Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa :

Nomor Induk Mahasiswa/NIM :

Tanggal Lahir :

Kode/Nama Mata Kuliah :

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ :

Hari/Tanggal UAS THE :

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa :
NIM :
Kode/Nama Mata Kuliah :
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311/HUKUM
UPBJJ-UT :

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
……, .. Juli 2022
Yang Membuat pernyataan
1. a. Dalam Ketentuan Umum yang berada pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dimana Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pada Bagian Penjelasan Pasal 1 angka 2
tersebut dituliskan Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir merupakan pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara merupakan konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. 
Jadi dapat disimpulkan bahwasannya perbedaan konsumen akhir dan konsumen antara adalah :
Konsumen akhir (ultimate consummer/end), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan
barang dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain dan makhluk
hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali atau menarik keuntungan kembali.

Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa
yang digunakan untuk memperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan.

Sumber :
Susilowati S Dajaan, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Terbuka, 2018

b. Menurut saya korban yang dirugikan pada kasus diatas tergolong Konsumen antara, bahwa dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana
konsumen antara adalah konsumen yang mendapatkan barang dan/jasa yang digunakan untuk
memperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan. Sesuai dengan contoh kasus
diatas bahwa para korban melakukan investasi untuk tujuan mendapatkan keuntungan yang besar
tanpa kerugian. Akan tetapi para korban tidak mengetahui bahwasannya investasi di aplikasi tersebut
ilegal.

Sumber :

Pemikiran saya sendiri


Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2. Kualifikasi atau kategori pidana atas pelanggaran hak-hak konsumen menurut Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat dikelompokkan atau di kualifikasikan kedalam 3
kelompok sebagai berikut : a. Tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8; Pasal 9;
Pasal 10; Pasal 13 ayat (2); Pasal 15; Pasal 17 ayat (1) Pasal 17 ayat (2); dan Pasal 18 adalah tindak
pidana yang dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00. b. Tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00. c. Tindakan pelaku
usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukanlah
ketentuan pidana yang berlaku, yaitu KUH Pidana dan perundang-undangan lainnya. 2. Sanksi pidana
yang dapat diberikan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran konsumen adalah a.
Dipidana dengan pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun atau denda maksimum Rp 2.000.000.000,-
(dua miliar rupiah), bagi kejahatan konsumen yang serius. b. Bagi kejahatan konsumen yang kurang
serius, akan diancam dengan pidana penjara maksimum selama 2 (dua) tahun atau denda maksimum
Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). c. Jika terjadi tindak pidana yang masuk dalam rumusan
delik-delik dalam KUHP, misalnya penipuan maka yang diberlakukan adalah Pasal 378 KUHP yang
mengatur mengenai penipuan.
Investasi bodong merupakan investasi yang meminta sejumlah uang kepada investor untuk
menanamkan modal pada bisnis atau kegiatan tertentu yang sebenarnya tidak pernah ada. Nantinya
uang dari investor akan dibawa kabur oleh oknum tersebut. Umumnya investasi bodong memberikan
iming-iming bahkan paksaan agar calon investor mau menanamkan modal. Investasi bodong
memanfaatkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap investasi dengan menjanjikan keuntungan
yang besar.
Tindak pidana penipuan, apapun kedok yang digunakan, termasuk kedok investasi, diatur dalam Pasal
378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: ‘’Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.’’ Apabila tindak
pidana penipuan tersebut dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan
hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi di dalam maupun di luar lingkungan korporasi, merupakan tindak pidana oleh korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Selanjutnya, sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi menurut Pasal 25 ayat (1)
PERMA 13/2016 adalah pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi adalah pidana denda. Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap
korporasi sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ganti Kerugian atas Tindak Pidana
Korporasi Kerugian yang dialami oleh para investor yang telah menyerahkan uangnya dapat diminta
ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 20 PERMA 13/2016 yang berbunyi: ‘’Kerugian yang
dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi
melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku atau melalui gugatan
perdata.’’ Jika jumlah korban yang menderita kerugian tidak hanya beberapa orang saja, melainkan
meliputi banyak orang yang masing-masingnya telah membuat perjanjian secara tertulis dengan pihak
korporasi.
Oleh karenanya, permohonan ganti kerugian dapat didasarkan pada gugatan wanprestasi atau cidera
janji yang menimbulkan kewajiban bagi debitur (korporasi) untuk mengganti biaya kerugian akibat telah
dinyatakan lalai memenuhi perikatan seperti yang diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi: Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan
atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan. Permohonan ganti
kerugian ini dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action).
Gugatan Perwakilan Pengertian dari gugatan perwakilan kelompok menurut Pasal 1 huruf a Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (“PERMA
1/2002”) adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok
dan anggota kelompok dimaksud.

