PROSIDING
Penyunting Ahli
Dr. Drs. I Ketut Sudewa, M. Hum
Penyunting Pelaksana
Drs. I Made Suarsa, M. S
Dra. Ni Wayan Arnati, M. Hum
Dr. I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, S.S, M. Hum
Drs. I Ketut Nama, M. Hum
Drs. I Wayan Teguh, M. Hum
Berkat rahmat Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Kuasa,
akhirnya sejumlah makalah telah terkumpul dalam Buku Prosiding dalam waktu
yang relatif singkat. Beberapa tulisan atau makalah yang merupakan sumbangan
para pakar menyajikan pemikiran-pemikiran di bidang sastra dan budaya
dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah Buku Prosiding pada Seminar Nasional
Sastra dan Budaya, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, 2016, dengan
tema: ‘Menggali dan Memberdayakan Potensi Sastra dan Budaya sebagai Peneguh
Karakter Bangsa dalam Memaknai “Indonesia Emas 2045”’
Buku Prosiding ini menjadi sangat penting untuk dibaca bagi mereka yang
ingin mengetahui lebih jauh tentang bahasa, sastra, dan budaya untuk
memperkokoh karakter bangsa. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
memiliki peran penting untuk mengembangkan ilmu bahasa, sastra, dan budaya.
Kami berharap melalui tulisan yang tersusun dalam Buku Prosiding ini dapat
meningkatkan pengetahuan kita tentang fungsi, makna sastra dan budaya sebagai
modal budaya untuk meperkokoh kedudukan sastra dan budaya dalam
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Di samping itu, Fakultas
Sastra dan Budaya, Universitas Udayana diharapkan memiliki dan menghasilkan
sumberdaya manusia yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan
kebenaran akademik, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap nilai-nilai budaya
lokal, tradisi, dan praktek-praktek kehidupan yang hidup di dalam masyarakat
dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan, serta mampu
menggali dan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal untuk dan dijadikan
puncak-puncak kebudayaan nasional dan global.
Melalui kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para
penulis atas sumbangan tulisannya, terima kasih pula kepada semua pihak yang
telah memberi dukungan baik secara moril maupun mareriil sehingga buku ini bisa
terwujud. Kami menyadari bahwa penyajian Buku Prosiding ini masih jauh dari
harapan (belum sempurna), oleh karena itu, kritik, saran, dan komentar serta
masukan dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Kami juga menyampaikan
permohonan maaf atas keterbatasan yang kami miliki. Akan tetapi, kami berharap
semoga Buku Prosiding ini bermanfaat bagi pembaca.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................................ i
iii
INDIKASI AKTIVITAS GERIA TIMBUL DI BANJAR INTARAN SANUR DILIHAT
DARI JENIS KOLEKSI NASKAH LONTARNYA ........................................................... 133
I Ketut Jirnaya, Anak Agung Gede Bawa, I Wayan Sukersa, I Made Wijana,
Ni Ketut Ratna Erawati
UNSUR MAGI DAN ETIOLOGI DALAM HIKAYAT MAHARAJA BIKRAMA SAKTI .... 154
I Ketut Nama
iv
EUFEMISME DAN DINAMIKANYA DALAM BAHASA MELAYU DI BALI ............ 285
I Nyoman Suparwa
YATBAWISYATI: IKAN YANG RELA MATI DI KOLAM TANPA AIR ........................ 378
Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada
v
ALIH WAHANA DARI CERPEN KE DRAMA PANGGUNG: REFLEKSI DARI
LOMBA DRAMA MODERN BALI ................................................................................... 435
Maria Matildis Banda
vi
KONSEPSI KESEIMBANGAN ALAM PEMIKIRAN TRADISIONAL ETNIK BALI
SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK ....................................................................... 594
Putu Sutama
MEMAKNAI BATIK BLITAR UNTUK PEMAHAMAN JATI DIRI DAERAH ............. 602
Rochtri Agung Bawono dan Zuraidah
LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA: DARI NOVEL KE FILM ................ 623
Sri Jumadiah
vii
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
1. PENDAHULUAN
Kutipan bait puisi tradisional Bali (geguritan) tentang dampak televisi pada
anak-anak di atas berasal dari acara hiburan tembang di radio RRI Denpasar, siaran
5 Juli 1996. Acara penembangan geguritan sastra tradisional Bali di panggung
) Materi untuk seminar nasional Sastra dan Budaya dilaksanakan Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana, di Denpasar, Jumat-Sabtu, 27-28 Mei 2016. Terima kasih untuk I Wayan
Suardiana, IDG Windhu Sancaya, I Wayan Lamopia yang ikut tergabung dalam tim penelitian untuk
proyek “Textual traditions, identity and cultural production in contemporary Bali” yang dibiayai
Australian Research Council Discovery Grant (project number DP110100448) tahun 2011-2013.
Proyek ini dipimpin oleh A/Prof Helen Creese dari University of Queensland.
elektronik itu berawal tahun 1990-an dan kemudian muncul semarak di televisi
mulai tahun 2002, sejak beroperasinya Bali TV. Sampai sekarang, banyak radio
swasta dan pemerintah menyiarkan acara tembang geguritan, begitu juga Bali TV,
TVRI Denpasar, dan Kompas Dewata TV. Jarang ada mata acara hiburan di radio
dan TV bisa bertahan lebih dari tiga dekade.
Tulisan ini membahas fenomena alih wahana dalam tradisi sastra Bali
tradisional. 1 Uraian difokuskan pada kajian atas munculnya alih wahana sastra
tradisional Bali dari teks yang biasa disajikan dalam kegiatan ritual (panggung
1Di Bali juga dikenal sastra Bali modern yaitu sastra berbahasa Bali yang mengambil
bentuk sastra modern seperti novel, cerita pendek, puisi, dan drama. Tentang sejarah dan
perkembangan sastra Bali modern, lihat Putra, Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2010
[2000]).
Uraian diawali dengan uraian tentang alih wahana sebagai strategi kajian,
kemudian latar belakang berkembangnya ‘kidung interaktif’ di radio dan televisi di
Bali, pelopor dan pengikutnya, dan manfaat alih wahana teks ke kidung interaktif
dalam pengembangan tradisi sastra di Bali.
Topik alih wahana menjadi perhatian hangat para peneliti sastra dan seni di
Indonesia dekade 2010-an ini. Alih wahana adalah transformasi teks sastra ke
bentuk seni lain seperti film dan teater atau sebaliknya dari film ke teks.
Musikalisasi atau dramatisasi puisi adalah contohnya. Penggarapan novel menjadi
film yang dikenal dengan ekranisasi adalah contoh lain. Ada juga yang sebaliknya,
yaitu novelisasi film, yaitu kisah film yang dijadikan sumber menulis novel, seperti
novel Penghianatan G30S/PKI (1986) oleh Arswendo Atmowiloto yang ditulis
berdasarkan film “G30S/PKI”. Sapardi Djoko Damono memberikan batasan yang
luas dengan menyebutkan bahwa alih wahana mencakup aktivitas ‘penerjemahan,
penyaduran, dan pemindahan dari satu jenis kesenian ke jenis lain’ (2012: 1).
yang ‘sarat berorientasi pada kritik ideologi’ dan mengabaikan aspek estetika teks.
Mempertentangkan kajian sastra yang memprioritaskan estetika dan
menomorduakan ideologi di satu pihak, dengan kajian budaya yang
memprioritaskan ideologi dan menomorduakan estetika di pihak lain, Budiman
berpendapat bahwa kajian alih wahana membuka kemungkinan menjadi ‘jalan
ketiga’ sekaligus menjembatani antara cultural studies dan studi estetika’ (2012:
iii). Artinya, kajian alih wahana memperhatikan kajian ideologi dan estetika
sekaligus, tanpa condong pada salah satu dan mengabaikan yang lain.
Meski perhatian terhadap alih wahana baru muncul semarak, bukan berarti
topik atau kreativitas ini merupakan hal baru. Faktanya, alih wahana sebagai bentuk
kreativitas transformasi teks sastra ke seni pertunjukan dengan segala bentuk dan
karakter merupakan kreativitas lama, sudah dilakukan dalam sastra tradisional
seperti macapatan di Jawa atau makidung di Bali. Bahkan, dapat dikatakan bahwa
alih wahana sama tuanya dengan usia karya sastra itu sendiri. Pementasan lakon
sastra ke dalam teater atau aneka seni pertunjukan seperti tonil, sandiwara, drama
(gong di Bali), wayang, adalah contoh-contoh kreativitas seni yang
mengalihwahanakan narasi sastra dari verbal ke dramatis-visual. Di Indonesia, alih
wahana bukan saja dijumpai dalam sastra modern, tetapi bagian integral dari sastra
tradisional atau tradisi lisan.
Sebagai pendekatan, alih wahana dapat membuka jalan bagi peneliti untuk
melihat kehidupan sastra berkait-erat dengan kehidupan seni lainnya. Kajian teks
tak hanya dilakukan secara tekstual, tetapi berkembang ke berbagai arah seperti
bagaimana transformasi teks ke dalam seni pertunjukan, apa fungsi wahana dalam
penentuan makna teks, bagaimana tanggapan pembaca terhadap teks dan bentuk
baru yang ditampilkan. Dengan kajian ini, sastra bisa dipahami secara lebih
dimensional, bukan urusan teks saja tetapi aspek lain yang menarik.
massa elektronik untuk mementaskan hasil kreativitas alih wahana dari teks sastra
ke pentas nyayian dan apresiasi sastra. Alih wahana dari teks (yang biasanya dibaca
secara soliter) menjadi lagu yang bisa dinikmati publik dalam komunikasi estetik.
Komunikasi estetik itu terlihat dalam program gegitaan interaktif (kidung
interaktif) yang menimbulkan kesenangan baru bagi penggemarnya. Selain itu,
kidung interaktif itu penting artinya dalam merevitalisasi tradisi sastra Bali
khususnya seni bahasa (mabebasan) atau menyanyikan lagu suci (pesantian).
Mulai awal tahun 2000-an, program serupa ditayangkan oleh TVRI Bali
lewat program ‘Gegirang’ dan Bali TV dengan acara ‘Kidung Interaktif’. Di luar
acara kidung interaktif itu, Bali TV yang mengudara mulai Mei 2002 itu juga
mendedikasikan waktunya untuk acara non-interaktif yang disebut dengan ‘Gita
Shanti’, siaran rekaman. Acara-acara kidung atau gegitaan interaktif di semua
media massa elektronik di Bali memiliki banyak penggemar setia, juga terus
melahirkan peminat baru.
Banyak kajian telah dilakukan terhadap seni dan tradisi mabebasan, namun
gegitaan interaktif yang merupakan fenomena baru atau new media culture belum
banyak diteliti. Dari yang sedikit itu, misalnya, ada studi yang saya lakukan sendiri
(Putra, 1998) dan dari Helen Creese (2009). Studi saya dibuat berdasarkan
penelitian tahun 1996-1997, sebelum Bali TV lahir, sedangkan penelitian Creese
dilaksanakan berdasarkan riset sampai 2009 tetapi tidak sampai menganalisis teks-
teks yang dibaca dalam program kidung interaktif. Kajian-kajian ini juga tidak
menggunakan pendekatan alih wahana.
Pada zaman keemasan rezim Orde Baru, di Indonesia hanya ada beberapa
TV dan radio, dan hanya stasiun pemerintah, TVRI dan RRI, yang boleh
memproduksi berita, sementara itu stasiun swasta harus me-relay-nya. Kebebasan
berekspresi hampir tidak ada. Pers dikontrol ketat, kalau berani memberitakan hal
negatif tentang pemerintah, pers akan dibredel seperti nasib Tempo, Editor, Detik
tahun 1994.
Program dialog interaktif di radio atau TV tidak ada, kalau pun ada biasanya
bersifat semu, lebih untuk memasyarakatkan program pemerintah daripada
mengartikulasikan aspirasi masyarakat kecil.
menanti proses perizinan mencapai 2020, dua kali lipat dibandingkan jumlah tahun
2003. Data Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Bali (2011) menunjukkan bahwa
sesudah UU Penyiaran 32/2002 disahkan, jumlah stasiun radio di Bali meningkat
29 buah tahun 2002. Beberapa permohonan izin terus diproses selama ini, sehingga
jumlah stasiun radio terus berubah.
Selain data kuantitatif, secara kualitatif muncul budaya media baru yakni
radio dan TV swasta dibebaskan memproduksi berita sendiri (D’Haenens et al.,
1999; Kitley, 2000; Sen, 2003), tidak ada lagi wajib-relay dari RRI dan TVRI. Hal
yang paling penting dalam lahirnya budaya media massa baru ini adalah
semaraknya program-program interaktif, baik lewat radio maupun TV (Jurriёns,
2006; 2007).
Fenomena ini juga terjadi di Bali. Jumlah TV yang semula hanya satu, TVRI
Denpasar (kini TVRI Bali), belakangan muncul Bali TV, Dewata TV, Jimbarwana
TV (sudah tutup), dan ATV. Stasiun radio di Bali tahun 2002 tercatat 29 buah,
meningkat tahun 2008 menjadi 63 buah, di mana 24 di antaranya sudah berizin
(Putra 2009: 254). Sampai Desember 2011, jumlah radio di Bali tercatat 82.
Pesantian juga hampir saban hari berlangsung di pura atau rumah sebagai
bagian dari upacara. Kalau yang di radio dan TV diistilahkan dengan pesantian on
electronic stage, yang di rumah dan pura bisa diistilahkan pesantian on ritual stage.
Tidak bisa dibantah lagi bahwa lembaga yang memelopori gegitaan interaktif
adalah RRI Denpasar lewat acara Dagang Gantaldan Radio Yudha lewat acara
Gegitaan sekitar bulan Agustus 1991. Namun, perlu ditegaskan bahwa usaha
mereka memasyarakatkan atau mempopulerkan gegitaan lewat ‘panggung
elektronik’ bukanlah yang pertama kalinya.
Denpasar, bisa melatih pesanti yunior di Jimbaran lewat HT, dari jauh, tidak usah
bertatap muka, tidak usah naik motor jauh-jauh sehingga tidak perlu menghabiskan
waktu dan terhindar dari macet dan hujan.
Jangkauan pesantian HT terbatas dari segi jarak, dan juga dari segi
penggemar karena hanya orang yang memiliki pesawat HT bisa mengikuti, yang
tidak punya tidak bisa. Kegiatan pesantian lewat panggung elektronik yang sempat
berbenih lewat HT namun jangkauannya terbatas ditanggapi oleh RRI Denpasar
dan Radio Yudha. Acara pesantian di RRI Denpasar dimulai Agustus 1991, diawali
dengan acara teka-teki macecimpedan yang diselingi dengan tembang. Ahli media
massa Marshall McLuhan menyampaikan frase yang sangat terkenal yang berbunyi
“the medium is the message”, artinya bahwa medium sangat menentukan pesan.
Dalam mengkaji sastra dengan pendekatan alih wahana, jelas sekali bahwa wadah
tempat sastra itu dipentaskan perlu diperhatikan, dan bagaimana wadah baru itu
memberikan pengaruh pada kehidupan sastra.
Mulai tahun 1994, acara yang semula hanya setengah jam, ditambah
menjadi satu jam, dan kemudian dua jam. Sampai sekarang, acara Dagang Gantal
disiarkan untuk 1,5 jam, mulai jam 10.00 sampai 12.00 (dipotong siaran berita
pukul 11.00). Penggemarnya banyak sekali sehingga pengasuh acara ini, yaitu duet
populer Bli Gde Tomat dan Mbok Luh Camplung, mengalokasikan waktu bagi
pendengar berdasarkan wilayah yang disingkat dengan istilah kreatif Batan Sinar
Bagi Rasa rauh ke Lomba Pelecing, artinya: Badung, Tabanan, Singaraja, Gianyar,
Bangli, Gianyar, Semarapura, dan Karangsem, Lombok, Sumbawa, Nusa Penida,
Lembongan, dan Ceningan. Penggemar di daerah distrik ini ditentukan menelpon
pada hari tertentu secara bergilir.
Pencinta setia Dagang Gantal sejak awal, seperti Kak Gus Kok
(Padangasambian) dan Made Panti (Denpasar) masih rajin memonitor, dan sesekali
menelepon melantunkan tembangnya. Gurun Mirah Maharani dari Nusa Penida,
dulu-dulunya kalau ke Denpasar biasanya mampir ke studio RRI Denpasar, untuk
menembang langsung dari ruang siaran. Kalau tidak bisa datang, dia mengirimkan
bait geguritan yang diciptakannya, seperti yang dikutip di awal tulisan ini, yang
berkisah tentang persoalan anak dalam memperebutkan acara menonton TV, suatu
tema yang merefleksikan kenyataan bagi kebanyakan masyarakat kurang mampu
yang tidak memiliki televisi lebih dari satu.
Mulai tahun 2002, Bali TV dan juga TVRI menyiarkan acara gegitaan
interaktif. Kelompok pesantian datang ke studio untuk pentas, separuh waktu diisi
untuk interaktif. Pemirsa banyak yang menyenangi acara ini karena mereka bisa
berpartisipasi, menyumbangkan gegitaannya, walau hanya sebait karena
keterbatasan waktu. Kebanyakan yang aktif berinteraktif adalah kaum ibu-ibu.
Seberapa banyak dan siapakah peserta atau pecinta gegitaan interaktif? IGB
Sudyatmaka Sugriwa, mantan Kepala Stasiun RRI Denpasar, memperkirakan acara
Dagang Gantal memiliki 1000 pendengar aktif dan 7000 non-aktif. Untuk RRI
Singaraja, karena jangkauan siarannya terbatas, acara gegitaan interaktif mereka
yang dikenal dengan nama Sudang Lepet Jukut Undis memiliki sekitar 4500
pendengar nonaktif dan 500 pendengar aktif.
Jumlahnya yang banyak sulit sekali untuk didata secara rinci berikut latar
belakang sosialnya. Namun, sebagai gambaran, catatan dari buku Pasuwitran
Dagang Gantal (Camplung, 2003) bisa dijadikan sumber. Dalal buku itu disebutkan
bahwa penggemar atau audiens acara Dagang Gantal adalah mereka yang
mengendarai sepeda sampai membawa Mercy atau BMW. Dengan kata lain,
penggemarnya terbentang ekstrem, dari yang ekonomi lemah sampai milyuner.
Dari segi umur, mereka adalah yang berusi 40 tahun ke atas. Yang menarik, jumlah
penggemar wanita kian banyak, mengakhiri dominasi laki-laki dalam dunia
mabebasan atau tradisi sastra pada umumnya.
yang mereka tekuni atau gelar saat merayakan hari ulang tahun bukan gegitaan.
Perusahaan biasa mengalokasikan dana Porseni, misalnya, kini dengan munculnya
semangat membentuk gegitaan, dana seni diarahkan ke aktivitas gegitaan.
Pesantian Bank BPD Bali, misalnya, dalam suatu pentas dalam acara ‘Gegirang’ di
TVRI Bali mengatakan bahwa pembinaan kesenian di kantornya bisa dilihat
sebagai usaha hiburan (rohani) yang bisa meningkatkan prestasi kerja yang positif
bagi perusahaan.
Di Bali belakangan ini, setiap desa pakraman wajib memiliki seka shanti
yang bernaung di bawah widya sabha tingkat desa. Kewajiban ini merupakan syarat
desa itu tampil dalam lomba desa pakraman. Pembentukan seka shanti di tingkat
desa ini terjadi dalam situasi bersamaan ketika semangat gegitaan sedang tinggi-
tingginya di masyarakat. Tidak mengherankan kalau jumlah seka shanti bagai
jamur di musim hujan.
Jumlah seka shanti di Bali bisa diperkirakan mencapai 8000, dengan asumsi
ada 1430 desa pakraman dan setiap desa memiliki sekitar lima pesantian (berarti
ada 7150 pesantian), plus sekitar 500 seka shanti di luar desa di seluruh Bali, seperti
di sekolah, kantor pemerintah, bank dan hotel. Barangkali jumlah pesantian sampai
mendekati 8000 itu merupakan jumlah terbanyak dalam sejarah tradisi gegitaan di
Bali.
oleh pesantian kepolisian resort Bangli) atau geguritan tentang sensus ekonomi
yang sensusnya dilaksanakan tahun 2006 lalu. Sekelompok pesantian anak-anak
(SMP) asuhan Sang Ketut Dharmawangsa, seorang dalang berbahasa Inggris,
menampilkan tembang-tembang bertema pilpres menyongsong pemilihan presiden
(pilpres) tahun 2009 lalu. Berlangsungnya pilpres damai adalah amanat utama
dalam tembang-tembang mereka.
Aktualitas memang merupakan ciri khas dari isi media massa. Tahun 1990-
an, lewat acara Dagang Gantal sering ditembangkan geguritan yang penuh pesan
pembangunan, seperti ihwal Adipura (kebersihan), imunisasi polio (kesehatan), dan
koperasi. Pemirsa dan pemerintah menggunakan media baru ini untuk
mempromosikan gagasan-gagasan pembangunan. Sering pula ada pencinta yang
menulis sebait geguritan mengenai fenomena sosial seperti narkoba dan dampak
televisi untuk dilantunkan di radio secara interaktif. Sebait tembang sinom tentang
dampak budaya televisi pada anak-anak dilukiskan oleh Gurun Mirah Maharani
dalam kutipan di awal tulisan ini. Ketika pesawat Sukhoi jatuh di Gunung Salak
dan menimbulkan banyak korban jiwa, seorang peserta aktif Kidung Interaktif
bernama I Gde Biasa menciptakan sebait tembang tentang tragedi itu dan
menembangkannya di Radio Global, 12 Mei 2012, sedangkan ulasan baris demi
baris diberikan oleh penyiar radio bernama Mbok Luh Suci. Komposisi ini
menggunakan pupuh ginanti, yang mengungkapkan simpati kepada keluarga
korban jatuhnya sukhoi, seperti kutipan berikut ini.
Penggunaan secara eksplisit kata ‘sukhoi’ bukan saja karena secara akurat
mengacu kepada jenis pesawat yang terkena insiden, tetapi juga memenuhi kriteria
formula pupuh ginanti baris kedua yang harus diakhiri dengan suara ‘i’ (8i).
Dunia penciptaan sastra Bali sejak lama merupakan dunia yang sunyi. Satu-
dua selalu ada karya baru dicipta atau digubah, disimpan atau beredar dalam bentuk
fotokopi. Namun, sejak kidung interaktif menjadi begitu popular, jumlah karya
yang digubah banyak sekali walaupun soal kedalaman isi dan kecanggihan naratif
dan nilai di dalamnya perlu dikaji secara khusus. Untuk makna sebuah teks, dalam
konteks mabebasan, orang bisa berdalih bahwa itu tergantung dari pengartos.
Artinya, teks sederhana bisa sangat bermakna di depan juru artos yang piawai,
walau harus diakui pula bahwa interpretasi ada limitnya.
berisi arti kata bahasa Jawa Kuna, dimaksudkan memudahkan peminat memahami
karya ini. I Wayan Karda dari Negara menciptakan Geguritan Segara Rupek.
Menurut Wayan Karda, buku kecilnya itu sudah beredar sampai ke Sulawesi, juga
bait-baitnya kerap dibaca di acara kidung interaktif Penglipur Sore di RRI
Singaraja. I Made Ariawa alias Kak Yunika yang sempat aktif sebagai penggemar
gegitaan Yudha menulis Geguritan Tembok Tegeh.
7. PENUTUP
menarik pantas dicatat di sini. Kalau dulu inisiatif pembinaan diambil dari
pemerintah (Rubinstein, 1993: 112), kini di era gegitaan interaktif ini inisiatif
berada di tangan publik, bottom up, dan pemerintah lewat Dinas Kebudayaan terus
melakukan lomba atau utsawa dharma gita. Mereka berhasil memanfaatkan media
baru sebagai sarana untuk komunikasi seni atau tradisi. Lewat media massa
elektronik seperti radio dan televisi, tradisi mabebasan ‘memperoleh prestise baru
melalui bentuk-bentuk mediasi yang baru’ (Suryadi, 2005: 151).
DAFTAR PUSTAKA
Atmowiloto, Arswendo. 1986. Pengkhianatan G30S/PKI. Jakarta: Sinar Harapan.
Budiman, Manneke. 2012. “Masa Depan Humaniora dan Kajian Alih Wahana”,
dalam Sapardi Djoko Damono Alih Wahana, hlm. i—vi. Jakarta: Editum.
Camplung, Luh 2003. Ceraken Tingkeb, Pasuwiteraan Dagang Gantal. Denpasar:
RRI Denpasar.
Creese, Helen. 2009. ‘Singing the text: on-air textual interpretation in Bali. In J.
van der Putten and M.K. Cody (eds), Lost times and untold tales from the
Malay world. Singapore: NUS Press, hlm. 210–226.
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum.
D’Haenens, Leen, Effendi Gazali, dan Chantal Verelst. 1999. ‘Indonesian
television newsmaking before and after Suharto’. International
Communication Gazette 61 (2): 127–52.
Jurrie¨ns, Edwin. 2006. ‘Radio awards and the dialogic contestation of Indonesian
journalism’. Indonesia and the Malay World 34 (99): 119–49.
Jurrie¨ns, Edwin. 2007. ‘Indonesian radio culture: modes of address, fields of
action. ‘RIMA 41 (1): 33–70.
Kitley, Phillip. 2000. Television, nation and culture in Indonesia. Athens, OH:
Ohio University Press.
Manda, I Nyoman. 2002. Basa Bali Pinaka Sarana Ngawerdiang Sastra Baline.
Dalam Ida Bagus Darmasuta, I Nyoman Argawa and NL Partami (eds),
Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Balai Bahasa
Denpasar, hlm. 184–200.
Putra, Darma I Nyoman. 2009. 'Kidung Interaktif; Vocalising and interpreting
traditional literature through electronic mass media in Bali', Indonesia and
the Malay World, 37: 109, 249—276.
Putra, I Nyoman Darma. 2008. Bali dalam Kuasa Politik. Denpasar: Bali Regional
Library (in co-operation with Buku Arti).
Putra, I Nyoman Darma. 1998. Kesenian Bali di panggung elektronik:
Perbandingan acara apresiasi budaya RRI dan TVRI Denpasar, Mudra (6):
18–42.
Rai Putra, Ida Bagus 2002. Susastra Bali miwah Kahananipun. Dalam Ida Bagus
Darmasuta, I Nyoman Argawa dan NL Partami (eds), Kumpulan Makalah
Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar, hlm. 264–75.
Sen, Krishna and David Hill. 2000. Media, culture and politics in Indonesia.
Melbourne: Oxford University Press.
Sen, Krishna. 2003. Radio Days: Media-politics in Indonesia. Pacific Review 16
(4): 573–589.
Suryadi. 2005. Identity, Media and The Margins: Radio in Pekanbaru, Riau
(Indonesia). Journal of Southeast Asian Studies 36 (1): 131–51.
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Elson (2008) berpendapat bahwa Indonesia, sejak tumbangnya rezim Orde
Baru, sedang berada dalam perjalanan menuju bangsa yang lebih bersahaja. Akan
tetapi, Indonesia yang muncul dari keruntuhan Orde Baru disinyalir sedang
mengalami krisis identitas parah (Elson, 2008: 419). Sifat yang mementingkan diri
sendiri, egoisme, sektarianisme, ekslusivitas, arogansi kesukuan-ras-agama, hukum
yang disandera, aparat yang korup, rakyat yang frustasi menumbuhkan iklim
ketidakpercayaan dan pesimisme dalam menatap masa depan bangsa. Permusuhan,
konflik, kekerasan, separatisme, korupsi, nepotisme, penyalahgunaan jabatan
seolah-olah menjadi hantu bagi kehidupan berbangsa. Akibatnya bangsa
mengalami krisis identitas parah dan seolah kehilangan jatidiri.
Prinsip-prinsip moralitas yang merupakan pilar utama kebudayaan terus
tergerus oleh perilaku amoral para pemimpin maupaun rakyatnya sendiri. Di antara
komponen bangsa yang plural tidak dibangun sifat saling menguatkan satu sama
lain (mutual enforcement), yang ada adalah sifat saling melemahkan dalam berbagai
tataran. Permusuhan selalu muncul karena elemen plural itu selalu merayakan diri
sendiri dan menegasi sang liyan (Piliang, 2011: 412-413).
Etika berbangsa semakin merosot dengan mewabahnya kebohongan,
kepalsuan, dan manipulasi. Menurut Piliang (2011: 409), dalam kondisi krisis
kepercayaan, anomali sosial, politik yang abnormal, dan deviasi kultural yang saat
ini menggejala, pembangunan kembali karakter bangsa menjadi sesuatu yang
sangat mendesak untuk dikerjakan.
Pembangunan karakter adalah proses yang tanpa akhir. Dalam proses tanpa
akhir ini, pengetahuan dan gagasan-gagasan yang tumbuh dalam khazanah
kekayaan budaya etnis yang hidup dalam tamansari kebudayaan di Indonesia
menjadi penting untuk tak hanya sekadar digali dan ditemukan jejaknya secara
sistematis, konsisten dan berkelanjutan, tatapi juga lebih lanjut diaktualisasi dalam
kehidupan sehari-hari manusia Indonesia. Pengetahuan-pengetahuan dalam budaya
etnis ini menjadi pemungkin bagi penguatan jati diri bangsa.
Berpijak pada apa yang telah disampaikan di awal, harmoni atau keselarasan
menjadi satu gagasan penting yang perlu digali dalam penguatan jati diri bangsa
tersebut. Untuk menemukan kembali gagasan dan tafsir keselarasan tersebut,
langkah yang paling mungkin dilakukan adalah menjejakinya dalam gagasan
kearifan lokal. Kearifan lokal memuat seperangkat pengetahuan yang
menggambarkan pandangan dunia dari suatu masyarakat pada lokalitas tertentu.
Gagasan local genius inilah yang menjadi pusat pemahaman kembali, utamanya
mengenai gagasan keselarasan.
2
Tanbih (bahasa Arab) berarti ‘pedoman’, ‘wasiat’, ‘pesan’. Teks Tanbih yang digunakan dalam
tulisan ini adalah Tanbih berbahasa Sunda yang ditulis dengan aksara Arab pegon dan aksara latin
yang termuat dalam Alaa Inna Auliyaa (1956). Publikasi yang pertama-tama versi terjemanah
dalam bahasa Indonesia, antara lain, terdapat dalam Pesantren Suryalaya Selayang Pandang
(1973), terjemahan ini diikuti dan dijadikan rujukan oleh publikasi selanjutnya dari Tanbih
berbahasa Indonesia.
Sepuh pada awalnya masih terpenggal-penggal dan terpisah dan berupa tulisan
tangan, lalu dikumpulkan dan disunting oleh K.H. Shohibulwafa T.A. (Abah
Anom). Tanbih memuat beberapa terjemahan bahasa Sunda dari ayat-ayat Al
Quran. Terjemahan tersebut merefleksikan pesan apa yang berusaha disampaikan
oleh Abah Sepuh, meskipun di sisi lain tidak begitu memperhatikan terjemahan
secara literal. Tanbih ditulis dalam bahasa puitis, dengan banyak penggunaan
aliterasi dan ekspresi-ekspresi idiomatik (Millie, 2009: 183). Kalimat-kalimatnya
tersusun secara estetis, mengandung unsur irama dan kekuatan bunyi kata sebagai
bentuk pengaruh dari karakteristik ungkapan tradisional Sunda.
Tanbih direproduksi sebagai salah satu literatur ajaran TQN Pesantren
Suryalaya serta merupakan bagian dari teks terpenting bagi Pesantren Suryalaya
dan murid-murid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyyah (TQN) 3 yang berafiliasi
pada pesantren tersebut. Tanbih selalu dibacakan di setiap manakiban 4 , sebagai
salah satu dari karamat-reading TQN Suryalaya. Tanbih merupakan pedoman
berperilaku bagi ikwan TQN Pesantren Suryalaya dalam menjalankan
kehidupannya (Siswanto et al., 2005: 11). Tanbih mulai disebarluaskan pada
kalangan terbatas sejak 1956. Dalam akhir Tanbih, Abah Sepuh menekankan “ieu
wasiat kudu dilaksanakeun ku sadaya murid-murid, supaya jadi kasalametan dunya
rawuh akherat.” (wasiat ini hendaknya dilaksanakan oleh segenap murid-murid,
agar menjadi jalan selamat kehidupan dunia dan akhirat). Bagi Abah Sepuh, rantai-
rantai hubungan horizontal antara sesama manusia (hablumminannas) adalah
cermin dari hubungan vertikal manusia dengan Allah (hablumminallah).
3
Pesantren Suryalaya berlokasi di Kecamatan Pager Ageung Tasikmalaya Jawa Barat. Murid-
murid yang berafiliasi dengan TQN Pesantren Suryalaya dikliam lebih dari sepuluh juta orang
tersebar hampir di sebagain besar wilayah Indonesia dan negara jiran: Singapura, Malaysia, dan
Brunei Darussalam
4
Dari bahasa Arab manaqib (kisah, riwayat dari individu yang dianggap sebagai suri teladan).
Dalam Bahasa Sunda, akhiran -an dalam manakib menunjukan ada suatu kegiatan yang diwakili
oleh kata tersebut. Oleh karena itu manakiban adalah ritual membaca manakib. Di sebagian
besar wilayah Jawa Barat, manakiban sangat terkait dengan ritual membacakan manakib Syekh
Abdul Qadir Jailani.
Motif harmoni atau keselarasan tampil menonjol dalam Tanbih. Hal ini
menjadi bisa dimaklumi mengingat latar belakang Abah Sepuh yang hidup dalam
masyarakat Sunda Priangan yang agraris. Memang, motif harmoni dalam
menyikapi kehidupan biasa terjadi dalam masyarakat yang hidup dari pertanian,
baik ladang maupun sawah (Sumardjo, 2010: 22). Tolong-menolong, saling berbagi
dan kerja sama menjadi hal yang sangat dipentingkan. Harmoni adalah keselarasan
di antara unsur yang berbeda yang menciptakan kesimetrisan dan keseimbangan.
Jika ditilik dengan pendekatan historis, motif harmoni menjadi begitu tampak
dalam Tanbih sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi Priangan, khususnya
Priangan Timur sejak akhir 1940-an, yang bergejolak akibat gerakan DI/ TII
sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno.
Tanbih, dapat dipandang, hadir sebagai ijtihad Abah Sepuh dalam
merepresentasikan harmoni antara Islam dan kearifan tradisi Sunda. Ajaran-ajaran
Islam mengenai ketaqwaan serta kebaikan budi, kedamaian dan tolerenasi
diartikulasikan oleh Abah Sepuh dengan pendekatan kesundaan. Islam tidak selalu
memandang dua hal yang bersebrangan sebagai satu dikotomi atau oposisi biner
seperti pilihan ganda, melainkan dua hal yang berkaitan secara hierarkis saja serta
sering kali saling mengisi dan harmonis (Piliang, 2003: 306). Hierarki tertinggi
memuat makna-makna transendensi yang wajib diterima dan diyakini; pada tingkat
yang lebih rendah ada makna-makna yang bisa diproduksi secara kreatif, pada
tataran inilah Tanbih berada.
Dalam Tanbih menonjol konsep duaan (binary). Agama dan Nagara, nyawa
dan jasad, urang dan batur, kudu dan ulah menjadi beberapa konsep penting dalam
menganalisis sistem duaan dalam Tanbih. Dalam sistem duaan Tanbih, dua subjek
tidak selalu berupa pasangan oposisi dengan yang disebutkan lebih dulu menjadi
yang utama dan yang lainnya menjadi yang dikalahkan, melainkan hadir pula
pasangan yang sifatnya setara dan saling mengisi.
(hendaklah bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh demi kebaikan lahir
batin, dunia maupun akhirat, supaya hati tentram jasad nyaman, jangan timbul
persengketaan, tujuannya adalah kesempurnaan jasmani dan keutamaan budi).
Filosofi cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur
berarti berhati baik, berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Nilai-
nilai yang terkandung dalam filosofi ini merupakan salah satu tipe ideal bagi
pembentukan manusia Sunda yang utuh dan sejati. Cageur dan bageur serta
kehidupan yang ngeunah nyawa betah jasad adalah sebuah kehidupan yang dicita-
citakan dan merupakan wujud kehidupan yang dianggap baik. Keduanya adalah
kondisi simetris dan seimbang yang dicapai ketika harmonisasi terlaksana.
