Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU) UAS

TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : RYAN MAULANA NUR IQBAL

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 042113189

Tanggal Lahir : 02/02/2000

: HKUM4402/ Hukum Perjanjian


Kode/Nama Mata Kuliah
: 331/ ilmu hukum
Kode/Nama Program Studi
: 42/ semarang
Kode/Nama UPBJJ
:Minggu, 19 juni 2022
Hari/Tanggal UAS THE

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS
TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : RYAN MAULANA NUR IQBAL


NIM : 042113189
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4402/ Hukum Perjanjian
Fakultas : HUKUM
Program Studi :ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : SEMARANG

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
PATI, 19 juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

RYAN MAULANA NUR IQBAL


1. A. Perjanjian Penitipan Barang Karena Terpaksa.
Dasar hukumnya Pasal 1703 KUHPdt:
“Penitipan karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksa dilaksanakan oleh seseorang karena timbulnya
suatu petaka, misalnya kebakaran, runtuhnya gedung2, perampokan, karamnya kapal, air bah, dll peristiwa
yang tak tersangka”

B. Dalam Perikatan yang timbul karena Perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja
bersepakat saling mengikatkan diri, dalam Perikatan mana pihak yang mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.

C. Dalam hal ini terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a) Pada dasarnya, si Penerima titipan diwajibkan memelihara barang titipan seperti memelihara barang
miliknya sendiri (Pasal 1706 KUHPdt) dan si Penerima Titipan diwajibkan mengembalikan barang yang
sama yang telah diterimanya (Pasal 1714 KUHPdt).
b) Kejadian gudang bocor bukan merupakan suatu keadaan memaksa (overmacht) atau keadaan kahar
(force mejuere).
Dengan demikian si Penerima Titipan (Pemilik Toko Sahabat) berkewajiban untuk mengganti beras dan gula
yang rusak tersebut, sehingga pada saat pengembalian titipan jumlah gula dan beras adalah sebanyak jumlah
yang dititipkan oleh si Pemilik Toko (Toko Kerabat).

