Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUKUM ACARA PERDATA


PENGAJUAN GUGATAN KE PENGADILAN

DOSEN
Dr. M. Thaib Zakaria, S.H.,M.H

DISUSUN OLEH
KELOMPOK III
Muhammad Furqan (2001110002)
Muhammad Hanif Fahma (2001110042)
Rama Novanza (2001110043)
Alvin Wardhana (2001110051)
Muhammad Fathur Ruzi (2001110052)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH


FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sudah sepantasnya kita panjatkan kepada Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah Mata Kuliah Hukum Acara Perdata. Makalah ini kami buat untuk
memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Hukum Acara Perdata.

Selain ucapan terima kasih kepada orangtua, kami juga mengucapkan


terima kasih kepada yang terhormat Dr. M. Thaib Zakaria, S.H.,M.H sebagai dosen
Mata Kuliah Hukum Acara Perdata.

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Kami sangat terbuka
serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap penulisan makalah
ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi pengebangan Hukum Acara
Perdata.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PEMBAHASAN 1
A. Terjadinya Tuntutan Hak Ke Pengadilan 1
B. Pihak-Pihak Dalam Perkara 5
C. Perwakilan Dalam Perkara Perdata 7
D. Syarat-Syarat Dan Isi Gugatan 12
DAFTAR PUSATAKA 14

ii
BAB I

PEMBAHASAN

A. TERJADINYA TUNTUTAN HAK KE PENGADILAN


Kepastian hukum sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum
sesungguhnya merupakan sebuah doktrin. Doktrin kepastian hukum
mengajarkan kepada setiap pelaksana dan penegak hukum untuk (demi
terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga ketertiban dalam setiap
aspek kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama.
Inilah doktrin kaum positivis, yang dikenali pula sebagai doktrin the supreme
state of (national) law yang mengajarkan dan meyakini adanya status hukum
yang mengatasi kekuasaan dan otoritas lain. Doktrin ini memiliki konsekuensi
pada ajaran lebih lanjut, bahwa setiap ahli hukum, khususnya yang tengah
bertugas sebagai hakim, tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain
selain yang terbilang norma hukum guna menghukumi suatu perkara.
Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak tahu atau
tidak ada dasar hukumnya. Hukum acara perdata di Indonesia, mengalami
beberapa perkembangan, salah satu contohnya adalah mekanisme pengajuan
tuntutan hak di luar ketentuan yang diatur di dalam Het Herzeine Indonesich
Reglement Staatsblaad No. 16 tahun 1848, seperti class action, legal standing
dan citizen lawsuit atau actio popularis. Berikut ini penulis paparkan
kharakteristik dari keempat mekanisme pengajuan tuntutan hak tersebut.
Pada dasarnya pihak yang bersengketa dalam perkara perdata terdiri
dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, perkara tersebut
mengandung sengketa, atau yang kemudian dikenal dengan peradilan
contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang
memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan
(jurisdiction of court that is concerned with contested matters) antara pihak
yang bersengketa (between contending parties). Penggugat merupakan pihak
yang merasa haknya telah dilanggar oleh pihak lain (tergugat). Pengajuan
tuntutan hak dalam perkara perdata dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.

1
Bentuk tertulis inilah yang kemudian dikenal sebagai surat gugatan. HIR dan
Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan gugatan. Persyaratan
mengenai gugatan terdapat dalam Pasal 8 no. 3 Rv, yang meliputi :
Pertama, identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap,
umur/tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat/domisili. Namun demikian,
ada kalanya kedudukan sebagai penggugat/tergugat dilakukan oleh cabang
suatu badan hukum, oleh karenya harus dijelaskan mengenai BH tersebut.
Kedua, posita/fundamentum petendi, posita merupakan dalil-dalil konkrit
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan
dari tuntutan (middelen van den eis). Posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian
yang menguraikan tentang kejadian-kejadian/peristiwa hukum dan bagian
yang menguraikan hukumnya, yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Ketiga, petitum yang
merupakan bagian dari surat gugatan yang berisi hal-hal yang dimohonkan
untuk diputuskan oleh hakim. Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu petitum
pokok/Primer yang berisi hal-hal/tuntutan pokok yang di mohonkan untuk
dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut putusnya perjanjian dengan
ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan perjanjian dengan uang paksa.
Bagian kedua, yaitu petitum subsidair, yang berisi hal-hal yang memberi
kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair.
Pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa merupakan suatu
pengajuan tuntutan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum
lainnya atas suatu sengketa keperdataan, baik berupa wanprestasi maupun
perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan
hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai
akibatnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka unsur-unsur pengajuan gugatan
biasa yang dikenal dalam HIR, Rbg maupun Rv meliputi, pertama, adanya
tuntutan hak. Tuntutan hak dalam hal ini disebabkan tidak dilaksanakannya
kewajiban oleh pihak lain secara sukarela atau sesuai dengan kesepakatan para
pihak, sehingga terdapat pelanggaran hak pada pihak satunya. Tuntutan hak