Harmonisasi ini ditempuh melalui proses apik (teliti), tilik (mawas, saksama) dan
milih (selektif).
dina agama jeung nagara” (… berhati-hatilah dalam segala hal, jangan sampai
berbuat yang bertentangan dengan peraturan agama maupun negara. Taatilah
keduanya sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap dalam keimanan,
tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Halirat Ilahi Robbi yang
membuktikan perintah dalam agama maupun negara)
Pada bagian ini bagaimana urang (diri) menempatkan diri terhadap aturan
agama dan negara. Pertama, agama dan negara kembali hadir dalam model duaan,
tetapi keduanya tidak ditempatkan dalam posisi saling bertentangan. Melaksanakan
perintah negara adalah selaras dengan melaksanakan perintah agama. Harmoni
agama dan negara dapat diartikan sebagai harmoni dinamism, yang dimaksud
bukanlah harmoni yang statis dan diam. Agama dan negara bisa hadir dalam posisi
saling menguatkan (mutual enforcement). Gagasan ini menjadi salah satu anti-
doktrin dari gerakan-gerakan terorisme dan radikalisme yang kerap
mengatasnamakan kepentingan agama. Kedua, hubungan antara urang dengan
negara adalah mutualisme. Agar tercipta harmoni, urang dituntut untuk ulah
carekuen (tidak melanggar larangan), ngawula (mengabdi), dan rumasa (tahu diri),
sedangkan kewajiban negara kepada urang sebagai rakyat “…tiasa nangtayungan
ka sadaya abdi-abdina, ngauban ka sadaya ra’yatna…” (melindungi dan
membimbing)
“tah kitu pigeusaneun manusa anu pinuh karumasaan, sanajan jeung sejen bangsa,
sabab urang tunggal turunan ti nabi Adam a.s.” (begitulah sesungguhnya sikap
manusia yang penuh kesadaran, meskipun terhadap orang asing karena mereka
masih keturunan Nabi Adam A.S.)
“… akur jeung batur-batur ulah aya kuciwana …” (damai dengan orang lain jangan
sampai menimbulkan kekecewaan)
menghargai, tetapi tetap pada apa yang kita yakini), “sina logor dina liang jarum
ulah sereg di buana”5 (hendaklah bersikap budiman, tertib, dan damai).
3. Kudu & Ulah
Konsep Apik, Tilik dan pamilih adalah suatu proses kerja yang dituntun oleh
prinsip kudu (anjuran/ perintah/ keharusan) dan ulah (larangan). Dalam pandangan
oposisi biner, kudu berkedudukan lebih tinggi dari pada ulah serta kudu menegasi
ulah. Kudu hadir sebagai sesuatu yang dicita-citakan, wujud dari sesuatu yang
dianggap baik, sebaliknya ulah adalah perwujudan dari segala yang patut untuk
dihindari. Akan tetapi, meski kata ulah itu sendiri berarti penegasian, dalam
beberapa hal keadaan yang di-ulah-kan tersebut adalah prakondisi dari sesuatu yang
di-kudu-kan.
Berikut situasi mental yang dikategorisasikan menurut konsep kudu dan
ulah dalam Tanbih:
5
Terjemahan dalam versi Bahasa Indonesia: “hendaklah bersikap budiman, tertib dan damai”
(Pesantren Suryalaya, 1973: 37); dalam versi bahasa Inggris Paribasa Sunda ini oleh Nasution
(1991: 420) diterjemahkan ‘When in Rome, do as Romans do’
4. PENUTUP
Kekayaan budaya lokal, kekuatan kebudayaan lokal, pengetahuan lokal, dan
khazanah pemikiran serta filsafat lokal merupakan sumber yang kaya untuk dapat
dijadikan referensi sekaligus sarana untuk mengokohkan jatidiri bangsa. Dalam hal
ini, nilai dan gagasan yang terungkap dari pembacaan dan peninjauan naskah
Tanbih sebagai sesuatu yang merepresentasikan harmoni antara azas-azas Islam dan
kearifan tradisi masyarakat Sunda menunjukkan sekian nilai luhur yang dapat
menjadi antitesis bagi gejala-gejala amoral yang mendegradasi etika berbangsa.
Secara garis besar Tanbih menonjolkan motif harmoni yang hadir dalam
empat gagasan utama, yakni: keselarasan antara agama dan negara, kemanusiaan,
toleransi, dan keteguhan iman. Gagasan harmoni dalam Tanbih adalah penjabaran
dari prinsip pokok cageur-bageur, jasmani sempurna-budi utama. Proses
harmonisasi ini melibatkan urang (diri) dengan agama dan negara; urang dan batur
(liyan), serta prinsip kudu (anjuran/ perintah) dan ulah (larangan) yang berfungsi
seperti semacam rambu-rambu bagi keselarasan hidup yang diharapkan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Elson, Robert E. 2008. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan
Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi.
LBSS. 1985. Kamus Umum Basa Sunda, cet. Kelima. Bandung: Tarate
Millie, Julian. 2009. Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic sanctity in
West Java. Leiden: KITLV Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Rukmanah, Siti Didah Residah. 2005. Hirup Kumbuh Abah Sepuh di Pondok
Pasantren Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah. Tasikmalaya: PP
Suryalaya.
Siswanto, H.B. et al. 2005. Satu Abad Pondok Pesantren Suryalaya: Perjalanan
dan Pengabdian 1905-2005. Tasikmalaya: YSBPP Suryalaya.
Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks, Edisi Revisi. Bandung: Sunan Ambu
Press.
STRATEGI KONSERVASI
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL BERORIENTASI LINGKUNGAN
Abstrak
1
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
1. PENDAHULUAN
Lemah cai kuring ‘tanah airku’- sebuah penggalan kalimat yang tidak asing
lagi bagi masyarakat Sunda - merupakan tanda keterikatan orang Sunda terhadap
tanah dan airnya sebagai sumber hirup-huripna ‘hidup dan kesejahteraannya’.
Nilai-nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan lingkungan (terikat air dan
tanah) pun terbentuk dan diwariskan dalam spirit tanah dan airnya. Namun
demikian, perubahan di segala sektor kehidupan yang mengatasnamakan kemajuan
telah berdampak kepada banyak segi kehidupan. Tata hunian yang tidak
mengindahkan lingkungan lagi, kesalahan cara manusia memanfaatkan kekayaan
alam, dan pola hidup yang mengedepankan keuntungan pribadi adalah sebagian
dari kenyataan yang telah mengubah lemah cai menjadi berkurang atau bahkan
kehilangan citra positifnya. Kondisi tersebut sejalan dengan melemah atau
menghilangnya nilai-nilai kearifan lokal di lingkungan yang telah berubah tersebut.
Atas kondisi tersebut, perlu dilakukan penelitian dari berbagai segi, di antaranya
menyangkut perlindungan nilai-nilai tradisional berbasis lingkungan.
Baik penelitian yang berkonsentrasi pada objek material tradisional maupun
penelitian terhadap objek modern yang memusatkan perhatian pada kajian
lingkungan akan membuka peluang terhadap upaya konservasi, revitalisasi, dan
reaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal. Pengungkapan nilai-nilai kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat merupakan jalan menuju perlindungan, pemertahanan, dan
pemberdayaan nilai-nilai tersebut untuk menghasilkan produk intelektual
menyangkut tata kelola lingkungan, misalnya perlindungan dan pemertahanan
kawasan budaya yang di dalamnya identitas budaya mengakar dengan kuat. Bagi
pandangan budaya, nilai lokalitas (selanjutnya disebut nilai kearifan lokal) adalah
tanda utama untuk menguak banyak hal menyangkut kehidupan manusia. Selain
secara umum nilai tersebut dapat dimaknai sebagai nilai warisan budaya masa lalu,
melalui nilai lokalitas sebuah identitas ditujukkan keterikatannya.
Budaya menyangkut nilai-nilai pandangan hidup, materi budaya sebagai
representasi nilai-nilai atau gagasan masyarakat Sunda, dan praktik budaya
masyarakat Sunda dalam perjalanan perkembangannya perlu dikaji ulang dalam
struktur narasi dan citra menstruktur cara kita melihat diri kita sendiri dan cara kita
mengkosntruksi konsep diri kita, sekarang dan masa lalu.
Relevansi konsep sirkuit kebudayaan yang diutarakan Du Gay dan cara
pemaknaan lokalitas menjadi bagian paling penting dalam menjejak pola strategis
bagi upaya konservasi nilai-nilai kearifan lokal. Sejalan dengan pemikiran Du gay,
pemahaman atas produk budaya berhubungan dengan bagaimana produk-produk
tersebut diciptakan, dikonsumsi, dan diartikulasikan dalam praktik budayanya.
Pendapat Du Gay menjadi relevan dalam penelitian menyangkut strategi konservasi
nilai-nilai kearifal lokal. Menurut Du Gay (dalam Barker, 2005: 71) sirkuit
kebudayaan (hubungan produksi, representasi, identitas, konsumsi, dan regulasi)
merupakan sebuah model artikulasi (kesatuan pemaknaan atas banyak unsur).
Menurut model ini, makna kultural diproduksi dan tertanam dalam setiap level
sirkuit. Produksi makna pada setiap level diperlukan bagi momen berikutnya dalam
sirkuit tersebut.
Dalam hal ini, sirkuit tersebut mengandung makna bahwa nilai kearifan
lokal: (1) diproduksi dari sebuah pengetahuan dan diikat dalam pola hidup
masyarakat Sunda, (2) dipahami berdasarkan cara masyarakat Sunda menjalankan
praktik kesehariannya dalam ikatan pola hubungan, dan (3) membentuk dan
menunjukkan identitas-identitas bermakna bagi subjek-subjek di dalamnya.
Karena lokalitas, termasuk di dalamnya menyangkut nilai-nilai kearifan
lokal, adalah produk masa lalu yang terus diberdayakan hingga sekarang ini, maka
pemaknaan tentang level produksi (penciptaan makna), representasi (produk
budaya dalam praktik wacana), identitas (subjek budaya), konsumsi (penerimaan
makna), dan regulasi (kebijakan menyangkut produk budaya) menjadi penting untuk
ditinjau berdasarkan pendekatan kajian budaya. Nilai-nilai kearifan lokal Sunda
yang masih mampu diterapkan dalam konteks kekinian adalah nilai cageur’sehat’,
bageur ‘baik’, bener ‘benar’, pinter ‘pintar’, singer ‘kreatif’, dan wanter ‘berani
tampil’.
Secara konseptual, nilai-nilai kearifan lokal Sunda tersebut dapat dimaknai
dalam hubungannya dengan lingkungan sebagai berikut:
yaitu lokalitas produk, kemandirian masyarakat, dan SDM yang siap dibina. Ketiga
landasan tersebut secara tidak langsung berkorelasi dengan upaya strategis dalam
mengkonservasi nilai kearifal lokal.
Gagasan-gagasan utama konsep tersebut bagi kepentingan konservasi nilai-
nilai kearifan lokal Sunda dimaknai sebagai (1) lokalitas produk berupa nilai
kearifan lokal Sunda yang terhimpun ke dalam pengetahuan tradisional
masyarakatnya, motivasi dalam mejalankan nilai- ilai kearifan lokal, dan perilaku
yang terikat atas nilai-nilai kearifan lokal, (2) kemandirian masyarakat berupa
pemberdayaan kesadaran lokalitas, dan (3) kesiapan SDM berupa kesanggupan
mengkonservasi nilai kearifan lokal Sunda. Jika dihubungkan dengan kearifan lokal
Sunda menyangkut nilai cageur ‘sehat’, bageur ‘baik’, bener ‘benar’, pinter
‘pintar’, singer ‘kreatif’, dan wanter ‘berani tampil’, maka nilai-nilai tersebut dapat
didistribusikan sebagai landasan 3 pemaknaan tersebut. Lokalitas produk berupa
nilai kearifan lokal terpilih didasarkan pada cageur dan pinter, yaitu logis dan tepat
atas pemilihan nilai kearifan lokal; kemandirian masyarakat didasarkan pada bener
dan singer, yaitu benar dan kreatif menjalankan tindakan konservatif secara
mandiri; dan kesiapan SDM berdasarkan bageur dan wanter, yaitu bersedia dan
berani mengkonservasi nilai kearifan lokal.
Dengan demikian, strategi konservasi berdasarkan konsep OVOP dapat
diterapkan terhadap nilai-nilai kearifan lokal Sunda menjadi konsep hiji ajen hiji
pancén ‘satu nilai satu tugas’. Konsep tersebut dimaksudkan untuk melindungi
(menjaga, mempertahankan, dan memberdayakan) nilai-nilai kearifan lokal Sunda
melalui pelaksanaan tugas koservasi dengan mempertimbangkan hubungan antara
sasaran konservasi, landasan konservasi, makna konservasi, dan tindakan
konservasi. Hubungan yang dimaksud diskemakan ke dalam tabel berikut ini:
cageur
pengetahuan atas empiris menggunakan nilai
nilai-nilai tradisional
berbasis lingkungan pinter
kognitif memahami nilai
logis
memahami
nilai
nilai
pikukuh
kreatif benar
memanfaatkan menggunakan
nilai nilai
tepat
memahami
nilai
Skema tersebut dapat diterapkan pula pada sumber nilai-nilai kearifan lokal lainnya,
baik menyangkut larangan, pantangan, perintah, maupun bentuk lainnya yang
melekatkan nilai kearifan lokal di dalamnya.
4. PENUTUP
Sebuah nilai yang terikat oleh budaya material dan perilakunya adalah hal
utama untuk menjejak banyak kemungkinan yang berhubungan dengan adanya
kausalitas antara perubahan hidup menyangkut lingkungan yang ditempatinya dan
akar nilai yang dimiliki masyarakatnya. Nilai-nilai kearifan lokal yang dirongrong
fungsinya oleh budaya kapitalis sehingga fungsinya menjadi lemah adalah salah
satu fakta utama bagaimana lingkungan dapat berubah dengan cepat akibat
kemajuan-kemajuan fisik yang dikejar tanpa menghiraukan risiko-risiko yang harus
ditanggung masyarakat atas perubahan yang terjadi. Risiko-risiko yang paling fatal
adalah terjadinya marginalisasi nilai kearifan lokal yang seharusnya dapat
digunakan sebagai alat pencapaian hidup sejahtera di lingkungan terbaiknya. Selain
itu, risiko yang akan paling tampak adalah kerusakan lingkungan fisik akibat tidak
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Yogyakarta: Bentang.
Chernyshevsky, N.G. 2005. Hubungan Estetik Seni dengan Realitas.
Diterjemahkan oleh Samanjaya dari buku The Aesthetic Relation of Art
to Reality. Bandung: Ultimus.
Dienaputra, Rieza d., dkk. 2011. Politik Jati Diri Urang Sunda dalam Memperkuat
Pembangunan Karakter Bangsa. Jatinangor: Sastra Unpad Press.
Piliang, Yasrif Amir. 2004. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Bandung-Jogjakarta: Jalasutra.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Diterjemahkan
Nurhadi dari BukuThe Consequences of Modernity. Bantul: Kreasi
Wacana
Hutcheon, Linda. 2004. Politik Posmodernisme. Yogyakarta: Jendela
Lindsay, Jennifer & Liem, Maya H.T. (ed.). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950-1965. Jakarta-Denpasar: KITLTV & Pustaka
Larasan.
Yayasan Kebudayaan rancage. 2001. Pewarisan Budaya di tengah Arus
Globalisasi. Laporan Konferensi Internasional Budaya Sunda. Bandung:
Yayasan Kebudayaan Rancage.
ABSTRAK
1. PENDAHULUAN
2. PEMBAHASAN
Pembangunan suatu bangsa mau tidak mau harus berangkat dari karakter-
karakter kenusantaraan yang diciptakan oleh manusia-manusia pendahulu kita.
Nilai-nilai itu ada pada budaya material dan ada pula pada sistem budaya dan sistem
sosial. Nila-nilai yang tergolong pertama kasat mata pada tinggalan, nilai kedua dan
ketiga tidak kasat mata karena sifatnya abstrak. Rekaman arkeologi
memperlihatkan nilai-nilai abstrak itu antara lain berupa: kekayaan alam pikir,
wawasan pengetahuan, kearifan lingkungan yang tampak pada kemampuan
adaptasi manusia-manusia nusantara terhadap perubahan-perubahan lingkungan di
masa lampau serta kemampuan adaptasi pada sumberdaya lingkungan, keuletan,
cita rasa keindahan, kebersamaan, keterbukaan dan kesiapan merespon dan
mengolah pengaruh asing, dan kebhinekaan. Karakter kebangsaan merupakan
himpunan nilai-nilai lokal yang memiliki kekhasan, merupakan kumpulan dari
puncak-puncak kebudayaan daerah. Karakter, kapribadian atau jati diri bangsa
Indonesia sekarang, dilengkapi dengan nilai-nilai kehidupan masa lampau yang
apabila dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa, Indonesia akan tampil sebagai
bangsa yang berkepribadian khas dan berbeda dengan bangsa lain ( Simanjuntak,
2012: 7-12).
Objek yang digunakan sebagai contoh untuk membahas permasalahan di
atas, yaitu Candi Krobokan di wilayah Kabupaten Gianyar, Bali. Walaupun
keadaan candi dan lingkungan candi yang pada saat ini dalam kondisi seakan akan
kurang terawat, namun arti penting keberadaan candi tersebut tidak dapat diabaikan
begitu saja. Selanjutnya akan ditelusuri peranan tinggalan arkeologi tersebut dalam
membentuk jati diri bangsa.
masa kini yang didorong, dipacu, ataupun dimungkinkan oleh tantangan dan
kondisi aktual dari jaman sekarang. Seluruh hasil budaya suatu bangsa adalah sosok
dari jati diri pemiliknya (Sedyawati, 2007: 379-385). Jati diri dalam bidang ilmu
arkeologi mempunyai hubungan erat dengan istilah local genius.
Local genius atau kearifan lokal dalam konteks tulisan ini dikaitkan sebagai
kearifan dalam kebudayaan tradisional terjabar ke dalam seluruh warisan budaya
baik yang tangible maupun yang intangible. Sebuah kearifan ketika budaya lama
bertemu dengan budaya baru tidak serta merta tercerabut dari akarnya dan lenyap,
namun mampu bertahan, dengan masih membawa sebagian warisan budaya lama
yang dapat berfungsi sebagai cirri identitas yang berlanjut. Demikian juga yang
terlihat pada tinggalan arkelogi Candi Krobokan bahwa Candi Krobokan
merupakan hasil budaya masa Hindu Budha sebagai bukti pengaruh kebudayaan
India. Dalam bangunan candi tersebut terlihat konsep kepercayaan asli dan
diperkuat oleh tradisi yang masih berlangsung sampai hari ini. Menurut Quaritch
Wales dalam proses penghinduan kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara, bukan
kebudayaan India melainkan justru kebudayaan kebudayaan setempatlah yang
menentukan bentuk serta arah perkembangan kebudayaan campuran yang timbul.
3. PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
sebagai tinggalan arkeologi Candi Krobokan berperan dalam membentuk jati diri
bangsa. Sebagai karya seni yang diabdikan kepada agama, maka tolok ukur yang
berlaku bukan kemegahan atau keindahan, akan tetapi dapat tidaknya hasil karya
itu memenuhi fungsinya sebagai objek keagamaan menurut pandangan masyarakat.
Candi Krobokan dengan keserdehanaan bentuk arsitektur candi memiliki nilai luhur
dan bentuk kearifan lingkungan masa lampau. Relief tebing Candi Krobokan yang
menggambarkan bentuk candi, diyakini merupakan simbolisasi gunung yang
mencerminkan replika Gunung Mahameru Gunung dalam konsep religi Indonesia
asli dianggap sebagai tempat bersemayam arwah leluhur, sebagai cerminan nilai
jati diri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Adri, Ida Ayu Putu. 1986. ”Candi Padas di Sepanjang Sungai Pakerisan dan
Permasalahannya”. PIA IV, Jilid IIB: Abstrak Sosial-Budaya. Jakarta:
Puslitarkenas
Ardana, I Gusti Gede. 1995. “Mencari Akar Kebudayaan Bali Sesuatu Analisis
Arkeologi”. Widya Pustaka. Denpasar: Universitas Udayana.
Aris Munandar, Agus. 2014. Air dan Kosmologi di Situs Majapahit. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: Harvard
Univercity Press.
________________ 1960. Bali Purbakala, Petunjuk tentang Peninggalan
Purbakala di Bali. Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku Iktiar.
____________________1991. Monumental Bali. Introduction to Balinese
Archaeology & Guide to The Monuments. Berkeley-Singapore: Periplus
Edition..
Geldern, R. Von Heine. 1982. Konsepsi tentang Negara dan kedudukan Raja Di
Asia Tenggara. Terjemahan Deliar Noer. Jakarta: Rajawali.
Kramrish, Stell. 1946. The Hindu Temple. 2 Vol. Univercity of Calcutta.
Muliarsa, I Wayan, 1997/1998. “Upaya Konservasi Candi Tebing Gunung Kawi,
Gianyar Bali. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Mundardjito. 1993. “Pertimbangan Ekologis dalam penempatan Situs Masa Hindu
Budha di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro”.
Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Truman Simanjutak, 2012. “ Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa” dalam
Arkeologi Untuk Publik. Jakrta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Romondt, V.R. 1951. Peninggalan-peninggalan Purbakala di Gunung
Penanggungan. Jakarta: Dinas Purbakala.
Satari, Sri Soejatmi. 1987.”Seni Hias: Ragam dan Fungsinya, Pembahasan Singkat
Tentang Seni Hias dan Hiasan Kuno”. DIA VI. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Sedyawati, Edi. .1996. “Kajian Kualitatif Atas Masalah Local Genius’. Dalam PIA
IV. Jakarta: Depdikbud.
____________ 2007.”Warisan Masa Lalu dan Pnciptaan Hari Ini” dalam Budaya
Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press.
Soekmono, R. 1972. “catatan-catatan tentang Monumen-monumen Indonesia
Purba” dalam Kesenian Indonesia Purba - Jawa Timur dan Jawa Tengah.
New York: The Asia Society Inc.
___________ 1974. “Candi, Fungsi dan Pengertiannya”. Disertasi. Jakarta:
FakultasSastra Universitas Indonesia.
------------------ 1982. “Mewariskan Warisan Sebagai Wajib”. Dalam Laporan
Seminar Pemugaran dan Perlindungan bangunan Sejarah dan Purbakala.
Jakarta: Dedikbud..
Srijaya, I Wayan. 1996. “Pola Persebaran Situs Keagamaan masa Hindu Buda di
Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Kajian Ekologi”. Tesis. Bidang Ilmu
Pengetahuan Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tjahyono, Baskoro. D. 1992. :Gejala Perubahan Orientasi Kosmis ke Ktonis Pada
Arsitektur Bangunan sacral majapahit Akhir”. PIA VI. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional.
Wales, Quaritch. 1953. The Mountain Of God: A Study in Early Religion and
Kingship. London: Bernard Quaricth Ltd.
Wibisono, Rahmat. 1997. “Relief Tebing di Situs Gua Butha, Desa Suling Kulon,
Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso, jawa Timur”. Skripsi.
Denpasar: Universitas Udayana.
Eka Yusriansyah
Mahasiswa Pascasarjana
Program Studi Wacana Naratif
Universitas Udayana
Abstrak
“Adila” adalah cerita pendek karya Leila Salikha Chudori yang terangkum
dalam buku antologi cerpen Malam Terakhir (2012). “Adila” Menyuarakan
semangat kebebasan yang kental, sebuah tema yang dianggap tabu oleh sebagian
pembaca Indonesia. Melalui Adila, Leila menyajikan perpaduan antara dua
kebudayaan, Barat dan Timur, yang diramu dengan kepiawaiannya dalam
mengolah bahasa serta gaya bercerita inkonvensional dengan perpaduan dunia
fantasi dan kenyataan yang saling berkelindan. Tokoh Adila dalam cerpen “Adila”
merupakan representasi anak perempuan modern yang berada dalam kungkungan
ruang dan waktu orang tua dalam kehidupan keluarga dan sosial.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memanfaatkan teori
struktural naratologi yang dikembangkan oleh strukturalis Perancis, Algirdas Julien
Greimas. Aktan adalah kekuatan untuk melakukan tindakan atau pelaku tindakan.
Greimas mengemukakan enam peran aktan dalam cerita, yaitu pengirim, penerima,
subjek, objek, penolong, dan penentang. Enam peran aktan tersebut dianalisis
dalam kaitannya dengan tindakan yang dilakukannya. Setiap cerita ada perpindahan
dari situasi awal ke situasi akhir, sedangkan transformasi itu sendiri terdiri dari tiga
tahapan, yaitu cobaan saringan, cobaan utama, dan cobaan yang membawa
kegemilangan atau kejatuhan.
Kata kunci: cerpen Adila, perspektif, Greimas, aktan, fungsional.
1. PENDAHULUAN
Cerpen “Adila” adalah salah satu cerpen yang termuat dalam antologi
cerpen Malam Terakhir karya Leila S. Chudori. Pembebasan atas tekanan batin
yang membatasi ruang gerak kehidupan, menjadi tema sentral dalam kumpulan
cerpen tersebut. Tokoh-tokoh fiksional dalam antologi cerpen tersebut, dilukiskan
sebagai sosok manusia yang menuntut pembebasan atas gejolak jiwa yang menekan
pikiran, perasaan, dan hati nurani.
kehidupan. Sekat-sekat dunia fantasi dan realitas seakan dihancurkan oleh Leila
untuk menunjukkan keliaran proses berpikir dan perenungan terhadap kehidupan.
Semua itu disajikan Leila dengan kekuatan bahasa sehari-hari serta dengan gaya
dan teknik bercerita inkonvensional tanpa ada kesan menghakimi. Melalui cerpen
“Adila” ini, Leila selaku pengarang seakan ingin menunjukkan cerpen arus
kesadaran (stream of consciousness) dengan teknik kolase yang menghadirkan
cerita yang sarat dengan kutipan karya lain dengan alusi atau ungkapan asing yang
biasanya dianggap tidak ada hubungannya. Padahal sisipan tersebut menyiratkan
kelanjutan cerita.
Dengan memanfaatkan teori struktural naratologi yang dikembangkan oleh
strukturalis Perancis, Algirdas Julien Greimas, cerpen “Adila” dianalisis
berdasarkan aspek sintaksis dan semantik untuk mengetahui bagaimana teks
memproduksi makna. Menurut Ricoeur via Triadnyani, struktur naratif Greimas
dianggap mewakili model pendekatan strukturalisme yang ketat. Model seperti itu
diperlukan peneliti untuk membuat lintasan sebagai jalan untuk menelusuri makna
yang terkandung di dalam teks serta untuk menjaga keobjektifan analisis dan
mencegah peneliti keluar dari jalur interpretasi (Triadnyani, 2014:20-22).
memfokuskan pada suatu genre tertentu, yaitu dongeng, penelitian Greimas tidak
terbatas pada dongeng saja, tetapi diperluas pada mitos (Ratna, 2013:137). Berbeda
dengan Ratna (2013), Zaimar (2014:44) menyatakan bahwa teori naratologi
Greimas dapat diterapkan pada berbagai karya naratif yang pada umumnya
berbentuk prosa apabila dimanfaatkan dengan lentur tanpa merusak teori tersebut.
Zaimar menyatakan bahwa yang menjadi inti dari teori Greimas adalah
kekuatan untuk melakukan tindakan, aktan, yaitu pelaku tindakan. Aktan
merupakan peran yang hadir dalam tindakan, yang dapat ditempati oleh segala
macam entitas. (Ratna, 2013:138; Zaimar, 2014:39). Greimas mengemukakan
enam peran aktan dalam cerita, yaitu pengirim, penerima, subjek, objek, penolong,
dan penentang. Enam peran aktan tersebut dianalisis dalam kaitannya
dengan tindakan yang dilakukannya. Teori yang dikemukakan Greimas tersebut
dikenal dengan sebutan skema aktan dan skema fungsional. Di bawah ini akan
digambarkan skema aktan Greimas:
Skema aktan di atas diikuti oleh skema fungsional, yaitu teori tentang
berlangsungnya peristiwa-peristiwa. Setiap fungsi tidak selalu hadir dalam setiap
cerita, melainkan fungsi-fungsi tersebut mengikuti suatu urutan yang ketat. Di
bawah ini akan dihadirkan skema fungsional Greimas.
Situasi awal adalah sebuah hasrat atau keinginan yang mendasari untuk
melakukan sesuatu yang dikirim pengirim melalui subjek untuk mengejar objek dan
diserahkan kepada penerima. Transformasi terdiri atas tiga bagian. Pertama, cobaan
awal, yaitu cobaan untuk mengkualifikasi subjek berdasarkan kemampuan yang
diperlukan untuk mengejar objek yang dikirim oleh pengirim. Kedua, cobaan
utama, yaitu cobaan yang dapat membawa subjek dalam pencapaian objek. Cobaan
utama terjadi dalam bentuk konflik dan perjuangan yang di dalamnya terdapat
penolong dan penentang. Ketiga, cobaan kegemilangan atau kejatuhan yaitu
pengakuan sosial kepada subjek atas keberhasilan atau kegagalannya dalam
pencapaian objek. Dalam cobaan ini, subjek dapat dipuji atau dihukum. Situasi
akhir adalah hasil dari objek yang telah dicapai.
ibunya. Adila dilukiskan oleh pengarang sebagai proyeksi dari ibunya, solah-olah
Adila dilahirkan untuk selalu menjadi bayang-bayang ibunya.
Skema Aktan
1. Ayah Adila.
2. Tokoh-tokoh imajiner Adila Kungkungan dan
(Ursula, Neills, Stephen tekanan Ibu Adila
Dedalus)
Adila, dalam skema aktan di atas, berperan sebagai subjek. Hubungan antara
subjek dengan objek dilandasi oleh adanya hasrat. Hasrat untuk membebaskan diri
yang kuat mendorong Adila untuk melakukan pemberontakan guna memutus
belenggu jiwa yang datang dari tekanan dan kekangan ibunya. Pemberontakan
tersebut dilakukan untuk mewujudkan kebahagian dan kepuasan atas hak
kebebasan individu. Meskipun demikian, berbagai halangan mengganjal usaha
Adila dalam melepaskan belenggu jiwa. Halangan tersebut berupa kekangan ibu
Adila dalam banyak hal, antara lain kekangan dalam hal hak membaca buku,
kekangan untuk selalu melaksanakan rutinitas yang membosankan, dan larangan
untuk berpendapat.
Di satu sisi, ayah Adila dalam skema aktan di atas digambarkan sebagai
sosok tokoh yang membantu Adila dalam memperjuangkan kebebasannya. Ayah
Adila selalu memberikan buku-buku bacaan yang oleh ibu Adila dilarang. Dari
buku-buku yang diberikan Ayahnya, Adila berkenalan dengan tokoh-tokoh
imajiner yang juga turut memberi andil dalam membantu memperjuangkan
kebebasannya.
Skema Fungsional
Cobaan utama yang harus dilewati Adila adalah ketika Adila bertanya
tentang dosa kepada ibunya dengan pertanyaan persetubuhan sebelum menikah.
Ayah dan ibu Adila tidak menjawab pertanyaan Adila. Sikap kedua orang tuanya
dibalas dengan sebuah pernyataan yang justru menaikkan darah ibunya. “Menurut
Neill, orang tua sebaiknya mengatakan sejujurnya tentang keadaan mereka,”
Pernyataan Adila membuat darah ibunya naik ke kepala hingga Ibunya memarahi
ayahnya yang telah membelikan buku Summerhill dan menyuruh Adila untuk
mengambil buku tersebut.
“Dila menyodorkan buku setebal 392 halaman itu. Dengan kekuatan luar
biasa, ibunya merobek buku itu menjadi dua dan mencemplungkannya
ke tempat sampah” (hlm. 31).
“Dituangnya cairan bening itu ke dalam gelas Neill, Ursula, Stephen, dan
dirinya sendiri. Kucuran Baygon itu mempercepat detak jantung Dila. Neill,
Ursula, dan Stephen bersama-sama mengangkat gelas tinggi-tinggi. Seperti
dihipnotis, Dila menggabungkan gelasnya dengan ketiga gelas lainnya.
4. ANALISIS TOKOH
Secara fisik, Adila tidak digambarkan secara panjang lebar. Adila adalah
gadis remaja usia empat belas tahun yang dianggap oleh Ibunya sebagai remaja
yang kurang pergaulan karena terlalu larut dalam dunia fantasi buku-bukunya.
Dunia fantasi yang diciptakan Adila merupakan ruang pribadi Adila yang
dijadikannya sebagai jalur alternatif untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang
penuh dengan tekanan dan aturan. Dalam dunia fantasi tersebut, Adila bertemu
dengan tokoh-tokoh imajiner yang merupakan tokoh dalam buku-buku yang dibaca
Adila.
“Novel The Rainbow sudah hampir menjadi salah satu rumah yang
dikunjunginya setiap hari, setiap kali ia menyelinap ke kamar mandi. Ia
merasa akrab dengan Ursula Brangwen, tokoh utama yang mempunyai
adik-adik yang selalu mengganggu ketenteramannya” (hlm. 20).
Kutipan di atas menegaskan Adila yang memiliki dunia pribadi sebagai pelarian
atas kekangan ibunya. Ursula Brangwen sebagai tokoh imajiner yang diciptakannya
adalah teman curhat Adila yang sama-sama bernasib tertekan oleh keluarga.
Kedua adalah tokoh imajiner A.S. Neill yang merupakan penulis dan pendiri
sekolah Summerhill di London. Pertemuan antara Adila dan Neill terjadi setelah
Adila mendengarkan penjelaan Ayahnya serta membaca buku tentang sekolah
Summerhill, yaitu sekolah di Inggris yang terkenal dengan kebebasan yang absolut.
“Keistimewaan sekolah ini adalah bagaimana mereka mencoba menanamkan
rasa tanggung jawab pada murid-muridnya melalui kebebasan yang hampir
absolut” (hlm. 24).
DAFTAR PUSTAKA
Chudori, Leila S. 2012. Malam Terakhir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ratna, Prof. Dr. Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Triadnyani, I Gusti Ayu Agung Mas. 2014. “Fenomena Rangda dan
Pemaknaannya: Kajian Hermeneutika Ricoeur dalam Teks Calon Arang dan
Novel Janda dari Jirah”. Disertasi: Universitas Indonesia Depok.
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra.
Depok: PT Komodo Books.
Abstrak
Kata kunci: Potensi, Karya sastra Arab, Karya sastra Indonesia, media elektronik,
Sastrawan
1. PENDAHULUAN
Saat ini dapat disebut dengan era global, yaitu era yang sedang berlangsung
dan dimulai semenjak tahun 1980-an. Media-media elektronik, seperti internet,
televisi, dan lain sebagainya merupakan salah satu tanda atas kemajuan suatu masa
atau era.Dalam dunia kesusastraan Arab, tahun 1980 merupakan awal masa modern
yang melahirkan karya-karya sastra dengan beragam genre. Istilah “global” itu
sendiri dimaksudkan dengan “mendunia”, “meliputi atau melingkupi segala aspek”.
Di sinilah titik awal mula mendunianya karya-karya sastra Arab.
