Anda di halaman 1dari 18

MODUL HUKUM ACARA PERDATA

(LAW 305)

MODUL 3
PENGAJUAN GUGATAN

DISUSUN OLEH
NIN YASMINE LISASIH S.H., M.H.

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 18
PENGAJUAN GUGATAN

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
Mahasiswa mampu memahami mengenai:
1. pengajuan gugatan, permohonan,
2. kewenangan absolut dan kewe-nangan relatif
3. pihak-pihak yang ber-perkara
4. konsep perwakilan dan kuasa

B. Uraian dan Contoh

Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata


yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang
bersengketa harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada
pengadilan. Para pihak yang dilanggar haknya dalam perkara perdata
disebut penggugat yang mengajukan gugatan kepada pengadilan dan
ditujukan kepada pihak yang melanggar (tergugat) dengan mengemukakan
duduk perkara (posita) dan disertai dengan apa yang menjadi tuntutan
penggugat (petitum).1
Untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka
seseorangharus membuat gugatan.2 Yang dimaksud dengan gugatan adalah
suatutuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat
melaluipengadilan.3 Menurut pakar hukum positif, gugatan adalah
tindakanguna memperoleh perlindungan hakim untuk menuntut hak
ataumemeriksa pihak lain memenuhi kewajibannya.
Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap
orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan
kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan

1
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung: Alumni, 1993, Hal.14.
2
Wahju Muljiono, 2012, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia,Hal. 53
3
Sarwono, 2012, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika,Hal. 31.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 18
kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui
pengadilan.
Surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada
ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan
landasan dasar pemeriksaan perkara.4
Surat gugatan dalam arti luas dan abstrak mempunyai satu tujuan
ialah menjamin terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata,
sedangkan dalam arti sempit adalah suatu tata cara untuk memperoleh
perlindungan hukum dengan bantuan Penguasa, suatu tata cara yang
mengandung suatu tuntutan oleh seseorang tertentu melalui saluran-
saluran yang sah, dan dengan suatu putusan hakim ia memperoleh apa
yang menjadi "haknya" atau kepentingan yang diperkirakan sebagai
haknya.5
Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan
(yaitu penggugat dan tergugat).6 Permohonan atau gugatan yang
prinsipnya harus dibuat tertulis oleh pemohon atau penggugat atau
kuasanya.
Gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau
konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian
pengadilan.7 Menurut Sudikno Mertokusumo gugatan adalah tuntutan hak
yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri
(eigenrichting).8
Sementara itu, menurut Darwin Prinst yang dikutip oleh Lilik
Mulyadi menyebutkan bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang
disampaikan kepada ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai

4
Mukti Anto, 2004, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,Hal 39
5
John Z., Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara Dalam Praktek, Jakarta:
PT Bina Aksara, 1981, Hal. 162-163.
6
Ibid.
7
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, Hal.
229.
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty. 2002, Hal. 52.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 18
suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata
cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap
gugatan tersebut.9
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa gugatan
adalah suatu permohonan atau tuntutan hak yang disampaikan kepada
Pengadilan yang berwenang terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai
dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Ketika sebuah gugatan
sampai di depan sidang pengadilan, maka di situ selalu ada pihak
penggugat, tergugat dan perkara yang disengketakan.

C. Jenis-jenis Gugatan

Dalam perkara perdata terdapat dua jenis gugatan, diantaranya:10


1. Gugatan Permohonan (Voluntair)

Gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan


dalam bentuk permohonan. Sebagaimana sebutan voluntair dapat
dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999)
yang menyatakan: “Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada
badan-badan perdilan mengandung pengrtian di dalamnya
penyelesaian masalahyang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair”11
Ciri-ciri gugatan voluntair diantaranya adalah:
a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.

b. Gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.

c. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai
lawan.

d. Para pihak disebut Pemohon dan Termohon.

9
Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 1996, Hal. 15-
16
10
M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hal. 28-137
11
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, MA RI: Jakarta, April 1994,
hal. 110

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 18
2. Gugatan (Contentius)

Gugatan contentious adalah suatu permasalahan perdata yang


berbentuk gugatan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
1999), tugas dan wewenang peradilan selain menerima gugatan
voluntair namun juga menyelesaikan gugatan contentious. Ciri-ciri
gugatan contentious diantaranya adalah:
a. Masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa
antara seseorang atau badan hukum dengan seseorang atau badan
hukum yang lain.

b. Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.

c. Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan
ini.

d. Para pihak disebut penggugat dan tergugat.

