudkan
adalah segala kerugian baik kerugian materil maupun kerugian immaterial yang terjadi akibat barang
cacat tersebut.
Sumber : Andrea Tumbelaka. 2016. “Wanprestasi dalam Jual-beli barang yang mengalami Cacat
Sembunyi”. Lex Privatum, Vol IV, No. 5.

Anda mungkin juga menyukai