Berpijak pada tahun 1980, kesusastraan Arab mengalami perubahan yang
besar dalam orientasi penulisan dan tema-tema yang diusungnya. Pada periode
sebelumnya, mayoritas kesusastraan Arab yang berkembang adalah bergenre syair
atau puisi. Akan tetapi, pada masa modern ini, genre kesusastraan Arab menjadi
beragam jenisnya. Era global menduniakan karya sastra Arab, hingga sampai ke
Indonesia. Berbagai cara untuk menduniakan karya sastra di antaranya adalah
melalui penerjemahan dalam beragam bahasa, menayangkan melalui media visual
(televisi dan internet) dengan beragam versi bahasa, melalui karya-karya
transformasi, dan lain sebagainya. Sebagai bukti, dapat disebutkan karya-karya para
sastrawan Arab, yaitu Najib al-Kilany. Seorang sastrawan Mesir yang berhasil
merepresentasikan kembali sejarah G-30-S PKI yang terjadi di Negara Indonesia
melalui karya sastranya yang berjudul “Adzra Jakarta” dalam versi bahasa
Indonesia diterbikan dengan judul “Gadis Jakarta”. Pembaca Indonesia tentunya
tergerak sikap nasionalismenya untuk membaca karya tersebut, memahami sejarah
bangsanya secara historis, dan menumbuhkan sikap cinta pada tanah air yang lebih,
apabila dibandingkan dengan orang yang berasal dari negara lain. Pada sisi lain,
sastrawan perempuan Mesir-pun telah mendunia karya-karyanya. Nawal Sa’dawi
dengan karyanya berjudul “Al-Mar’ah ‘Inda Nuqthathish-Shifr”, telah dialihkan
dalam bahasa Indonesia dengan judul “Perempuan di Titik Nol”, dan lain
sebagainya.Banyaknya karya sastra Arab yang telah diterjemahkan ataupun
ditayangkan melalui media visual ini menjadikan permasalahan tersendiri yang
perlu dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai potensi karya sastra Arab. Lebih
jelasnya potensi apa saja yang dilahirkan oleh karya sastra Arab serta pengaruhnya
bagi masyarakat Indonesia. Sejumlah sastrawan Arab yang karyanya telah
3. PEMBAHASAN PENELITIAN
Anak-anak Gebelawi (1959), salah satu dari karya Mahfudz yang terbaik,
dilarang beredar di Mesir karena dianggap menghujat karena
menggambarkan Allah dan agama – agama Abrahamik monoteistik Yudaisme,
Kristen dan Islam. Pada 1989, setelah dikeluarkannya fatwa murtad
terhadap Salman Rushdie, seorang teolog Mesir yang buta, Omar Abdul-Rahman,
mengatakan kepada seorang wartawan bahwa andaikata Mahfudz telah dihukum
karena menulis novel ini, Rushdie tentu tidak akan berani menerbitkan novelnya.
Syekh Omar selalu mengatakan bahwa ini bukanlah fatwa, tetapi pada 1994 para
ekstremis Islam, yang percaya bahwa itu adalah sebuah fatwa, berusaha membunuh
novelis berumur 82 tahun itu, menikamnya di lehernya di luar rumahnya di Kairo,
Mahfudz bertahan dan sejak itu terus-menerus dikawal. Akhirnya, pada awal 2006,
novelnya diterbitkan di Mesir dengan pengantar yang ditulis oleh Ahmad Kamal
Abu Almajd (https://id.wikipedia.org/wiki/Naguib_Mahfouz; Kamil, 2013: 162).
sebagaimana dunia adalah wakaf Tuhan untuk manusia. Dan petaka mulai
ketika muncul hasrat tamak ingin menguasai tanah wakaf, dan ketika terjadi
pelanggaran terhadap sepuluh syarat yang telah ditetapkan oleh Al-Jabalawi
sebagai pemilik asal (hlm. 6), sebagaimana pelanggaran manusia terhadap
sepuluh perintah Tuhan.
Dua kisah persidangan itu berakhir sama. Baik keputusan Allah maupun Al-
Jabalawi tidak bisa dibantah. Adam menjadi khalifah di bumi, demikian halnya
dengan Adham menggantikan ayahnya mengurus wakaf. Iblis harus pergi dari
surga, pun Idris diusir dari Rumah Besar itu.
Hadirnya sastra Arab di era global ini tidak terlepas dari “kekuatan” karya
sastra itu sendiri dan pengaruh yang ditimbulkan setelah membaca karya tersebut.
Dalam episode Adham tersebut di atas dapat dikaji bahwa tokoh Adham
Pada sisi yang lain pada karya ini ditampilkan sikap menerima keadaan.
Sebagaimana yang dialami oleh Adham; dia terkena hasutan Idris sehingga
melanggar amanat yang dipercayakan. Sehingga Idris dikeluarkan oleh Jabalawi
dari rumah besar dan meninggalkan semua kemegahan dan kenikmatan dari rumah
Jabalawi. Sikap menerima ini merupakan sikap baik yang dimiliki Adham.
Sebagaimana kebaikan selalu berdampingan dengan keburukan, demikian halnya
rumah Adham berdampingan dengan rumah Idris. Meskipun demikian, Adham
tidak membalas kepada Idris. Adham selalu berusaha mengintrospeksi diri dalam
segala sikapnya, meskipun terkadang-kadang sifat dan sikap Idris muncul dalam
dirinya. Akan tetapi, kekuatan hati Adham untuk senantiasa taat kepada Jabalawi
menjadikannya manusia yang dapat melindungi diri dari perilaku buruk. Secara
ringkas, potensi positif yang ditimbulkan adalah:
hal dapat diakses melalui internet termasuk karya sastra (bdk. http://mr-
kazikame.blogspot.co.id/2013/05/dampak-positif-dan-negatif-era.html).
Sifat dan sikap yang buruk yang direpresentasikan oleh Idris tidak pernah
hilang. Dia senantiasa berbuat buruk kepada Adham meskipun Adham telah
menjadi orang yang tidak mampu, dan terlebih lagi menjadi tetangganya. Demikian
halnya dengan Iblis, sifat dan sikap Iblis yang selalu menggoda manusia untuk
berbuat buruk dan melanggar syariat agama, tetap dilakukan sebagai bentuk
penentangan kepada Allah swt. Secara ringkas, dampak negatif dari karya sastra
yang beredar di media eletronik dalam balutan era modern ini adalah:
4. SIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa
kehadiran karya sastra (apapun) Arab, memiliki potensi untuk mempengaruhi dan
menghibur pembacanya. Dalam penyerapannya, potensi karya sastra di era global
ini tidak menutup kemungkinan untuk memberikan potensi yang positif bagi
pembacanya, demikian pula sebaliknya, dapat menimbulkan potensi yang negatif
ketika pembaca tidak dapat menginterpretasikan karya sastra dengan baik.
Kesemuanya itu bergantung pada norma-norma yang dipegang, pengalaman
membaca suatu karya sastra, dan pengetahuannya.
Hal yang terjadi pada “Auladu Haratina” ini pun bergantung kepada
pembaca, di satu sisi ia merupakan karya yang baik karena menanamkan ajaran
religius bagi masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, karya ini diinterpretasikan
DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Sukron. 2013. Najib Mahfuz: Sastra, Islam, dan Politik.Jakarta: Dian
Rakyat.
Machfudz, Najib. 2007. Auladu Haratina.Kairo: Dar Syuruq.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Jaus, Han Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapoli: University
of Minnesota Presi.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik dan
Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, metode, Teknik, dan Kiat.
Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia barat, FIB, UGM.
Segers, Rien T. 1978. The Evaluation on Text. Lisse: The Peter de Ridder Press.
Sumber dari internet:
https://id.wikipedia.org/wiki/Naguib_Mahfouz
https://id.wikipedia.org/wiki/Anak-anak_Gebelawi
http://mr-kazikame.blogspot.co.id/2013/05/dampak-positif-dan-negatif-
era.html
https://galihpratama.net/sikap-dan-perilaku-remaja-di-era-globalisasi/
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci tentang
pelaksanaan tradisi Serakal dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu di
Sungai Pasir Tanjung Balai Karimun. Tradisi Serakal adalah sebuah kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat Melayu di Sungai Pasir Tanjung Balai Karimun
kepulauan Riau pada acara pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif jenis studi dokumen. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik
dokumentasi, berupa foto-foto pelaksanaan tradisi Serakal. Pembahasan mengenai
pelaksanaan tradisi ini menggunakan teori Hamidy (2006: 22) peristiwa kehidupan
berlangsung dengan upacara, yaitu: 1) waktu; 2) tempat; 3) peralatan; 4) teks
upacara; 5) pelaku dan peserta upacara.
Temuan penelitian, menghasilkan: 1) pelaksanaan tradisi ini diadakan
sesudah pernikahan, agar dua insan yang telah memulai hidup berumah-tangga
menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan, warrahmah, serta dijauhi dari segala
marabahaya; 2) dilaksanakan di ‘bangsal’ yang ditepatkan di depan rumah
pengantin perempuan; 3) perlengkapan pada tradisi ini, adalah: beras kuning, beras
putih, telur ayam, air putih, bunga rampai; 4) teks upacara berupa ayat-ayat suci
alqur’an dan salawat nabi, dibacakan saling menyahut antara satu dengan lainnya,
sehingga terbentuk sebuah vokal yang berirama seperti seorang yang bersyair; 5)
tradisi Serakal dilakukan oleh para sesepuh dan orang-orang yang dituakan. Melalui
tulisan ini diharapkan dapat mengaktualisasikan nilai-nilai budaya masyarakat
Sungai Pasir sebagai identitas bangsa.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan seseorang
bersifat kompleks, memiliki eksitensi dan berkesinambungan serta menjadi warisan
sosial. Banyak kebudayaan mempunyai beberapa pranata tertentu yang menjadi
unsur pusat dalam kebudayaan, sehingga digemari oleh sebagian besar masyarakat.
Selain itu, dengan hidupnya kebudayaan secara tidak langsung dapat
Sungai Pasir dengan mengikuti aturan-aturan dan kebiasaan yang berlaku secara
turun temurun. Ada beberapa tahapan yang dilakukan pada pelaksanaan Tradisi
Serakal yaitu: (1) pembacaan ayat suci Al-qur’an (berzanji); (2) pembacaan bacaan
Tradisi Serakal; (3) tepuk tawar oleh para sesepuh secara bergantian.
Tradisi Serakal dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu di Sungai
Pasir Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau merupakan penelitian awal.
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan generasi yang akan
datang serta dapat menambah wawasan berfikir generasi muda dan dapat
mengaktualisasikan nilai-nilai budaya masyarkat Sungai Pasir sebagai identitas
bangsa.
2. PEMBAHASAN
Teori UU Hamidy Tentang Pelaksanaan Tradisi
Permasalahan tentang pelaksanaan Tradisi Serakal menggunakan teori UU
Hamidy (2006:22) tiap peristiwa dari kehidupan biasanya berlangsung dengan
upacara. Setiap upacara meliputi: (1) waktu, (2) tempat, (3) peralatan, (4) teks
upacara, (5) pelaku dan peserta upacara. Tradisi Serakal dalam upacara pernikahan
masyarakat Melayu di Sungai Pasir Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau ini
juga melalui beberapa tahapan yang sesuai dengan tahapan yang dikemukanan oleh
UU Hamidy di atas. Ada beberapa tahapan yang dilakukan pada pelaksanaan
Tradisi Serakal, yaitu: (1) pembacaan ayat suci Al-qur’an (berzanji); (2) pembacaan
bacaan Tradisi Serakal; (3) tepuk tawar oleh para sesepuh secara bergantian.
Pelaksanaan Tradisi Serakal
Ada beberapa komponen pelaksanaan Tradisi Serakal dibahas sesuai
dengan pendapat UU Hamidy, ataralain sebagai berikut.
1. Waktu pelaksanaan Tradisi Serakal
Pelaksanaan Tradisi Serakal dilaksanakan setelah akad nikah dan acara
menyembah karena di dalam proses pelaksanaan Tradisi Serakal terdapat tepuk
tepung tawar yang merupakan tradisi yang dilakukan untuk mendoakan pasangan
pengantin yang sudah sah menikah. Proses Tradisi Serakal tidak bisa dilakukan
sebelum akad nikah karena pasangan pengantin belum sah menjadi pasangan suami
istri.
Tradisi Serakal biasa dilakukan di pagi hari menjelang resepsi atau pesta
pernikahan berlangsung. Namun, ada juga dilaksanakan di malam hari karena
pelaksanaan akad nikah dilakukan malam hari. Waktu pelaksanaan Tradisi Serakal
disesuaikan dengan waktu akad nikah. Selesai akad nikah, diadakan Tradisi
Serakal. Pada penelitian ini Tradisi Serakal (gambar1) dilakukan pagi hari pukul
10.00 s/d 11.00 Wib. Pelaksanaan tradisi ini dimulai apabila sekelompok besar
sesepuh dan orang-orang tua sudah duduk bersila. Setelah itu, baru dilaksanakan
berzanji (mengaji) oleh salah seorang dari anggota serakal. Kemudian, dilanjutkan
dengan Tradisi Serakal memuja-muji Nabi dengan saling bersahutan, yang dimulai
ketika anggota serakal berdiri.
Gambar 1
Seluruh anggota serakal memulai bacaan serakal, ketika seluruh anggota serakal
berdiri, dan terlihat pada gambar matahari mulai muncul menunjukkan waktu pagi
menjelang siang sekitar pukul 10.00 s/d 11.00 WIB
seperti gambar di bawah ini. Panggung terbuat dari kayu atau sering disebut
(bangsal) oleh masyarakat setempat.
Gambar 2
Tempat pelaksanaan Tradisi Serakal tampak anggota serakal duduk di
panggung yang dibuatkan di teras rumah pengantin perempuan. Jarak antara tempat
duduk anggota serakal dengan pagar tembok rumah, tampak tidak terlalu jauh,
menandakan bahwa lantai yang seharusnya sudah lebih tinggi dengan dibuatkan
panggung yang terbuat dari papan dan dialasi dengan tikar pandan serta karpet
merah
Gambar 3
Beras kuning yang diletakkan dalam mangkok kecil
(2) Beras Putih (gambar 4) adalah beras yang biasa dikosumsi sehari-hari sebagai
nasi yang memiliki warna putih. Beras putih ini dipercayai oleh masyarakat
sebagai pelambang rezeki bagi masyarakat dan bisa membersihkan diri dari
yang kotor dan juga mensucikan diri secara lahir dan bathin.
Gambar 4
Beras putih yang diletakkan dalam mangkok kecil
(3) Telur ayam (gambar 5), merupakan makanan yang sering dikosumsi sehari-
hari oleh manusia. Dalam Tradisi Serakal melambangkan pengharapan agar
kedua pasangan yang menikah kelak akan bisa menjalankan kehidupan,
mendapatkan rezeki makanan yang dapat dikosumsi di dalam keluarga yang
dibinanya.
Gambar 5
Telur ayam yang diletakkan dalam mangkok kecil
(4) Air Putih (gambar 6) adalah air putih masak yang biasa kita konsumsi sehari-
hari, memiliki warna putih bersih dan jernih dan dipercayai bahwa air putih
bisa memberi kelancaran, kejernihan, dan kesucian hati.
Gambar 6
Air putih yang diletakkan dalam mangkok besar
(5) Bunga Rampai (gambar 7), terbuat dari bermacam-macam bunga yang diiris
tipis, oleh masyarakat setempat disimbolkan sebagai bunga persahabatan,
persaudaraan, dan harumnnya keakraban dalam bertetanga.
Gambar 7
Bunga rampai yang terdiri dari campuran berbagai macam jenis bunga
diletakkan dalam piring
Gambar 8
Bacaan Tradisi Serakal dengan tulisan Arab, yang memuja-muji nabi Muhammad
S.A.W.
3. PENUTUP
Pelaksanaan Tradisi Serakal, tidak saja sebagai sebuah kegiatan, tetapi juga
‘peristiwa budaya’ yang dilakukan oleh seluruh masyarakat Melayu di Sungai Pasir
Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau pada acara pernikahan. Melalui
pelaksanaan Tradisi Serakal dapat mengatualisasikan kembali nilai-nilai budaya
lokal, sehingga dapat dijadikan jati diri bangsa Indonesia. Tradisi Serakal, jika
dilihat dari bahasan di atas terdapat ciri-ciri yang disebut Jenifer Lindsay (2006: 4),
sebagai ciri-ciri utama kesenian tradisi yaitu: (1) berorientasi lokal; (2) mewakili
kesinambungan dengan masa silam; (3) keberadaannya terutama adalah
berorientasi non komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Hamidy, UU. 2006. Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau., Pekanbaru:
Bilik Kreatif Press.
Lindsay, Jenifer. 2006. Berguru Pada Seni Tradisi: Jurus-Jurus Tatakelola Dari
Indonesia, dalam Jenifer Lindsay, ed., Telisik Tradisi: Pusparagam
Pengelolaan Seni. Jakarta: Yayasan Kelola.
Osman, Mohd Taib. 1985. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian
Melayu Universiti Malaya.
Abstrak
Kekayaan teks (film, novel, seni pertunjukan) terletak di tangan
pembaca/penonton. Tanpa pembaca/penonton, makna teks tidak terungkap. Laskar
Pelangi sebagai sebuah teks merupakan peristiwa fenomenal pada zamannya.
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai penafsiran terhadap teks
Laskar Pelangi yang dikaitkan dengan wacana-wacana yang melingkupinya.
Gadamer (1999) menjelaskan bahwa cakrawala pembaca terkait tradisi, otoritas,
dan prasangka.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan resepsi dengan
menggunakan sumber-sumber internet dan buku-buku referensi. Kesimpulannya,
film/novel merupakan instrumen pencipta realitas yang berpihak pada kepentingan
ekonomi dan politik. Sebaliknya, film/novel dapat dipakai juga untuk memberi
kritik sosial.
1. LATAR BELAKANG
Ketika teks, baik berupa novel atau film dilempar ke tengah-tengah publik,
ia menjadi milik pembaca/penonton itu. Secara historis, penulis hanya satu, bersifat
faktual karena itu dapat mati atau dimatikan. 1 Sementara, pembaca adalah jamak,
bersifat fiksional. Mereka lahir terus, kematiannya selalu digantikan oleh pembaca
lainnya, dan selalu mutakhir dari pembaca yang terdahulu. Roh dan reinkarnasi
karya ada dalam pembaca. Mereka berkuasa atas pemberian makna baru. Ini
merupakan deretan pernyataan tentang dominasi pembaca masa kini.
1
Kita mungkin masih ingat dengan pernyataan ‘the death of the author’ (Roland Barthes)
Salah satu keberhasilan film ini, karena ini merupakan hasil adaptasi dari
novel yang populer dan digemari oleh pembaca Indonesia. Sebagaimana dikatakan
oleh Hanung Brahmantayo (dalam http://warungfiksi.net): “…biasanya yang
berangkat dari sesuatu yang best seller cenderung box office.” Brahmantyo
memberikan contoh film-film sukses di kancah internasional yang diadaptasi dari
novel best seller, sebagaimana terjadi pada film The Lord of the Ring, Harry Potter,
serta Da Vinci Code. Kesuksesan film Laskar Pelangi memang tidak bisa
2
Sejak awal pemutarannya tanggal 25 September 2008, jumlah penonton Laskar Pelangi sudah
mencapai empat juta orang (Tempo Interaktif, Jakarta, 14/11/2008). Sedangkan menurut Kompas
(Minggu, 7 Desember 2008), film Laskar Pelangi per tanggal 5 Desember 2008 telah berhasil
mengumpulkan 4.360.000 penonton. Jumlah tersebut dimungkinkan akan masih bertambah
karena sampai dengan tanggal 7 Desember 2008, film tersebut masih diputar di beberapa bioskop
di daerah. Menurut majalah Rolling Stone, sampai Agustus 2008 novel Laskar Pelangi telah terbeli
sebanyak 600.000,- eksemplar. Jumlah yang sangat tinggi untuk ukuran karya sastra dalam negeri.
3
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/10/09/e074312/Presiden.SBY.Janji.
Iklankn.Laskar.Pelangi
dipisahkan dari best seller-nya novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Larisnya
novel ini dilanjutkan dengan novel kedua, Sang Pemimpi, novel ketiga, Endesor,
dan yang terakhir, Maryamah Karpov. Novel yang laris sering menjadi alasan
utama untuk diangkat menjadi sebuah tontonan. Setidaknya, menurut pandangan
produser film, jumlah pembaca secara tidak langsung dapat dipakai untuk
mengukur tingkat kelarisan sebuah film. Di samping kelarisan novel, adakah alasan
lain yang menyebabkan film ini mendapat respon yang sedemikian kuat dari
penonton?
Tulisan ini berusaha melihat berbagai cara menafsirkan teks (baik film
maupun novelnya), yang dilakukan oleh pembaca/penonton Laskar Pelangi.
Pembacaan satu teks yang sama akan menghasilkan bermacam-macam tafsiran.
Sebagai sebuah tanda, tafsiran terhadap novel/film Laskar Pelangi arbitrer.
Derrida (dalam Kaelan, 1998: 244) mengatakan bahwa setiap tanda bersifat arbitrer
(manasuka) dan tidak menurut kodratnya sebagaimana adanya. Berkaitan dengan
pendapat Derrida, Weittgenstein (1983: 23) mengatakan bahwa makna sebuah
kata bergantung pada penggunaannya dalam suatu kalimat. Makna kalimat
bergantung pada penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa
bergantung pada penggunaannya dalam hidup. 4
4
Selengkapnya baca M.S. Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.
Yogyakarta: Paradigma. Hal. 149-244.
5
Wacana (discourse) menurut Foucault dapat diartikan sebagai suatu cara pendeskripsian,
pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, sesuatu, pengetahuan, serta
sistem pemikiran yang abstrak. Foucault menambahkan bahwa di dalam wacana tidak bisa lepas
dari relasi kuasa. (Philip Smith, Cultural Theory: An Introduction, Blacwell Publisher, USA, 2001,
hal.122).
tidak sepenuhnya didukung oleh Pak Harfan, kecewa terhadap ejekan guru SD PN
Timah terhadap Harun saat Laskar Pelangi harus ikut ujian di SD tersebut.
Tentang negara yang tidak bertanggung jawab pada aspek visual memang
tidak terlalu diperlihatkan dengan jelas. Meski secara tidak langsung diwakili oleh
tembok-tembok tebal yang membatasi kampung dengan kawasan PT Timah,
namun, pada bagian akhir film ini secara eksplisit memperlihatkan teks yang
merupakan pasal dalam konstitusi tentang hak akan pendidikan. Bahwa, setiap
warga negara berhak atas pendidikan!
Sementara itu tentang perjuangan hidup, secara visual melekat pada tokoh
Lintang, sebagaimana digambarkan di dalam novel. Hal ini diperlihatkan oleh
kayuh sepeda Lintang, menunggu buaya yang merintangi jalan, mengurus adik-adik
saat ayahnya melaut, memanfaatkan segala sesuatu, termasuk waktu untuk belajar.
Bagian yang dramatis adalah saat ucapan perpisahan Lintang pasca meninggalnya
sang Ayah saat melaut. Pada narasi ditegaskan bagaimana Lintang berperinsip agar
sekolah itu tetap eksis, selalu datang paling pagi, dan meninggalkan sekolah paling
awal akibat ketidakadaan biaya. Moralitas dan "akhlak" diperlihatkan secara visual
oleh karakter Pak Arfan sebagai kepala sekolah. Tokoh inilah yang menegaskan
tentang kewajiban manusia memberi sebanyak-banyaknya, bukan sebaliknya.
Sebagaimana pula yang terungkap dalam sebuah dialog dengan seorang sahabatnya
yang selalu memberi bantuan beras pada sekolah. Dalam dialog ini sang tokoh
menegaskan bahwa sekolah ini mengajarkan hal yang tidak hanya diukur dari
angka-angka, namun juga dari segi moralitas.
Meskipun film Laskar Pelangi tergolong film anak-anak, film ini tidak
hanya menyita perhatian penonton anak-anak. Justru para orang tua merasa
berkepentingan untuk menyaksikan film ini. Mereka beranggapan film ini
merupakan salah satu film keluarga yang patut ditonton karena mengandung
sejumlah pesan moral, antara lain semangat dan cita-cita untuk tidak mudah
menyerah. Berikut ini di sajikan komentar beberapa penonton terhadap film ini.
Gagasan tentang pendidikan sangat kuat muatannya dalam film ini, bahkan
sutradara merasa perlu meletakkan persoalan ini di awal kisah. Kisah tentang
sebuah sekolah madrasah yang nasibnya tergantung dari jumlah murid yang hadir
pada pertemuan pertama. Apabila tidak mencapai jumlah sepuluh orang, sekolah
akan ditutup. Ironis. Pendidikan memang selalu menjadi persoalan utama yang
diusung ke mana-ke mana, namun ujung-ujungnya tidak pernah mendapatkan porsi
tanggapan yang besar dari pemerintah, maupun institusi-institusi lain yang
berkepentingan. Semua orang berbicara tentang pentingnya pendidikan. Mereka
menyadari dan memahami peranan yang ditumpukkan kepada sektor pendidikan,
namun praktik dan penerapannya selalu tidak memuaskan. Pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari kekuasaan yang bermain di atasnya. Seperti telah dijelaskan oleh
Foucault cakar-cakar kekuasaan telah sedemikian rupa menyebar dan membentuk
jaringan yang kuat. Untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia tentu saja
bukan semata-mata bicara tentang perubahan konsep pendidkan itu sendiri yang
berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan: jumlah sekolah, gedung,
kurikulum, metode pengajaran, pengajar, buku, dan lain-lain, namun faktor
ekonomi, politik, dan sosial, terutama hal-hal yang mendasari keseluruhan cara
berpikir individu. Film Laskar Pelangi menunjukkan bagaimana pendidikan belum
diberdayakan secara maksimal.
Karnaval itu akhirnya tiba juga. Mahar menjadi pahlawan yang dipuja-
puja… Reaksi penonton dan juri karnaval dalam Laskar Pelangi mirip dengan
orang-orang Eropa beradab di Paris akhir abad ke-19. Mereka berdecak kagum
melihat pertunjukan aneh nan eksotis itu. Tentu dari mata warga kolonial Eropa,
yang diwakili oleh Andrea dan ditularkannya kepada seluruh audiens dalam novel
larisnya itu, marching band yang sudah sering mereka lihat tidak akan bisa
menandingi tarian langka bangsa ‘biadab’ ini. Sungguh sebuah adopsi sempurna
colonial mind dari seorang putera Melayu Belitong. 6
Film menjadi topik menarik dalam wacana kebudayaan karena
menghadirkan realitas semu yang memberikan penafsiran tertentu tentang realitas.
6
Nurhady Sirimorok. 2008. Laskar Pemimpi: Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi
Indonesia. Yogyakarta: Insist Press. Hal. 136.
Tulisan ini memang lebih melihat berbagai penafsiran yang dilakukan oleh
penonton, dengan memperlihatkan pengetahuan publik tentang film ini serta
mengaitkannya dengan wacana-wacana yang muncul. Penafsiran penonton ini
sekaligus memberikan gambaran beragam tentang maksud film itu sendiri (yang
diterjemahkan oleh penontonnya). Setiap penonton dan pembaca teks akan
memaknai film berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Tentu saja yang dipentingkan adalah pemaknaan itu sendiri, bukan
mencari pemaknaan siapa yang paling benar. Meski secara kuantitas kemudian
dapat dilihat bagaimana makna "dominan" yang dimiliki oleh publik, terkait dengan
pengalaman dan pengetahuan apa yang juga "dominan" di masyarakat. Laskar
Pelangi memperlihatkan hal ini dengan baik. Bagaimana publik memaknai hingga
terbentuk wacana-wacana besar.
4. PENUTUP
Makna suatu teks bersifat arbitrer. Hal ini, merupakan suatu keniscayaan
adanya bermacam-macam tafsiran terhadap satu teks yang sama. Masing-masing
tafsiran tidak bisa disimpulkan mana yang benar serta mana yang salah, ataupun
tafsiran mana yang baik, mana yang buruk. Masing-masing tafsiran dari proses
membaca mempunyai kebenaran. Hal yang lebih penting dan dari sekedar masuk
dalam perdebatan tentang penentuan tafsiran baik dan buruk kembali pada
pemahaman bersama bahwa pada hakikatnya suatu karya sastra (baca: teks)
mengandung serta mencerminkan kenyataan sosial. Biarkanlah pembaca
mengambil konsep dulce dan utile suatu teks sesuai selera, latar belakang,
tujuannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Gadamer, Hans-Georg. 1999. Truth and Method. Edisi revisi kedua. Diterjemahkan
oleh Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall. New York: Continuum.
Jorgensen, Marianne dan Louise Phillips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan
Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yogyakarta: Paradigma.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia._
Abstrak
Karya sastra merupakan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan ide, pendapat
bahkan pembelajaran tentang masalah kehidupan manusia yang berkisar pada
kehidupan individual, sosial bahkan percintaan (Nurgiyantoro, 2005). Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa pengarang memberi muatan nilai kehidupan
yang lain seperti nilai nasionalisme dan nilai profesionalisme. Kedua nilai itulah
yang ada di dalam cerita pendek The Enemy yang ditulis oleh Pearl S. Buck. Kedua
nilai yang hingga masa kini masih sangat diperlukan dikemas dengan cara yang
menarik dalam cerita pendek tersebut melalui elemen-elemen cerita yaitu
characters, plots, setting, dan sebagainya. Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan
kepada pembaca bagaimana cara tokoh-tokoh di dalam cerita ini merepresentasikan
nilai-nilai nasionalisme dan profesionalisme sehingga dapat ditiru oleh
pembacanya. Pembedahan cerita ini dilakukan dengan menggunakan teori
Pengkajian Sastra yang ditulis oleh Nurgiyantoro (2005).
1. PENDAHULUAN
Karya sastra sudah dikenal sebagai alat yang digunakan oleh penulis untuk
menyampaikan perasaan, pemikiran dan ide yang semuanya disampaikan melalui
ketiga jenis karya sastra yaitu prosa, drama dan puisi. Penulis merupakan sosok
yang memiliki beragam pengalaman dan hal tersebut menyebabkan karya mereka
memiliki beragam tema, pesan dan topik. Berdasarkan fakta bahwa karya sastra
mengandung pengalaman penulis baik yang merupakan fakta maupun imajinasi,
dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan sumber pengetahuan, sumber
pembelajaran yang dapat meningkatkan perilaku dan cara berpikir pembacanya.
Artikel ini terpusat pada prosa, khususnya cerita pendek. Berdasarkan
definisinya, cerita pendek adalah karya sastra yang dibangun oleh plot, character,
setting, point of view, style and tone, structure and technique, and theme (Kenney,
1966). Elemen-elemen inilah yang mendukung tema cerita. Tema cerita dalam
prosa harus berbentuk klausa atau kalimat. Tema adalah ide sentral atau ide yang
mendominasi cerita atau pesan cerita yang implisit (Morner dan Rausch, 1998).
Karena tema itu muncul secara implisit, tema hanya dapat diketahui dengan cara
membaca keseluruhan cerita dan tema tersebut dapat berupa ajaran moral atau
pandangan penulis terhadap dunia. Penulis juga mungkin menyelipkan nilai-nilai
hidup tertentu ke dalam tema yang dibentuk. Kenney (1966) menyatakan bahwa
tema berbeda dengan topik, karena topik cerita menyatakan tentang isi cerita.
Melihat begitu berharganya isi sebuah karya sastra, sangat disayangkan apabila
banyak orang tidak suka membacanya.
Melalui sebuah karya sastra yang berjudul The Enemy yang ditulis oleh
Pearl S. Buck, keinginan untuk mempresentasikan nilai-nilai berharga yang
terkandung dalam sebuah karya sastra dapat dilaksanakan. Pemaparan tantang nilai-
nilai berharga dalam cerita ini diharapkan dapat menunjukkan betapa pentingnya
membaca karya sastra, dalam hal ini cerita pendek karena dengan membaca karya
sastra, para pembaca dapat meningkatkan karakter mereka, dapat memperkaya
pengetahuan tanpa harus mengalami sendiri cerita yang dialami oleh pemeran
dalam cerita. Pembaca dapat belajar melalui tokoh-tokoh dalam cerita yang
mungkin juga merupakan pengalaman penulis cerita tersebut. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa di samping sebagai hiburan, karya sastra dapat dianggap
sebagai sarana pembelajaran. Sehubungan dengan cerita pendek The Enemy ada dua
nilai dibahas yaitu nilai profesionalisme dan nasionalisme. Profesionalisme adalah
tingkah laku, kepakaran atau kualitas seseorangf yang professional, sedangkan
nasionalisme adalah rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air.
2. LANDASAN TEORI
Bathnagar (2012) menyebutkan dalam artkelnya yang berjudul “Bhagvad
Gita: Trancending Time and Space” bahwa Bhagvad Gita tidak hanya merupakan
pengelolaan diri melainkan juga pengelolaan organisasi yang sangat berguna bagi
masyarakat pasca modernisasi dan juga bagi orang yang menggeluti berbagai
pekerjaan di dunia. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa dalam Bhagvad Gita
terdapat pengetahuan bagaimana cara berperilaku dan mengelola organisasi
keluar dari konflik disajikan. Penilaian tentang apakah sebuah karya sastra itu dapat
dikatakan baik dapat diukur dengan menggunakan hukum alur cerita (Kenney,
1966) yang terdiri atas (a) apakah cerita tersebut masuk akal , (b) apakah cerita itu
memiliki elemen kejutan, dan (c) apakah cerita itu memiliki unsur ketegangan.
Cerita yang bagus biasanya memiliki ketiga unsur di atas.
mengatakan bahwa dia akan mengirim pembunuh untuk membunuh Tom. Berhari-
hari ditunggu, pembunuh tersebut tidak juga datang. Karena tidak tahan melihat
istrinya selalu berada dalam ketakutan, akhirnya Sadao membebaskan Tom. Dia
memberi Tom sebuah perahu, lampu senter serta makanan dan mengirim Tom ke
pulau di seberang. Dia berpesan, bahwa Tom hanya boleh naik ke perahu Korea
yang singgah di pulau tersebut. Apabila perahu Korea tersebut belum datang dan
makanannya habis, Sadao meminta Tom untuk mengirimkan tanda dalam bentuk
dua kali kedipan lampu senter dan apabila makanan masih ada dan dia selamat di
pulau tersebut, Tom diminta untuk memberi tanda satu kedipan lampu senter. Tanda
tersebut tidak boleh dilakukan pada saat hari gelap karena akan terlihat oleh orang
lain.
Setelah Tom dibebaskan, Sadao melapor kepada Sang Jenderal dan ternyata
Sang Jenderal merasa bersalah karena tidak menepati janjinya. Dia bahkan memberi
Sadao hadiah dan meminta tidak menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Sadao
merasa aman karena Sang Jenderal sudah berada dalam genggamannya. Akan tetapi
sebenarnya yang membuat dia senang, bukan hadiah dari Sang Jenderal, akan tetapi
dia lebih bahagia pada saat dia tidak melihat ada tanda lampu senter dari Tom. Pada
saat itu Sadao merasa aneh, mengapa dia tidak sanggup membunuh Tom.
4. ANALISIS
Seperti telah disebutkan sebelumnya, tulisan ini membahasa dua nilai positif
yang terkandung dalam cerita The Enemy yaitu nilai profesionalisme dan nilai
nasionalisme. Penempatan urutan penulisan kedua nilai tersebut hanya didasarkan
pada nilai mana yang terlebih dahulu dibuktikan dalam cerita tersebut. Tidak ada
maksud menyatakan bahwa yang disebut pertama lebih penting dari yang disebut
kedua karena keduanya sama-sama penting. Untuk mendukung analisis, beberapa
potongan cerita diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Alasan tidak
mencatumkan kutipan aslinya adalah untuk lebih efektif dan efisien dalam
melakukan analisis.
Analisis Profesionalisme
Data 1
“Apa yang harus kita lakukan terhadap orang ini?” Sadao be)rguman.
(Buck,1932:243)
Data 2
“Sadao tetap memilih untuk mengoperasi pemuda tersebut meskipun
mendapat tantangan dari para pembantunya. Salah seorang pembantunya
malah mengatakan bahwa pemuda itu harus mati karena pertama, pemuda
tersebut tertembak, kedua laut menangkapnya dan melukainya dengan
karang dan jika tuannya menolong pemuda itu, pasti aka nada balasannya”
(Buck, 1932:245)
Kata-kata tersebut mengandung ancaman yang membuat Hana juga merasa
takut. Sadao tetap melakukan pertolongan terhadap pemuda itu dengan melakukan
operasi. Perbuatannya ini menyebabkan para pembantunya meninggalkan rumah
dan menyebabkan keduanya semakin sibuk karena harus mengurus kedua anak
mereka.
Data 3
“Pada saat melakukan operasi, Hana merasa mual melihat darah yang
menyembur dari luka pemuda tersebut. Dia tersedak dan wajahnya menjadi
pucat. Sadao menatap wajahnya dan berkata dengan tajam “jangan pingsan”
(Buck, 1932:246)
Data 4
“Tekanan terhadap istrinya dan ketidak mampuan menolong istrinya yang
muntah membuat Sadao merasa kesal kepada pemuda itu sehingga tanpa
sadar dia menjadi lebih kasar dan lebih cepat melakukan operasi meskipun
dalam hati dia tidak melihat alas an kenapa pemuda tersebut harus hidup
(Buck 1932:246)
Data 3 menunjukkan bahwa Sadao lebih mendahulukan pemuda tersebut
daripada menghentikan operasi dan menolong Hana. Hana yang tidak tahan melihat
semburan darah akhirnya keluar dari ruangan operasi itu dan muntah. Suara Hana
muntah didengar oleh Sadao yang merasa kesal kepada pemuda yan g telah
menyebabkan istrinya menderita. Seperti yang disampaikan pada data 4, Sadao
bukannya berhenti melakukan operasi tetapi malah semakin mempercepat
pekerjaannya meskipun dengan cara yang agak kasar. Apabila dia bukan seorang
dokter lebih mengutamakan profesionalisme, dia pasti tidak akan mendahulukan
musuh daripada istrinya sendiri.