D. Bentuk Gugatan

Tiap-tiap orang proses perdata, dimulai dengan diajukannya surat


gugatan secara tertulis bisa juga dengan lisan yang kemudian ditulis
kembali atas pemintaan Ketua Pengadilan Agama kepada paniteranya.
Gugatan secara lisan ialah bilamana orang yang hendak menggugat itu
tidak pandai menulis yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama
dalam daerah hukum orang yang hendak digugat itu bertempat tinggal.12
Selanjutnya untuk lebih jelasnya mengenai bentuk gugatan perdata
yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Bentuk Lisan

12
Elise T. Sulistini dan Rudy T Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata,
Jakarta: Bina Aksara, Cet. II, 1987, Hal. 17.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 18
Pasal 120 HIR/144 R.Bg menyatakan bilamana penggugat
tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajaukan secara lisan kepada
ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan tersebut membuat catatan atau
menyuruh mebuat catatan tentang gugatan itu. Dan dalam R.Bg
menyatakan bahwa gugatan secara lisan, tidak boleh dilakukan oleh
orang yang dikuasakan.13
Tujuan memberikan kelonggaran mengajukan gugatan secara
lisan, untuk membuka kesempatan kepada para rakyat pencari keadilan
yang buta aksara membela dan mempertahankan hak-haknya.
Menghadapi kasus yang seperti ini fungsi pengadilan untuk
memberikan bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119
HIR atau pasal 143 ayat 1 R.Bg jo. Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun
1989. Dalam memberi bantuan memformulasikan gugat lisan yang
disampaikan, ketua pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud
dan tujuan yang dikehendaki penggugat.14
Untuk menghindari hal di atas, maka hakim atau pegawai
pengadilan yang ditunjuk oleh ketua pengadilan dalam merumuskan
gugatan lisan dalam bentuk surat gugatan dapat melaksanakan
langkahlangkah berikut, yaitu: mencatat segala kejadian dan peristiwa
sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian merumuskan
dalam surat gugatan yang mudah dipahami; gugatan yang telah
dirumuskan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada
penggugat, apakah segala hal yang menjadi sengketa dan tuntutan telah
sesuai dengan kehendak penggugat; apabila sudah sesuai dengan
kehendak penggugat, maka surat gugatan itu ditandatangani oleh
hakim atau pegawai pengadilan yang merumuskan gugatan tersebut.15

13
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradailan Agama dan Mahkamah Syari’ah di
Indonesia, Jakarta: Kencana, Cet.II, 2005, Hal. 13.
14
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989,
Edisi II, Jakarta: Sinar Grafiak, Hal. 188
15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Yayasan Al hikmah, 200, hal. 24

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 18
2. Bentuk Tertulis

Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk


tertulis. Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR yang
menyatakan bahwa: “Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama
masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat
permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya
menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum
siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat
diamnya, tempat tinggal sebetulnya.”16
Mengenai gugatan tertulis selain dijelaskan dalam HIR, juga
dijelaskan dalam R.Bg pasal 142 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi
wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh
seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan dalam
pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani
olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua
pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal
tegugat, atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat
tinggalnya yang sebenarnya.”17 Menurut kedua pasal di atas, gugatan
perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan dengan surat permintaan
yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.

E. Prinsip-Prinsip Gugatan.

Dalam praktek di peradilan, tidak ada pedoman yang baku tentang


teknik menyusun gugatan, hal ini disebabkan karena banyaknya perkara
yang berbeda-beda dan selera penggugat atau kuasa penggugat dalam
menyusun surat gugatan. Oleh karena itu, Hukum Acara Perdata menganut
beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan, hal ini dilakukan karena

16
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 2004, Hal. 241.
17
Ibid, Hal. 191

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 18
tidak semua konflik dapat diajukan ke muka pengadilan. Berikut ini
beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan perdata, yaitu:18
1. Harus Ada Dasar Hukum

Menyusun surat gugatan bukan hanya sekedar untuk mencari


perkara saja. Membuat gugatan kepada seseorang harus terlebih dahulu
diketahui dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya
sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang pengadilan karena
dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya.
Selain itu, dasar hukum dalam gugatan yang diajukan kepada
pengadilan harus dicantumkam karena mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan masalah-masalah dalam persidangan, terutama hal-
hal yang berhubungan dengan jawab menjawab, membantah jawaban
lawan, dan pembuktian. Kemudian dalam mempertahankan dalil
gugatan di dalam persidangan tidak hanya sekedar menjawab atau
membantah saja, tetapi kesemuanya itu haruslah didukung oleh dasar
hukum yang kuat dalam mempertahankan dalil gugatan, dan ini sangat
membantu hakim dalam upaya menemukan hukum (law making)
dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dasar hukum ini
dapat berupa peraturan perundangundangan, doktrin-doktrin, praktik
pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum.