2. A. Jika Analisis Saya dalam suatu kasus subjek perjanjian antara Tono dan Amir yang melakukan
perikatan/perjanjian keduabelah pihak menyatakan sepakat akan tetapi perjanjian tersebut dibawah
tekanan/ancaman secara psikis, maka untuk mengetahui apakah perjanjian itu sah atau tidak, pertama-tama
kita harus melihat terlebih dahulu Pengertian perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang
menyebutkan bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan
dari perkataan overeekomst dalam Bahasa Belanda. Akan tetapi kita lihat terlebih dahulu dari permasalah
bentuk perjanjian antara Tono dan Amir dari aspek asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh
melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian.Adapun syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu
perjanjian dapat kita lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan
keempat adalah syarat objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, sedangkan jika syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Sehubungan dengan penandatanganan surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang yang dilakukan
karena ancaman, hal tersebut berkaitan dengan syarat pertama yaitu sepakat dari para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat yang
sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Mengenai apa
yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri, dapat dilihat dalam Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUHPer. Paksaan
telah terjadi jika perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran
sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Paksaan juga mengakibatkan batalnya
suatu perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas
maupun ke bawah. Dikutip mengenai paksaan ini, Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok
Hukum Perdata (hal. 135), mengatakan bahwa paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya
karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak
menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya
ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang/harta benda yang
dimiliki, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan. Pendapat serupa juga dikatakan oleh Elly Erawati dan
Herlien Budiono dalam bukunya yang berjudul Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal. 56).
Tentang paksaan dalam KUHPerdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan
kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang
menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya
memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman yang dilakukan Tono itu menimbulkan
ketakutan kepada Amir sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah
dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya
ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau
kebendaan milik orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga.
Contoh Kasus : Hal ini sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung atas Perkara Nomor
2356K/Pdt/2010. Dalam putusan ini, dijelaskan bahwa Penggugat membuat perjanjian jual beli dalam
keadaan Penggugat ditahan oleh polisi karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II. Keadaan tersebut
digunakan untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal
ini adalah merupakan “misbruik van omstandigheden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan
karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPer yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak
Penggugat. Putusan Mahkamah Agung ini merupakan penerapan dari Pasal 1323 KUHPer yang mengatur
bahwa “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya
persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan
dalam persetujuan yang dibuat itu.” Mahkamah Agung menyatakan bahwa kondisi di mana salah satu pihak
berada dalam tekanan/intimidasi dari pihak lain, dalam hal ini penahanan oleh pihak kepolisian atas laporan
pihak lain tersebut, membuat perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan karena tidak ada kehendak bebas
(dalam membuat kesepakatan). Pasal 1324 KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Paksaan terjadi, bila
tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang
berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat.
Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang
bersangkutan.” Adanya kehendak bebas dalam membuat kesepakatan merupakan syarat sahnya suatu
perjanjian.Ini berarti perjanjian untuk membayar sejumlah uang yang dilakukan antara si Tono dan Amir
dapat dimintakan pembatalannya oleh Amir sebagai pihak yang dirugikan karena tidak terpenuhinya syarat
subjektif dari syarat sah perjanjian, yaitu adanya sepakat para pihak. Kesimpulan Jika Anda melakukan suatu
perjanjian dalam kata sepakat terlebih dahulu mengacu pada aspek syarat sahnya perjanjian yang secara
eksplisit terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata hutang piutang sebaiknya harus sesuai dengan Syarat
Sahnya Perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata dengan memperhatikan syarat subjektif dalam kasus Tono
dan Amir jika pihak yang berada dalam tekanan/intimidasi dari pihak lain membuat perjanjian yang telah
dibuat dapat dibatalkan karena tidak ada kehendak bebas (dalam membuat kesepakatan).

B. Paksaan terjadi bila ada tindakan sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan
ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi
besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan
kedudukan orang yang bersangkutan. (Pasal 1324 KUHPerdata)[2]
Bahwa asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian harus betul-betul memperhatikan kedudukan
para pihak yang membuat perjanjian berada dalam keadaan yang seimbang, sehingga kedua belah pihak
dapat bebas menyatakan kehendaknya.
Bahwa hakim berwenang menilai apakah perjanjian itu dibuat oleh para pihak dalam keadaan seimbang atau
tidak. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3641 K/Pdt/2001
tanggal 11 September 2002, yang kaidah hukumnya sebagai berikut:
“Dalam azas kebebasan berkontrak Hakim berwenang untuk meneliti dan menyatakan bahwa kedudukan para
pihak berada dalam yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan
kehendaknya.”
“Dalam hal perjanjian yang bersifat terbuka, nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sesuai dengan
kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan-ketentuan
yang disepakati dalam perjanjian.”
Jadi perjanjian yang sudah ditandatangani tidak mutlak sah dan mengikat. Apabila dalam pembuatan
perjanjian tersebut ada kedudukan yang tidak seimbang dan keadaan-keadaan yang tidak bebas, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Adapun yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum agar pengadilan
menyatakan perjanjian tersebut tidak sah dan batal demi hukum.