2
dalam surat gugatan dimasukkan dalam petitum, yang dapat berupa petitum
primer maupun subsidair. Petitum pokok/primer yang berisi hal-hal/tuntutan
pokok yang di mohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut
putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan
perjanjian dengan uang paksa. Bagian kedua, yaitu petitum subsidair, yang
berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain
dari petitum primair.
Tuntutan hak dalam suatu perkara perdata dapat disebabkan karena
wanprestasi mau pun perbuatan melawan hukum. Wanprestasi terjadi
manakala pada pihak debitur tidak melaksanakan kewajiban dan bukan karena
keadaan memaksa. Debitur melakukan wanprestasi apabila tidak melakukan
apa yang disanggupi untuk dilakukan, melakukan apa yang di janjikan, tetapi
tidak sebagaimana yang diperjanjikan, melakukan apa yang diperjanjikan
tetapi terlambat, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Perbuatan melawan hukum terjadi apabila perbuatan itu bertentangan
dengan hukum pada umumnya. Hukum dalam hal ini, bukan saja berupa
ketentuan-ketentuan tertulis, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis,
yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu
harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu, antara lain
kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung;
kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Terdapat suatu kesalahan
apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian). Perbuatan
melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak
berbuat sesuatu. Dalam KUH Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak
saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena
perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya. Substansi dari perbuata melawan hukum
adalah yaitu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau melanggar
hak subjektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau

3
bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hatihati dalam
pergaulan hidup masyarakat.
Kedua, oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum yang lain.
Subjek hukum merupakan pemangku hak dan kewajiban. Subjek hukum dapat
berupa orang maupun badan hukum. Badan hukum sendiri dapat di bedakan
menjadi badan hukum publik maupun badan hukum privat. Badan hukum
publik contohnya adalah negara yang pelaksanaan tugasnya di lakukan oleh
pemerintah dan lembaga-lembaga negaranya. Contoh pemerintah sebagai
subjek hukum dalam lapangan hukum perdata yaitu perjanjian mebeler antara
suatu pemerintah daerah dengan suatu perusahaan. Dalam contoh tersebut,
pemerintah daerah mempunyai hak untuk mendapatkan mebeler yang
diperjanjikan dan mempunyai kewajiban untuk membayar biaya atau ongkos
mebeler tersebut kepada perusahaan. Sebaliknya, perusahaan mebeler juga
mempunyai kewajiban, yaitu menyerahkan mebeler sebagaimana diperjanjikan
dan mempunyai hak yaitu menerima biaya/ongkos mebeler.
Keseluruhan pihak yang berkaitan dengan obyek sengketa baik secara
langsung maupun tidak langsung harus dimasukkan dalam gugatan. Tidak
digugatnya pihak-pihak tersebut mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima.
Dalam hukum acara perdata tidak dikenal istilah turut penggugat, melainkan
turut tergugat. Di sebutkan sebagai turut tergugat dimaksudkan agar orang-
orang, bukan para pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat) demi
lengkapnya pihak-pihak, maka orang-orang bukan pihak yang bersengketa
tersebut harus diikutsertakan dalam gugatan penggugat sekedar untuk tunduk
dan taat terhadap putusan hakim. Hal ini telah menjadi suatu yurisprudensi
sebagaimana diputus dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Januari
1976 No. 201 K/ Sip/ 1974.
Ketiga, mengalami kerugian secara langsung dan nyata. Kerugian
secara langsung dan nyata dalam hal ini berarti bahwa pihak yang mengajukan
tuntutan hak haruslah pihak yang mempunyai dasar hukum dan kepentingan
yang cukup atas hubungan hukum yang terjadi, sebagai contoh adalah A
berhutang kepada B sebesar Rp. 10.000.000,-. Setelah jatuh tempo A tidak