Analisis Nasionalisme
Data 5
“Dia bertemu Hana di Amerika, tetapi sebelum dia jatuh cinta, dia harus
menunggu sampai benar-benar yakin bahwa Hana memang benar orang”
Jepang” (Buck, 1932:242)
Ayah Sadao adalah orang yang menghargai kebudayaan Jepang dan ingin
Sadao mendapatkan istri yang mendukung Sadao melestarikan budaya Jepang.
Dengan demikian yang dimaksud meyakinkan bahwa Hana benar-benar orang
Jepang, maksudnya adalah meyakinkan bahwa Hana memang orang yang bukan
hanya berkebangsaan Jepang, akan tetapi perilaku dan pola pikirnya juga harus
menggambarkan orang Jepang. Karakter sebagai wanita Jepang yang menghormati
suami dan tidak berani membantah perintah suami sudah dia tunjukkan pada saat
Sadao berkeras menolong Tom.
Data 6
“Ketika Tom sudah sehat, Sadao berniat menyingkirkan Tom karena walau
bagaimanapun Tom adalah musuh. Ketika Sadao diminta menolong Sang
Jenderal yang sakit, dia menggunakan kesempatan itu untuk melaporkan
keberadaan Tom. Sadao mengatakan bahwa dia tidak perduli terhadap Tom,
dia hanya sudah melakukan operasi dengan sukses. (Buck, 1932:249)
5. SIMPULAN
Berdasarkan analisis atas cerita pendek The Enemy, dapat disimpulkan
bahwa Sadao adalah sosok yang mencintai negara dan budayanya dan sangat
menghormati sumpahnya sebagai seorang dokter. Sikap profesionalisme sebagai
seorang dokter dibuktikan pada saat dia menolong seorang musuh meskipun dia
mendapat tantangan dari orang-orang di sekitarnya bahkan untuk menolong seorang
musuh, dia merelakan diri dan keluarganya berada dalam bahaya. Pada saat dia
sudah berhasil menyelamatkan hidup seseorang, dia kemudian membuktikan bahwa
dirinya adalah sosok yang mencintai negaranya dengan jalan melaporkan
keberadaan seorang musuh di rumahnya. Sikap itu adalah sikap nasionalisme
meskipun dimotivasi oleh hal-hal lain yang lebih bersifat pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Paper ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pencitraan yang
dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg) pada pemilihan umum legislatif
2014 lalu. Pencitraan merupakan hal yang paling utama dilakukan oleh para caleg
untuk dapat menarik perhatian para pemilihnya. Dengan pencitraan yang tepat
maka para pemilih berpeluang untuk memilih seorang caleg pada saat pemilihan
berlangsung. Untuk itulah para caleg mengupayakan pencitraan dengan berbagai
cara dan salah satunya dengan pilihan bahasa. Tidak semata – mata dengan bahasa
Indonesia yang paling dipahami dan dimengerti oleh seluruh rakyat, namun
pencitraan juga muncul dalam bahasa Inggris dan bahasa Ibu yakni bahasa Bali.
Tentunya masing – masing memiliki latar belakang yang berbeda saat seorang caleg
memilih menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa Bali saat
mencitrakan dirinya. Data untuk paper ini diambil dari media promosi luar ruang
berupa baliho atau spanduk saat pelaksanaan pemilu caleg tahun 2014. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dengan aplikasi teknik
dokumentasi, teknik pencatatan, dan teknik pemilahan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan data yang sesuai dipaparkan berkaitan dengan pencitraan dalam
wacana politik. Selanjutnya metode deskriptif kualitatif digunakan untuk
menjelaskan data dengan dukungan teori – teori yang berhubungan dengan wacana
dan pilihan kata. Simpulan yang diperoleh adalah pencitraan diri para caleg
menggunakan beragam variasi. Variasi – variasi tersebut tentunya bersifat sangat
khusus dan secara langsung mencerminkan karakter si caleg. Penggunaan variasi
bahasa sesungguhnya lebih pada penonjolan pencitraan yang hendak disampaikan
kepada calon pemilih. Pencitraan dalam bahasa Indonesia tentunya bersifat umum
jika dibandingkan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Bali. Mengingat
penggunaan bahasa Inggris masih terbatas penggunaannya dan bahasa Bali
cenderung hanya dipahami oleh mereka yang sudah menetap di Bali.
1. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan media komunikasi dengan model variasi yang paling
luas di dunia. Para penutur saling memiliki pemahaman terhadap suatu bahasa dan
menjadi kunci utama dalam komunikasi. Pendapat, argumentasi, pertanyaan,
perintah, serta model pemakaian bahasa lainnya dapat diaplikasi oleh penutur
terhadap orang lain. Tidak terbatas hanya pada bahasa lisan, bahasa tulis juga
mempunyai peran penting. Bahasa tulis mempunyai peran yang signifikan
mengingat kemampuannya yang dapat disimpan dan memungkinkan seseorang
untuk memberikan penafsiran yang berbeda.
Bahasa tulis tidak hanya digunakan dalam kondisi yang normatif saja. Saat
ini justru bahasa tulis digunakan dalam berbagai variasi. Memberikan informasi,
melakukan pencitraan, dan mengajak orang untuk melakukan sesuatu dapat
dilakukan dengan bahasa tulis. Hal tersebut yang terdapat pada wacana – wacana
politik. Dalam ranah wacana politik, bahasa tulis menjadi hal yang signifikan dalam
memberikan pemahaman dan pengertian kepada orang lain, jika dikaitkan dengan
komunikasi antara seseorang yang hendak menjadi pemimpin maupun anggota
parlemen. Melalui bahasa tulis, seorang kandidat dapat memberikan informasi
mengenai visi misi dirinya, memberikan pencitraan yang memberi nilai tambah
bagi dirinya, dan mengajak orang lain untuk memilih dirinya, baik sebagai
pemimpin maupun wakil rakyat.
Bahasa pencitraan menjadi hal penting ketika seseorang hendak menjadi
pemimpin atau wakil rakyat di parlemen. Pilihan kosakata yang berhubungan
dengan pencitraan menjadi lazim jika diperhatikan pada media di luar ruang yang
selama ini digunakan untuk mempromosikan diri. Pencitraan menjadi penting
karena seseorang memiliki nilai tambah yang membedakan dari orang-orang di
sekitarnya. Pencitraan memunculkan perbedaan yang signifikan antar individu.
Selain itu, pencitraan melalui kosakata tertentu pada bahasa tertentu memberikan
nilai keistimewaan dan gengsi yang tidak dimiliki setiap orang. Oleh karena itulah
bahasa pencitraan menjadi pilihan utama dalam berpromosi yang dilakukan oleh
kandidat calon pemimpin dan wakil rakyat di parlemen. Tujuannya, agar dipilih
oleh masyarakat.
Agar dapat dipilih oleh masyarakat, kosa kata pencitraan menjadi prioritas
para kandidat pemimpin dan wakil rakyat di parlemen. Paper ini berupaya
mendeskripsikan secara kualitatif kosakata pencitraan yang digunakan dalam
berbagai bahasa selama pemilihan umum (pemilu) legislatif 2014. Dalam upaya
mencitrakan diri, para kandidat calon legislatif menggunakan variasi bahasa seperti
bahasa Indonesia, bahasa Bali, bahkan bahasa Inggris.
2. PEMBAHASAN
Bagian ini membahas data – data yang berkaitan dengan pencitraan yang
dilakukan oleh para calon anggota legislatif pada pemilu legislatif 2014. Data
mengenai pencitraan dibagi berdasarkan bahasa yang digunakan, yaitu: bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Bali. Berikut merupakan pemaparan secara
deskriptif kualitatif terhadap data media promosi luar ruang yang digunakan oleh
para calon anggota legislatif dalam mempromosikan diri sekaligus mencitrakan
dirinya kepada para pemilih.
Pemaparan data pertama merupakan data yang diambil dari media promosi
luar ruang dari para calon anggota legislatif yang menggunakan bahasa Indonesia.
Dua data yang menggunakan bahasa Indonesia dapat dilihat seperti di bawah ini.
Dua data berisi materi kampanye media luar ruang para caleg menggunakan
bahasa Indonesia. Pada kedua teks tulis, kedua caleg menggunakan bahasa
Indonesia untuk mencitrakan dirinya. Menurut Habnoer (2012) terdapat berbagai
variasi pencitraan yang dilakukan oleh mereka yang berkecimpung di bidang politik
dengan memanipulasi bahasa. Pencitraan yang muncul dari kedua materi kampanye
para caleg didominasi oleh pencitraan yang bersifat memperjuangkan. Habnoer
lebih lanjut mengemukakan bahwa kosakata yang muncul lebih banyak
berhubungan dengan kepentingan rakyat, baik sebagai pembela maupun pejuang
bagi rakyat. Untuk itu dapat dilihat pada data 1 penggunaan kosakata pencitraan
yang berhubungan dengan perjuangan rakyat, seperti pemakaian pronomina kita.
Penggunaan pronomina kami atau kita sesungguhnya mengacu pada sekelompok
orang. Kami tidak mengikut sertakan penutur yang diajak bicara, sedangkan kita
mengacu kepada seluruh penutur yang terlibat. Pada data 1, penggunaan kita
mengacu kepada caleg dan calon pemilihnya, sehingga dengan pemakaian kita
menunjukkan adanya kebersamaan atau keberpihakan caleg terhadap para
pemilihnya. Pemakaian pronominal kita lebih mengutamakan kesetaraan kondisi
antara caleg dengan pemilihnya.
Pilihan kata yang berhubungan dengan pencitraan dari data 1 adalah
kesejahteraan masyarakat, aspirasi program masyarakat, semangat, dan
kebersamaan. Hal ini dapat dilihat pada pemilihan kosakata tersebut, caleg
mengutamakan pemakaian kata yang berhubungan dengan masyarakat. Sebagai
seorang caleg dia akan memperjuangkan atau membela kepentingan masyarakat
pemilihnya. Apalagi dalam data 1, caleg mengkaitkan masyarakat dengan
kesejahteraan dan aspirasi program. Kesejahteraan di masyarakat Indonesia masih
menjadi hal utama yang dimunculkan pada kampanye – kampanye politik,
mengingat masyarakat Indonesia kemampuan ekonominya dari menengah ke
bawah. Untuk itulah, caleg memunculkan kosakata aspirasi program yang
berhubungan dengan masyarakat. Pada data 1 dapat dilihat keterkaitan antara
kosakata pencitraan kesejahteraan masyarakat dengan aspirasi program
masyarakat. Keduanya mempunyai keterkaitan, kesejahteraan masyarakat akan
ditingkatkan dan diupayakan melalui aspirasi program masyarakat. Sementara itu,
Penggunaan bahasa Inggris pada data 4 justru singkat dan sederhana. Caleg
hanya menggunakan kosakata the ONE dengan penekanan penulisan huruf kapital
pada kosakata one. Dari sisi penulisan, pemakaian huruf kapital pada ONE
menunjukkan adanya upaya untuk menarik perhatian. Tujuannya, agar pemilih
dapat melihat apa sesungguhnya informasi yang diberikan oleh caleg. Acuan
kosakata singkat dan sederhana the ONE memberikan sejumlah pemaknaan jika
dikaitkan dengan kondisi caleg. Makna the ONE yang pertama dapat diartikan
sebagai satu – satunya orang atau caleg. Hal ini dapat ditafsirkan lagi jika
ditambahkan kosakata the only ONE. Satu – satunya caleg yang berbeda dalam
bidang tertentu atau mempunyai prestasi yang berbeda, misalnya satu-satunya caleg
yang menggunakan bahasa Inggris dalam berkampanye, sehingga hanya ada satu
caleg yang mampu melakukan hal tersebut.
Tafsir kedua dari kosakata the ONE lebih pada peringkat dari caleg. Jika
memperhatikan visual keseluruhan media kampanye caleg, maka posisi caleg
berada pada peringkat awal atau paling atas, karena itulah penggunaan peringkat
satu atau the ONE menjadi pilihan. Hal ini juga mempunyai keterkaitan dengan
penafsiran pertama, yakni hanya sedikit caleg yang mempunyai peringkat satu atau
sedikit caleg yang menempati posisi teratas pada daftar caleg pemilihan umum. Jika
dilihat secara keseluruhan terdapat hubungan antara pemaknaan pertama dengan
kedua dari kosakata pencitraan the ONE.
Kosakata the ONE juga dapat dipertimbangkan sebagai pemaknaan
kesatuan. Pemilihan the ONE memberikan makna kesatuan, yakni antara caleg
dengan pemilihnya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam konsep
kesatuan maka masing – masing pihak saling memerlukan atau melengkapi. Dari
kondisi seperti itu maka dapat dimaknai caleg dan pemilih menjadi satu kesatuan,
caleg akan memperjuang aspirasi masyarakat dan caleg memerlukan pilihan atau
suara masyarakat untuk dapat menjadi wakil rakyat.
Bagian selanjutnya merupakan media kampanye luar ruang caleg yang
menggunakan bahasa Bali. Penggunaan bahasa Bali menjadi pilihan dengan tujuan
mendekatkan caleg dengan pemilih yang merupakan masyarakat Bali. Pemakaian
bahasa Bali setidaknya memudahkan caleg dalam berkomunikasi dan
3. SIMPULAN
Kosakata pencitraan menjadi pilihan bagi para caleg untuk mempromosikan
diri, menginformasikan program kerja, dan menyampaikan janji kepada para
pemilih. Kosakata pencitraan caleg dilakukan dengan beragam penggunaan bahasa.
Tidak hanya bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, namun caleg juga
menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Bali dalam kampanye politik media
kampanye luar ruang. Dari ketiga variasi penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat
kosakata pencitraan yang digunakan caleg.
Pemilihan kosakata yang paling umum adalah masyarakat, baik dilihat dari
sisi kepentingan maupun aspirasi. Hal ini berkaitan dengan kepentingan
masyarakat yang diwakili oleh caleg. Tidak hanya masyarakat, kosakata pencitraan
dengan pilihan yang lebih luas terdapat pada kosakata nindihin gumi yang
mempunyai kecenderungan pemaknaan terhadap negara kesatuan Republik
Indonesia. Kosakata pencitraan juga mengacu pada diri caleg dengan penggunaan
pronomina kita. Karakteristik caleg dapat dilihat dari pemilihan kosakata
kebersamaan, kesederhanaan, kejujuran, ngayah, dan sampun mebukti.
DAFTAR PUSTAKA
Habnoer, Sultan. 2012. Bahasa Pencitraan Dalam Wacana Iklan Kampanye Calon
Anggota Legislatif 2009, dalam Jurnal Wacana Kritis, ISSN 0853 – 3563,
volume 14, nomor 2, Juli 2009. Diunduh pada Januari 2016.
Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguists. Boston: Little, Brown and
Company (Inc.).
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik
Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
UNGKAPAN TRADISIONAL:
MAKNA DAN FUNGSINYA DALAM MENJAGA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Abstrak
1. PENDAHULUAN
semua orang. Makna sesungguhnya berada pada orang yang memersepsinya bukan
di dalam simbol itu sendiri. Dengan demikian, makna sebuah simbol mungkin
berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari orang yang satu ke orang yang lain, dan
berbeda dari satu kelompok ke kelompok yang lain.
Kebersamaan yang ada pada masing-masing suku bangsa, atau, lebih luas
lagi bangsa, merupakan pandangan hidup kita. Hidup dalam kebersamaan itulah
yang dinamakan “gotong royong”. Jadi, gotong royong telah menjadi falsafah
bangsa kita.
1
Data ungkapan tradisisional yang dikaji dalam makalah ini sebagian berasal dari mahasiswa
Jurusan Sastra Indonesia (tugas dalam mata kuliah Etnolinguistik) dan sebagian lagi dari
mahasiswa Program Doktor Linguistik (Wisman Hadi dan Hugo Warami, yang sekarang sudah
lulus sebagai doktor linguistik).
(a) Saciak bak ayam, sadancing bak basi, yang berarti ‘seiya sekata’ (saiyo
sakato)
(b) Bak aua serumpun, yang berarti ‘kompak’
(c) Duduak surang basampik-sampik,
Duduak basamo balapang-lapang, yang berarti ‘musyawarah’
(d) Bulek ayia dek pambulua, bulek kato di dek mufakaik, yang berarti ‘bulat
air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat’.
Keempat ungkapan di atas bermakna ‘kebersamaan’ atau ‘gotong royong’.
Ungkapan tersebut tidak mudah hilang, seperti peribahasa Minang: Indak
lapuak dek ujan, indak lakang dek panas (Tidak lapuk karena hujan, tidak
lekang karena panas).
Makna ini dapat dilihat pada ungkapan berikut: Pola cama-cama ata mendo,
tiwit cama-cam ata geal, yang bermakna sama seperti dalam bahasa
Indonesia: Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ungkapan itu
mengiaskan: seberat apa pun tugas atau pekerjaan kita, jika dikerjakan
secara bersama-sama maka dapat diselesaikan dengan baik.
dan keberagaman ungkapan tradisional itu sendiri. Dilihat dari segi fungsi,
keduanya sama-sama mendukung sebuah konsep, yaitu berbeda-beda tetapi
satu, bersatu untuk menjaga persatuan bangsa.
4. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Darma Laksana, I Ketut. 2010. Tabu Bahasa: Salah Satu Cara Memahami
Kebudayaan Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Harris, Marvin. 1991. Cultural Anthropology. Edisi III. New York: Harfer Collins
Publisher.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014. 2015.
Empat Pilar MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Wallace, A.F.C. 1970. Culture and Personality. New York. Random House.
Oleh
I Ketut Jirnaya, Anak Agung Gede Bawa, I Wayan Sukersa,
I Made Wijana, Ni Ketut Ratna Erawati**
Abstrak
Geria adalah sebutan untuk rumah para brahmana atau rumah seorang pendeta
Hindu. Geria dari segi fungsi, selain sebagai tempat pembelajaran bagi umat Hindu,
juga tempat olah sastra tradisional. Banyak karya sastra Bali tradisional diciptakan,
disalin, dan ditulis di Geria. Salah satu Geria di Sanur adalah Geria Timbul yang
mengoleksi 124 naskah lontar dengan berbagai jenis (genre). Biasanya tiap-tiap
Geria memiliki naskah lontar tidak sama baik jumlah maupun jenisnya. Mengingat
Geria sebagai salah satu tempat olah sastra tradisional dan pusat pembelajaran
Agama Hindu, belum dapat diprediksi apakah di Geria tersebut aktivitasnya dahulu
lebih banyak ke bidang spiritual, perdukunan, atau ke sastra. Berdasarkan hasil
analisis naskah koleksi di Geria Timbul, Intaran Sanur, maka dapat diprediksi
bahwa aktivitas Geria tersebut cenderung ke spiritual. Naskah lontar koleksi Geria
Timbul yang berhubungan dengan spiritual (kedyatmikan) berjumlah 22 dari 124
naskah keseluruhan. Seperti juga Geria yang lain yang berfungsi sebagai pengayom
umat Hindu (21 naskah yang terkait dengan upacara Yadnya dan Puja Mantra),
Geria Timbul juga mengoleksi naskah yang lain: naskah sejarah dan babad 8 buah,
kepanditaan 14 buah, usada 16 buah, cerita 7 buah, cerita Tantri 4 buah, bahasa dan
aksara 3 buah, kakawin 6 buah, dan lain-lain 4 buah.
Kata kunci: naskah lontar, koleksi, mayoritas, aktivitas, spiritual (kedyatmikan)
1. PENDAHULUAN
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana memiliki kerjasama
dengan Desa Sanur dalam bidang pembinaan. Desa Sanur, Kecamatan Denpasar
Selatan, Pemerintahan Kota Denpasar, merupakan desa tradisinal yang kini berubah
menjadi Desa modern akibat pengaruh pariwisata. Walaupun demikian
ketradisionalan desa Sanur masih terlihat dan tetap dipertahankan sampai sekarang,
seperti masih tersimpannya beratus-ratus naskah lontar.
------* Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya 27-28 Mei di FSB Universitas Udayana.
____** Tim peneliti dari Prodi Sastra Jawa Kuno FSB Universitas Udayana.
harus ada sajen atau minimal canang sari dengan tujuan memohon keselamatan.
Pada hari raya Sanghyang Aji Saraswati, lontar-lontar ini dibuatkan upacara khusus
(bdk. Hermansoemantri, 1986:10). Dari segi isi naskah lontar cukup beragam. Dari
sini Pigeaud (1967:54) membagi naskah tersebut berdasarkan isi kandungan teks
menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok agama dan etik; kelompok susastra;
kelompok sejarah dan mitologi; kelompok ilmu pengetahuan, seni,
kemasyarakatan, hukum folklor, adat, dan serba-serbi.
2. PEMBAHASAN
Geria Timbul Intaran Desa Sanur saat ini mengoleksi 118 naskah lontar.
Naskah-naskah lontar itu akan dikelompokkan untuk memudahkan penganalisisan.
6. Tatakrama Andadi Wong: berisi tentang nasehat yang harus dipatuhi oleh
manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia.
7. Sanghyang Cadusakti: berisi tentang filosofi Cadusakti sebagai pegangan
Dewa Siwa yang dianugerahkan pada Arjuna.
8. Silakrama Aguron-guron (2 naskah): berisi tentang nasehat sikap serta agar
hati-hati mencari guru dalam meningkatkan jnana atau keilmuan
9. Sanghyang Pasupati; berisi filosofi tentang eksistensi dewa Pasupati.
10. Katuturan Sanghyang Aji Saraswati: berisi tentang penjelasan hakikat
aksara suci yang ada di dalam diri manusia dan di alam semesta serta jenis
dan bentuk aksara suci.
11. Kadyatmikan (2 naskah): berisi tentang tuntunan ajaran spiritual yang
berlandaskan kebajikan.
12. Pengalihan Ekasungsang: berisi tentang ajaran kadyatmikan.
13. Kandapat Sari: berisi tentang inti sari ajaran Catur Sanak atau empat
saudara di dalam tubuh yang mengantar kelahiran manusia.
14. Ekapratama Samapta: berisi tentang filosofi angka satu yang berati tunggal.
15. Sanghyang Adisukma: berisi tentang tutur atau filosofi hakikat Tuhan atau
Ida Sanghyang Widhi.
16. Sanghyang Saptapranawa: berisi tentang filosofi penunggalan batin dengan
jiwa yang disimbolkan dengan “OM”.
17. Kakadening Hyang: berisi tentang filosofi hakikat dan eksistensi dari
Tuhan.
18. Jong Biru: berisi tentang filosofi dharma pada saat Darmawangsa
dikalahkan oleh Budha.
19. Siwa Sasana: berisi tentang filosofi keutamaan Dewa Siwa.
20. Astaloma: berisi ajaran Empu Loma tentang kesemestaan.
21. Guhya Wijaya (2 buah): berisi filosofi aksara suci sebagai sarana mengejar
ilmu kesalehan.
22. Widisastra: berisi filosofi ketuhanan.
23. Sanghyang Niskaladnyana: berisi tentang filosofi roh manusia.
Naskah lontar kelompok pertama di atas terdiri atas 29cakep. Nomor urut 3,
yaitu naskah Wrespati Tattwa terdiri atas dua buah naskah, naskah nomor urut 8,
yaitu naskah Silakrama Aguron-guron terdiri atas dua buah naskah, serta naskah
nomor urut 11, yaitu naskah Kadyatmikan terdiri atas dua buah naskah, dan naskah
nomor urut 21 juga terdiri atas dua buah naskah. Jadi keseluruhan naskah lontar
kelompok pertama terdiri atas 29 buah naskah lontar.
5) Kelompok Kepanditaan
1. Wikutama: berisi tentang pedoman menjadi pendeta yang utama.
2. Sasana Pandita: beisi tentang tingkah laku dan kewajiban sebagai seorang
pendeta Hindu.
3. Puja Seha Pemangku: berisi tentang puja seorang Pemangku dengan bahasa
Bali Alus yang dikaitkan dengan upacara yadnya yang dilaksanakan.
4. Weda Parikrama: bersi tentang weda dan cara pelafalan yang benar serta
keterkaitannya dengan upacara yadnya.
5. Seha Balian Konteng: berisi puja seorang yang berprofesi sebagai dukun
konteng/sonteng.
6. Padiksan (2 naskah): berisi uraian tatanan upacara inisiasi (padiksan)
menjadi pendeta Hindu.
7. Dewapuja: berisi pemujaan dan puja mantra terhadap para dewa.
8. Mpulutuk (2 naskah): berisi uraian yang menjadi pedoman bagi seorang
Pemangku.
9. Prayoganing Sang Sadhaka (2 buah): berisi pemujaan dan doa-doa para
pendeta
6) Kelompok Cerita
1. Sanghyang Kumara: berisi cerita kehidupan Sanghyang Kumara sebagai
putra dari Dewa Siwa.
2. Anggastya Purana: berisi kisah seorang pendeta bernama Dang Guru
Agastya ketika membuat bangunan suci tempat pemujaan Tuhan di Bali.
3. Swargarohana Parwa: berisi cerita kembalinya Panca Pandawa dan
Dropadi ke Surga setelah usai Perang Bharata.
Pada uraian data di atas, dapat dilihat bahwa tiap-tiap kelompok naskah
memiliki jumlah yang tidak sama. Persentase dari jumlah naskah keseluruhan (118
naskah).
Berdasarkan kajian di atas yang tersurat pula dalam tabel, koleksi lontar di
Geria Timbul Intaran Desa Sanur, naskah lontar yang berhubungan dengan tutur
atau filsafat yang juga dikenal dengan naskah lontar kedyatmikan menduduki angka
paling tinggi. Tercatat 29 buah naskah lontar atau 34,22%. Naskah lontar yang
berhubungan dengan upacara Yadnya dan Pujamantra berjumlah 27 buah atau
31,86%. Selain kedua kelompok ini persentasenya kecil.
3. SIMPULAN
Geria Timbul Intaran, Desa Sanur merupakan tempat olah sastra. Sastra
yang diutamakan adalah tentang filsafat kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Demikian pula naskah lontar yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
koleksinya cukup banyak sebagai acuannya. Hal ini dapat dikatakan demikian
berdasarkan mayoritas koleksi naskah lontar yang ada di Geria Timbul.
DAFTAR PUSTAKA
Jelantik, IB. dkk. 200. Skriptorium Naskah Tradisional Kota Denpasar. Denpasar:
Pemeritah Kota Denpasar.
Jirnaya, I Ketut. dkk. 2003. “Laporan Pengabdian pada Masyarakat” Konservasi
Naskah Lontar di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten
Tabanan. Denpasar: Lembaga Pengabdian pada Masyarakat
Universitas Udayana.
Pigeaud, TH. 1967. Literature of Java. Vol I. The Hague Martinus Nijhoff.
Soemantri, Emuch Herman. 1986. “Identifikasi Naskah”. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Warna, I Wayan. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Bali dan Latin.
Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali
bekerjasama dengan Pemerintah Kota Denpasar.
I Ketut Jirnaya
Program Studi Sastra Jawa Kuna, Fakultas Sastra dan Budaya.
Universitas Udayana
Abstrak
Kakawin Arjunawiwaha sebagai salah satu karya sastra Jawa kuno sangat terkenal
dari masa diciptakan sampai saat ini.Tokoh utamanya Arjuna yang direduksi
sebagai tokoh yang sakti serta tampan.Beliau bertapa di gunung Indrakila dengan
kekhusukannya dan keteguhan hatinya berhasil memperoleh anugerah dari Dewa
Siwa. Pada saat selesai bertapa, beliau berpamitan gunung Indrakila dan seisi hutan
merasa sedih ditinggal oleh Arjuna. Untuk mendukung suasana sedih ini, pengarang
memakai wirama Indrawangsa yang berakarakter sedih. Kenapa dan apa yang
diinginkan oleh pengarang seperti itu? Hal ini akan dicoba dikaji dari sudut
ekosemiotik. Alam dan lingkungan berhubungan juga dengan kebudayaan. Alam
memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Ada sisi komunikasi antara alam dan
manusia (Dwi Susanto, 2015; Umberto Eco, 2009) Dengan kajian dari sudut
ekosemiotik akan diketahui keinginan pengarang dalam kakawin Arjunawiwaha
ini.
Kata Kunci: manusia, alam, lingkungan, simbol, dan manunggal
1. PENDAHULUAN
Karya sastra yang lahir pada saat itu tentu juga memakai media bahasa Jawa
yang kini dianggap telah kuno. Dengan demikian, di Indonesia telah memiliki karya
sastra yang dihasilkan oleh para pujangga besar (sang kawi), seperti kakawin
Ramayana, kakawin Bharatayudha, kakawin Sutasoma, kakawin Siwaratrikalpa,
dan sebagainya. Kakawin adalah sastra Jawa Kuno yang berbentuk tembang.Dari
segi bentuk sesungguhnya karya sastra kakawin tersebut merupakan karya sastra
prosa berirama, atau puisi naratif.Di samping itu ada pula karya sastra dalam genre
yang lain, yaitu parwa (prosa Jawa Kuno), seperti Adiparwa dan parwa yang lainnya
yang termasuk Astadasaparwa, Kapiparwa, dan sebagainya.
Sang Arjuna sebagai salah satu tokoh dari lima bersaudara (Panca Pandawa)
telah banyak dikaji. Walaupun demikian, tokoh sang Arjuna ketika melaksanakan
tapa yoga semadi di Gunung Indrakila dalam kakawin Arjunawiwaha, belum
pernah dibicarakan atau dikaji terkait dengan alam lingkungan di hutan tersebut.
Untuk itu dalam penelitian kecil ini dikaji hubungan sang Arjuna dengan alam
lingkungan di tempat bertapa, sesuai dengan bait-bait kakawin Arjunawiwaha
dengan pendekatan ekosemiotik.
2. PEMBAHASAN
Terjemahannya:
Sembah sujud beliau (Arjuna) belum selesai lalu dijawab oleh dewa Siwa,
Anaku Arjuna, sudah terlihat kesungguhan hatimu dan akan kau peroleh
semua,
Ada anugerahku cadu sakti berupa senjata panah.
Terkenal namanya panah Pasupati, lihatlah ini nak.
Setelah sang Arjuna memperoleh anugerah berupa senjata panah bernama
panah Pasupati, Arjuna diundang ke Surga untuk membunuh raksasa Niwata
Kawaca yang terkenal sakti. Dewa tidak mampu menandingi.Hanya bila ada
manusia sakti, dialah yang dapat mengalahkannya.
Terjemahannya:
Dewa Indra mengumpulkan inti daya upaya, kemudian berkata agar hal itu
menjadi topik diskusi,
Hanya manusia sakti yang mampu membunuh musuh kita, yang patut dicari
agar datang,
Ada berita sang Arjuna yang baru melakukan tapa dengan tujuan agar
berhasil dalam peperangan,
Jika berhasil mendapat anugerah dari dewa ia akan diundang, akan tetapi
memang sulit untuk memperoleh waranugeraha itu.
Keteguhan hati sang Arjuna memuja dewa Siwa dalam pertapaan itu, Dewa
Siwa pun turun ke Gunung Indrakila untuk memberikan anugerah pada sang
Arjuna. Para dewa di Surga mengetahui bahwa sang Arjuna telah dianugerahi panah
Pasupati oleh Dewa Siwa. Untuk itu diputuskanlah untuk mengundang sang Arjuna
agar mau datang ke Surga membinasakan raja raksasa Niwatakawaca. Dari itulah
sang Arjuna berangkat ke Surga. Sebelum berangkat ke Surga, ada perilaku sang
Arjuna yang perlu diapresiasi, dipersepsi, dan dikaji.
Terjemahannya:
Terjemahannya
Semiotik sebagai salah satu teori sastra yang mampu dipakai alat membedah
balutan tanda-tanda tersebut.Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4)
semiotika berasal dari kata seme; bahasa Yunani yang berarti penafsir tanda.
Sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan intepretasi
tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan
perantaraan tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya,
sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia (Ratna,
2006:97).
Semiotik memiliki ranah kajian sangat luas. Ada salah satu cabang semiotik
dikenal dengan nama ekosemiotik. Ekosemiotik membicarakan hubungan alam
dan lingkungan atau kebudayaan.Hal yang paling utama dalam studi ini adalah
“cara berkomunikasi” antara manusia dengan alam (Susanto, 2015: 208). North
(1998), mengatakan bahwa ekosemiotik merupakan studi yang membicarakan
hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya atau alam dan manusia.
Data di atas (bait 1,2) dengan tokoh Arjuna yang dilatarbelakangi (setting)
gunung Indrakila kiranya cocok untuk dikaji dari ekosemiotik. Sang Arjuna dan
keempat saudaranya (Yudistira, Bima, Nakula dan Sahadewa) dalam cerita sebagai
personifikasi manusia.Walaupun mereka semuanya titisan para dewa.Sang Arjuna
diceritakan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bertapa di gunung Indrakila
dengan penuh kedamaian dan keikhlasan. Ketika Arjuna harus berangkat ke Surga
untuk membantu para dewa dari amukan raja raksasa sakti Niwatakawaca, Arjuna
tidak lupa menghaturkan sembah sujud ke pucak gunung Indrakila.
Sebagai seorang yang bijak, Arjuna memiliki sifat patut ditauladani, yaitu
selalu ingat tempat atau lingkungan yang telah “melindungi” bertahun-tahun di
dalam pertapaan tan wismreti sangka nikang ayun teka. Pengarang (sang Kawi)
rupanya memberikan tanda bahwa kita hidup tidak terlepas dari cobaan, tekanan,
dan masa-masa sulit.Ketika kita berhasil, tentu keberhasilan itu tidak mutlak karena
perjuangan sendiri, tetapi ada lingkungan yang turut berperan.Hal ini tidak boleh
dilupakan.
Dalam konsep Hindu ada yang bernama Tri Hita Karana, yaitu hidup ini
akan terasa nyaman dan damai ketika manusia dapat menjaga korelasi dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.
Konsep Tri Hita Karana ini ingin direvitalisasikan oleh Empu Kanwa melalui
karyanya kakawin Arjunawiwaha. Hal ini terlihat dalam bait (1) ketika Arjuna
menjelang berangkat menuju Surga.
Terjemahannya:
Akhirnya di musim hujan akan terjadi kebanjiran, dan pada musim kemarau akan
terjadi kekeringan yang berkepanjangan.
Untuk menyadarkan ulah masyarakat seperti ini kita harus kembali kepada
sastra (back to literature). Di samping memberikan keteduhan hati para pembaca
atau penikmat sastra, sastra juga mengedukasi masyarakat agar sadar apa yang
terbaik dapat dilakukan yang sekiranya berguna untuk orang banyak. Empu Kanwa
memiliki wawasan berpikir jauh ke depan melalui karya beliau Kakawin
Arjunawiwaha. Ketika Arjuna bertapa di gunung Indrakila berhasil menyatukan diri
(manunggaling idep) dengan hutan lingkungan beliau bertapa. Beliau tidak pernah
membunuh atau menyakiti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam konsep
kehidupan menurut agama Hindu, binatang dan tumbuh-tumbuhan adalah ciptaan
Ida Sanghyang Widhi/Tuhan yang mahaesa. Mereka juga memiliki hak untuk
hidup.
3. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Watt, Ian. 1964. “Literature of Society” dalam Robert N. Wilson (ed). The Arts in
Society, Engelwood-Cliffs, N.J. Prentice-Hall Inc.
I Ketut Nama
Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
tut-nama@yahoo.com
Abstrak
Unsur magi dan hagiografi atau kemukjizatan adalah salah satu unsur
penting dalam konvensi budaya nusantara. Dalam kehidupan raja-raja di daerah
nusantara senantiasa disebutkan bahwa raja mempunyai kekuatan supernatural
yang berupa kesaktian yang digunakan untuk melawan musuh atau mengusir
pengaruh-pengaruh jahat (Basuki, 1983:66). Unsur magi acapkali tercermin dalam
karya sastra lama, seperti tampak pada karya sastra Melayu (hikayat), Jawa (babad),
Bali (kakawin, gaguritan), dan pada karya sastra daerah lainnya.