Sumber :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Susilowati S Dajaan, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Terbuka, 2018

3. a. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaga yang
berwenang melindungi konsumen yang dirugikan oleh investasi bodong adalah BPKN. BPKN
merupakan badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. BPKN bertugas untuk
memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan perlindungan konsumen.
Terbitnya Peraturan Pemerintah 4/2019 tentang BPKN juga semakin memperkuat fungsi kelembagaan
BPKN guna mengawal mandat Presiden untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dalam tiga tahun
belakangan diakui Rizal, BPKN juga telah aktif dilibatkan dalam penyusunan regulasi-regulasi
kementerian dan lembaga negara untuk menekankan aspek perlindungan dan hak-hak konsumen.
Namun masih ada beberapa kementerian dan lembaga yang belum melibatkan BPKN. Oleh karenya
saat ini BPKN terus mendorong kerja sama antarkementerian dan lembaga untuk memperkuat
regulasi-regulasi perlindungan dan mengedepankan hak-hak konsumen.

SUMBER :
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

b. Perlindungan terhadap masyarakat selaku investor menjadi penting sekali, oleh karena masyarakat
selaku investor mudah tergiur, terbujuk dan tertipu oleh kegiatan investasi bodong, baik karena
rendahnya kesadaran hukum, Ketidaktahuan, atau karena keinginan mendapatkan hasil tanpa
berusaha secara sah. Perlindungan hukum dengan menggunakan ketentuan Pasal 378 KUHP, Pasal
46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 jo Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
serta berdasarkan pada Pasal 59 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
adalah perlindungan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukumnya. Akan tetapi, upaya
pencegahan timbul atau maraknya investasi bodong selain berada pada OJK, juga tidak terpisahkan
dari upaya mencerdaskan masyarakat, meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat, yang
merupakan bagian dari upaya bersifat preventif.Para korban investasi bodong umumnya adalah orang-
orang yang sudah memiliki kelebihan dana, tetapi masih kurang berhati-hati dan mudah terbujuk untuk
menginventasikan dananya pada perusahaan yang tidak jelas, perusahaan yang relatif baru serta
belum teruji eksistensinya sebagai suatu badan usaha.
Dalam rangka penegakan hukum terhadap investasi bodong terkait pula dengan kejahatan korporasi
(kejahatan perusahaan) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 jo Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta yang ditentukan pada
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bahwa bentuk
perlindungan hukum yaitu melalui tindakan pencegahan. Caranya dengan memberikan edukasi dan
sosialisasi kepada masyarakat. Misalnya, bahwa tidak ada instrumen investasi yang tak punya risiko
dan bisa memberi keuntungan sangat besar dalam waktu singkat.
Edukasi ini, perlu dilakukan oleh berbagai elemen. Mulai dari pemerintah, SWI, praktisi bidang
keuangan, hingga para influencer agar mereka tidak salah mempromosikan suatu instrumen investasi
kepada pengikutnya (followers). Bahwa pencegahan dengan edukasi dan sosialisasi menjadi penting
karena banyak kasus investasi ilegal berakhir sebagai kasus penipuan dan prosesnya harus di ranah
Kepolisian. Masalahnya, proses hukumnya jadi panjang karena perlu mengumpulkan banyak barang
bukti. Selain itu, biasanya kerugian korban tidak benar-benar bisa ditebus meski kasus terkuak.

Sumber :
Susilowati S Dajaan, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Terbuka, 2018
Pemikiran saya sendiri

4. a. Dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan
Gugatan Perwakilan Kelompok, ditentukan suatu perkara gugatan hanya dapat diajukan dengan
menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok atau class action apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
o jumlah anggota kelompok sedemikian banyak (numerousity), sehingga tidaklah praktis dan efisien
apabila pengajuan gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri;
o terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat
substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota
kelompoknya;
o wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota
kelompok yang diwakilinya;
o hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika
pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan
melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Apabila semua persyaratan sudah terpenuhi, barulah gugatan perwakilan kelompok tersebut dapat
diajukan dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana mestinya. Namun perlu
diketahui bahwa gugatan perwakilan kelompok ini atau yang sering dikenal sebagai gugatan class action
tidak dapat ditempuh melalui proses di luar pengadilan (melalui BPSK), tetapi gugatan class action
tersebut hanya dapat ditempuh melalui proses penyelesaian di pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam
proses penyelesaiannya tidak melibatkan sedikit orang dan tidak dapat diselesaikan melalui waktu yang
singkat, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan jalur di luar pengadilan.