2. Adanya Kepentingan Hukum

Syarat Mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya


kepentingan hukum secara langsung. Jadi tidak setiap orang yang
mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila
kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Oleh karena
itu, sebelum gugatan disusun dan diajukan kepada pengadilan terlebih
dahulu dipikirkan dan dipertimbangkan, apakah penggugat betul orang
yang berhak mengajukan gugatan.

18
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, 2000, Hal. 18.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 18
Kalau ternyata tidak berhak maka ada kemungkinan
gugatannya tidak akan diterima. Hal ini juga dipertegas oleh Sudikno
Mertokusumo yang menyatakan bahwa suatu tuntutan hak harus
mempunyai kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama
untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna
diperiksa : point d’interest, point d’action. Itu tidak berarti bahwa
tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh
pengadilan. Hal ini masih tergantung pada pembuktian. Mahkamah
Agung dalam putusannya tanggal 7 Juli 1971 No.294 K/Sip/1971
mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang
mempunyai hubungan hukum.19

3. Merupakan Suatu Sengketa

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan


Agama adalah mengadili perkara yang mengandung tuntutan hak
perdata yang bersifat sengketa. Pengertian perdata sebenarnya lebih
luas daripada sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah sebagaian
dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam
pengertian perkara tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan
tidak ada perselisihan.
Dalam perselisihan ada sesuatu yang diperselisihkan dan
dipertengkarkan serta yang disengketakan, ia tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesainnya
perlu lewat pengadilan sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan
tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang disengketakan, yang
bersangkutan tidak diminta putusan pengadilan melainkan hanya
penetapan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang
harus dihormati dan diakui oleh semua pihak.
Tindakan hakim yang demikian disebut jurisdictio volutaria,
seperti permohonan ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan

19
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Hal 53

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 18
wali adhal, istbat nikah. Pengadilan dibenarkan memeriksa perkara
yang bersifat tidak ada perselisihan (Juridictio Voluntaria) itu hanya
kalau peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk
menyelesaikan perkara tersebut, jika tidak ada peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya maka pengadilan dilarang untuk
menyelesaikan perkara tersebut.
Sehubungan dengan hal di atas, gugatan yang diajukan kepada
pengadilan haruslah bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah
menyebabkan kerugian pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan
melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak
memihak.

4. Dibuat dengan Cermat dan Terang

Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan


yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara
demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan.
Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat, dan
mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugatan tidak
boleh obscuur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-
pihaknya, obyek sengketanya, dan landasan hukum yang
dipergunakannya sebagai dasar gugatan.

5. Memahami Hukum Formal dan Material

Penguasaan hukum formal sangat berguna di dalam menyusun


gugatan karena menyangkut langsung hal-hal yang berhubungan
dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada pengadilan mana
gugatan diajukan, bagaimana mengajukan gugatan rekopensi,
intervensi, dan sebagainya. Disamping itu, hukum formal ini
mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum meteriil dalam sidang
pengadilan. Oleh karena itu, hukum material juga harus dikuasai
dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal itu sangat

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 18
menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan. Hukum
material ini tidak saja menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan
peraturan perundang-undangan, tetapi juga doktrindoktrin, teori-teori
hukum, dan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang
sudah dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi.

F. Macam-macam gugatan.

1. Gugatan dikabulkan

Dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dali


lgugatannya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau Pasal 164 HIR. Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang
dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh
pertimbangan majelis hakim.20
2. Gugatan ditolak

Bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil


membuktikandalildalil gugatannya, akibat hukum yang harus
ditanggungnya ataskegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah
gugatannya mestiditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak
dapat dibuktikandalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum
karena melanggarhal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka
gugatan akanditolak.21

3. Gugatan tidak dapat diterima

Bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat


padagugatan.22 Antara lain, gugatan yang ditandatangai kuasa
berdasarkansurat kuasa tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal
123 ayat (1) HIR jo. SEMA Nomor 4 Tahun 1996:

20
HIR/ Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1949 No. 16, S,1941 No.44)
21
Yahya Harahap, Op Cit, Hal. 812
22
Ibid , Hal. 811

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 18
a. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;

b. Gugatan error in persona dalam bentuk dikualifikasi atau plurium


litis consortium;

c. Gugatan mengandung cacat atau obscuur libel, atau

d. Gugatan melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut atau relative


dan sebagainya.