Makalah ini membahas unsur magi dan etiologi dalam Hikayat Maharaja
Bikrama Sakti. Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa unsur magi yang
terdapat dalam hikayat tersebut berupa: (1) biji buah rumbia dapat tumbuh dalam
sekejap menjadi besar langsung berbuah dan dapat dipetik dalam seketika; (2)
burung bayan bisa berkata-kata, layaknya manusia biasa; (3) mantra Raja Gordan
Syah Dewa bisa membuat dirinya lenyap dalam sekejap apabila kepepet dihadang
musuh; dan (4) senjata panah Lela Syaheran dapat mengeluarkan suara bising
bergemuruh, sinar yang sangat menyilaukan, serta dapat dikendalikan sekehendak
pemiliknya. Sementara itu, unsur etiologi yang dapat diamati adalah berupa asal-
usul pohon rumbia yang berasal dari Pulau Rumbia. Pemunculan unsur magi
berfungsi untuk memenuhi serta menjaga keutuhan tema cerita. Pada saat-saat kritis
para tokoh dalam cerita acapkali diketengahi dengan menghadirkan kekuatan magis
(supernatural) yang mengantarkan cerita pada penyelesaian yang berbahagia
(happy ending).
Kata kunci: hikayat, magi, etiologi, tema
1. PENDAHULUAN
membedakan karya sastra hikayat menjadi tiga, yaitu: (1) hikayat jenis rekaan; (2)
hikayat jenis sejarah; dan (3) hikayat jenis biografi. Djamaris (1990:12)
menggolongkan hikayat berdasarkan isi ceritanya dan berdasarkan pengaruh
kebudayaan asing. Disebutkan bahwa hikayat adalah termasuk prosa lama atau
prosa Melayu klasik karena pada umumnya judul prosa Melayu klasik itu didahului
oleh kata “hikayat”. Pengaruh asing yang tampak pada sastra hikayat ada yang
berasal dari sastra India, Arab, dan Persi.
Dalam makalah ini dianalisis unsur magi dan etiologi dalam HMBS. Data
dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Ratna (2007:53)
menjelaskan metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta, kemudian disusul dengan analisis. Analisis tidak semata-mata
menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya
sesuai dengan fokus penelitian. Ciri penting peneilitian kualitatif menurut
Endraswara (2008:5) adalah: (a) peneliti merupakan instrument kunci yang akan
membaca secara cermat sebuah karya sastra; (b) penelitian dilakukan secara
deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata; (c) lebih mengutamakan proses
dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak
mengundang penafsiran; (d) analisis induktif; dan (e) makna merupakan andalan
utama.
2. PEMBAHASAN
Magi adalah sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan
kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar termasuk alam pikiran dan tingkah
laku manusia (Tim Penyusun Kamus, 1995:612). Unsur magi dan hagiografi atau
kemukjizatan adalah salah satu unsur penting dalam konvensi budaya nusantara.
Pada zaman dahulu disebutkan bahwa raja-raja senantiasa mempunyai kekuatan
supernatural berupa kesaktian yang digunakan untuk melawan musuh atau
mengusir pengaruh-pengaruh jahat (Basuki, 1983:66). Dalam karya sastra, acapkali
dihadirkan hal-hal yang besifat magis, yakni berupa kekuatan
adikodrati/kemukjizatan. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi serta menjaga
keutuhan tema cerita; pada saat-saat kritis para tokoh dalam cerita senantiasa
diketengahi dengan munculnya kekuatan magis/adikodrati yang mengantarkan
cerita pada penyelesaian yang berbahagia.
Dalam HMBS, unsur magi berupa kekuatan adikodrati mulai dijumpai pada
episode pengembaraan Putri Ratna Komala yang menyamar sebagai Nakhoda
Muda dalam mencari keberadaan kakaknya, Raja Johan Syah. Suatu ketika,
Nakhoda Muda dengan diiringi oleh para dayangnya tiba di Pulau Rumbia. Di pulau
tersebut mereka menyaksikan keajaiban/kemukjizatan buah rumbia, yakni apabila
buahnya dimakan dan bijinya ditabur ke tanah, maka dalam sekejap biji tersebut
tumbuh menjadi pohon rumbia yang besar serta berbuah masak, seperti tampak
pada kutipan berikut.
“Adapun akan rumbia itu semuanya termasakkan belaka buahnya itu maka
apabila gugurlah bijinya ke tanah maka ia pun timbul dengan sebentaran
saja juga besar lalu ia berbuah dapat dimakan buahnya itu dengan seketika
itu juga demikianlah halnya buah kayu itu. …maka bijinya pun dilemparkan
ke tanah maka dilihatnya tumbuh pula ia dengan seketika itu juga lalu
berbuah. Maka diambilnya pula buahnya itu lalu dimakannya maka bijinya
pun dilemparkannya ke tanah maka tumbuh pula ia dapat dimakannya
buahnya itu dengan seketika (hlm. 12).
Setelah demikian maka Baginda pun segeralah melemparkan biji rumbia itu
ke tanah. Setelah jatuh ke tanah biji rumbia itu lalu ia tumbuh dengan
seketika itu juga lalu ia berbuah. Maka diambil oleh Baginda akan buahnya
itu demikianlah juga halnya maka segala raja-raja dan segala menteri dan
hulubalang rakyat sekalian itu pun makanlah buah rumbia itu demikian
juga halnya. Maka Baginda pun terlalu heranlah melihat akan buah rumbia
itu. Maka segala raja-raja dan segala hulubalang menteri rakyat sekalian
itu pun heranlah tiada terkata lagi. Karena Baginda itu sudahlah alah
taruhnya itu maka Baginda pun datanglah mendekap Nakhoda itu seraya
katanya, “Ya Anakanda tuan, marilah tuan Ayahanda nobatkan di Negeri
Beranta Indera karena negeri ini tuanlah yang empunya dia dan sekarang
mana perintah tuan tiadalah Ayahanda lalui lagi” (hlm. 24).
Unsur magi yang lainnya tampak pada perilaku burung bayan, burung
kesayangan Putri Ratna Komala. Burung tersebut bisa mengerti dan berkata-kata
layaknya manusia. Pada karya sastra Melayu atau Indonesia lama lainnya, kerap
pula dijumpai tokoh berupa burung bayan yang bisa berkata-kata seperti manusia,
misalnya pada cerita Amad Muhamad. Tokoh Amad dapat mendengar percakapan
sepasang burung bayan ihwal keajaiban pohon kastuban di Pulau Manyeti, sebuah
pulau indah di tengah lautan. Berkat percakapan sepasang burung bayan, Ki Amad
bisa mendapatkan kemukjizatan pohon kastuban berupa kuda sembrani dan cemeti
ajaib.
Dalam HMBS, tokoh burung bayan memiliki kekuatan magis yang bisa
berkata-kata seperti manusia berperan dalam membantu tuannya, Putri Ratna
Komala dalam penyamarannya mengembara mencari keberadaan kakaknya, Raja
Johan Syah. Ketika tiba di wilayah kerajaan Beranta Indera, Putri Ratna Komala
segera menitahkan burung bayan agar menyelidiki keadaan di sekitarnya kalau-
kalau Raja Johan Syah berada di sana. Tidak lama, burung bayan menemukan
keberadaan Raja Johan Syah yang ternyata sudah ditawan sebagai pengembala
kuda. Hal ini tampak seperti yang dilaporkan burung bayan kepada Putri Ratna
Komala atau Nakhoda Muda:
“Ya tuanku, Paduka kakanda itu ada lagi mengembala kuda di tengah
padang Baginda itu dan sangatlah kurus kering tubuhnya Baginda itu patik
lihat lagi ia menangis di bawah pohon kayu besar itu dan bahtera Baginda
itu ada tergalang di darat tuanku”. Maka segala hal ihwalnya pun habislah
dipersembahkan kepada Nakhoda Muda. Maka Nakhoda itu pun
menangislah terlalu sangat seraya berkata-kata, “Adakah engkau
dikenalnya oleh Kakaknda itu?” Maka sembah bayan itu, “Tiada patik
dikenalnya oleh Kakanda itu karna patik berkawan dengan burung yang
banyak-banyak tuanku” (hl. 18—19).
Setelah sudah Baginda itu mengajar Anakanda itu maka burung bayan itu
pun segeralah kembali akan mendapatkan tuan puteri itu. Setelah sampai
kepada tuan puteri maka kata burung bayan itu, “Ya tuanku esok hari
tuanku hendak dibawanya menyabung ayam dan memanjat bunga dan
berkencing konon”. Lalu diceritakannya segala kata Maharaja Digar Alam
mengajar anaknya itu (hlm.31).
Unsur magi berikutnya tampak pada tokoh Raja Gordan Syah Dewa dari
Kerajaan Beranta Dewa. Raja Gordan Syah Dewa terpesona dan terpikat pada
kecantikan putri Ratna Komala. Suatu ketika, secara diam-diam ia ingin menemui
sang putri di mahligai taman yang indah. Dikeluarkannya ilmu sihir agar tidak ada
yang melihatnya. Namun, Lela Syaheran tidak terkena sihir, beliau dapat
menyaksikan gerak-gerik Raja Gordan Syah yang mencurigakan dan
memergokinya, maka dengan seketika Lela Syaheran menantang Raja Gordan Syah
seperti tampak pada kutipan berikut.
lakimu dan selagi aku ada hidup tiadalah engkau dapat mengambil tuan
putrid Ratna Komala” (hlm. 94).
Setelah Raja Gordan Syah Dewa melihat orang banyak dating itu maka ia
pun piker, jika aku tahan juga di sini barangkali tewaslah aku baik aku
undur dahulu. Maka ia pun membaca suatu mantranya seketika itu juga ia
lenyap daripada mata orang banyak. Maka Lela Syaheran pun terlalu
marah lalu diikutinya ke luar bersama-sama Genta Sura dan Syah Berma
dan Bermaanda dan Bermacindera tiada bercerai keempatnya penaawan
itu (hlm. 95).
Demikianlah kekuatan magi yang dimiliki oleh Raja Gordan Syah Dewa dari
kerajaan Beranta Indera sehingga dapat menangkis dan mengelabui serangan
musuh-musuhnya.
Unsur magi berikutnya ditunjukkan oleh Raja Lela Syaheran. Lela Syaheran
ingin sekali bertemu dengan putri Ratna Komala, maka secara diam-diam ia pergi
meninggalkan istananya untuk mencari putri idamannya. Sampailah ia di Gunung
Arduleka dan di sana ia belajar ilmu kesaktian kepada Brahmana Darman Syah
Menjana. Atas ketekunannya belajar dan berlatih, Lela Syaheran dihadiahi sebuah
panah bertuah oleh sang Brahmana. Dengan senjata tersebut Lela Syaheran
meneruskan mengembara dan oleh gurunya ia diperintahkan agar pergi ke kerajaan
Mahahairan Langkawi untuk membantu Raja Johan Syah yang sedang dilanda
peperangan. Sampai di kerajaan Mahakhairan Langkawi, Lela Syaheran mendapati
kerajaan dalam situasi peperangan yang sedang berkecamuk. Rakyat, para
Pada kutipan di atas terlihat bahwa senjata panah yang dipegang Lela
Syaheran memiliki kekuatan magis, yakni dapat mengeluarkan suara yang
gemuruh, mengeluarkan sinar yang menyilaukan, dan dapat menyerang dan
membasmi banyak musuh seketika. Selain itu, anak panah tersebut juga dapat
dikendalikan, layaknya peluru kendali pada zaman sekarang.
adalah Pulau Rumbia. Penamaan Pulau Rumbia terkait dengan banyaknya pohon
rumbia yang dijumpai tumbuh di pulau tersebut. Berawal dari kisah petualangan
Raja Johan Syah yang diiringi oleh para pasukannya pergi berlayar dan tibalah
mereka di suatu pulau seperti tampak dalam kutipan berikut.
Maka Baginda pun berlayarlah tujuh hari dan tujuh malam maka ia pun
bertemulah dengan sebuah pulau tiada lain daripada pohon kayunya itu
hanya pohon rumbia juga, maka dinamai pulau itu Pulau Rumbia. Adapun
akan rumbia itu semuanya termasakkan belaka buahnya itu maka apabila
gugurlah bijinya ke tanah maka ia pun timbul dengan sebentaran saja juga
besar lalu ia berbuah dapat dimakan buahnya itu dengan seketika itu juga
demikianlah halnya buah kayu itu. Maka banyaklah segala anak raja-raja
itu yang kata olehnya itu. Maka Raja Johan Syah itu pun singgahlah kepada
pulau itu lalu ia naik ke darat masing-masing mengambil akan buah kayu
rumbia itu lalu dimakannya. Maka bijinya pun dilemparkannya ke tanah
maka dilihatnya tumbuh pula ia dengan seketia itu juga lalu berbuah.
Makka diambilnya pula buahnya itu lalu dimakkannya maka bijinya pun
dilemparkan kke tanah maka tumbuh pula ia dapat dimakannya buahnya itu
dengan seketia (hlm. 12).
3. PENUTUP
HMBS adalah salah satu karya sastra Melayu lama (klasik) yang termasuk
ke dalam sastra peralihan (Hindu—Islam). Sebagai hasil sastra Melayu masa
peralihan, HMBS banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur magi atau kemukjizatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur magi yang tampak adalah sebagai
berikut.
1) buah rumbia memiliki kekuatan magi, yakni apabila bijinya ditabur ke tanah
akan seketika tumbuh menjadi pohon yang besar dan berbuah masak.
Buahnya juga segera bisa dimakan; demikian seterusnya;
2) burung bayan, burung kesayangan putri Ratna Komala memiliki kekuatan
magi, yakni bisa berkata-kata dan mengerti bahasa manusia. Burung
tersebut penurut dan menjadi abdi yang setia bagi putri Ratna Komala;
3) Raja Gordan Syah Dewa dari kerajaan Beranta Dewa memiliki mantra yang
bisa membuat dirinya lenyap/gaib dalam seketika apabila dalam keadaan
terdesak dihadang musuh;
4) Lela Syaheran yang tiada lain adalah penyamaran Raja Bikrama Indera
ketika berpetualang mencari kekasih idamannya mendapatkan senjata
panah, hadiah dari gurunya, Brahmana Syah Menjana. Senjata panah
tersebut memiliki kekuatan magi, yakni dapat mengeluarkan suara gemuruh,
sinar yang menyilaukan dan anak panahnya dapat dikendalikan dari
busurnya.
Sementara itu, unsur etiologi yang dihadirkan pengarang adalah tentang
asal-usul Pulau Rumbia yang berasal atau diambil dari nama pohon rumbia yang
banyak tumbuh di pulau tersebut. Kehadiran unsur-unsur magi dan etiologi tersebut
adalah sebagai dewi fortuna atau dewa penolong bagi para tokoh ketika mengalami
masa kritis. Pada saat-saat kritis, para tokoh senantiasa diketengahi dengan
memunculkan kekuatan adikodrati atau kekuatan magi yang membawa cerita pada
insiden berikutnya, atau pada penyelesaian yang berbahagia.
DAFTAR PUSTAKA
Baroroh Baried, Siti. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Basuki, Anhari. 1983. “Cerita Nabi Yusuf (Suatu Pendekatan Reseptif)”. Tesis.
Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Chamamah Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnaen: Analisis Resepsi.
Jakarta: Balai Pustaka.
Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik (Sastra
Indonesia Lama). Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: FBSI Universitas Negeri Yogyakarta.
Fang, Liaw Yock. 1982. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka
Nasional.
Hollander, J.J. de. 1984. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Istanti, Kun Zachrun. 1983. “Studi Filologi Bagi Pengembangan Kebudayaan”.
Dalam “Pengantar Filologi”. Yogyaarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gadjah Mada.
Jusuf, Jumsari. 1989. Hikayat Maharaja Bikrama Sakti. Jakarta: Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007 (cet. ketiga). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra: Dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana
Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1995 (cet. keempat). Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
para kawi melihat (manusia dan) alam sebagai kesatuan yang hakiki. Teeuw bahkan
menyatakan bahwa peniruan alam dalam karya sastra tidak hanya terjadi dalam
sastra tradisonal saja melainkan dalam sejarah kebudayaan Barat khususnya Abad
Pertengahan telah menjadi tema sentral. Manusia tidak lain hanyalah meneladani
ciptaan Tuhan yang mutlak baik dan indah.
Masalah
estetik dalam sastra tradisional seperti keindahan rembulan, gunung, dan laut
sebagai unsur estetik karya sastra.
2. PENDEKATAN
Tulisan ini menggunakan pendekatan filsafat estetik. Sastra sebagai sebuah
hasil mimetik, maka seorang seniman (sastrawan) tidak bisa melepaskan diri dari
dunia nyata. Seni adalah bayangan keindahan yang ideal selama berabad-abad
lamanya sebagai dasar estetik. Hal ini daiaku benar oleh Teeuw (1988: 348) sebagai
berikut.
“True art..... strives to transcend the material world; in its poor images it
tries to evocate something of that higher realm of being which also glimmer
throught phenomenal reality ..... In tru art likeness doesn’t refer to commonplace
reality, but to ideal Beauty” (Seni sejati berusaha mengatasi dunia kenyataan:
dalam bayang-bayang yang hina diusahakannya menyarankan sesuatu dari dunia
yang lebih tinggi, yang juga terbayang dalam kenyataan fenomena.... Dalam seni
sejati kemiripan tidak mengacu pada kenyataan sehari-hari, melainkan pada
keindahan yang ideal).
Selain itu, pada bagian lain Teeuw (1988: 355) sepakat dengan pandangan
Zoetmulder bahwa puisi bagi sang penyair (khususnya kakawin sastra Jawa kuno)
adalah semacam yoga untuk mencapai kelepasan (moksa) dengan cara
mendekatkan diri pada dewa pujaannya (ista dewata). Penghambaan diri seorang
penyair (kawi) kepada dewa keindahan sekaligus sebagai sarana untuk mencipta
karya yang indah. Karya sebagai wadah yang dengan kata dan bunyi membentuk
dan menjelma keindahan, selain sebagai wadah bagi Sang Dewa sekaligus sebagai
objek pemusatan pikiran, baik bagi penciptanya maupun pembaca atau
pendengarnya.
Dari matra filsafat, estetik berhubungan dengan teori keindahan (theory of
beauty), yakni teori yang memberikan penjelasan mengenai sifat dasar dari
keindahan. Ada tiga pandangan mengenai teori keindahan ini (Gie, 1976: 41-42).
Pertama, teori objektif yang dianut oleh Plato, Hegel, dan Bernard Bosanquet. Teori
ini berpandangan bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis
adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada benda indah yang
bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang
hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada
suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Kedua, teori
subjektif, yakni teori yang berlawanan dengan teori objektif. Tokoh-tokoh teori ini
seperti Henry Home, Lord Ashley, Edmund Burke. Teori subjektif berpandangan
bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada suatu benda sesungguhnya tidak
ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seeorang yang mengamati
suatu benda. Adanya keindahan semata-mata bergantung pada pencerapan dari si
pengamat. Ketiga, teori campuran bahwa keindahan terletak pada suatu hubungan
di antara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya seperti
misalnya bila seseorang menyukai/menikmati benda itu. Jadi, sesuatu benda
mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerapan muncul dalam
kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda
itu.
Citra atau imaji adalah gambaran atau sesuatu yang ditangkap oleh indra
manusia. Walaupun bersifat statis, citra yang ditangkap seseorang dalam karya seni
(sastra) bisa berbeda-beda bergantung dari kepekaan orang tersebut. Ungkapan
subjektivitas perasaan pencipta/pengarang memungkinkan terjadinya permainan
emosi seorang pembaca. Oleh karena itu, penilaian terhadap karya seni perlu
dilakukan berdasarkan perasaan estetis dan ukuran nilai estetis. Bagi karya seni itu
sendiri sebenarnya tidak ada pengertian benar atau salah menurut pertimbangan
akal manusia atau berdasarkan ukuran norma kesusilaan, misalnya. Nilai seni tidak
tepat bila dipertimbangkan secara nonestetis.
3. ALAM DALAM KARYA SASTRA
Lukisan alam dalam sastra geguritan dapat dilihat dalam kutipan Geguritan
Dampati Lalangon berikut.
Artinya:
“Kebetulan musim bunga sedang mekar, ketika bulan purnama keempat
(sekitar bulan Oktober), (bertamasya) mencari keindahan, tiada lain yang
dituju, ke gunung (yang) seperti kahyangan, ada taman sangat indah,
bersanding dengan laut, semua terasa nikmat, jika Anda datang ke sana, pasti
tidak ingin pulang”.
Rembulan
Jelas teks di atas menyebutkan bahwa pada bulan itu ketika sasih kapat
(sekitar bulan Oktober tahun Masehi) adalah hari yang tepat bila bepergian untuk
bersenang-senang, melihat pemandangan indah. Pada bulan ini bertepatan dengan
musim/cuaca lagi cerah di antara keduabelas bulan (musim) lainnya. Tidak ada
hujan dan tidak ada awan di langit. Bulan ini juga disebut dengan nama Karttika.
Pada siang hari dapat melihat pemandangan dengan leluasa dan bila malam hari
dapat melihat indahnya bulan purnama. Gradasi lukisan yang terlihat di dalam
bulan itulah yang diibaratkan dengan kelinci sebagaimana yang digambarkan oleh
Zoetmulder di atas. Bulan sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada bulan
purnama terlihat bulat sempurna, juga terlihat besar. Dengan sinarnya yang lembut
menerangi jagat raya dapat memberikan nuansa hati tersendiri. Demikian
pentingnya bulan bagi kehidupan manusia, dapat digunakan sebagai penerang di
malam hari di tengah minimnya alat penerang lampu di masa lampau.
mencari bulan ini. Itulah yang ditunjukkan dalam Dampati Lalangon. Kisah asmara
dua sejoli yang dimabuk asmara, menikmati bulan madunya yang bermandikan
sinar rembulan.
Keindahan laut juga tampak ketika air sedang surut. Keadaan ini tergambar
dalam bait 66 sebagai berikut.
“Apan sawat di tengah pasihe ngrasak, ombake putih ngempur, ada dalem
bubuk, tinggange katon rawit, lancuhe manglancah, kembang kapase
masepuk, angine nunggara, aad pasihe tiis, sumangkin ditu ya melah,
kakarange jambat luung”
Artinya:
“Karena jauh di tengah laut bergemuruh, ombaknya putih bersih, ada yang
dalam dan dangkal, tampak indah, gelombangnya menghantam, (buih)
ibarat kembang kapas beterbangan, angin tenggara, (tatkala) airnya surut,
di sana semakin indah, batu karang berjajar indah”.
Keindahan laut juga tergambar ketika riak-riak di tengah laut menampilkan
buih-buih putih ibarat tebaran kapas bila dilihat dari kejauhan. Bilamana air sedang
surut, keindahan laut terlihat dari munculnya batu karang yang menampilkan
ukuran dan bentuk yang beraneka ragam.
(1) Eksplorasi alam dalam sastra geguritan menjadi inspirasi dalam ekspresi
karyanya.
(2) Selain untuk estetika, eksplorasi alam menunjukkan kecintaan pada alam,
untuk lebih mencintai lingkungannya, saling memberi dan saling
menjaga.
(3) Manusia dan alam merupakan kesatuan yang hakiki
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Gie, The Liang. 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta:
Karya.
Luxemburg. Jan van dan Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sulibra, I Kt. Ngurah. 2001. “Parikan Bubuksah Gagangaking: Analisis Bentuk,
Fungsi, dan Makna” (tesis pada Program Studi Linguistik Pascasarjana
Univ. Udayana Denpasar.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Edisi terjemahan).
Jakarta: PT Gramedia.
Zoetmulder, P. J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Yogyakarta: KITLV.
I Ketut Nuarca
Prodi Sastra Jawa Kuno
Abstrak
Di tengah pesatnya kemajuan ilmu kedokteran modern ternyata pengobatan
tradisional (Bali) masih juga mendapat tempat di hati masyarakat. Walaupun
sampai saat ini belum ditemukan adanya studi tentang seberapa jauh minat
masyarakat terhadap pengobatan tradisional di Bali tetapi pengamatan selama ini
memperlihatkan masalah pengobatan tradisional di Bali masih tetap eksis. Bahkan
beberapa pengobat tradisional di Bali (baca: dukun) masih tetap ramai dikunjungi
masyarakat baik untuk tujuan konsultasi belaka maupun untuk penyembuhan suatu
kasus penyakit tertentu.
Satu aspek yang ingin diangkat di dalam tulisan ini adalah tentang pengaruh
agama Islam di dalam sistem pengobatan tradisional Bali. Dalam teks-teks
pengobatan tradisional Bali (usadha) dan juga teks-teks jenis lain yang ada di Bali
banyak dijumpai adanya unsur bahasa arab. Secara sepintas masuknya unsur bahasa
ini dapat memberikan informasi adanya pengaruh agama Islam dalam penulisan
teks-teks tradisional di Bali, salah satunya dijumpai dalam teks usadha manak.
Usadha Manak ‘pengobatan beranak’ adalah teks pengobatan tradisional
Bali yang berisi cara-cara pengobatan yang dilakukan pada saat seorang ibu
melahirkan anak. Sumber datanya diolah dari sumber naskah berupa lontar
(manuscript) yang disimpan di UPT Lontar Universitas Udayana dengan no. krp.
229.
Ada tiga aspek yang akan dibahas di dalam tulisan ini : (1) ciri-ciri pengaruh
agama Islam di dalam usadha manak, (2) bentuk pengaruh agama Islam, dan (3)
penafsiran serta makna dari adanya pengaruh agama Islam dalam kehidupan
masyarakan Bali.
Kata kunci: usadha manak, pengobatan tradisional, pengaruh agama
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Perkembangan sastra tulis di Bali tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah
kesusastraan klasik selama kurun waktu antara abad ke-9 sampai dengan ke-15 di
Jawa. Selama kurun waktu itu di Jawa Tengah dan Timur terjadi proses penciptaan
karya-karya sastra klasik (Jawa Kuna) secara besar-besaran yang dilakukan oleh
para pujangga istana (para kawi) baik karya sastra dalam bentuk prosa (parwa)
maupun puisi (kakawin). Proses penciptaan karya-karya tersebut tampak mulai
berkurang ketika masuknya pengaruh agama Islam di Pulau Jawa. Saat itu para
pujangga melanjutkan tradisi nyastra-nya di Bali di pusat-pusat pemerintahan
seperti Gelgel dan Klungkung. Bahkan berdasarkan data yang ada diperkirakan
tradisi ini mulai tampak sejak abad ke-14 saat ekspedisi Majapahit ke Bali pada
tahun 1343 (Wirawan, 1979/80: 6). Tokoh-tokoh agama di Jawa yang ikut dalam
ekspedisi ini membawa ajaran dan praktek-praktek keagamaan termasuk
mengenalkan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Bali dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk dalam kehidupan sastra dan agama. Proses ini berlangsung
secara terus-menerus sehingga menimbulkan terjadinya satu proses yang oleh
Zoetmulder (1983: 25) disebutnya sebagai “jawanisasi” dalam kehidupan
masyarakat di Bali. Terjadinya interaksi dua kebudayaan yang hidup berdampingan
memberi peluang untuk saling mempengaruhi termasuk di dalam kehidupan
beragama dan sastra. Gejala inilah yang terjadi selama ekspedisi Majapahit di Bali.
Pengaruh agama Islam dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat
(Hindu) di Bali khususnya dalam bidang kesusastraan belum banyak dijadikan
sasaran penelitian. Salah satu aspek yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah
pengaruh agama Islam dalam sistem pengobatan tradisional di Bali yang ditemukan
di dalam teks Usada Manak.
Usada Manak ‘pengobatan beranak’ adalah salah satu teks pengobatan
tradisional Bali di antara sekian banyak teks usada yang ada dalam masyarakat.
Pengobatan beranak dalam uraian ini dimaksudkan cara-cara pengobatan atau
penanganan yang dilakukan saat seorang ibu akan melahirkan anak.
Seperti dimaklumi bersama bahwa di dalam kehidupan masyarakat modern
seperti sekarang ini masih banyak anggota masyarakat yang cenderung memilih
atau mencari cara-cara pengobatan tradisional melalui seorang dukun untuk
mencari pertolongan terhadap gejala penyakit yang sedang dideritanya termasuk di
antaranya kaum ibu (perempuan) menjelang kelahiran anaknya. Sejauh yang
penulis ketahui sampai saat ini belum ditemukan adanya studi yang dapat memberi
penjelasan mengapa masyarakat masih cukup kuat menganut cara berpikir ini di
tengah pesatnya perkembangan ilmu kedokteran modern. Dilihat dari sudut itu
rupanya kedudukan penelitian ini cukup penting dipakai bahan dalam memandang
dunia pengobatan ini tidak saja dari sudut kaca mata kekinian tetapi juga dari sudut
kaca mata tradisional. Hal ini akan sangat membantu membuka dan memperluas
cakrawala pandangan kita terhadap dunia pengobatan yang berkembang sekarang
ini. Agak kurang tepat anggapan yang memandang bahwa cara pengobatan hanya
dapat dan berhasil dilakukan dengan cara-cara modern saja. Sebab kenyataan telah
menunjukkan dan menjadi bukti bahwa cukup banyak para ibu yang telah tertolong
keselamatannya dengan cara-cara tradisional.
Ada dua hal yang menjadi fokus tulisan ini dan keduanya merupakan
permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti berikut.
1. Apa yang dijadikan indikator bahwa suatu aspek di dalam pengobatan itu
merupakan pengaruh Islam?
2. Sejauh manakah aspek pengaruh itu telah menyelusup dalam pengobatan
tradisional Bali?
Sebenarnya masih cukup banyak permasalahan yang perlu dijabarkan tetapi
mengingat waktu yang sangat terbatas untuk penyusunan tulisan ini maka
pembahasannya dibatasai pada dua permasalahan seperti di atas. Hal ini juga tidak
terlepas dari sifat dari tulisan ini sebagai rintisan awal dengan harapan akan muncul
gagasan dari pembaca untuk mengadakan penelitian sejenis di masa-masa datang.
Bila informasi telah diperoleh masyarakat maka yang perlu diketahui lebih
lanjut adalah bagaimana cara mengungkapkan kedalaman pengaruh agama Islam
dalam teks Usada Manak, demikian pula cara untuk mengetahui bahwa pengaruh
itu memang berasal dari agama Islam bukan agama lain. Inilah yang menjadi tujuan
khusus tulisan ini.
Catatan yang ada dalam collophon di atas sangat bermanfaat bagi penulis
karena dapat membantu di dalam proses analisis selanjutnya walaupun angka tahun
dimaksud tidak serta merta dapat dianggap sebagai tahun penulisan naskah itu tetapi
cenderung adalah tahun penyalinan. Penulis tidak dapat memberikan kepastian
apakah naskah ini asli (autograph) atau naskah salinan. Dalam studi pernaskahan
(filologi) antara naskah autograph dengan salinan dibedakan. Naskah autograph
ditulis langsung oleh pengarangnya bukan orang lain yang menulis. Di sinilah
sulitnya seorang peneliti untuk mengetahui kedudukan suatu naskah apa asli
(autograph) atau salinan karena karakter tulisan pengarangnya harus dapat dikenali.
Ciri pengaruh agama Islam dalam teks Usada Manak ini terbukti dari
banyaknya dipakai kata-kata yang menyebut nama Allah ‘Tuhan’ secara berulang-
ulang sebagaimana dapat dilihat pada lembar 1a sebagai berikut.
Ong tutup kencing buana allah buana keling, tutupan gedong
allah wuwus pepet, sarinane si anu, teka pepet.
Mantra tersebut digunakan bila seorang ibu sering mengalami keguguran,
jadi maksud mantra itu adalah untuk memperkuat manik ‘sel telur’ dan
juga memperkuat kama (sperma) laki-laki yang baru selesai melakukan hubungan
badan dengan istrinya. Mantra itu dinamai mantra pengancing ‘pengunci’ agar
kandungannya tidak gugur. Mantra pengancing ‘pengunci’ yang lebih panjang
diuraikan sebagai berikut.
Mantra itu dilanjutkan setelah materi pengobatan yang berupa air yang
ditempatkan dalam sibuh diminumkan kepada si ibu dan sisanya dipakai mencuci
vagina si ibu. Mantra lanjutannya adalah sebagai berikut.
Lebih tajam lagi dapat dikatakan bentuk pengaruh yang terdapat pada
bagian awal dari Usada Manak itu hanya dalam bentuk mantra-mantra saja yang
meliputi tidak lebih dari enam buah mantra. Bentuk-bentuk mantra itu dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian menunurut isinya yaitu: pertama mantra
sebagai sarana penguat kandungan untuk mengunci kandungan agar tidak
mengalami keguguran. Mantra ini terdiri dari dua mantra, yakni mantra yang lebih
pendek dan yang lebih panjang; kedua mantra pembuka kandungan ketika sudah
ada tanda-tanda bayi akan lahir demikian pula sesudah bayi lahir. Mantra ini terdiri
atas empat buah mantra. Mantra setelah bayi di luar kangdungan juga disebut
mantra pembuka (pamungkah). Keempat mantra terakhir ini pun ada satu naskah
yang pendek dan tiga naskah yang lebih panjang. Ciri bentuk pengaruh yang lain
belum dapat diteliti lebih akurat lagi, diharapkan penelitian rintisan ini akan banyak
mengunggah para peneliti lain yang berkecimpung dalam bidang pengobatan.
Adanya berbagai pengaruh pada dua buah kebudayaan atau lebih adalah
suatu hal yang sudah lumrah terjadi dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.
Hampir dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu kebudayaan pun yang luput dari
Kalimat itu secara lengkap adalah Ekam Ewam Adwityam Brahman ‘hanya
ada satu Tuhan tak ada duanya Brahman itu’. Brahman adalah nama lain dari Tuhan
yang di dalam masyarakat Bali sering disebut Ida Sangyang Widhi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa. Kalimat Weda berikut ini juga sebagai bukti bahwa Tuhan itu
hanya satu adanya.
besar dalam proses penyembuhan. Pada hakikatnya tujuan seperti inilah yang
diharapkan dari semua cara yang dilakukan dalam sistem pengobatan. Hakikat
sesungguhnya dari semua ajaran agama memiliki dasar yang sama yakni
memuja kebesaran Tuhan dalam segala bentuk dan perwujudannya. Hanya saja
cara dan bentuk lahiriah yang menyangkut teknik pelaksanaan dalam
permukaannya yang menyebabkan kelihatan berbeda, tetapi sebenarnya adalah
tunggal : bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
1. Ciri pengaruh agama Islam dalam teks Usada Manak dapat dikenali
melalui pemakaian kata-kata bahasa Arab yang biasa dipakai dalam
kehidupan agama Islam. Kata-kata itu diantara lain adalah : Allah,
Muhamad, Rasulullah, Bismillah, irachman, laillah dan lain-lainnya.
2. Bentuk pengaruh agama Islam dalam teks Usada Manak adalah berupa
mantra-mantra yang terdapat pada awal teks. Mantra-mantra itu
merupakan kombinasi antara ucapan suci agama Hindu dan Agama
Islam.
3. Pengaruh agama Islam dalam masyarakat Bali yang memeluk agama
Hindu dapat kita pahami karena masyarakat Bali tergolong masyarakat
yang memiliki sifat ramah, luwes dan penuh toleransi. Begitu pula
agama Hindu yang memang mudah berasimilasi atau mudah terjadi
sinkristisme dengan agama lain seperti dengan agama Budha semenjak
berkembang di Jawa Timur.
3.2. Saran-saran
Penelitian ini bersifat rintisan yang lebih banyak bertujuan untuk
menggugah penelitian selanjutnya dengan metode yang lebih baik dan akurat.
Penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai sistem pengobatan
tradisional di Bali ke depan memang perlu dilakukan dalam rangka mencari
jawaban seberapa jauh tingkat akurasi serta efektivitas sistem pengobatan
tradisional Bali melalui cara serta kombinasi dua keyakinan tertentu. Sistem atau
cara seperti ini juga diharapkan dapat membawa dampak posisitf dalam rangka
memelihara kerukunan dan tali silahturahmi antar umat beragama di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Usada Manak koleksi Unit Pelaksana Teknis Lontar Universitas Udayana kropak
no. 229 Denpasar
Abstrak
Berbagai persoalan sosial diungkapkan oleh Rendra di dalam setiap
karyanya. Melalui persoalan sosial tersebut, Rendra sekaligus mengungkapkan
kritik sosial kepada masyarakat (pembaca). Salah satu karyanya yang
mengungkapkan persoalan sosial yang aktual dan menarik untuk dibahas adalah
sajaknya berjudul “Perjalanan Bu Aminah”. Masalah yang dibahas di dalam sajak
ini adalah perjalanan panjang Bu Aminah di dalam mencari eksistensi dirinya
sebagai seorang perempuan desa.
Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra dan teori lain yang
relevan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan studi
pustaka dengan teknik baca, simak, catat, dan interpretatif. Dengan teori dan
metode tersebut permasalahan bisa dijawab dan tujuan penelitian bisa tercapai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sosiologis, perjalanan panjang
Bu Aminah dilatarbelakangi oleh keadaan sosial masyarakat dan keluarganya, di
samping rasa cinta dan tanggungjawab yang ada pada dirinya. Di dalam perjalanan
panjangnya, ia banyak mengalami peristiwa yang merendahkan dirinya sebagai
seorang perempuan desa. Walaupun perjalanan panjangnya menjadi sia-sia, tetapi
ia dapat membuktikan dirinya sebagai seorang perempuan desa yang memiliki
kekuatan dan keberanian.
1. PENDAHULUAN
ekonomi, dan politik masyarakat ketika menciptakan puisi atau drama (Eneste (ed.)
2009:62). Pengakuan Rendra tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara
karya sastra dengan keadaan sosial masyarakatnya. Hubungan seperti inilah yang
melatarbelakangi munculnya pendekatan sosiologi sastra dalam penelitian sastra
(Sudewa, 2012b: 9). Oleh karena itulah, karya-karyanya banyak dibaca oleh
masyarakat umum maupun diteliti oleh para ahli sastra dan kebudayaan. Di sisi lain,
ada juga yang tidak menyukai karya-karya penullis karena dianggap terlalu berani
mengungkapkan persoalan sosial dan budaya di dalam masyarakat, terutama yang
bernuansa kritik sosial. Penguasa Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto adalah
rezim yang tidak menyukai karya-karya Rendra. Hal ini disebabkan oleh karya-
karya Rendra yang senantiasa mengkritik sepak terjang rezim Orde Baru yang
otoriter, bahkan akibatnya ia pernah dipenjara tanpa melalui proses pengadilan
(Haryono, (ed.) 2009:65-66). Di dalam tulisan ini tidak membahasa tentang kritik
sosial yang ada di dalam karya-karya Rendra, tetapi membahas tentang masalah
perjalanan panjang seorang perempuan yang bernama Bu Aminah. Perjalanan
panjang perempuan ini ada di dalam sajak berjudul “Perjalanan Bu Aminah”.
Munculnya teori sosiologi sastra berangkat dari salah satu pandangan bahwa
karya sastra merupakan ekspresi sastrawan terhadap kehidupan manusia dari suatu
masyarakat tertentu pada zamannya karena tidak ada karya sastra manapun yang
diciptakan oleh sastrawan dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Jauh
sebelumnya, Jane Routh and Janet Wolff (1977:18) mengatakan bahwa studi
sosiologi sastra menyangkut teori yang berhubungan antara sastra dengan
masyarakat, baik secara eksplisit maupun implicit yang terkandung dalam sebuah
karya sastra.
2. PEMBAHASAN
Lalu
pada suatu malam
Ketika aku sedang mengenangkan
kehadirannya yang menyenangkan
ia masuk ke dalam kamar tidurku.
Begitu saja.
Setengah bencana, setengah mukjizat
Setengah merayu, setengah memaksa..
Ia meniduriku. (Rendra, 1997:56)
Secara semiotik, jejak dan fakta sosial pada kutipan di atas menunjukkan
bahwa Aminah masih memiliki harga diri walaupun ia memerlukan uang untuk
perjalanan panjangnya mencari adiknya. Ia pun pergi mencari pekerjaan di tempat
lainnya.
Fakta sosial yang tergambar di dalam kutipan di atas sebagai petanda bahwa
harga diri Aminah masih terus terjaga, walaupun mendapat pelecehan demi
pelecehan. Dalam konteks penokohan, Aminah adalah tokoh yang kuat dalam
pendirian dan tidak mudah tergoda. Secara psikologis hal ini dapat dipahami karena
kehamilannya justru karena ia tidak tahan dengan godaan laki-laki. Ia tampaknya
tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Ia ingin menjadi perempuan yang kuat
di dalam perjalanan panjangnya mencari Maria Zaitun.
Di dalam perjalanan panjangnya mencari Maria Zaitun dan mengalami
pelecehan demi pelecehan, ia menjadi putus asa dan bermasud menggugurkan
kandungannya. Ia datang kepada seorang dokter. Ketika akan digugurkan
mendadak Aminah mengurungkan niatnya karena anak di dalam kandungannya
menendang-nendang perutnya. Rendra menulis sebagai berikut.
Setelah kamu kembali rapi
dan dokter selesai menulis nota
ia berkata:
“Ini nota untuk anda.
Silakan pergi ke klinik di belakang.
Jam tiga siang nanti
kita kejakan.”
Dengan tenang
kamu menjawabnya:
“Tidak, dokter,
aku pulang.” (Rendra, 1997:59-60)
3. SIMPULAN
Dari analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara sosiologis,
perjalanan panjang Bu Aminah dilatarbelakangi oleh keadaan sosial masyarakat
dan keluarga yang tidak mampu, di samping rasa cinta dan tanggungjawab atas
perbuatannya, terutama terhadap anak di dalam kandungannya. Di dalam perjalanan
panjangnya, ia banyak mengalami peristiwa yang merendahkan dirinya sebagai
seorang perempuan desa, bahkan pernah putus asa ingin menggugurkan
kandungannya. Walaupun perjalanan panjangnya menjadi sia-sia karena tidak
bertemu dengan Maria Zaitun dan laki-laki yang telah menghamilinya, tetapi ia
dapat membuktikan dirinya sebagai seorang perempuan desa yang kuat dan ulet
dalam menjalani kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Eneste, Pamusuk. 2009. Proses Kreatif Mengapa dan Bagaiman Saya Mengarang,
Jilid 3. Jakarta:KPG
Haryono, Edi (ed.). 2009. Ketika Rendra Baca Sajak. Jakarta: Burung Merak Press.
Laurenson, Diana and Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature.
London: Paladin
Rendra, W.S. 1997. Perjalanan Bu Aminah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Riffaterre, M. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana
University Press.
Sudewa, I Ketut. 2012b. “Kritik Sosial dalam Puisi dan Drama W.S Rendra 1970-
an—1990-an”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sudewa, I Ketut. 2012a. “Tipologi Puisi Naratif Karya W.S Rendra”. Proshiding.
Sastra, Kultur, dan Subkultur hal. 198-208. Yogyakarta: FBS UNJ.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
dektih@yahoo.com
Abstrak
Klaim para ahli pragmatik tentang diktum imperatif adalah “Saya ingin
Anda melakukan sesuatu”. Salah satu makna penutur dalam bingkai diktum
imperatif yang sering dijumpai dan digunakan dalam komunikasi adalah
permintaan. Para ahli pragmatik berpendapat bahwa orang tidak selalu mengatakan
apa yang dimaksudkan. Permintaan memerlukan strategi yang ditentukan oleh
konteks budaya dan konteks situasi penuturnya. Artikel ini membahas persamaan
dan perbedaan tentang penerapan strategi permintaan dalam dua bahasa, yaitu
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Wawancara dengan berbagai informan yang
berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris yang tinggal di wilayah Sanur, Denpasar
Bali dilakukan yakni hasilnya dianalisis dengan teori Pragmatik (Thomas: 1995)
dengan pendekatan etnografi komunikasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa
di dalam berkomunikasi, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, strategi
permintaan yang digunakan ada dua, yaitu strategi permintaan tunggal dan strategi
permintaan beruntun. Strategi permintaan tunggal secara langsung diungkapkan
dengan modus imperatif baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,
sementara itu terdapat perbedaan yang signifikan dalam penerapan strategi
permintaan tunggal secara tidak langsung yakni dalam bahasa Indonesia permintaan
diungkapkan lebih secara tidak langsung. Demikian juga pada penerapan strategi
permintaan yang beruntun. Perbedaan penerapan strategi permintaan hanya pada
tingkat dan derajat kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan yang dipakai. Pada
bahasa Indonesia, berdasarkan konteks budaya dan konteks SPEAKING,
permintaan lebih cenderung dilakukan dengan cara tidak langsung dibandingkan
dengan bahasa Inggris.
1. PENDAHULUAN
Di dalam berkomunikasi secara lintas budaya, pelibat dari masing-masing
bahasa dan budaya memakai pola komunikasi yang berbeda. Untuk menyampaikan
maksud dan pesan tertentu, mereka menggunakan cara-cara yang berbeda.
2. KERANGKA TEORI
Permasalahan yang terkait dengan strategi permintaan dapat dijawab
dengan teori pragmatik dengan pendekatan etnografi komunikasi. Penjelasannya
dapat dilihat sebagai berikut.
2.1 Pragmatik
Pragmatik diartikan sebagai alat atau perspektif untuk mengkaji makna
penggunaan bahasa berdasarkan konteks. Dalam hal ini, diperlukan cara-cara yang
sistematis untuk menjelaskan makna seperti ini. Setiap tuturan akan bermakna
apabila dihubungkan dengan konteks situasi dan konteks budaya. Penggunaan
tuturan dapat dilihat maknanya dengan pragmatik, terutama aspek-aspek makna
yang tidak dapat ditemukan dalam kata dan struktur kalimat. Apabila makna kata
dan atau kalimat tidak bisa dijelaskan oleh ilmu bahasa, dalam hal ini semantic,
maka dipastikan pragmatik mampu menjelaskannya. Oleh karena itu, makna
tuturan dapat dijelaskan oleh semantik dan pragmatik. Makna berdasarkan
semantic lebih bersifat formal karena bentuk bahasa itu sendiri sudah membawa
dan mengandung makna, yaitu apa yang disebut dengan makna semantik. Tuturan
diklaim memiliki makna yang kontekstual, sehingga di samping makna semantik,
tuturan juga bisa memiliki makna kontekstual atau makna pragmatik. Misalnya,
seperti dikutip dari Thomas Jenny (1995: 1), kalimat: It’s hot in here! dapat
bermakna bagi penuturnya, yaitu: people open the window!, Is it alright if I open
the window?, You are wasting electricity.
Dalam konteks yang lainnya, tuturan dapat dimaknai secara berbeda-beda.
Perbedaan semacam ini menyebabkan pergerakan makna dari makna yang abstrak,
taksa atau ambigu ke makna penutur. Lebih spesifik lagi dapat dikatakan bahwa
makna tuturan yang dimaksud adalah makna penutur. Contoh yang paling relevan
dengan klaim ini adalah bahwa ketika tuturan disampaikan kepada seorang teman
yang telah meminjam mobilnya. Ketika ditemukan tangki premium kosong pada
saat mobil dikembalikan, si pemilik mobil dapat berkata seperti ini: It was nice of
you to fill the car up! atau What ashamed you couldn’t find the petrol tank!
Belakangan para ahli pragmatik mulai mengembangkan ilmu pragmatik ini.
Banyak kemajuan telah dibuat, seperti definisi yang relevan tentang Pragmatik,
konteks situasi yang mendukung pemaknaan pragmatic, dan pendekatan-
pendekatan yang sesuai dengan pemaknaan pragmatik. Definisi yang paling
fungsional tentang pragmatik yang dibuat oleh ahli pragmatik adalah bahwa
pragmatik itu merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks situasi
yang digramatikalisasi dalam struktur bahasa. Oleh karena itu, struktur bahasa yang
disebut dengan modus tuturan memiliki fungsi tertentu, seperti modus deklaratif,
negatif, interogatif, dan imperatif.
Sejalan dengan definisi pragmatik dan cara kerjanya, Thomas Jenny (1995:
2-6) menyatakan bahwa makna pragmatik merupakan makna penutur. Makna
penutur ini bisa diungkapkan dengan modus tuturan yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, modus deklaratif secara tidak langsung bisa bermakna dan berfungsi lain
selain menyatakan sesuatu. Tuturan interogatif bisa bermakna selain menanyakan
sesuatu.
3.2. 1 Bertanya
3.2.2 Menyapa
Dalam bahasa Indonesia permintaan bisa diungkapkan dengan
menyampaikan sapaan. Jenis permintaan ini dilakukan karena sarat dengan
kepentingan. Orang Indonesia cenderung melakukan pendekatan kepada orang
yang dimintai sesuatu, sehingga permintaannya dapat terpenuhi oleh lawan
tuturnya. Permintaan bisa diungkapkan dengan memanggil nama diri,
mengucapkan salam, atau menggunakan interjeksi: tante…, tante…., . Dalam
sudut pandang etnografi komunikasi, dalam bahasa Indonesia, ujaran meminta
dalam bentuk menyapa masih lebih umum ditemukan di masyarakat Indonesia,
Fungsi ujaran ini bagi orang Indonesia adalah ingin meminta sesuatu dengan
meyakinkan melalui pemberian informasi kepada si mitratutur untuk
melakukannya. Makna yang terkandung adalah implisit, ini merupakan cara
membujuk secara halus yang biasa orang Indonesia lakukan. Jika dibandingkan
dengan budaya barat, mereka cenderung jarang menggunakan ujaran ini, karena
menurut mereka, memberikan informasi untuk meminta seseorang adalah sesuatu
yang kurang sopan, karena seakan-akan kita mencampuri urusan mereka. Jika
ingin meminta sesuatu, mereka cenderung meminta secara langsung tanpa bertele-
tele.
pakai baju ini deh. Kalau bisa jangan deh beli warna ini, kurang bagus. Sedangkan,
ujaran yang digunakan budaya barat adalah : You should go to the Beachwalk, it is
really nice., It is better if you buy that one.
Tujuan ujaran ini adalah memberikan rekomendasi kepada seseorang untuk
melakukan hal yang sama dengan kita. Ujaran ini meyakinkan si mitra tutur untuk
mengikuti keinginan pembicara. Tapi jika dalam budaya barat, memberikan saran
ini hanya terjadi untuk seseorang yang sudah sangat kita kenal, mereka cenderung
tidak memberikan saran kepada orang yang baru dikenal sedangkan orang
indonesia menerapkannya kepada khalayak umum.
Sedangkan, ujaran yang digunakan oleh budaya barat adalah : If you want to get
the best coffee, go to the Starbucks.
3.2.7 Mengutip
Mengutip,yaitu permintaan yang dilakukan dengan melakukan kutipan
langsung atas ujaran orang lain. Ujaran yang digunakan oleh orang Indonesia
adalah : Kata ibu, jangan lupa beli beras ya. Ami (paman) Farid ada rumah makan
enak di dekat sini. Kita makan di sana aja. Dia mengatakan bahwa dokumen itu
sudah di letakkan di meja. Kak, kata itu Bapak, di toko sana bajunya bagus, aku
pengen beli. kak, paman bilang disana ada motor yang murah maunya sih pengen
beli. Sedangkan ujaran meminta dalam bentuk mengutip jarang bahkan tidak ada
digunakan oleh budaya barat.
Secara etnografi komunikasi, alasan mengapa kedua ujaran ini berbeda
penggunaannya karena orang Indonesia jika meminta sesuatu, pasti memiliki
banyak alasan sebelum mengutarakan secara langsung apa yang ingin diminta.
Dalam mengutip ini, biasanya mereka gunakan untuk meyakinkan lawan tutur
untuk mengikuti keinginannya. Mereka mengutip suatu pendapat karena ingin
menunjukkan bahwa apa yang diinginkan adalah hal yang baik serta didukung oleh
adanya opini dari orang lain mengenai apa yang ia inginkan. Contohnya " Kak,
kata itu bapak, di toko sana bajunya bagus, aku pengen beli. Lain halnya dengan
budaya barat, mereka cenderung tidak pernah mengutip suatu ujaran untuk
meminta sesuatu, mereka lebih memilih mengatakan keinginannya secara
langsung. Jikalau yang tidak diinginkan tidak terpenuhi, mereka mimilih untuk
3.2.8 Mengeluh
Mengeluh, yaitu permintaan yang disampaikan dengan cara
menyampaikan keluhan. Biasanya didahului oleh interjeksi aduh atau kata tanya
bagaimana ya. Ujaran yang digunakan oleh orang Indonesia adalah " Aduh, hari
ini panas sekali ", " Aduh, nasinya kurang matang nih, gak enak makan jadinya",
" Bagaimana ya pekerjaan ini sulit untuk saya lakukan", " Duh, laper banget nih",
"Gimana sih kipas angin ini gak mau hidup". Banyak contoh ujaran yang
digunakan oleh orang Indonesia, berbeda halnya dengan budaya barat yang
cenderung tidak menggunakan ujaran meminta dalam bentuk mengeluh.
Secara etnografi komunikasi, hal ini dikarenakan orang Indonesia
cenderung senang mengkreasikan bahasa. Ujaran mengeluh di sini memiliki
makna tersirat agar si pendengar atau mitra tuturnya mengerti maksud yang
sebenarnya yang diinginkan oleh si pembicara. Contohnya " Aduh, nasinya kurang
matang nih, gak enak makan jadinya". Ujaran ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pembicara ingin mitra tuturnya untuk mengganti nasi atau
membelikannya nasi yang lebih baik. Dalam budaya barat, mereka cenderung tidak
mengenal ujaran meminta dalam bentuk mengeluh ini. Mereka lebih memilih
mengatakan hal yang sebenarnya dibandingkan harus menggunakan ujaran yang
memiliki makna tersembunyi.
3.2.9 Menyindir
Menyindir, yaitu permintaan yang dilakukan dengan memberikan
kritikan secara tidak langsung. Ujaran digunakan oleh orang Indonesia antara lain
:"Kamu rajin sekali, baru bangun jam sekarang", " Jangan hanya membaca saja,
anak kecil juga bisa membaca saja, tapi pahami ". Orang-orang di budaya barat
cenderung tidak menggunakan ujaran ini.
diungkapkan dengan lebih tidak langsung dengan variasi yang lebih banyak
dibandingkan dengan permintaan dalam bahasa Inggris.
Tuturan
No Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Strategi Ket.
1 (1a) Laper ya? mau (1e) I'm hungry!What Beruntun 2 in 1
dikit dong!
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa kedua data tersebut memiliki
kesamaan dalam hal menyampaikan permintaan kepada lawan bicaranya.
Kesamaan tersebut yaitu dengan menyampaikan dua kali ujaran yang maknanya
meminta orang lain melakukan sesuatu.Pada data 1.a pembicara menyampaikan
maksud meminta kepada lawan bicaranya untuk melakukan sesuatu dalam bentuk
bertanya.Pada data 1.b pembicara menyampaikan maksud meminta kepada lawan
bicaranya untuk melakukan sesuatu dalam bentuk suruhan dan memberi
informasi.Pada 1.c pembicara menyampaikan maksud meminta kepada lawan
bicaranya untuk melakukan sesuatu dalam bentuk bertanya dan langsung
meminta.Pada data 1.d pembicara menyampaikan maksud meminta kepada lawan
bicaranya untuk melakukan sesuatu dalam bentuk suruhan dan bertanya. Pada data
1. e pembicara menyampaikan maksud meminta kepada lawan bicaranya untuk
melakukan sesuatu dalam bentuk suruhan secara langsung. Pada data 1.f pembicara
Tuturan
No Bahasa Indonesia Bahasa Strategi Ket
Inggris
1 (1a) Ada duit kaga? Beli kopi ama - Beruntun multi in 1
baju ganti.
maksud meminta kepada lawan bicaranya untuk melakukan sesuatu dalam bentuk
memberikan informasi dan meminta langsung.
4. PENUTUP
1. Strategi permintaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris,
cenderung diungkapkan dengan modus tuturan dan jenis tuturan yang sama.
Modus tuturan yang digunakan oleh penutur dalam kedua bahasa adalah
deklaratif dan negatif, interogatif, dan imperatif. Secara langsung
permintaan diungkapkan dengan modus imperatif, sementara itu, secara
tidak langsung permintaan diungkapkan dengan modus deklaratif dan
interogatif
2. Strategi permintaan yang diterapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris adalah strategi permintaan tunggal dan berurutan atau beruntun yang
ditandai dengan sekuensi penggabungan dua tuturan dan multi-tuturan.
Dalam bahasa Indonesia, orang Indonesia cenderung lebih tidak langsung
dalam menggungkapkan atau menyampaikan maksud permintaannya
dibandingkan ungkapan permintaan dalam bahasa Inggris
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. 1976. How to Do Things with Words. Great Britain: J.W. Arrow Smith
Ltd, Bristol.
Goddard, C. 1994. Cross Linguistic Syntax from A Semantic Point of View (NSM
Approach). New England: New England University Press.
Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal” Dalam Cliff
Goddard and A. Wierzbicka (eds), from Semantic and Lexical Universals:
Theory and Empirical Findings. Amsterdam/Philadelphia: Benjamins, 7--
29.
Hymes, D. H. 1974. ”The Ethnography of Speaking”. Dicetak Ulang dalam Joshua
Fishman (Ed.) Readings on the Sociology of Language. (pp. 99--138.The
Hague-Mouton. 1968
Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik, Edisi Terjemahan oleh Dr. Oka M.A.
Jakarta: UI Press.
Miles,M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku
Sumbertentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohindi,
penerjemah).Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Netra, I Made dkk. 2015. Konfigurasi makna Praktik-Praktik Budaya Ranah Adat
dan Agama sebagai Model Pemerkokoh Jati Diri Masyarakat Bali.
Denpasar: Udayana University Press
Wierzbicka, Anna. 1996. Semantics Primes and Universals. Oxford and New York:
Oxford University Press.
Wierzbicka, Anna 1999. Emotions Across Languages and Cultures: Diversity
andUniversals. Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. New York and
Oxford: Oxford University Press.
I Made Rajeg
Universitas Udayana
imaderajeg@gmail.com
Abstrak
Meningkatnya minat penelitian dalam bidang metafora telah membimbing
para peneliti untuk mengungkap pemakaian metafora dalam berbagai aspek,
termasuk aspek kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk menyingkapkan metafora
linguistik menyangkut kehidupan dan metafora konseptual yang memotivasi
pemakaian metafora linguistik tersebut dalam kehidupan masyarakat pemakai
bahasa Bali.
Penelitian ini menggunakan sumber data berupa korpus bahasa Bali. Korpus
ini dibangun dari teks berbahasa Bali pada Bali Orti online menggunakan
pendekatan korpus campuran. Jenis-jenis teks yang terlibat dalam korpus itu,
termasuk teks berita, sastra, agama, mitos, legenda, dan lain-lain. Data diperoleh
dari korpus menggunakan kata kunci, idup, yang dimasukkan ke dalam mesin
konkordansi. Kemudian, metafora linguistik diidentifikasi dengan metode Prosedur
Identifikasi Metafora (Pragglejaz Group, 2007) dan metafora konseptual yang
memotivasinya ditentukan menggunakan Teori Metafora Konseptual (Lakoff,
1993).
Hasil analisis menunjukkan bahwa metafora linguistik menyangkut
kehidupan dalam bahasa Bali dipicu oleh beberapa metafora konseptual, seperti
HIDUP ADALAH PERJALANAN (tatujon idup, panuntun idup, bekel idup),
HIDUP ADALAH KONSTRUKSI (ngewangun idup), HIDUP ADALAH
MAKANAN/MINUMAN (jaen idupé, pait idup), HIDUP ADALAH ENTITAS
(baang idup, ngrereh idup, duman idup), dan HIDUP ADALAH WADAH (isin
idup, daging idupé).
1. PENDAHULUAN
Lakoff dan Johnson (1980) dalam publikasinya “Metaphors We Live By”
telah mengubah pandangan tentang metafora secara radikal. Pandangan mereka
menunjukkan bahwa metafora bukan semata-mata sebagai bagian dari bahasa puitis
atau ungkapan idiomatik tetapi juga merupakan bagian dari cara berpikir metaforis
untuk membantu kita memahami dunia dan berbicara tentang dunia tempat kita
hidup. Pandangan ini mampu meningkatkan minat penelitian dalam bidang
metafora dan membimbing para peneliti untuk mengungkap pemakaian metafora
dalam berbagai aspek, seperti aspek sosial, politik, pendidikan, emosi, dan
kehidupan.
Secara klasik, metafora, termasuk bahasa figuratif lainnya seperti hiperbola,
simile dan lain-lain dipandang semata-mata sebagai fenomena lingual melalui
pemakaian kata-kata, digunakan untuk tujuan seni dan retoris, serta berperan
sampingan (Deignan 2005:2). Pemakaian metafora didasari oleh kemiripan dua
entitas yang dapat dikenali dan dibandingkan (Kövecses, 2002; 2006; 2010),
misalnya, “Luh Kentul adalah kembang desa di wilayah ini.”
Sementara itu, para penganut pandangan metafora moderen atau metafora
konseptual (MK) menyatakan bahwa metafora merupakan bagian dari sistem
konseptual, bukan hanya dalam bentuk kata-kata. Metafora konseptual difungsikan
untuk memahami konsep-konsep tertentu dengan lebih baik, bukan hanya untuk
tujuan artistik atau estetika. Metafora konseptual tidak selalu berbasis pada
kemiripan dua entitas. Dalam kehidupan sehari-hari, metafora digunakan secara
tidak disadari oleh masyarakat pada umumnya dan tidak hanya dipakai oleh orang-
orang yang memiliki kemampuan khusus untuk itu. Metafora merupakan proses
berpikir manusia sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan (Lakoff & Johnson,
1980; Lakoff, 2006; Kövecses, 2002; 2006; 2010; Geeraerts, 2010). Deignan
(2005:13) menyatakan bahwa secara konseptual metafora dipandang sebagai inti
pikiran. Oleh karena itu, metafora juga merupakan inti bahasa.
Teori metafora moderen memandang ungkapan linguistik atau metafora
linguistik (ML) sebagai bentuk nyata atau manifestasi dari MK. Melalui ML-lah
kita mengungkap keberadaan MK (Kövecses 2002:6).
Metafora memegang peran sangat penting dalam proses berpikir manusia.
Melalui metafora, dunia dan segala kegiatannya dapat dikonseptualisasikan (Lakoff
& Johnson, 1980:3; Gibbs, 2008:3). Lakoff dan pengikutnya mengklaim bahwa
topik-topik yang bersifat abstrak dan penting bagi kehidupan manusia, seperti
kelahiran, cinta, kehidupan, emosi, dsb. sebagian besar, bahkan sepenuhnya
diekspresikan dan lebih cepat dipahami melalui metafora. Rajeg (2013),
menemukan bahwa sebagian besar hal-hal abstrak menyangkut emosi
(amarah/kemarahan, ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, cinta) dalam bahasa
2. KONSEP DASAR
2.1. Metafora klasik
Dalam arti luas, metafora klasik adalah kias yang mengandung unsur
perbandingan (periksa, antara lain Ortony, 1979; Lakoff dan Johnson, 1980; 1987;
2006; Cormac, 1985; Kövecses, 2002; 2005; 2006). Dalam arti sempit, metafora
klasik merupakan kias yang ditunjukkan dengan perbandingan tanpa bantuan kata
atau ungkapan seperti atau bagaikan dan selalu memiliki tiga unsur: topik, citra,
dan kemiripan.
3. METODE PENELITIAN
Sumber data penelitian ini berupa korpus bahasa Bali (BB). Bahan korpus
diperoleh dari teks BB pada laman Bali Orti online dengan pendekatan korpus
campuran. Jenis-jenis teks yang terlibat dalam korpus itu, termasuk teks berita,
sastra, agama, mitos, legenda, dan lain-lain. Korpus BB yang digunakan
digolongkan ke dalam korpus khusus yang masih mentah (raw corpus) (Gries,
2009a: 9). Artinya, korpus tersebut belum bermarkah linguistik (linguistic markup)
dan belum beranotasi semantik (semantic annotation). Pemarkahan dan
penganotasian tidak dilakukan karena pekerjaan ini memerlukan waktu yang sangat
panjang. Selain itu, melalui korpus mentah pencarian data metafora kehidupan
sudah dapat dilakukan dengan baik. Jenis data penelitian ini berbentuk pola-pola
ungkapan atau ML yang mengekspresikan pemakaian BB yang mengandung
metafora kehidupan dan dibatasi pada fenomena lingual yang ditemukan pada
korpus BB tersebut.
Penjaringan data dilakukan dengan program aplikasi komputer Antconc
3.4.1w. Program ini digunakan karena program tersebut diyakini memiliki
kemampuan untuk menjelajah dan memproses data pada korpus yang sangat besar
dan mampu memunculkan leksikon yang diinginkan beserta konteks linguistik yang
menyertainya dengan lebih cepat dibandingkan dengan penjelajahan data secara
manual. Pencarian data dilakukan dengan menggunakan satu leksikon RT “idup”
sebagai kata kunci. Sementara itu, pencarian data tanpa RT ditunda untuk saat ini.
Di bawah ini disajikan contoh calon data berupa nukilan konkordansi hasil
penjelajahan korpus dengan Antconc 3.4.1w.
4. DASAR TEORI
Perjalanan → kehidupan
Tempat Tujuan tujun hidup
a) Pajalan idup nyén ané nawang, sajaba Ida Sang Hyang Embang,...
Perjalanan hidup siapa yang tahu kecuali Tuhan ...
Siapa yang memahami perjalanan hidup, kecuali Tuhan,...
h) ...sang maraga luih sané patut kagugu lan katiru pinaka panuntun
idup.
Orang berupa mulia yang pantas dipercaya dan ditiru sebagai pemandu
hidup
... orang mulia yang patut dipercaya dan ditiru sebagai pemandu hidup.
o) Pang mawat kawat, mabalung besi idup cainé (contoh intuitif peneliti)
Supaya berotot kawat bertulang besi hidup kamu (laki-laki)
Agar hidupmu kuat.
p) Yén jlemané ené baang idup, pedas kagungan idéwéké lakar juanga,
...
Kalau manusia ini beri hidup pasti kemuliaan aku akan
diambil
Kalau orang ini diberi/dibiarkan hidup, pasti kemuliaanku akan
dikuasai,...
r) Karasayang kuangan idup tiangé nénten masanding sareng anak tua ...
Dirsakan kekurangan hidup saya tidak bersanding dengan orang tua
Rasanya kekurangan hidup saya tak sebanding dengan orang tua...
s) ...yaning sampun rauh warsa anyar puniki tuah ngrereh idup sané sujati.
kalau sudah tiba tahun baru ini hanya mencari hidup yang
sesungguhnya
...Kalau sudah tiba tahun baru ini kita hanya mencari hidup yang
sesungguhnya.
6. SIMPULAN
Hasil analisis data korpus yang terbatas menuntun kita pada simpulan
bahwa hidup/kehidupan pada masyarakat Bali dipahami melalui beberapa MK,
yaitu 1) HIDUP/KEHIDUPAN ADALAH PERJALANAN, 2)
HIDUP/KEHIDUPAN ADALAH KONSTRUKSI/BANGUNAN, 3)
HIDUP/KEHIDUPAN ADALAH MAKANAN/MINUMAN, 4)
HIDUP/KEHIDUPAN ADALAH ENTITAS, 5) dan HIDUP/KEHIDUPAN
ADALAH WADAH.
Konsep KEHIDUPAN sebagai PERJALANAN direalisasikan melalui
beberapa metafora linguistik seperti tatujon idup (tujuan hidup) , panuntun idup
(penuntun hidup), bekel idup (bekal hidup). Konsep KEHUDUPAN sebagai
KONSTRUKSI/BANGUNAN direalisasikan dengan ungkapan, salah satunya
ngewangun idup (membangun hidup). Konsep KEHIDUPAN sebagai
MAKANAN/MINUMAN direalisasikan dengan metafora linguistik seperti jaen
idupé (hidup enak), pait idup (pahitnya hidup). Kensep KEHIDUPAN sebagai
ENTITAS direfleksikan dengan ungkapan linguistik seperti baang idup (berikan
hidup), ngrereh idup (mencari hidup), duman idup (bagian hidup). Sementara itu,
konsep KEHIDUPAN sebagai WADAH diejawantahkan dengan ungkapan seperti
isin/daging idup (isi hidup).
Keterbatasan temuan penelitian ini disebabkan oleh keterbatasan waktu
peneliti sehingga pencarian data difokuskan pada data yang memiliki RS dan RT
saja. Temuan akan dapat dilengkapi dengan memperhatikan ungkapan-ungkapan
yang tidak menunjukkan RT secara eksplisit tetapi memiliki makna metaforis
secara konseptual. Misalnya, konsep KEHIDUPAN sebagai HARI (anake lingsir,
bajang lingsir) dan konsep KEHIDUPAN sebagai TANAMAN (jatma wimuda,
truna wayah, cerik-cerik kantun peceh ledek).
DAFTAR PUSTAKA
Cormac, Earl R. Mac. 1985. A Cognitive Theory of Metaphor. London: The MIT
Press.
Deignan, A. 2005. Metaphor and Corpus Linguistics. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamin Publishing Company.
Evans, V. and Melanie Green. 2006. Cognitive Linguistics An Introduction.
Edinburgh: University Press Ltd.
Geeraerts, D. 2010. Theories of Lexical Semantics. New York: Oxford University
Press.
Gibbs, Jr. Raymond, W. (Editor) 2008. The Cambridge Handbook of Metaphor and
Thought. New York: Cambridge University Press.
Gries, S.Th., 2009b. Statistics for Linguistics with R: A Practical Introduction,
Berlin & New York: Mouton de Gruyter.
Kövecses, Z. 2002. Metaphor: A Practical Introduction. New York: Oxford
University Press.
Kövecses, Z. 2005. Metaphor in Culture: Universality and Variation. Cambridge:
Cambridge University Press.
Kövecses, Z. 2006. Language, Mind, and Culture: A Practical Introduction. New
York: Oxford University Press.
Kövecses, Z. 2010. Metaphor: A Practical Introduction. Second Edition. Oxford:
Oxford University Press.
Lakoff, G., & Johnson, M. 1980. Metaphors We Live By. Chicago: The University
of Chicago Press.
Lakoff, G. 1987. Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal
about the Mind. Chicago: University of Chicago Press.
Lakoff, G. 1993. The Contemporary Theory of Metaphor. In A. Ortony (ed)
Metaphor and thought (2nd ed) (pp. 202-251). New York: Cambridge
University Press.
Lakoff, G. 2006. “The Contemporary Theory of Metaphor.” dalam Cognitive
Linguistics: Basic Readings. [Cognitive Linguistics Research 34], Dirk
Geeraerts (editor), 185-238. Berlin: Mouton de Gruyter.
Ortony, A. (Editor) 1979. Metaphor and Thought. London: Cambridge University
Press.
Pragglejaz Group. 2007. “MIP: A Method for Identifying Metaphorically Used
Words in Discourse. Metaphor and Symbol.” Vol. 22(1), 1-39.
Rajeg, I M. 2013. "Metafora Emosi Bahasa Indonesia". (disertasi). Denpasar
ROMANTIKA REVOLUSI
DALAM KARYA-KARYA TERAKHIR MADE SANGGRA
I Made Suarsa
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Madesuarsa5@gmail.Com
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Sastrawan Made Sanggra lahir tahun 1926 di Banjar Gelulung Desa dan
Kecamatan Sukawati, Gianyar dan meninggal Rabu Pon Sungsang 20 Juni 2007.
Sebagian besar dari masa hidupnya (71 tahun) dihabiskan untuk berjuang dan
bersastra. Selama revolusi fisik di Indonesia (1945–1950) Made Sanggra bergabung
2. PEMBAHASAN
Kendatipun tidak langsung merupakan bagian dari analisis atau pengolahan
data, namun sinopsis cerpen Bir Bali dan parafrasa puisi Margarana dianggap
Akhirnya ketahuan penjudi yang kena taji tadi itu adalah Pak Jiger dan
pemuda yang diajak ngobrol itu adalah anak buah Pak Jiger. Tebersit kembali sosok
Pak Jiger yang merebut kekasihnya hingga membuat dia rada-rada gila.
tersebut relatif lebih kokoh. Menurut Teeuw (1984:136), yang penting dalam
analisis struktural ini adalah justru sumbangan atau dukungan yang diberikan oleh
semua gejala atau unsur kepada keseluruhan makna, dalam keterkaitan dan
keterjalinannya. Jadi, bukan penjumlahan antarunsur, melainkan keterjalinan dan
keterkaitan.
Karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah bangunan atau struktur yang
dibangun oleh unsur-unsur yang bertugas sesuai dengan fungsinya, sebagaimana
dikemukakan Teeuw (1984:135) di bawah ini.
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh.
Pelecehan Seksual
Wanita selalu menjadi makhluk lemah dan selalu menjadi sasaran hegemoni
laki-laki. Lebih-lebih wanita yang ditinggal suaminya atau tunangannya bergerilya
di hutan, menjadi lebih inferior di tangan superioritas laki-laki, yang menjadi kisah
pilu. Hal itu tampak dalam Bir Bali, sebagaimana kutipan di bawah ini.
(…). Nenten puput amunika, sane banget nyakitin hati para Pejuange
sane Berjuang ninggal desa, soroh NICA ne maosang “nyingkir”, kurenane
sane kakutang jumah, kagoda kaparikosa olih Pelopor PPN ne, sakadi anak
meduman, para Pelopor PPN punika milihin siki-siki. Wenten taler sane
raris kajuang kamaduang kaanggen somah (hlm. 34)
Kutipan di atas pada intinya menuturkan para istri dan atau kekasih yang
ditinggal berjuang bergerilya ke hutan oleh suami dan atau kekasihnya, digoda oleh
para pelopor PPN, bahkan ada juga yang diperkosa. Jangankan diperkosa, digoda
saja sudah merupakan pelecehan seksual, yang merendahkan martabat wanita.
Lebih tragis lagi nasib Ni Made Sukri, kekasih Ketut Téwél yang sudah
berjanji akan menikah setelah perang berakhir, dipaksa dikawini oleh Pak Jiger
anggota Polisi NICA yang menjadi musuh bebuyutan Tut Téwél dan para pejuang
lainnya, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
Tunangan Tut Téwéle Ni Made Sukri, sane sampun majanji nganten
ajak Tut Téwél yen sampun jagate merdeka, kejarah kaanggen somah olih
Pak Jiger. Pak Jiger anggota Polisi NICA sane ngoregang para Pelopor
PPN ne (hlm. 34-35)
Teror Mental
Tidak cukup sampai di sana derita yang dialami Tut Téwél. Kekerasan
verbal juga dialami Tut Téwél. Penurunan Pemuda Pejuang dari hutan dan bukit
pada Mei 1948, malah dianggap sebagai “penyerahan umum” yang berarti Pemuda
Pejuang yang dengan suka rela trurun gunung, malah dianggap menyerah.
Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah para pejuang yang sudah kembali
harus mengucapkan sumpah di Pura Desa (tempat bersemayamnya Dewa Brahma,
sebagai pencipta alam semesta), bahwa para pejuang harus bersumpah setia kepada
pemerintah (Raja Gianyar). Banyak di antara mereka yang tidak sudi, makanya
mereka mengungsi ke Badung atau Jembrana. Ibaratnya para pejuang itu sudah
jatuh ditimpa tangga.
Wenten malih sane anggena nyengahin manah. Para pejuange sami
kasumpahin ring Pura Desa, kocap mangda sampunang purun ring
Dewagung, sapunika daging sumpahe, pangageng saking pemerintah
mapangkat Patih rauh nodio. Tiosan malih para pejuange kawusang
mabanjar. Katah sane rarud mumah ring Badung, miwah wenten ring
Jembarana. Duh kadi sesonggane “sampun ulung, teteh jan, tepen
pangiris” (hlm. 35).
3. SIMPULAN
Hakikat revolusi adalah perubahan yang mendasar dan tiba-tiba. Akibatnya
tidak terelakkan memantik romantika. Demikian juga halnya revolusi fisik di
DAFTAR PUSTAKA
I Made Suastika
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Tradisi lisan di Bali khususnya di Kota Denpasar telah lama dikenal,
setua sejarah masyarakatnya karena kehadiran satua itu melekat pada orang-
orang yang setiap saat dapat menyampaikan cerita itu kepada orang lain dan
lingkungannya.
Masatua sebagai sebuah tradisi dalam keluarga dan masyarakat
umumnya di Bali untuk menyampaikan cerita secara lisan (oral) dan secara
sepontan karena cerita itu telah diketahui dan sudah hapal dalam benaknya,
cerita lisan telah diturunkan dari nenek ke anak secara lisan dengan
memperhatikan ruang dan waktu tertentu. Umumnya disampaikan pada malam
hari ketika akan menidurkan anak dan cucu.
Masatua sebagai warisan leluhur yang tidak diketahui pasti kapan teks
itu muncul, melalui penceritaan yang disampaikan itulah cerita lisan (masatua)
diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam penyampaian cerita tersebut
berbagai nilai yang ditransformasikan dalam cerita tersebut seperti nilai sosial,
2. AKTIVITAS MASATUA
Kota Denpasar terdiri atas beberapa kecamatan, di bawahnya ada desa
atau perbekel yang jumlahnya cukup banyak. Di bawah desa/keperbekelan ada
desa adat yang memiliki luas lebih sempit dari desa/keperbekelan yang disebut
banjar. Banjar diikat oleh kelompok masyarakat sebagai satu kesatuan yang
pemimpinnya disebut kelian banjar.
sudah tidur atau belum. Cerita sering disampaikan berulang-ulang untuk lebih
memahami isi/teks cerita sampai mengerti. Ada pula cerita yang lain
disampaikan secara silih berganti disesuaikan dengan kepentingan anak.
Umumya dilakukan pada malam hari ketika akan menidurkan anak atau
cucunya. Sejumlah informan mengatakan aktivitas itu kini jarang dilakukan
dibandingkan 20-30 tahun yang lalu, aktivitas sekarang berkurang karena
pengaruh TV, CD/compact disc, plastation, permainan game dan hiburan di TV
yang lebih menarik ditangkap oleh anak-anak mulai pagi hari, sampai malam
hari sehingga kesempatan bercerita (masatua Bali) hampir ditinggalkan.
perkumpulan pemuda, lomba, masatua dibawakan oleh anak muda. Anak muda
pun yang berstatus pelajar membawakan masatua dengan baik. Bernama Ni
Kadek Cintia L.D. mengatakan bahwa matembang sama dengan masatua yaitu
menggunakan bahasa Bali dan melestarikannya. Kutipan biografinya sebagai
berikut :
mabasa Bali tatkala mabebaosan sareng rerama utawi sareng guru ring
sekolahan. Sujatiné nénten akéh sané uning yéning mabasa Bali punika becik
pisan.
Katakénin indik parikrama matembang, Cintya maosang wantah
kasenengan kémanten. Sangkaning makekalih reramannyané ngicénin dané
ngamargiang kasenengnannyané punika, ngawinang dané nyarengin Sanggar
Cressendo sané kapucukin olih Komang Darmayuda ring Sukawati, Gianyar.
Yadiastun genahnyané joh nanging Cintya rajin rauh mrika, duaning dané
mapikayunan jagi setata santep tur sumeken malajah. Indik préstasi
matembang sané kadruénang taler becik pisan, minakadi naénin polih juara 3
ring pacentokan lomba matembang lagu-lagu BK ring Provinsi Bali. Préstasi
punika ngawinang Cintya bangga taler bagia pisan sinambi dané nyuksmayang
paican Hyang Widhiné punika, duaning pamilet lomba inucap akéh pisan rauh
saking inucap akéh pisan, rauh saking sajebag kabupatén ring Bali.
“Alit utawi ageng prestasi sané kapolihang patut pisan kasuksmayang.
Nénten wénten manah tiangé marasa kuciwa yadiastun wantah polih juara
tiga,” baosnyané makenyem.
Asapunika taler indik jemetnyané malajahin basa Bali. Yadiastun polih
juara kapertama lomba masatua Bali sajebag kabupaten Gianyar, Cintya
nénten ajum duaning tetujonnyané ma1ajahin basa Bali boya mangda polih
juara sajabaning wantah nglestariang basa Bali pinaka tetamian leluur.
Yéning akéhan timpalnyané meled prasida dados dokter, sios saking
Cintya. Yowana puniki meled pisan prasida dados seniman utawi “artis serba
bisa” inggian waged matembang, masatua Bali, miwah dados presenter.
(dikutip dari Bali Pos, 16 April 2016)
biasanya tema cerita I Siap Selem, I Bojog teken I Kambing, I Kekua teken I
Lutung, I Celepung, Pan Balang Tamak, Kesetiaan basanya tema cerita I Tuung
Kuning, I Bawang Kesuna. Kejujuran tema cerita I Ubuh. Kebodohan tema
cerita I Lengeh dan I Kiyul, dan pengendalian diri tema dari cerita Sang Prabu
Singa, I Sugih teken I Tiwas.
Berdasarkan cerita (alur di atas) dapat disebutkan nilai dalam masatua
berisi tentang nilai pendidikan, nilai religius, nilai sosial, dan nilai budaya.
Semua nilai ini tidak bisa dimutlakkan dalam satu cerita karena ada saja nilai
yang lain yang berkaitan dengan nilai yang lainnya sesuai dengan pemahaman
pembacanya (pendengarnya).
Apakah nilai masatua itu dapat membentuk karakter pendengarnya ? Hal
ini kemungkinan dapat dilakukan dengan cara bercerita secara terus-menerus
sehingga pendengarnya dapat mengetahui nilai dalam cerita itu seperti etika dan
moral, susila, berpikir positif, nilai gotong royong, tolong menolong, dan aspek
nilai yang lain. Di samping itu apabila masatua disampaikan secara terus
menerus dapat mengetahui dan menjaring nilai mana dari tokoh yang baik patut
ditiru dan digugu dan tokoh manakah yang buruk perilakunya yang tidak patut
ditiru dalam berbuat. Nilai dalam masatua hendaknya dapat dipakai sasuluh
berupa pedoman dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.
5. SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Tradisi masatua hingga kini di Bali umumnya dan di Kota Denpasar
khususnya aktivitasnya sudah jauh berkurang, tampak kegiatan masatua
hampir ditinggalkan.
2. Nilai dalam masatua misalnya nilai sosial, gotong royong, pendidikan
religius, kebersamaan, perlu dikembangkan atau dipahami.
3. Nilai dalam masatua perlu ditanamkan pada generasi muda dan anak didik
lewat pembejalaran lomba masatua sesuai model yang dilakukan oleh Ni
Kadek Cintya L.D, Made Taro dan guru-guru bahasa Bali dan bahasa
Indonesia di Universitas Dwijendra.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusi Ngurah. 1963. Akal dan Humor Rakyat dalam Dongeng Bali.
Singaraja.
_____________. 1965. Himpunan Dongeng Rakyat Bali. Singaraja: Lembaga
Bahasa dan Kesusastraan.
_____________. 1966. Tokoh Dempu Awang dalam Dongeng Bali.
_____________. 1968. Arti Dongeng dalam Pendidikan. Singaraja: Direktorat
Bahasa dan Kesusastraan Direktorat Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Danandjaya, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.
Hooykaas, C. 1963. “Sprookes en Verhalen van Bali”. KITLV.
Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Mardani, Gst. Ayu Made. 1972. “Nilai dan Fungsi Cerita Rakyat di Kecamatan
Nusa Penida. Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra.” Denpasar Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
Puja, IGN Arinton. 1985. “Bibliografi Beranotasi Folklor Bali”. Dalam Berita
Antropologi. No.XIII. Oktober-Desember, h.1-177.
Pudentia, MPSS. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi
Lisan.
Putra, Heddi Sri Ahimsa. 1999. “Strukturalisme Levi Strauss Untuk Arkeologi
Semiotik”. Dalam Humaniora. Jilid 12. H.1-13.
Sanggra, I Made. 2004. Gaguritan Taluh Emas. Patbelas Satua Gita: Satua Bali
Untuk Anak Usia Sekolah. Yayasan Saba Sastra Bali.
Suastika, I Made. 2008. “Nilai Agama dan Pendidikan dalam Satua Bali: Kasus di
Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli” dalam Jurnal
Ilmiah Widya Sandhi. Vol.2 No.3 Januari. Mataram: STAH Negeri.
Suastika, I Made. 2011. “Tradisi Sastra Lisan (Satua) Di Bali” Kajian Bentuk,
Fungsi, dan Makna. Pustaka Larasan. Bekerjasama dengan Program
Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.
Abstrak
Karya sastra senantiasa berada dalam dinamika zaman. Dengan bahasa,
karya sastra berkembang mengikuti pola-pola perubahan sesuai perspektif
masyarakatnya. Era posmodern membawa perubahan secara revolusioner dan
inkonvensional dengan mengabaikan fungsi dan makna, menuju pergantian,
perubahan, serta perkembangbiakan dari suatu bentuk ke bentuk lain yang tidak
mesti baru tetapi “harus berbeda”. Permainan bahasa posmodern bebas tak terbatas,
bukan keefisienan pesan-pesan yang ingin dicari, melainkan kegairahan dan ekstasi
dalam permainan bahasa itu sendiri. Dengan asumsi ini karya sastra posmodern
telah mengikuti pola-pola, seperti; pastiche, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia.
Kata kunci: Karya sastra, posmodern, akselerasi
1. PENDAHULUAN
Karya sastra posmodern lebih ditujukan pada karya sastra eksotis dengan
tampilan estetika yang berbeda dari era sebelumnya. Aspek keindahan yang
terkandung dalam karya sastra, tidak hanya ditampilkan melalui medium
bahasanya, tetapi pada tampilan bentuk dan perwajahannya/latarnya. Karya sastra
senantiasa berkembang mengikuti pola zamannya. Setiap periode selalu
meninggalkan jejak masa sebelumnya sebagai tonggak kelahiran zaman berikutnya.
Era posmodern misalnya niscaya didahului oleh zaman modern dan pramodern
(sering juga disebut zaman klasik, kuno, dan purba). Setiap periodisasi mempunyai
ciri-ciri yang membedakan dari zaman lainnya, dan dapat diungkapkan melalui
sejarah perkembangannya. Baudrillard (dalam Refly, 2006: 153)
mengidentifikasikan ciri dunia posmodern dengan kematian makna-makna yang
sebelumnya hidup dalam masyarakat pramodern dan masyarakat modern. Makna-
makna tidak lagi berarti karena yang dipentingkan dalam dunia posmodern adalah
bentuk.
Kematian makna diikuti oleh perubahan dan pergantian bentuk secara terus
menerus berlangsung secara cepat. Bentuk tidak lagi memiliki makna ideologis
(representatif) seperti zaman pramodern dan juga telah kehilangan fungsi
representatifnya karena zaman posmodern berubah dan berkembang biak hanya
mengikuti kesenangannya (form follow fun). Zaman posmodern ditandai oleh
kebebasan berekpresi untuk mengungkapkan dan menggali kebebasan diri tanpa
rasa takut untuk ‘ditindak’, dikucilkan atau dihina.
Karya sastra posmodern yang akan dibahas lebih merujuk pada: 1) karya
sastra posmodern Wianta, Sutardji, dan Iwan Simatupang; 2) karya sastra di dalam
cerita (satua) Bali, dan karya ‘Joger’(dalam Joger Post Desa). Karya tulis ini lebih
mengacu kepada studi kepustakaan dengan merunut dan merujuk sumber-sumber
refrensi yang sudah ada. Begitu luasnya lingkup kajian sastra maka dilakukan
pemilihan dan pemilahan secara ekletik, selektif sesuai data yang diperlukan.
Teori yang digunakan adalah teori postrukturalis, meliputi teori resepsi dan
teori interteks. Teori resepsi sastra dan teori interteks tidak bisa dilepaskan karena
keduanya mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih. Resepsi sastra
memberikan perhatian pada aspek estetika, bagaimana karya sastra ditanggapi dan
diolah, kemudian interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi
penulis untuk mendeskripsikan hypogram baik sebagai parodi maupun negasi.
a) Pastiche
Beberapa teks karya sastra masuk dalam unsur pastiche, yaitu cerita Tantri
yang kelahirannya di Bali dikemas dalam berbagai varian. Ide dalam cerita Tantri
Kamandaka Jawa Kuna diambil untuk membentuk varian cerita dalam karya sastra
Bali, seperti dalam Kidung Pisacarana, Geguritan Cangak, Satua I Lutung dan
lain-lain. Di dalam cerita Tantri ciri yang menonjol adalah menyuguhkan cerita
dengan mengambil tokoh-tokoh binatang yang menjadi pelaku-pelaku di dalamnya.
Kemudian cerita panji, merupakan cerita berbingkai dari zaman Kediri, Singosari,
dan Majapahit yang dihidupkan di Bali dalam bentuk lakon seni tradisional arja,
drama gong, dan topeng. Kerajaan Jenggala, Kahuripan, Singasari, dan Kediri
adalah unsur setting yang sering diambil menjadi pastiche dalam cerita. Begitu juga
Mahabharata dan Ramayana adalah dua karya sastra besar yang seringkali diambil
fragmentasi ceritanya untuk kemudian menjadi inspirasi dalam melahirkan atau
menciptakan karya baru, terutama dalam fragmentasi seni pewayangan.
b) Parodi
Parodi lebih dikenal sebagai sebuah karya yang mencemooh karya serius
terkenal, suatu aliran, atau mencemooh pengarang terkenal dengan meniru ciri khas
dari karya, aliran atau pun orang tertentu. Parodi juga merupakan permaianan teks,
dari teks baku, mapan atau standar dan terkenal menjadi teks-teks yang
menyimpang atau berlawanan sehingga tidak sesuai dengan teks asli. Oleh
karenanya parodi memunculkan tanggapan yang lain daripada biasanya yakni
membuat orang tertawa, terperangah, bingung, heran, karena horison harapannya
dijungkirbalikkan (Refly, 2006: 95).
Karya sastra parodi banyak diciptakan oleh Wianta dalam 'puisi rupa'nya.
Karya sastra puisi yang ditulis Wianta tidaklah puisi yang umumnya ditulis oleh
pengarang-pengarang puisi sebelumnya. Wianta tidak mematuhi atau mengikuti
norma-norma, etika, dan aturan yang berlaku dalam konvensi puisi modern. Etika,
norma, aturan, yang mengarah pada pembentukan estetika puisi modern dilanggar
dan dihancurkan dengan membangun estetika sendiri.
Dalam proses penciptaan karya seni, termasuk juga dalam penciptaan dan
penulisan puisinya, Wianta selalu memanfaatkan dan menggunakan perlengkapan
seadanya, seperti kertas, cerutu, gelas, plastik, sumpit, cendra mata, tisu, tiket,
karcis, bungkus obat nyamuk, dan lain-lain. Ia juga tidak melakukan editing, seperti
dalam penulisan puisi modern umumnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga
kemurnian ekspresi itu sendiri. Ekspresi yang dituangkan secara cepat tanpa
penyuntingan merupakan gaya penulisannya yang inkonvensional karena dengan
begitu logika dan rasio tidak sempat berperan untuk menyensor ekspresinya.
Selain karya Wianta, karya sastra parodi juga dapat diungkapkan melalui
novel “Ziarah” karya Iwan Simatupang (dalam Junus, 1985, 99) berikut:
Tokoh kita “jatuh” dari tingkat empat sebuah bangunan ke jalan aspal yang
panas. Ia tidak mati. Ia jatuh menimpa seorang gadis dan ia langsung
bersetubuh dengan gadis itu, ditonton oleh orang yang melintas di jalan –
mereka tidak marah, hanya malu-malu.
Gambaran tokoh dan peristiwa yang terjadi dalam cuplikan di atas memberi kesan
pada sebuah keheranan, kebingungan, dan membuat tertawa dalam hati pembaca.
Di dalam harian ‘JoGER PoST DeSA’ terdapat karya parodi yang menjadi
ciri ‘Joger’ dalam setiap ungkapannya, seperti teks berikut:
Modal tanpa moral sama dengan Kadal Saya cinta Gus Dur karena Gus Dur
Cinta Indonesia
Kadal tanpa modal sama dengan Sandal. Kalau anda cinta Indonesia, maka
saya juga cinta anda. Kalau anda
belum cinta Indonesia, tentu saja saya
belum mau cinta anda.
c) Kitsch
Istilah kitsch sering dianalogikan sebagai sampah artistik atau selera rendah
dan segala jenis seni palsu. Kitsch sebagaimana dikemukakan Eco (dalam Piliang,
2003: 194-195) sebagai satu bentuk penyimpangan dari medium yang sebenarnya,
menyiratkan miskinnya orisinilitas, keotentikan, kreativitas, dan kreteria estetik.
Kitsch merupakan simulakra kebudayaan asli yang diturunkan derajatnya dan
diakademiskan.
bermaksud mengatakan karya ini dimasukkan ke dalam karya sastra murahan, akan
tetapi merupakan bentuk tindakan dalam memasyarakatkan sastra tradisional
tersebut untuk benar-benar menjadi milik dan dicintai masyarakatnya. Karya sastra
tradisional Bali ini tidak lagi berada dalam menara gading, sebagai mitos yang
hanya boleh dipelajari atau dibaca oleh kalangan orang dewasa, tetapi telah
diakademiskan melalui lomba-lomba yang dilakukan oleh kalangan anak-anak.
Begitu pula yang terjadi pada karya lontar dan usada di Bali, pernah menjadi
menara gading, dianggap hanya boleh dibaca oleh golongan tertentu saja, dan saat
ini telah diturunkan derajatnya karena dapat dinikmati oleh hampir semua
golongan/pembaca.
d) Camp
Sontag menyebut camp sebagai satu model estetisisme, satu cara melihat
dunia sebagai satu fenomena estetik; yaitu estetik dalam pengertian pengayaan
semacam pembrontakan menentang gaya elit kebudayaan tinggi (dalam Piliang,
2003: 198). Camp tidak tertarik pada konsep-konsep keindahan atau makna
sebaliknya lebih tertarik pada duplikasi dari apa yang telah ditemukan untuk tujuan
dan kepentingannya sendiri. Berbeda dengan kebudayaan tinggi yang senantiasa
menjunjung keindahan, kebaruan, dan keotentikan.
Dalam karya sastra, unsur camp dapat ditunjukkan melalui karya 'puisi rupa'
Wianta. Karya Wianta berbeda dengan puisi yang dikenal pada umumnya.
Lazimnya sebuah puisi ditulis dengan menggunakan kertas biasa sebagai media
penulisan, tetapi puisi-puisi yang ditulis Wianta, menggunakan media apa saja,
asalkan bisa ditulis dengan pena atau pensil yang dianggap praktis. Tidak hanya
kertas kosong, sobekan majalah, koran, karcis, bekas obat nyamuk, sumpit dan
kertas pembalut wanita tidak luput menjadi media penulisan puisinya. Puisi-puisi
yang ditulis di atas kertas kosong, biasanya dihiasi dengan coretan-coretan berupa
gambar atau sketsa sehingga tampilan puisinya merupakan gabungan antara kata-
kata puisi dan seni rupa itu sendiri.
Selain ukuran media tulis yang digunakan sangat beragam, mulai dari kertas
yang ukurannya sangat kecil, unsur camp yang paling menonjol dalam karya puisi
Wianta adalah puisi terbesar yang akhirnya mendapat rekor MURI, dibuatnya tahun
1997. Puisi tersebut berukuran panjang 4 meter dan lebar 4,5 meter, ditulis tangan
selama empat setengah bulan ketika ia bermukim di Basel, Swiss pada bulan April-
Juli 1997 (Refly, 2006: 21).
Berbeda pula yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri dengan karya puisi
yang dibuatnya. Keunikan Sutardji adalah ketika ia membacakan karya puisinya
selalu mesti ditemani “bir” kesukaannya. Inilah jati diri yang bersifat distorsif
sehingga yang dilakukan Sutardji lebih kepada nuansa ketidaknormalan, menentang
kebosanan, dan mengangkat nilai-nilai eksotik emosi pribadi.
e) Skizofrenia
puisinya Sutardji yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka. Sutardji Calzoum
Bachri melakukan pembrontakan estetika dengan membebaskan kata dari makna.
Puisi tanpa makna kata yang dibuat Sutardji cendrung bermain-main dengan bunyi
sehingga disebut puisi mantra. Puisi ini dilihat dari bentuknya menyerupai huruf
‘Z’ dengan hubungan kata ‘winka sihka’ tanpa mengandung arti yang jelas, seperti
berikut ini.
Puisi ini hanya menampikan judul beserta ‘hanya’ satu kata mengikutinyal. Terjadi
keterputusan ungkapan sehingga yang terjadi adalah kekaburan atau multi
intepretasi.
3. SIMPULAN
Karya sastra posmodern merupakan pembabakan baru bagi perkembangan
karya sastra. Karya sastra posmodern dicirikan oleh perwajahan eksotis dari karya
sastra tersebut. Walaupun demikian, karya sastra posmodern selalu menjadi bagian
dari karya sastra pramodern (klasik) dan modern sehingga setiap periodisasi
mempunyai ciri-ciri yang dapat diungkapkan melalui sejarah perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Donny. 2004. Sastra Yang Malas, Obrolan Sepintas Lalu. Solo: Tiga
Serangkai.
Djojosubroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks sastra dan Pengajarannya.
Yogyakarta: Pustaka
Joger Post Desa, Nomor Edisi Perdana Tanggal 10 Juni 1998 (lebih sedikit)
Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi, Wajah sastra dan Budaya
Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia
__________________. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Piliang, Yasarf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Refly. 2006. Bahasa Estetika Postmodernisme. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (ed.). 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia.
Suyitno.1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita Offset.
Tirtawirya, Putu Arya. 1983. Apresiasi Puisi dan Prosa. Flores: Nusa Indah.
Abstrak
Setiap suku bangsa yang ada di muka bumi ini memiliki berbagai media
pewarisan nilai budaya. Demikian halnya masyarakat Bali yang terkenal kaya
dengan kearifan lokal budaya Bali.Salah satu media pewarisan nilai budaya
masyarakat Bali adalah “Gending Raré: Semut-Semut Api”. Penulisan artikel ini
bertujuan membahas nilai luhur budaya bangsa yang terkandung dalam “Gending
Raré: Semut-Semut Api”, melalui kajian struktur “Gending Raré: Semut-Semut
Api”, diksi (pilihan kata), dan jenis-jenis nilai luhur budaya bangsa yang terkandung
di dalamnya. Permasalahan tersebut dianalisis berdasarkan metode dan teori
strukturalisme-semiotik, dengan mendekati “Gending Raré: Semut-Semut Api” di
satu pihak sebagai dialektika antara syair lagu (teks) dan pendengar (penikmat),
serta di sisi lain merupakan dialektika antara tataran mimetik dan tataran semiotik.
Peneliti bertugas merekonstruksi nilai dengan terlebih dulu menemukan arti kata-
kata pada teks “Gending Raré: Semut-Semut Api” sesuai dengan fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi, lalu meningkat ke tataran semiotik melalui pembongkaran
kode “Gending Raré:Semut-Semut Api” secara struktural atas dasar pemaknaannya
ataupun penyimpangannya dari kode bahasa, dari arti secara mimetik menjadi
makna secara semiotik.
1. PENDAHULUAN
Salah satu warisan budaya masyarakat Bali adalah gending raré atau disebut
juga sekar raré. Gending raré merupakan salah satu jenis nyanyian tradisional yang
ditujukan kepada anak-anak dan digunakan para ibu ataupun nenek-nenek ketika
mengasuh anak-anak pada masa lampau. Kegiatan mengasuh anak pada masa
lampau merupakan aktivitas penting bagi suatu keluarga. Sedyawati (2008:251)
menyatakan bahwa pengasuhan anak merupakan salah satu saluran untuk pewarisan
nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat.
Pada masa lampau, para ibu rumah tangga mengasuh anak-anak diiringi
dengan nyanyian tradisional, baik dalam upaya menidurkan anak-anak maupun
menghibur anak-anak dari rasa sedih. Ibu-ibu mengajar anak-anak bernyanyi
dengan penuh kasih sayang, dan sekali-sekali anak-anak diminta menirukan
nyanyian. Lama-kelamaan anak-anak menjadi terlatih dan terbiasa dalam
melakukan aktivitas bernyanyi.
Ada konsep menarik dalam aktivitas pengasuhan anak melalui nyanyian
tradisional pada masa lampau. Konsep tersebut adalah muruk magending sambilang
malajah. Kata muruk dan malajah mengindikasikan dua hal penting yang mesti
diperhatikan dalam pendidikan anak-anak, yaitu keterampilan dan ilmu. Arti kata
muruk dalam bahasa Bali dapat disejajarkan artinya dengan kata berlatih dalam
bahasa Indonesia, yakni belajar dan membiasakan diri agar mampu (dapat)
melakukan sesuatu (KBBI, 2001:643). Arti kata malajah dapat disejajarkan dengan
arti kata belajar dalam bahasa Indonesia, yakni berusaha memperoleh kepandaian
atau ilmu (KBBI, 2001: 17).
Pada era global, kegiatan mengasuh anak jarang dilakukan para ibu.
Kegiatan mengasuh anak telah diambilalih oleh pembantu rumah tangga, atau
bahkan biro jasa penitipan anak. Di samping itu, lagu-lagu pop anak-anak juga
banyak muncul, baik melalui televisi, radio, maupun video. Seiring dengan itu,
gending raré mengalami kepunahan. Sudah sangat jarang bahkan kita tidak pernah
mendengar lagi ibu-ibu rumah tangga mengasuh anak sambil menyanyikan gending
raré. Namun, kita masih mempunyai harapan karena masih ada upaya melestarikan
gending raré melalui lagu pop Bali, sebagaimana dirilis oleh kelompok Band
Emoni Bali. Jika kita sepakat bahwa pengasuhan anak merupakan salah satu saluran
pewarisan budaya kepada generasi muda (Sedyawati, 2008: 251), dan gending raré
sebagai warisan budaya bangsa diasumsikan mengandung nilai-nilai luhur budaya
bangsa, maka revitalisasi gending raré berdasarkan konsep kembali kepada
pengetahuan lokal (Piliang, 2011) merupakan kebutuhan yang mendesak pada era
postmodern saat ini.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa teks gending raré “Semut-Semut Api”
merupakan lirik, yakni syair yang mengutamakan nada dan irama (cf. Susanto,
2015:476).Dengan demikian baris-baris kalimat dalam gending raré “Semut-Semut
Api” merupakan larik atau baris sajak yang dicirikan oleh irama atau matra (cf.
Sudjiman, 1984: 46).
Berdasarkan pengamatan sementara, jumlah barik (larik) dalam setiap bait
gending raré tidak konsisten.Demikian pula, adakalanya bait gending rarédisusun
dalam bentuk sampiran dan isi, sebagaimana halnya dalam pantun. Sebagai contoh
dapat dilihat dalam struktur gending raré “Goak Maling Taluh”: goak maling taluh/
sudang kenyér caluk léngkong/nyén tekoli kauh/negen céléng ngadut méong//
mudah menghafalkan, baik teks maupun titi nada gending raré tersebut. Hal ini
dapat dibuktikan dengan melihat pengulangan bunyi /i/ pada kata api ‘api’ dan
mulih ‘pulang’; pentil ‘jentik’, dan pasil ‘basi’ serta besil ‘bintil’ dilakukan untuk
membina bentukan gending raré tersebut.
Di samping itu, pilihan kata (diksi) pada gending rare “Semut-Semut Api”
disesuaikan dengan perkembangan bahasa anak-anak. Kata-kata disusun dalam
upaya melatih anak-anak terampil berbicara dan sekaligus mengenalkan dunia yang
ada di sekitar anak-anak. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Bali memiliki
stratifikasi bahasa (anggah-ungguh basa), terdiri atas basakasar,
basakapara/andap, basa madia, dan basa alus. Untuk anak-anak biasanya lebih
banyak dilatih berbahasa menggunakan basa kapara/andap, yakni ragam bahasa
Bali yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat
kebanyakan. Karena itu, keseluruhan kata-kata yang digunakan dalam gending rare
“Semut-Semut Api” merupakan kata-kata yang dikatagorikan kruna andap (cf.
Suwija, 2015). Kecuali itu, kata-kata yang digunakan dalam teks gending
raré“Semut-Semut Api” mengindikasikan bahwa kata-kata itu mudah diperagakan
serta mampu membangun suasana ceria, lucu, sederhana, dan menyenangkan bagi
anak-anak. Misalnya kata-kata: semut-semut api ‘semut merah’, saling atat saling
pentil ‘saling tarik saling jentik’, katipat nasi pasil ‘ketupat nasi basi’, énjok-énjok
‘tertatih-tatih’, cunguh besil ‘hidung berbintil’. Pemilihan kata-kata dalam gending
raré“Semut-Semut Api” dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, untuk
mendapatkan nilai estetik mengingat gending raré“Semut-Semut Api” merupakan
karya seni.
bunyi yang dapat dialami oleh indera pendengar. Aspek nonempirik karya sastra
adalah makna (Faruk, 2012: 77—79). Riffaterre (1978:1) menyatakan bahwa puisi
mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung, melalui
pergeseran arti (displacing of meaning), perusakan arti (distorting of meaning), dan
penciptaan arti (creating of meaning). Lebih jauh Riffaterre (1978:5) menawarkan
dua tahap pembacaan diperlukan dalam merekuperasi makna sebuah puisi, yaitu
pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik dilakukan
dengan menggunakan kode bahasa yang bersifat referensial, yakni mengandaikan
tanda-tanda yang terdapat di dalam teks puisi mengacu kepada satuan-satuan
kenyataan yang terdapat dalam dunia empirik. Data yang bersifat tekstual dipahami
berdasarkan konvensi bahasa yang berlaku yang menghasilkan serangkaian arti
referensial yang heterogen dan serangkaian ungramatikalitas. Untuk mengatasi hal
itu, dibutuhkan pembacaan hermeneutik untuk mendapatkan satuan makna
(signifikansi) dengan cara mengatasi rintangan mimesis, bergerak secara dialektik
dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan ke bagian, dimana konvensi sastra
berfungsi menemukan kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang dapat
mempertemukan satuan-satuan arti kebahasaan yang satu dengan yang lain untuk
melampaui secara bertahap serangkaian ungramatikalitas yang ada (Faruk,
2012:148).
Berdasarkan pandangan Riffaterre di atas, maka pembacaan teks gending
rare “Semut-Semut Api”, tataran baca dilakukan dua tahap, yaitu pertama, membaca
teks gending rare “Semut-Semut Api” berdasarkan konvensi bahasa Bali Kapara,
dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutic (retroaktif) untuk setiap satuan teks.
Pembacaan larik /semut-semut api/ secara heuristik menghasilkan arti referensial,
yakni ‘serangga kecil berwana merah yang berjalan merayap, hidup secara
bergerombol’. Berdasarkan hasil pembacaan heuristik tersebut, arti (meaning)
ditingkatkan menjadi makna (significance) dengan penciptaan arti baru (creating of
meaning) berdasarkan konvensi sastra dan budaya Bali. Dengan demikian dapat
dihasilkan signifikansi, yakni semut adalah serangga kecil mengandung makna
simbolik dari keberadaan manusia sebagai mahluk kecil dan lemah. Kata api
merupakan simbol Brahma yang beranalogi dengan penciptaan (utpati), yaitu salah
satu unsur dari trikona yang terdiri atas utpati (penciptaan), sthiti (pemeliharaan),
dan pralina (peleburan kembali) dalam ajaran agama Hindu. Jadi, larik /semut-
semut api/ secara hermeneutik dapat dibaca dan menghasilkan signifikansi bahwa
manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk kecil dan lemah. Karena itu, manusia
harus hidup bergerombol, membangun solidaritas untuk mempertahankan hidup.
Ideologi ini kemudian tercermin dalam tindakan masyarakat Bali yang dikenal
dengan adagium semut sadulur, paras-paros, sabriuk sapanggul, salunglung
sabayantaka, manyama braya dalam komunitas kehidupan masyarakat desa adat di
Bali.
Larik /kija ambin mulih/ secara heuristik menghasilkan arti ‘ke mana jalan
kita pulang’. Namun secara hermeneutik dapat dibacabahwa kata kija ‘ke mana’
merupakan kata Tanya yang berarti ke mana. Bertanya berarti meminta keterangan
atau penjelasan kepada lawan yang ditanyai; meminta supaya diberi tahu oleh yang
ditanyai. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan
kekurangtahuan atau dalam kegelapan. Karena itu, manusia tidak diharapkan hidup
sebagai mahluk sombong, mengaku diri paling tahu, melainkan sebaliknya, harus
menyadari diri dalam keadaan kekurangtahuan. Frase ambin mulih menganalogikan
jalan pulang kembali ke asal atau jalan kematian. Bagi manusia biasa, tentu sangat
sulit menemukan jalan kematian ataupun waktu kematian. Mati itu hal yang pasti,
tetapi kapan kematian itu akan menimpa diri kita, tetap merupakan misteri. Manusia
hidup dalam dunia maya.