Sumber :
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan
Perwakilan Kelompok

b. Mekanisme penyelesaian Pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 (dua) tahapan yaitu
penyelesaian Pengaduan yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (internal dispute resolution)
dan penyelesaian Sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external
dispute resolution). Penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan dilakukan berdasarkan
azas musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam penyelesaian Pengaduan tidak selalu tercapai
kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan. Dalam rangka melindungi
Konsumen, diperlukan adanya suatu mekanisme penyelesaian Sengketa antara Konsumen dengan
Lembaga Jasa Keuangan di eksternal Lembaga Jasa Keuangan melalui lembaga peradilan atau
lembaga di luar peradilan.
Dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan
Gugatan Perwakilan Kelompok, ditentukan suatu perkara gugatan hanya dapat diajukan dengan
menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok atau classaction apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. jumlah anggota kelompok sedemikian banyak (numerousity), sehingga tidaklah praktis dan efisien
apabila pengajuan gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri;
b. terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat
substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota
kelompoknya;
c. wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok
yang diwakilinya;
d. hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika
pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan
melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Apabila semua persyaratan sudah terpenuhi, barulah gugatan perwakilan kelompok tersebut dapat
diajukan dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana mestinya. Namun perlu
diketahui bahwa gugatan perwakilan kelompok ini atau yang sering dikenal sebagai gugatan class action
tidak dapat ditempuh melalui proses di luar pengadilan (melalui BPSK), tetapi gugatan class action
tersebut hanya dapat ditempuh melalui proses penyelesaian di pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam
proses penyelesaiannya tidak melibatkan sedikit orang dan tidak dapat diselesaikan melalui waktu yang
singkat, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan jalur di luar pengadilan Penyelesaian Sengketa
melalui lembaga di luar peradilan dapat dilakukan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat,
dinamis, dan penuh inovasi, maka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan
memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil.
Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat rahasia sehingga
masing-masing pihak yang bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian Sengketa,
dan tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain dengan menghindari kelambatan prosedural
dan administratif. Selain itu, penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki keahlian sesuai dengan jenis Sengketa, sehingga
dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, OJK menerbitkan peraturan mengenai Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam melakukan fungsinya, Lembaga
AlternatifPenyelesaian Sengketa memenuhi beberapa prinsip yaitu aksesibilitas, independensi, keadilan,
dan efisiensi dan efektifitas.Agar Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan memperoleh tempat
penyelesaian Sengketa yang memenuhi prinsip-prinsip tersebut di atas, OJK menetapkan Daftar
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan.
Dalam rangka menerapkan prinsip aksesibilitas, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
mengembangkan strategi komunikasi. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses Konsumen
terhadap layanan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dan meningkatkan pemahaman Konsumen
terhadap proses penyelesaian Sengketa alternatif. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat
independen dalam artian tidak memiliki ketergantungan kepada Lembaga Jasa Keuangan tertentu.
Mediator, ajudikator, dan arbiter Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat adil dalam
menjalankan tugasnya, yaitu mediator benar-benar bertindak sebagai fasilitator demi tercapainya
kesepakatan penyelesaian dan kewajiban bagi ajudikator dan arbiter untuk memberikan alasan tertulis
dalam setiap putusannya. Pemenuhan prinsip efisiensi dan efektifitas dilakukan oleh Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa melalui penentuan jangka waktu penyelesaian Sengketa, jangka waktu
pelaksanaan putusan, dan pengenaan biaya murah dalam penyelesaian Sengketa.Dengan tersedianya
mekanisme penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan
efektifitas, rangkaian sistem perlindungan Konsumen akan meningkatkan kepercayaan Konsumen
kepada Lembaga Jasa Keuangan dan membawa dampak positif bagi perkembangan industri jasa
keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

Sumber :
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/Pojk.07/20140000 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan

Anda mungkin juga menyukai