Menghadapi gugatan yang cacat formil (surat kuasa, error in


persona, obscuur libel, premature, kadaluwarsa, nebis in idem),
putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan tegas mencantumkan
dalam amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (neit
ontvankerlijke verklaard/N.O)

G. Pengertian Gugatan Obscuur Libel

Yang dimaksud dengan obscuur libel adalah surat gugatan tidak


terang isinya atau isinya gelap (onduidlijk). Bisa disebut juga dengan
formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan itu dianggap sudah
memenuhi syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau
tegas (duidelijk). Obscuur libel juga dapat diartikan dengan gugatan yang
berisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain.23
Penyataan-pernyataan yang bertentangan tersebut mengakibatkan
gugatan tidak jelas dan mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Ketentuan
Pasal 118 ayat (1), Pasal 120 dan Pasal 121 HIR tidak dapat penegasan
merumuskan gugatan secara jelas dan terang. Namun praktik peradilan
berpedoman pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan asas process
doelmatigheid (demi kepentingan beracara). Menurut pasal 8Rv, pokok-
pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu (een duidelijk
en bapaalde conclusive). Berdasarkan ketentuan itu, praktik peradilan

Dzulhifli Umar dn Utsman Handoyo, 2000, Kamus Hukum, Surabaya: Quantum Media Press,
23

Hal 288.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 18
mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) atau
eksepsi gugatan tidak jelas.
Mengenai macam-macam gugatan obscuur libel, Obscuur libel
yaitu surat gugatan penggugat tidak terang atau kabur. Disebut juga
formulasi gugatan yang tidak jelas. Gugatan kabur ini dikarenakan oleh:24
1. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan
kejadian yang mendasari gugatan.

2. Tidak jelas objek yang disengketakan.

3. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri


sendiri.

4. Terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum.

5. Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa ex aequo et bono

Gugatan obscuur libel (tidak jelas atau kabur) terdiri dari:25


1. Obscuur libel fundamentum petendi

Dasar hukum gugatan atau posita atau fundamentum petendi,


yakni dasar hukum dan kejadian atau peristiwa yang mendasari
gugatan. Dapat terjadi jika dasar atau landasan hukum yang digunakan
dalam gugatan salah atau tidak ada. Karena dasar hukum yang dapat
berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, kebiasaan
yang telah diakui, ini merupakan dasar pengambilan suatu putusan
yang berguna untuk mempertahankan dalil gugatan dalam persidangan
serta meyakinkann para pihak bahwa kejadian dan peristiwa hukum
benar-benar terjadi26.
2. Obscuur libel objek sengketa

24
M. Yahya Harahap, 1994, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan, Jakarta:
YayasanAl-Hikmah, Hal 18.
25
M. Romdlon, 1998, Pokok-Pokok Hukum Acara Pedata, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, Hal 16
26
Abdul Manan, Op Cit, Hal 8

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 18
Hal ini terjadi jika objek dalam persengketaan tidak jelas,
misalnya dalam perkara harta bersama, tanah sengketa yang digugat
tidak jelas batas-batas atau luasnya.27 Jika objek gugatan tidak
dijelaskan dengan jelas dan pasti,maka gugatan dapat dinyatakan
obscuur libel.
Hal tersebut mengacu pada Yurisprudensi MA Nomor
556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus1974 yang menyatakan bahwa:
“Jika objek gugatan tidak jelas, maka gugtan tidak dapat diterima”.28
Sesuai dengan Yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 9 Juli
1973 yang menyatakan bahwa, “Karena tanah yang dikuasai Tergugat
ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum
dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”.
Maka tidak jelasnya objek gugatan dapat terjadi seperti jika ukuran
objek gugatan yang tercantum dalam gugatan tidak sama dengan yang
sebenarnya dikuasai oleh tergugat maka gugatan tersebut dapat dikatan
obscuur libel.29
Selain itu objek gugatan yang tidak menerangkan batas-batas
objek yang disengketakan, tidak disebutkan dengan jelas di mana letak
objek perkara, tidak menjelaskan ukuran objek perkara, ukuran objek
perkara berbeda dengan hasil pemeriksaan langsung dan lain lain.
Ketentuan tersebut berdasarkan yurisprudensi MA Nomor
1149K/Sip/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan bahwa:
“Karena dalam surat gugatan tidak disebutkan jelas letak atau
batasbatas tanah sengketanya, gugatan tidak dapat diterima”. Dan
Yurisprudensi MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984
yang menyatakan bahwa, “Gugatan yang tidak menyebutkan batas-
batas objek sengketa dinyatakan obscuur libel dan gugatan tidak dapat
diterima”.30