4
membayar hutangnya juga. Dalam hal ini, C yang merupakan adik dari B tidak
dapat mengajukan gugatan kepada A atas piutang yang dimiliki kakaknya (B),
karena disini C tidak mempunyai dasar hukum dan kepentingan yang cukup
untuk mengajukan gugatan.
B. PIHAK-PIHAK DALAM PERKARA
Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan
Perdata, yang berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak
yang berperkara. Dikenal beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu
Gugatan Perdata yaitu:
1. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar
disebut sebagai Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak
Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan “Para Penggugat”.
2. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena
dirasa telah melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat
banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I,
Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.
3. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi
orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban
untuk melakukan sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka
mereka harus disertakan. Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim,
pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk
Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.
4. Penggugat/Tergugat Intervensi
Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara
perdata yang ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk
dalam proses pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan
sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak
ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan

5
melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara
perdata yang sedang berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan
sebagai Penggugat Intervensi atau pun sebagai Tergugat Intervensi.
Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Perdata Umum dan Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat
Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal pengikut-sertaan pihak
ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan
vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga
lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu
berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip
bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil
maupun hukum formil. Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam intervensi
yang dimaksud, yaitu:
a) Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung
kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging,
Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi,
kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam
putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
b) Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga
untuk ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada
kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga
yang merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh
Penggugat dan Tergugat. Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan
atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila permohonan intervensi
dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu
gugatan asal dan gugatan intervensi.
c) Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga
untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung
jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu
permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara
lisan atau tertulis. Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi

6
kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut,
selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan
permohonan tersebut. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah
penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan
Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan
dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh
Tergugat secara lisan atau tertulis. Setelah ada permohonan vrijwaring,
Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan
tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau
mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut
merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi
pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara
pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya
permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan
dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila
permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang
dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara
diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara
pokok.
Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat
harus orang yang memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga
dengan menentukan pihak Tergugat, haruslah mempunyai hubungan hukum
dengan pihak Penggugat dalam perkara gugatan perdata yang diajukan.
Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat dapat
mengakibatkan gugatan tersebut mengandung cacat formil. Cacat formil dalam
menentukan pihak Penggugat maupun Tergugat dinamakan Error in persona.
C. PERWAKILAN DALAM PERKARA PERDATA
1. Yang Dapat Bertindak Sebagai Pihak
Menurut sistem HIR dan RBg beracara di muka persidangan
Pengadilan Negeri dapat dilakukan secara langsung, dapat juga secara tidak

7
langsung. Apabila beracara secara tidak langsung, maka pihak-pihak yang
berperkara dapat mewakilkan perkaranya itu kepada pihak lain, yaitu
penerima kuasa. Perwakilan atau pemberian kuasa ini diatur dalam Pasal
123 HIR dan Pasal 147 RBg. Menurut ketentuan tersebut, pihak-pihak yang
berperkara dapat memberi kuasa perkaranya kepada orang lain dengan surat
kuasa khusus (special authorization), sedangkan bagi penggugat dapat juga
dilakukan dengan mencantumkan pemberian kuasa itu dalam surat
gugatannya.
M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa yang bertindak sebagai
penggugat harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas
yang tepat menurut hukum. Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat
mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil. Cacat formil yang timbul
atas kekeliruan atau kesalahan bertindak sebagai penggugat inilah yang
dikatakan sebagai error in persona.
Penggugat tidak berkapasitas adalah pihak yang sebenarnya tidak
ada hubungannya dengan perkara yang mana terdapat suatu hak yang
dilanggar, atau pihak tersebut tidak mengalami kerugian dengan adanya
perbuatan dari seseorang yang digugat tersebut (tergugat). Dengan kata lain,
penggugat tidak berkapasitas adalah orang yang tidak berhak untuk
melakukan gugatan.
2. Wakil/Kuasa dari Pihak Yang Berperkara
Menurut Reglement op de Rechtvordering (RV sebagai Hukum
Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Eropa dulu), seorang penerima
kuasa itu harus seorang sarjana hukum (meester in de rechten). Tetapi dalam
HIR/RBg tidak diatur tentang syarat itu. Jadi setiap orang dapat menjadi
penerima kuasa apakah dia Sarjana Hukum atau bukan. Hal ini bisa
dimaklumi karena pada zaman dulu sangat sedikit sarjana hukum.
Istilah-istilah Penerima Kuasa, yaitu: Advokat, Prosecureur,
Pengacara, Penasehat hukum, Lawyer, Pembela, Pokrol, Legal advisor dan
Public defender. Pada saat sekarang, penerima kuasa untuk beracara dimuka