3. A. Di bawah ini ada beberapa Yurisprudensi yang pada pokoknya membenarkan penggabungan antara
wanprestasi dengan PMH, sebagai berikut:
1. Putusan MA No. 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987 yang pertimbangannya menyatakan,
“meskipun dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedangkan peristiwa hukum
yang sebenarnya adalah wanprestasi namun gugatan dianggap tidak obscuur lible”.
2. Putusan MA No.2157 K/Pdt/2012. Dalam perkara ini penggugat menggabungkan gugatan
wanprestasi dan PMH. Namun dalam dalilnya mejelaskan soal wanprestasi dan yang terbukti juga adalah soal
wanprestasinya. Terhadap perkara ini Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan:
 Bahwa walaupun dalam surat gugatan menggunakan istilah perbuatan melawan hukum (PMH), tidak
berarti gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena posita gugatan telah secara jelas
menguraikan hubungan hukum para pihak, yaitu adanya hutang piutang dan penggugat telah
mendalilkan para tergugat telah wanprestasi;
 Mengingat asas peradilan cepat, sederhana dan murah, penyebutan istilah perbuatan melawan hukum
(PMH) dalam surat gugatan, padahal fakta-fakta persidangan menggambarkan hubungan perjanjian
para pihak, tidak mengakibatkan surat gugatan cacat atau tidak dapat diterima;
 Mengingat fakta-fakta persidangan di Pengadilan Negeri, penggugat (dalam hal ini pemohon kasasi)
telah dapat membuktikan dalil-dalilnya dimana terbukti tergugat wanprestasi.
3.Putusan MA No. 886 K/Pdt/2007, juga membenarkan penggabungan wanprestasi dan PMH dalam
satu gugatan. Dalam pertimbangannya MA mengatakan “bahwa dalam posita gugatan telah jelas terpisah
antara PMH dan wanprestasi yaitu:
 “Tergugat I tidak melaksanakan Perjanjian Kerja Sama Ni. 158/X/BBWM/2003; dan No. 009 MBP-
DIR/12/2003 Oktober 2003, perbuatan mana sebagai wanprestasi, dan;
 “Tergugat I dan Tergugat II membuat perjanjian Kerja Sama No. 199/BBMW/XII/2003; dan No.
009/MBP-DIR/12/2003 tanggal 29 Desember 2003 tanpa diketahui penggugat sebagai yang berhak
atas pengoperasian Pengelolaan Minya dan Gas Kabupaten Bekasi, perbuatan mana meripakan
perbuatan melawan hukum”.
 Bahwa sungguhpun dalam gugatan terdapat posita wanprestasi dan perbuatan mealwan hukum, akan
tetapi dengan tegas diuraikan secara terpisah maka gugatan demikian yang berupa kumulasi objektif
dapat diterima.
Secara manfaat, Zainal Asikin menyatakan ada dua manfaat dan tujuan penggabungan gugatan, termasuk
kumulasi objektif (Asikin : 2015, hal.33)
 Mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Melalui gugatan kumulasi dua atau lebih
gugatan dapat diselesaikan sekaligus apabila dua atau lebih objek gugatan diajukan sendiri-sendiri,
maka asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tidak akan tercapai.
 Menghindari putusan yang saling bertentangan. Melalui gugatan kumulasi objektif dapat menghindari
dua putusan dalam kasus yang sama saling bertentangan.
Menurut pendapat Dr. Yasardin, S.H., M.Hum, Hakim Tinggi pada PTA Jakarta (Varia hal 38),
penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dapat dilakukan, dengan syarat yang ketat yaitu:
1. Terdapat hubungan erat antara dua perbuatan tersebut;
2. Dalam objek yang sama dan diselesaikan dengan hukum acara yang sama;
3. Antara wanpresasi dan perbuatan melawan hukum merupakan kewenangan pengadilan yang sama;
4. Untuk menyederhanakan proses dan menghindari dua putusan yang berbeda/bertentangan;
5. Dalam posita (alasan-alasan diajukan gugatan) diuraikan secara sendiri-sendiri, artinya dalam posita
diuraikan secara jelas peristiwa wanprestasi dahulu, kemudian diikuti dengan uraian secara jelas pula
tetang perbuatan melawan hukumnya dan demikian juga di dalam petitum (hal-hal yang
diminta/dituntut)

B. Penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan yang sama dikenal dengan sebutan
kumulasi objektif. Meski kumulasi objektif ini tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-
undangan, namun dalam praktek peradilan, kumulasi objektif ini ternyata sudah lama diterapkan. hal tersebut
bisa dilihat dalam Putusan Raad Justisie Jakarta tanggal 20 Juni 1939 memperbolehkan kumulasi objektif
dalam perkara yang terdapat hubungan erat (Soepomo, 1993: hal.20).
Pendapat yang sama dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 575 K/Pdt/1983, sebagaimana
dinyatakan Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Perisangan, Penitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, 2004 : hal.456, bahwa meski tidak diatur oleh HIR dan RBg,
penggabungan perkara dapat dilakukan sepanjang benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan
proses pemeriksaan dan menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.

C. Dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Wanprestasi dapat dinyatakan sebagai:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila
debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui
waktu yang telah ditentukan.”
Sedangkan untuk gugatan Perbuatan Melawan Hukum biasanya diajukan berdasarkan 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Membedakan antara Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebenarnya gampang-gampang
susah. Sepintas lalu, kita bisa melihat persamaan dan perbedaannya dengan gampang. Baik Perbuatan
Melawan Hukum dan Wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Seseorang dikatakan
melakukan Perbuatan Melawan Hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
Dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum, penggugat harus mampu membuktikan semua
unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat
debitur. Sedangkan dalam gugatan Wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya Wanprestasi atau
adanya perjanjian yang dilanggar.
Dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian pada
keadaan semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang
diajukan dasarnya adalah Wanprestasi.
4. A. Terkait dengan penanggunan yang harus dilakukan oleh penjual, R. Subekti dalam buku Aneka
Perjanjian (hal. 19) menyatakan bahwa penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi
(“verborgen gebreken”) pada barang yang dijualnya yang membuat barang tersebut tak dapat dipakai untuk
keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaian itu, sehingga, seandainya si pembeli
mengetahui cacat-cacat tersebut, ia sama sekali tidak akan membeli barang itu atau tidak akan membelinya
selain dengan harga yang kurang. Secara spesifik, Pasal 1491 KUH Perdata mengatur tentang kewajiban
penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu:
1. penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram;
2. tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian;

B. Dalam hal-hal terdapat cacat tersembunyi, pembeli dapat memilih beberapa opsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 1507 KUH Perdata antara lain:
1. mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali uang harga pembelian; atau
2. akan tetap memiliki barang itu sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian
sebagaimana ditentukan oleh Hakim setelah mendengar ahli tentang itu.

Adapun dari sisi penjual dalam kaitanya dengan cacat tersembunyi, terdapat 2 (dua) kewajiban yang
harus dilakukan:
1. Jika penjual telah mengetahui cacat-cacat barang, maka penjual wajib mengembalikan uang harga
pembelian yang telah diterimanya dan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga;
2. Jika penjual tidak mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka penjual wajib mengembalikan
uang harga barang pembelian dan mengganti biaya untuk menyelenggarakan pembelian dan
penyerahan, sekedar itu dibayar oleh pembeli.

C. Tidak ada suatu pengertian yang secara eksplisit mendefinisikan tentang cacat tersembunyi, namun
sebagaimana diatur dalam Pasal 1504 dan 1506 KUH Perdata berikut:

Penjual harus menanggung barang itu terhadap cacat tersembunyi, yang sedemikian rupa sehingga barang
itu tidak dapat digunakan untuk tujuan yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian,
sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya atau tidak akan
membelinya selain dengan harga yang kurang. Ia harus menjamin barang terhadap cacat yang
tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika dalam hal demikian ia
telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak wajib menanggung sesuatu apa pun.

Jika ditinjau dari pengertian di atas, perlakuan penjual yang menjual barang (laptop beserta charger tidak
orisinal) merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai cacat tersembunyi, karena jika seandainya
pembeli mengetahui kondisi tersebut, pembeli tidak akan membeli barang tersebut atau setidak-tidaknya
akan membeli dengan harga yang kurang.

Anda mungkin juga menyukai