27
Ibid, Hal 26
28
Yurisprudensi MA Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974
29
Yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 9 Juli 1973
30
Yurisprudensi MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 18
3. Penggabungan dua gugatan yang masing-masing berdiri sendiri

Yang menjadi masalah ialah jika terjadi penggabungan antara


wanprestasi dan PMH hal tersebut dapat mengakibatkan gugatan
dinyatakan obscuur libel, kecuali dalam penggabungan tersebut jelas
dirinci pemisahan antara keduanya. Beberapa permasalahan diatas
mengakibatkan gugatan obscuur libel dengan demikian hendaknya
tergugat mengajukan tangkisan atau eksepsi terhadap gugatan
penggugat, disertai dengan alasan-alasan yang jelas sesuai dengan
hukum acara yang berlaku, dimaksudkan untuk memperjelas hal-hal
yang hendak dimintakan keadilan terhadap Majelis Hakim.

4. Obscuur libel petitum

Petitum atau tuntutan harus jelas dan tegas. HIR dan RBg
sendiri hanya mengatur menegenai cara mengajukan gugatan. Tuntutan
atau petitum adalah segala hal yang dimintakan atau dimohonkan oleh
penggugat agar diputuskan oleh majelis hakim. Jadi, petitum itu akan
terjawab di dalam amar atau diktum putusan.Oleh karenanya, petitum
harus dirumuskan secara jelas dan tegas.
Apabila petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat
berakibat tidak diterimanaya petitum tersebut. Demikian pula gugatan
yang berisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain
disebut obscuur libel (gugatan yang tidak jelas atau gugatan kabur),
yang berakibat tidak diterimanya atau ditolaknya gugatan tersebut.31
Menurut Yurisprudensi MA Nomor 492.K/Sip/1970 tanggal 21
Nopember 1970 menyatakan bahwa, “Gugatan yang tidak sempurna
karena tidak menyebutkan dengan jelas apa-apa yang dituntut, harus
dinyatakan tidak dapat diterima”.32 Dan Yurisprudensi MA
Nomor582.K/Sip/1973 tanggal 18 Desember 1975 menyatakan bahwa,

31
Ibid, Hal 2
32
Yurisprudensi MA Nomor 492.K/Sip/1970 tanggal 21 Nopember 1970

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 18
“Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan
tidak dapat diterima”.33

H. Latihan True or False


1. pihak yang dilanggar haknya dalam perkara perdata disebut tergugat
2. Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatutuntutan hak yang
diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan
3. Gugatan tidak dapat diajukan dalam bentuk lisan
4. Harus Ada Dasar Hukum merupakan salah satu prinsip dalam
pengajuan gugatan
5. Yang dimaksud dengan obscuur libel adalah surat gugatan tidak terang
isinya atau isinya gelap (onduidlijk).

G. Kunci Jawaban
1. F
2. T
3. F
4. T
5. T

H. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, Jakarta: Yayasan Al hikmah, 2000

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 1998

Dzulhifli Umar dn Utsman Handoyo, Kamus Hukum, Surabaya: Quantum


Media Press, 2000

33
Yurisprudensi MA Nomor 582.K/Sip/1973 tanggal 18 Desember 1975

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 18
Elise T. Sulistini dan Rudy T Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan
Perkara-Perkara Perdata, Jakarta: Bina Aksara, Cet. II, 1987

Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung:


Alumni, 1993

HIR/ Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1949 No. 16,
S,1941 No.44)

John Z., Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara
Dalam Praktek, Jakarta: PT Bina Aksara, 1981

Mukti Anto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004

Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta:


Djambatan, 1996

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradailan Agama dan


Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Kencana, Cet.II, 2005

M. Yahya Harahap, 1994, Beberapa Permasalahan Hukum Acara


Peradilan, Jakarta: YayasanAl-Hikmah

M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, MA


RI: Jakarta, April 1994

Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika,


Cet. III, 2004

Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika ,
2012

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :


Liberty. 2002

Wahju Muljiono, 2012, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia,


Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama


UU No. 7 Tahun 1989, Edisi II, Jakarta: Sinar Grafika

Yurisprudensi MA Nomor 492.K/Sip/1970 tanggal 21 Nopember 1970

Yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 9 Juli 1973

Yurisprudensi MA Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 18
Yurisprudensi MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984

Yurisprudensi MA Nomor 582.K/Sip/1973 tanggal 18 Desember 1975

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
17 / 18

Anda mungkin juga menyukai