8
pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan berdasarkan
kriteria pengangkatan atau izin yang diberikan, yaitu:
1) Advokat atau procureur, yaitu penasehat hukum resmi yang merupakan
sarjana hukum yang diangkat secara resmi sebagai advokat oleh
pemerintah dan bukan pegawai negeri. Seorang advokat dapat membuka
kantor atas namanya sendiri. Izin operasionalnya di seluruh Indonesia.
2) Pengacara Praktek, yaitu penasehat hukum resmi atau public defender.
Mereka diangkat oleh Pengadilan Tinggi berdasarkan Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor 1 Tahun 1975 setelah mengikuti ujian. Mereka
haruslah Sarjana Hukum dan bukan pegawai negeri. Dapat membuka
kantor atas namanya sendiri. Izin operasionalnya di wilayah Pengadilan
Tinggi tempat izinnya dikeluarkan.
3) Penasehat hukum insidentil. Pengacara insidentil diberikan izin oleh
ketua pengadilan. Setiap menangani perkara harus mendapat izin dari
Ketua Pengadilan tingkat pertama. Mereka tidak dapat membuka kantor
pengacara atas nama diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai izin
sebagai advokat atau pengacara praktek.
3. Syarat-syarat untuk dapat menjadi Wakil
Untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari wakil dari penggugat
maupun wakil/kuasa tergugat seorang harus memenuhi salah satu syarat,
yaitu:
1) Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal 123
ayat 1 hir/ pasal 147 ayat 1 rbg.
2) Ditunjuk sebagai kuasa/ wakil dalam surat gugatan
3) Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila gugatan
diajukan secara lisan .
4) Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa/ wakil di dalam persidangan.
5) Memenuhi syarat dalam peraturan menteri kehakiman telah terdaftar
sebagai advokat.

9
Sementara itu, yang bertindak sebagai kuasa/ wakil dari negara/
pemerintah berdasarkan Staatblads 1992 No 522 dan Pasal 123 ayat 2 HIR,
Pasal 147 ayat 2 RBg adalah:
1) Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah
2) Jaksa
3) Orang-orang tertentu / pajabat-pejabat yang diangkat/ ditunjuk.
Gugatan dapat juga diajukan oleh masyarakat/ sekelompok orang
yang mempunyai kepentingan yang sama, yang disebut gugatan
perwakilan/kelompok yang dalam sistem Hukum Anglo Saxion dikenal
dengan nama Class Action. Gugatan ini dimungkinkan dua hal. Bisa saja
oleh pihak yang berkepentingan langsung yang dirugikan dan mewakili
kelompok yang sama maupun oleh lembaga tertentu. Secara rinci gugatan
perwakilan diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok. Contoh gugatan Class Action, perkara
pencemaran lingkungan (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup) dimana gugatan dapat diwakilkan oleh
pihak Greenpeace. Perkara perlindungan konsumen (Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) dalam hal ini dapat
diwakilkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Yang
dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat atau pemohon
di pengadilan, yaitu:
1) Advokat;
2) Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/Pemerintah
sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang No. 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan RI;
3) Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI;
4) Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
5) Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan (misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum
TNI/POLRI untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga
TNI/POLRI);

10
6) Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda
dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan surat
keterangan kepala desa/lurah.
Mengenai kuasa dari Biro Hukum/Dinas Hukum TNI/POLRI atau
bentuk penamaan lainnya, jika berpandangan pada buku pedoman artinya
dimungkinkan lembaga TNI/POLRI digunakan untuk beracara dan menjadi
kuasa bagi kepentingan pribadi seseorang, dengan syarat orang tersebut
anggota TNI/POLRI atau keluarga dari TNI/POLRI dan konstruksi ini sama
jika Biro Bantuan Hukum Perguruan tinggi menjadi kuasa bagi kepentingan
pribadi seseorang. Dan kuasa tersebut dibuat dalam konstruksi kuasa
insedentil. Dasar hukum dari bisa beracaranya Biro Hukum/Diskum TNI
Polri mewakili kepentingan privaat adalah Surat Mahkamah Agung Nomor
MA/KUMDIL/8810/IX/1987 tanggal 21 September 1987.
Kemudian masalah LBH atau biro bantuan hukum di perguruan
tinggi dapat beracara, dasar legitimasinya adalah Putusan MK No.
006/PUU-II/2004 yang isinya menyatakan Pasal 31 Undang-undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana dalam putusan
tersebut termuat pertimbangan:
“bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya
UU Nomor 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana
legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan
pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam
hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau
belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil
dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling).
Oleh karena itu, tidak atau belum adanya kewajiban demikian
menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh
dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan
pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat
ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata,

11
dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang
memerlukan jasa hukum;
Pertimbangan MK di atas jika dikaitkan dengan pihak yang
memohon perkara, artinya yakni selain advokat, pihak Laboratorium
Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) UMM khususnya dan pihak biro
bantuan hukum yang ada diseluruh perguruan tinggi di Indonesia bisa
menjadi kuasa/wakil di persidangan. Pasal 54 KUHAP menyatakan guna
kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum, Penasihat hukum sendiri
diartikan sebagai seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
Dalam tataran praktek persidangan pidana, selain advokat (murni)
yang biasa mendampingi terdakwa adalah LBH atau biro bantuan hukum
dari perguruan tinggi dan Dinas Hukum atau biro hukum dari POLRI, jika
terdakwanya adalah anggota polri. Artinya kedua pihak tersebut dalam
persidangan pidana berkualitas sebagai penasihat hukum.
D. SYARAT-SYARAT DAN ISI GUGATAN
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan, yaitu:
1) Syarat formal, yaitu tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, meterai
dan tandatangan oleh penggugat atau kuasanya.
2) Syarat substantif, yaitu: Identitas para pihak, Posita dan Petitum. Identitas
yaitu nama lengkap, umur/tempat dan tanggal lahir, pekerjaan dan alamat
atau domisili. Dalam hal badan hukum, harus disebutkan nama badan
hukumnya, dan nama orang yang berwenang mewakili badan hukum
tersebut menurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Jika
merupakan cabang dari badan hukum, maka tetap harus disebutkan identitas
badan hukum tersebut. Jika gugatan diajukan kepada beberapa orang/badan
hukum, maka harus dikualifikasikan sebagai Tergugat I, Tergugat II dst.
Jika gugatan diajukan oleh beberapa orang, maka harus dikualifikasikan
sebagai Penggugat I, Penggugat II dst. Penggugat harus benar-benar pihak
yang berhak untuk mengajukan gugatan tersebut. Jika diajukan oleh orang

12
yang tidak berhak, maka gugatan tidak dapat diterima. Penggugat harus
benar-benar lengkap (semua sudah termasuk). Jika gugatan tidak lengkap
para pihaknya, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard).

13
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung. 2000

Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Nur Cahya,


Yogyakarta, 1985

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, West Publishing, St Paul Minn,
1978

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,


Cetakan 3, Gramedia, Jakarta, 1991

M. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta,


2004

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, BPHN dan Bina Cipta, Bandung, 1977

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Cetakan 3, Binacipta, Bandung, 1989

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002

R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cetakan 9, Pradnya


Paramita, Jakarta, 1986

R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,


Jakarta, 1980

Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam


Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2005

Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam


Teori dan Praktek, Cetakan 4. Mandar Maju, Bandung, 1989

14
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktik, Mandar Maju Bandung, 1989

Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum,


Pustaka Kartini, Jakarta, 1998

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,


2002

Yulia, Hukum Acara Perdata, Unimal Press , Lhokseumawe, 2018

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-


Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang


Peradilan Tata Usaha Negara

C. Jurnal/Makalah
Rahadi Wasi Bintoro, Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata,
Jurnal Dinamika Hukum Volume 10, 2010

15
Soetandyo Wignjosoebroto, Menggagas Terwujudnya Peradilan Yang
Independen Dengan Hakim Profesional Yang Tidak Memihak, Buletin
Komisi Yudisial, 2006
D. Internet
Sofie Widyana P, Istilah Pihak-Pihak Dalam Gugatan Perdata, Hukum Acara
Perdata : Pengetahuan Hukum Acara Perdata Dan Permasalahan Di
Indonesia, Https://Www.Hukumacaraperdata.Com/Gugatan/Istilah-
Pihak-Pihak-Dalam-Gugatan-Perdata/ , Diakses 24 November 2022

16

Anda mungkin juga menyukai