Larik /tembok bolong/ secara heuristik menghasilkan arti tembok berlubang.
Secara hermeneutik dapat dihasilkan signifikansi dengan membangun arti baru dari
kata tembok sebagai pembatas, yakni raga manusia. Di dalam raga itu terdapat
sembilan lobang yang disebut sanga dwara yang merupakan jalan keluar bagi jiwa
atau arwah ketika terlepas dari raga pada saat kematian tiba.
Larik /saling atat saling pentil/ secara heuristik menghasilkan arti saling
tarik saling jentik. Secara hermeneutik mengindikasikan bahwa kehidupan dan
hidup manusia di dunia ini berada dalam ada dua pilihan, yakni antara baik dan
buruk, benar dan salah, timur dan barat, atas dan bawah atau oposisi biner lainnya,
yang menyebabkan manusia senantiasa saling tarik menarik, saling jentik di antara
kedua oposisi biner (rwa bhineda). Untuk dapat memilih dan menentukan pilihan
dengan tepat, manusia membuhtuhkan wiweka, yakni kebijaksanaan dalam
menentukan keputusan yang tepat.
Larik /katipat nasi pasil/ secara heuristik menghasilkan arti ‘ketipat dan nasi
basi’. Secara hermeneutik larik /katipat nasi pasil/ menghasilkan signifikansi
bahwa tubuh dan segala hal yang kita miliki pasti akan mengalami kehancuran atau
bersifat tidak kekal. Dalam kitab Ślokāntara, śloka 4 ayat 9 dijelaskan bahwa
keremajaan dan ketampanan itu adalah sesuatu yang tidak kekal. Kekayaan dan
kumpulan harta benda pun tidak kekal. Kesenangan hidup sehari-hari seperti
makan, minum, tidur, menikmati kenikmatan asmara bersama suami atau istri, dan
lain-lain adalah tidak kekal (Sudharta, 2003:18). Larik ini mengajarkan kita bahwa
di dunia ini tidak ada yang kekal kecuali dharma (kebenaran).
Larik /bene dongkang kipa/ secara heuristik menghasilkan arti berlauk pauk
katak darat yang mengalami cacat kaki sebelah. Secara hermeneutik dapat
dihasilkan signifikansi dengan melihat hipogramatik dongkang melalui riwayat
dongkang yang berkembang secara lisan dalam masyarakat Bali, yakni sebelum
katak darat itu bernama dongkang, dikisahkan perjalanan seorang Resi menelusuri
pantai berbatu karang. Di tengah perjalanan, sang Resi merasa kelelahan, lalu
beristirahat di atas batu karang. Ketika hendak mengambil benda yang dikiranya
bongkahan batu karang (kaang), ternyata benda itu adalah katak. Atas peristiwa itu,
sang Resi berkata “(ti)dong kaang” ‘bukan batu karang’, dan kemudian menyebut
katak itu dengan istilah dongkang. Berdasarkan hipogram potensial “riwayat
dongkang” tersebut dapat dihasilkan signifikansi bahwa manusia hidup di dunia ini
hanya bisa mengira-kira keberadaan maupun wujud Tuhan, bagaikan si buta meraba
seekor gajah.Kata kipa yang berarti cacat, hanya berkaki sebelah mengindikasikan
bahwa manusia hidup dalam kecacatan. Tidak ada manusia yang tidak cacat. Dalam
Kakawin Nitiśāstra, Pupuh IV, bait 5 dijelaskan bahwa manusia tidak boleh saling
mencela karena semua mahluk di dunia ini tidak ada yang tidak cacat, termasuk
dewa sekalipun: “Haywa ngwang cumacad samasta jana nora tanana cacadanya
ring prajà,hyang towin sira…” yang berarti ‘orang tidak boleh mencela sesama
orang sebab tidak ada orang yang tidak tercela di dunia ini, dewa sekalipun…’
1) Nilai Religius
Nilai religius dalam gending rare “Semut-Semut Api” tampak melalui
kesadaran manusia Bali yang merasa tergantung pada dan tunduk kepada
suatu kekuasaan yang lebih tinggi, yakni Tuhan (Ida Sang Hyang Widi
Wasa), yang menguasai manusia dan hal ikhwal dalam dunia. Terhadap
kekuasaan Tuhan, manusia Bali harus berbakti dan bersembah sujud. Tuhan
berdiri jauh di atas manusia Bali, dan manusia Bali mengakui jarak dan
perbedaan itu sebagai inti perbuatan religius, ibarat semut api, manusia Bali
merasa diciptakan sebagai mahluk kecil dan lemah dengan segala
kekurangan dan ketidaksempurnaan. Nilai religius yang dikandung dalam
gending rare “Semut-Semut Api” diharapkan mampu meningkatkan iman
manusia Bali menjadi semakin kuat sebagai bakta dan penyembah Tuhan
yang sangat patuh.
2) Nilai Kebajikan
Sekalipun manusia Bali meyakini diri sebagai mahluk kecil dan lemah, tidak
berdaya, penuh dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan, manusia Bali
diharapkan tidak melakukan pekerjaan yang melanggar norma agama, tidak
sombong, tidak serakah. Justru dengan menyadari diri memiliki berbagai
kelemahan dan kekurangan, di hati sanubari manusia Bali diharapkan
tumbuh kemauan keras dan kebulatan tekad mengejar kebenaran (dharma),
melanjutkan cita-cita sampai ke akhir yang sewajarnya (témbok bolong),
sekalipun dengan langkah tertatih-tatih (énjok-énjok) hingga hidung
berbintil (cunguh besil).
4) Nilai Estetika
Dalam kapasitasnya sebagai karya seni, gending rare “Semut-Semut Api”
mengandung nilai estetika. Ada tiga unsur estetik yang menjadi kaidah
estetik dalam gending raré“Semut-Semut Api”, yaitu satyam (kebaikan),
siwam (kebenaran), dan sundaram (keindahan). Satyam (kebaikan) berupa
nilai-nilai yang menyebabkan gending rare “Semut-Semut Api” berterima di
hati pendengarnya (anak-anak). Siwam (kebenaran) dimaksudkan bahwa
gending rare “Semut-Semut Api” memiliki norma, kaidah, dan aturan yang
mengikatnya sebagai sebuah sekar rare (nyanyian tradisional anak-anak).
Karena berterima dan memiliki norma atau aturan tersebut justru gending
rare “Semut-Semut Api” baru dapat dikatakan indah. Jadi, bagi manusia
Bali, yang dinamakan indah (sundaram) adalah sesuatu yang mengandung
kebaikan (satyam) dan kebenaran (siwam) sebagai satu kesatuan. Kaidah
estetik tersebut membawa gending rare “Semut-Semut Api” menyimpan
makna spiritual dan efek estetik yang terus menerus dialami sepanjang
waktu.
6. PENUTUP
Gending rare “Semut-Semut Api” mempunyai struktur terdiri atas teks
verbal (syair) dan titi nada. Kedua unsur tersebut memiliki relasi sangat kuat dan
saling mempengaruhi dalam membangun struktur gending rare “Semut-Semut Api”
secara keseluruhan.
Pilihan kata (diksi) dalam gending rare “Semut-Semut Api” diarahkan
pertama kali untuk memenuhi aturan matra (ding-dung), di samping
mengisyaratkan adanya kesan kata-kata pilihan merupakan kata-kata yang mudah
diperagakan, mampu membangun suasana bermain, yang lucu, ceria,
menyenangkan atau menghibur.
Tataran baca dan pemaknaan gending rare “Semut-Semut Api”
menghasilkan pusat signifikansi bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan
yang lemah, penuh kekurangan dan ketidaksempurnaan sehingga manusia sangat
tergantung dan tunduk kepada kekuasaan Tuhan. Kesadaran diri terhadap
kelemahan dan berbagai kekurangan justru menumbuhsuburkan keyakinan kepada
Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi, yang selalu dicari dan diusahakan untuk
dapat menyatu denganNya.
DAFTAR PUSTAKA
Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Faruk.2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana
University Press.
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya. Buku 2. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
Sugriwa, I G B. 1977.Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar
Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Suwija, I Nyoman.2015. Kamus Anggah-Ungguh Kruna Bali-Indonesia. Denpasar:
Pelawa Sari.
Sudharta, Tjok.Rai.2003. Slokantara: Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan,
dan Ulasan. Surabaya: Paramita.
Tim Penyusun KBBI.2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Abstrak
Kakawin Brahmandha Purana (KBP) merupakan karya sastra Jawa Kuna
yang berbentuk puisi. KBP mengisahkan tentang seorang raja di kearajaan Ambara
Madia. Ia merupakan raja yang sangat lalim dan menentang paham ketuhanan.
Semua ajaran agama, etika hidup, dan kasih sayang tidak ada pada dirinya.
Sikapnya itu menyebabkan dunia menjadi kering, sorga menjadi kacau sehingga
para dewa dan para resi menjadi marah. Mereka lalu memerangi raja Wena. Dalam
peperangan itu lengan kanan raja Wena terkena pukulan. Pukulan tersebut
menyebabkan lahirnya seorang anak yang dinamai Pretu. Pretu ini disuruh
membunuh raja Wena oleh para resi. Raja Wena terbunuh. Dengan terbunuhnya
raja Wena maka Dewi Pretiwi menjelma menjadi sapi betina. Sapi itu kemudian
diperah susunya. Susu inilah yang kemudian menjadikan dunia makmur karena
makanan berlimpah ruah.
Selanjutnya pengarang menceritakan mengenai tempat-tempat dan
pemandangan yang sangat indah, serta warna busana dari tempat yang dimaksud
yang berbeda pada setiap tempat.
KBP sangat jarang diteliti. Ini terbukti dengan sedikitnya tulisan yang
membicarakannya.Penelitian ini bersifat kualitatif.
Metode yang digunakan membedahnya adalah metode penyediaan data,
analisis data dan metode penyajian hasil analisis yang dilandasi dengan pola
berpikir induktif.
Pendidikan karakter yang akan diungkap adalah karakter dalam kaitannya
dengan ajaran Tri Hita Karana seperti dalam ajaran agama Hindu.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan sebagai maha pencipta, manusia
hendaknya selalu takwakal, menjalankan perintah agama, dan menaati ajaran-
ajarannya.
Dalam hubungan antara manusia dengan manusia, KBP mengajarkan agar
tidak boleh saling menyakiti. Seorang penguasa tidak boleh menyalahgunakan
kekuasaannya, lebih-lebih lagi bertindak kejam.
Dalam hubungan manusia dengan lingkungan/alam semesta, manusia
haruslah mencintai dan menjaga lingkungannya.
1. PENDAHULUAN
Karakter dapat didefinisikan sebagai ciri khas yang dimiliki suatu benda,
atau individu. Ciri khas itu adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau
individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang
bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu.
Pendidikan karakter (character education) secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk memengaruhi
karakter anak didik, atau, suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang
sehingga dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang
inti.
Suyanto, 2009 (dalam Belajarpsikologi.com 2012) mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, maupun negara.
Secara umum kepribadian manusia dapat dibedakan menjadi empat yaitu:
1) koleris; merupakan tipe kepribadian yang bercirikan suka kemandirian, tegas,
berapi-api, suka tantangan, dan bos atas dirinya sendiri. 2) Sanguin; merupakan
karakter yang bercirikan tentang sifat yang menyukai hal-hal bersifat praktis,
happy dan ceria selalu (periang), suka kejutan, suka kegiatan sosial dan bersenang-
senang. 3) Plegmatis; merupakan kepribadian yang suka bekerjasama, menghindari
konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, dan menyukai
hal-hal yang bersifat pasti. 4) Melankolis; yaitu tipe yang bercirikan suka akan hal-
hal detil, menyimpan kemarahan, perfeksionis, suka instruksi yang jelas, dan
sangat suka kegiatan rutin.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan
pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah
metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
3. KEPENGARANGAN KBP
Sarddhula Wikridhita.
(2) Yan ring rūpā huwus lēwas twakira wus ēkēl pwa anglud kiris, āpan
sering sira mopawāsa satatā tapwan turung ring brata, ēmbuh wāyawa
rukṣa malyus akit wungkut nirā tar dahat, ngūnin dug lāgi anwam
araras lwir çri girīndrātmaja.
Terjemahan:
(2) Beliau telah berusia lanjut, kulitnya keriput serta sangat kurus. Itu
disebabkan karena sering berpuasa dan tiada hentinya melakukan tapa.
Tambahan lagi badan beliau kecil, kurus kering, keriput dan agak
bungkuk walau tiada keras. Dahulu ketika masih muda berparas cantik
bagai Dewi Giriputri.
Nda yeki kalarangku de wacana sang nrēpa wara mahisin pareng hulun, ri
denyan asadā makon rumacanāng carita parama tatwa durlabha, sang āsta
guna panditeng jagat anindya tuhu-tuhu widagda ring langö, tatan wēnang
awās panumpēki pakon ira manahila tanwruhing karma.
Nah hal itulah yang kusedihkan karena titah baginda ratu kepadaku.
Karena baginda yang menitahkan menggubah cerita filsafat kebenaran
hakiki namun tiada berhasil. Beliau yang memiliki delapan sifat mulia,
berperujudan suci di dunia. Hamba tidak kuasa menolak perintah baginda,
sehingga tidak tahu apa yang harus diperbuat.
cerita Adiparwa yang merupakan cerita filsafat yang isinya sangat luhur untuk
dipedomani dalam kehidupan. Pengarang selain murid, juga merupakan pengagum
raja terutama dalam hal kecantikan yang diibaratkan bagai Dewi Parwati atau Istri
Dewa Siwa. Selain itu, raja dikagumi karena kepintarannya dalam hal seni sastra
termasuk kakawin. Raja banyak memberikan petunjuk dalam hal kepengarangan
sang pengarang. Pernyataan ini ditemukan dalam beberapa karya sastra kakawin
seperti: Kakawin Astikayana, Kakawin Harisraya, Kakawin Irawāntaka, Kakawin
Sakra Prajaya, dan Kakawin Pralambang Bhasa Wewatekan. Timbul pertanyaan,
siapakah murid beliau yang juga seorang pengarang itu?. Untuk menjawabnya tentu
sulit, karena data-data pasti tidak ditemukan. Bila dirunut dengan cermat, pada
masa kepemimpina Raja Dayita Sri Prakerti atau Dewa Agung Istri Kania, adalah
salah seorang kerabat raja yang berjuluk Sira nak Agung. Gelar Anak Agung pada
waktu itu diperuntukkan bagi orang atau keturunan orang yang pernah
memerintah/menjadi raja. Dewa Agung istri Kania memerintah kerajaan
Klungkung dari tahun 1814 – 1856 (Wikipedia@tampilan HP/CCBY-SA 3.0). Ada
beberapa pendapat lain seperti Wikarni: tahun 1822-1860 (Wikarni,1984: 47),
Putra 1849-1850 (Putra, 2014: lampiran). Terlepas dari perbedaan tahun
kepemerintahan Dewa Agung Istri Kania, raja yang menggantikan beliau adalah
kerabat beliau, bergelar Dewa Agung Putra III yang memerintah tahun 1851-1903
(Pemda KLK 2013).
KBP selesai dikarang pada bulan Asada (ke-12 atau sekitar Mei-Juni)),
tahun Saka: sang asta guna pandhiteng jagat, 1788 (1866 M). Kakawin Astikayana
diselesaikan pada tahun sangkalan: tiga sapta pandhita tunggal atau 1773 Saka
(1851 M). Berdekatan dengan karyanya yang lain seperti: Kakawin Sakra Prejaya
pada tahun sangkalan Wesnawa kretta gegonta purnna wighna (hari, bulan ke-9,
tahun 1774 Saka) atau tahun 1862 Masehi. Bila tahun kepengarangan tersebut
benar, maka dapat diperkirakan bahwa kakawin tersebut di atas, khususnya KBP
dikarang oleh dan atas perintah raja Dewa Agung Istri Kania. Ini berarti KBP
berupa karya bersama antara Dewa Agung Istri Kania dengan muridnya yang
berjuluk Sira Pameregan.
mengantarkan roh ayahnya, yaitu Raja Wena masuk surga. Hal itu dapat dilihat
pada pupuh II dengan Wirama Wirat Kalengengan seperti di bawah ini.
Terjemahan:
Bagaikan Dewa Brahma menjelma, begitulah ketampanan dan baju yang
digunakan.
Berbeda dengan ayahnya, beliau selalu berbuat kebajikan dan menyenangkan hati
masyarakat.
Pengajegan dan penyebarluasan ajaran agama (dharma) dalam segala bentuk, itu
selalu yang diutamakan.
Itulah sebabnya terlepaslah papa neraka roh sang ayah, lalu menuju alam surga (3).
Pahala seperti itulah yang akan dijumpai oleh mereka yang memiliki putra bijak.
Mengalahkan pahala beryadnya, berbuat jasa baik, bersedekah, dan melakukan
perjalanan suci.
Dalam wujud nyata dan juga tidak nyata, pahalanya akan diperoleh bila berputra
mulia.
Sebab hanya dharma/prilaku susila yang mampu membebaskan keburukan
adharma/ kezaliman dan angkara murka (4).
Contoh yang tertuang dalam kedua bait di atas jelas menganjurkan manusia
memberi pendidikan pada putra-putinya tentang sikap sopan santun, prilaku susila,
dan dalam segala tindak–tanduknya selalu berpegang pada ajaran agama, hukum
yang dilandasi sikap berketuhanan. Sikap takwa kepada Tuhan dengan menjalankan
segala ajaranNYA akan mengarahkan putra putri atau anak didik menjadi anak yang
berbakti kepada orang tua, takwa kepada Tuhan, dan selalu bertingkah laku
susila/mulia.
Contoh lain yang sama dengan kedua bait di atas dimuat pula dalam
Kakawin Nitīṡȃstra, pupuh 4 bai 1 dan pupuh ke-9 bait 4 seperti di bawah ini.
Terjemahan:
Bulan dan bintang merupakan cahaya penerang pada waktu malam yang gelap.
Matahari pada saat bersinar merupakan cahaya penerang bagi bumi pretiwi.
Ilmu pengetahuan, pelajaran, dan pendidikan kebajikan adalah cahaya penerang
ketiga dunia.
Bila berputra suputra, pandai, dan berbudi luhur akan mampu menerangi keluarga
dan kerabatnya.
Jasa dan nama baik harus secepatnya dilaksanakan dan jangan ditunda-tunda.
Jasa orang yang membuat sebuah telaga sama dengan memuat seratus sumur.
Jasa membuat seratus telaga sama dengan melakukan kurban suci kepada sesama.
Semua ini sama dengan keuntungan orang yang mempunyai seorang putra yang
susila sebagai alat untuk mencapai surga.
5. KESIMPULAN
(a) KBP dikarang pada masa pemerintahan raja Dewa Agung Istri Kania yang
memerintah Kerajaan Klungkung. KBP merupakan kakawin yang dikarang
atas perintah raja oleh muridnya yang bernama Sira Pameregan. Sira
Pameregan tidak lain adalah raja pengganti beliau yang bergelar Dewa
Agung Putra III.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Fransiska Tjandrasih, 2010. “Konsep Religi dan Nilai Historis Dalam
Kakawin Brahmanda Purana”. Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.
Gonda, J. 1932. Hetaan Bali Oud-Javaansche Brahmandha Purana: Prozateks en
Kakawin, B.J. Vol. 5.
Kanta, I Made. 1984. “Kesusastra Bali Zaman Klungkung”. Makalah yang
dibawakan dalam Seminar Sastra Indonesia dan Daerah Bali dalam
Memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-55.
Miswanto. 22015. Kakawin Nītiṡȃstra Teks dan Terjemahan dan Komentar.
Surabaya; Pȃramita Surabaya
Poerbatjaraka. R. M. Ng. 1952. Kepustakaan Djawa. Djakarta. Djambatan
Putra. I.B. 2014. Babad Dalem. Denpasar; Udayana University Press
Rass. J. J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Diterjemahkan oleh
Achadiati Ikram. Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sukartha, I Nyoman. 1990. “Kakawin Brahmandha Purana Alih Aksara dan
Terjemahan”. Denpasar Dengan S.P.K. No 381/PT.17 H9/III/N.4/1990
Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Wikarni, Ni Ketut. 1984. “Kerajaan Klungkung di Bawah Pemerintahan Dewa
Agung Istri Kania. 1849”. Skripsi S 1. Yogyakarta. Universitas Gajah
Mada
Wipedea@tampilan HP/CCBY-SA 30 Zoutmulder, P.J. 1982. Kalangwan Sastra
Jawa Kuna Selayang Pandang, Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta;
Penerbit Djambatan.
I Nyoman Suparwa
Prodi Sastra Indonesia
FSB Unud
Abstrak
Eufemisme sebagai pemakaian ungkapan untuk nuansa makna sopan dalam
bahasa Melayu di Bali terkait dengan budaya Melayu yang menjunjung nilai adat
dan sopan santun. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemakaian
eufemisme dan dinamikanya sejalan dengan dinamika bahasa Melayu sebagai
bahasa minoritas di Bali dan sebagai bahasa yang menjadi dasar bahasa Indonesia.
Kajian dilakukan dengan kerangka teori linguistik mikro, terutama yang terkait
dengan kajian bentuk dan makna serta linguistik makro (utamanya sosiolinguistik)
dalam kaitan dengan situasi dan dinamika sosial masyarakat penuturnya.
Hasil kajian merumuskan temuan sebagai berikut. (1) Eufemisme dalam
bahasa Melayu di Bali digunakan untuk nuansa makna sopan dalam berbahasa yang
meliputi (a) bidang kepercayaan, misalnya kata mbak nyai sebagai pengganti tikus;
(b) bidang sosial, seperti kata senok dipakai sebagai pengganti kata pelacur; dan (c)
bidang sopan santun berbahasa, seperti kata bute diganti dengan ungkapan tidak
nengok. Selain itu, kajian bentuk eufemisme ditemukan bentuk kata, frasa, dan
klausa; sedangkan kajian kategori menemukan eufemisme nomina dan verba. (2)
Dinamika eufemisme dalam bahasa Melayu di Bali memperlihatkan perkembangan
pada pengaruh bahasa Indonesia karena keberhasilan pendidikan pada kaum muda,
diterimanya pengaruh bahasa Indonesia, dan kemiripan bahasa Indonesia dengan
bahasa Melayu. Pemakaian unsur bahasa Indonesia terlihat pada (a) ungkapan
menjijikkan, seperti kakus diganti dengan jamban/toilet; (b) ungkapan bagian
tubuh, seperti tidak nengok diganti dengan tunanetra; (c) ungkapan kematian,
seperti mati diganti dengan meninggal; dan (d) ungkapan penyebutan orang, seperti
wak diganti dengan bapak.
1. PENDAHULUAN
Eufemisme secara umum diartikan sebagai usaha pemakai bahasa untuk
memperhalus ucapannya agar terdengar lebih sopan. Hal itu terkait dengan
pengertian istilah eufemisme yang berasal dari bahasa Yunani euphemizein yang
berarti ‘menggunakan kata-kata dengar arti baik atau dengan tujuan baik (Keraf,
1984:132). Dalam hal ini, eufemisme digunakan dalam kaitan dengan majas atau
gaya bahasa yang mengacu pada ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung
penutur golongan tua maupun golongan muda dan/atau pemuka masyarakat atau
orang tua maupun masyarakat biasa atau anak muda. Dari sudut pemakaian bahasa,
akan diperhitungkan waktu dan tempat pemakaian bahasa serta situasi
pemakaiannya, resmi atau tidak resmi. Semua hal itu diperhitungkan di dalam
pilihan pemakaian ungkapan-ungkapan yang tergolong eufemisme.
Bahasa Melayu tersebut dalam sejarah perkembangannya mengalami
dinamika sebagai akibat dari dinamika sosial masyarakat pendukungnya. Dinamika
sosialnya itu tidak terlepas dari dua daya perkembangan sosial, yaitu daya
sentripetal dan daya sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal
merupakan usaha penutur bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa
Melayu (Loloan) itu merupakan cirri identitas Melayu Islam di Jembrana.
Sementara itu, daya sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam
perkembangannya sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan
antaretnis. Dalam hal ini pengaruh bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di
Jembrana dan bahasa Indonesia sebagai nasional dan bahasa resmi di Indonesia
tidak bisa terhindarkan. Dengan demikian, masalah utama kajian ini adalah
“Bagaimana pemakaian eufemisme dalam bahasa Melayu di Bali dan dinamikanya,
terutama sifat akomodatifnya terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dan resmi di Indonesia?”
Kajian eufemisme dalam bahasa Melayu Bali ini dilakukan dengan teori
Linguistik Mikro, terutama kajian makna dan bentuk eufemisme. Teori yang
dimaksud adalah Teori Struktural yang memandang bahwa dalam bahasa terdapat
dua hal yang penting, yaitu bentuk dan makna/arti. Bentuk merupakan suatu yang
dapat ditangkap oleh indra, sedangkan makna/arti adalah suatu yang dapat diterima
oleh akal, yang masing-masing disebut sebagai signifiant dan signifie (Saussure,
1973; dalam Hidayat, 1988:13). Keduanya adalah kesatuan yang tidak bisa
diceraikan. Dalam kajian sering salah satu menjadi fokus, sehingga yang lain seolah
terabaikan. Dalam kajian ini kedua sisi itu harus dibahas sebagai suatu kesatuan
yang saling melengkapi.
Kaitan dengan kajian dinamika dan fungsi ungkapan-ungkapan eufemisme
dikaji dengan Linguistik Makro, terutama sosiolinguistik. Teori ini antara lain
menyoroti dua segi yang saling berkaitan, yaitu proses pemilihan bahasa dan
kebiasaan (kegiatan) sosial pada saat berlangsungnya komunikasi verbal
antarpenutur dalam kehidupan sehari-hari (Halliday, 1976:60). Teori ini dipakai
terutama ketika pembahasan melibatkan faktor luar bahasa serta pembahasan
tentang masud dan tujuan pemakaian eufemisme.
Data diambil dari penutur bahasa Melayu yang ada di Desa Loloan Barat
dan Loloan Timur, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Metode yang diterapkan
adalah metode wawancara dan pengamatan pemakaian bahasa dalam kehidupan
masyarakat penutur bahasa tersebut. Wawancara dilakukan dengan bantuan teknik
rekam dan catat. Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan metode deskriptif.
kata yang tidak patut bisa menimbulkan musibah atau bencana. Dalam kaitan
dengan hubungan sosial, pemakaian eufemisme akan memperhatikan kedudukan
atau status penutur dan lawan tutur. Penutur yang berkedudukan sebagai pemuka
agama/ketua adat/orang yang dihormati di masyarakat dipilih pemakaian
ungkapan-ungkapan tertentu yang tidak menimbulkan ketersinggungan.
Selanjutnya, dalam bidang sopan santun berbahasa, ungkapan-ungkapan tertentu
harus diperhitungkan pemakaiannya sesuai dengan norma-norma berbahasa dalam
masyarakat bersangkutan.
nengok dipakai untuk menyebutkan orang atau orang tua yang pengelihatannya
tidak berfungsi lagi.
Dilihat dari bentuknya, eufemisme dalam bahasa Melayu di Bali ditemukan
dalam bentuk kata. Misalnya, kata senok (untuk pelacur). Bentuk lainnya adalah
eufemisme berbentuk frasa, seperti tidak nengok (untuk buta). Bentuk lain adalah
eufemisme berbentuk klausa, seperti Pulang ke rahmatullah sebagai pengganti kata
meninggal/mati. Selanjutnya, bila dilihat berdasarkan kategori kata eufemisme
yang ditemukan, dapat dikelompokkan ke dalam eufemisme yang tergolong
nomina, yaitu senok, Datuk, dan tetepleng; dan termasuk kategori verba, seperti
tidak nengok dan pulang ke rahmatullah.
setiap pembangunan rumah baru akan dibangun rumah seperti rumah pada
umumnya (bukan rumah panggung).
Berbagai perubahan konteks pemakaian bahasa Melayu tersebut
menyebabkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia, lebih-lebih yang
memang tidak ada dalam bahasa Melayu dipakai oleh penutur bahasa Melayu dalam
berbahasa sehari-hari dan dipandang sopan. Dengan demikian, terjadi dinamika
atau perubahan dalam eufemisme bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh bahasa
Indonesia. Ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia yang tergolong eufemisne dan
mempengaruhi bahasa Melayu dalam perkembangannya terlihat dalam contoh
berikut ini.
Kata tersebut diganti dengan jenasah untuk menimbulkan nuansa makna yang
sopan. Selain itu, kata mati juga diganti dengan meninggal untuk menimbulkan
efek makna yang sopan/hormat, seperti dalam bahasa Indonesia.
4. SIMPULAN
Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap pemakaian eufemisme dalam
bahasa Melayu di Bali, dapat disimpulkan beberapa hal seperti berikut ini.
(1) Eufemisme dalam bahasa Melayu di Bali digunakan untuk nuansa makna sopan
dalam berbahasa yang meliputi (a) bidang kepercayaan, misalnya kata mbak
nyai sebagai pengganti tikus; (b) bidang sosial, seperti kata senok dipakai
sebagai pengganti kata pelacur; dan (c) bidang sopan santun berbahasa, seperti
kata bute diganti dengan ungkapan tidak nengok. Selain itu, kajian bentuk
eufemisme ditemukan bentuk kata, frasa, dan klausa; sedangkan kajian kategori
menemukan eufemisme nomina dan verba.
(2) Dinamika eufemisme dalam bahasa Melayu di Bali memperlihatkan
perkembangan pada pengaruh bahasa Indonesia karena keberhasilan
pendidikan pada kaum muda, diterimanya pengaruh bahasa Indonesia, dan
kemiripan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Pemakaian unsur bahasa
Indonesia terlihat pada (a) ungkapan menjijikkan, seperti kakus diganti dengan
jamban/toilet; (b) ungkapan bagian tubuh, seperti tidak nengok diganti dengan
tunanetra; (c) ungkapan kematian, seperti mati diganti dengan meninggal; dan
(d) ungkapan penyebutan orang, seperti wak diganti dengan bapak.
DAFTAR PUSTAKA
Suparwa, I Nyoman dan A.A. Pt. Putra. 2015. “Dinamika Sistem Bunyi Bahasa
Melayu di Bali: Sebuah Kajian Generatif” (Laporan Penelitian
Fundamental DIKTI). Bukit-Jimbaran: Univesitas Udayana.
Oleh
I Putu Gede Suwitha
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Sejak awal abada ke-20, banyak penulis asing maupun pribumi yang
mengkaji masyarakat Bayan. Beberapa dapat disebutka: Erde (1901). Graff (1941),
Van Baal (1976). Kajian-kajian di atas berkisar apda bidang Antropologi dan tradisi
budaya wetu telu. Tulisan ini melihat dari perspektif identitas, khususnya dinamika
(sejarah) identitas.
Dalam perspektif budaya, identitas adalah sesuatu yang tidak tetap dan
selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Memimjam teori Madan Salup
(Ardika & Darma Putra, 2004 :330), identitas tidak penuh tetap, tidak utuh, tidak
satu, tetapi fabricated dan contructed, terus digodok dalam proses. Artinya bahwa
identitas itu akan terus berubah, terus dikontruksi dalam proyek tiada henti (an
ougoing project). Selanjutnya, dikatakan identitas itu bersifat pragmentasi dan
kontradiktif.
Dengan kerangka teori di atas, mungkin kita tidak perlu heran mendengar
identitas masyarakat Bayan yang selalu berubah dan dinamis dalam kurun waktu
yang panjang seperti (long dure) meminjam konsep Mac Block dalam bidang
sejarah. Hal ini karena identitas itu fragmentasis bergulir terus dalam proses dan
proses itu sangat terasa dalam Identitas masyarakat Bayan yang kontemporel.
lain. Dengan tidak memiliki adat akan tidak memiliki aturan, sehingga
agama pun tidak bisa dipisahkan dengan adat. Dengan demikian, bilamana
masyarakat yang melanggar adat selalu diberikan sanksi-sanksi sosial
sesuai dengan kesepakatan adat yang berlaku. Bagi masyarakat Bayan,
kewajiban yang harus dijalankan oleh masyarakat adalah berperilaku dan
bermoral yang baik, berpikir yang suci serta taat kepada ajaran leluhur dan
menghargai orang lain (FGD).
Politik identitas yang lain adalah perjuangan pelestarian warisan
budaya adat Bayan, sehingga merangsang dan mendorong masyarakat
menggali, menemukan, dan mempertahankan warisan leluhur. Gerakan ini
juga bagian dari gerakan perlawanan Dewi Anjani. Gerakan Dewi Anjani
yaitu gerakan yang dibentuk dengan tujuan untuk mempertahankan
kepercayaan, certa adat istiadat dan budaya yang diturunkan dari nenek
moyang mereka untuk meningkatkan integritas antara penganut Wetu
Telu. Gerakan ini sesungguhnya merupakan gerakan counter hegemoni
atau perlawanan suku Sasak Bayan dari pengaruh pihak luar yang seolah-
olah menurut mereka akan memangkas serta menghilangkan adat istiadat
Wetu Telu. Terkait dengan adanya pariwisata mernerlukan sejumlah
budaya yang unik dan orisinil, maka budaya Bayan perlu mendapat ruang
(space) bagi masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Spillane (1999:138),
serta menemukan berbudaya Indonesia, kebudayaan asli. Dalam hal ini
kebudayaan Bayan tidak ada duanya di dunia.
Ekspresi lainnya adalah identitas pakaian adat. Kebetulan budaya
adat Bayan telah ditetapkan sebagai pakaian adat daerah Nusa Tenggara
Barat. Bahkan pada tanggal 18 Agustus 2009 pakaian adat Bayan ikut
ambil bagian dalam perlombaan adat Nusantara di Jakarta. Meskipun tidak
semua wakil dari NTB adalah utusan dari Bayan, tetapi identitas Bayan
sudah mulai tampil dalam skala nasional. Karena kebanggaan terhadap
pakaian adat Bayan sekarang tiap warga Bayan yang diundang dalam
berbagai kegiatan formal maupun informal selalu menggunakan pakaian
adatnya. Pakaian adat Bayan mencerminkan jati diri dan harga diri sebagai
masyarakat yang berbudaya.
Selanjutnya pendekatan ekonomi pariwisata bagi masyarakat
Bayan mulai dilakukan seperti yang terjadi di Kalimantan Timur yang
dikemukakan oleh Maunati (2004:231). Menurut Maunati, Kebudayaan
Dayak mulai "dijual" sebagai daya tarik pariwisata untuk meningkatkan
kesejahteraan. Masyarakat Bayan sudah lama menggalakkan pariwisata,
bahkan sekarang mendirikan kantor informasi pariwisata di Desa Bayan.
Masjid kuno Bayan Beleq banyak didatangi wisatawan, apalagi pada saat-
saat upacara besar seperti Maulud Nabi, wisatawan tumpah ruah di Desa
Bayan. Kain tenun khas Bayan sudah mulai merambah pasar modern.
Demikian juga obyek-obyek wisata mulai dikunjungi seperti makam,
hutan adat, sudah mengalami komodifikasi.
Kepariwisataan telah menyebabkan menguatnya ke-Bayanan baru
dan bangkitnya kembali kebudayaan tradisi Bayan. Pembentukan dan
manipulasi identitas ini (identitas proyek) merupakan tindakan yang
kompleks dan bagian dari tindakan politik. Sementara sejak zaman
kerajaan. jaman kolonial, orde baru, label sebagai daerah terbelakang
menjadikan Bayan semakin terpinggirkan selama ratusan tahun.
Masyarakat Bayan memerlukan peningkatan terhadap
pemberdayaan mereka secara politik agar mereka memiliki kemampuan
untuk merekonstruksi ulang budayanya sendiri dan lembaga adat
memperoleh pengakuan. Sudah banyak tanah adat diambil paksa oleh
pemerintah untuk kepentingan ekonomi dan yang lain, identitas mereka
dimanipulasi.
Mempertahankan identitas juga bagian dari semangat masyarakat
lokal dalam aras multikulturalisme mempertahankan identitas sangat
penting, mengingat jika mereka kehilangan identitas, berarti mereka akan
mati secara sosio kultural. Kondisi ini akan menimbulkan frustasi sosial
yang akut, sehingga setiap etnik, dimana pun mereka berada mereka selalu
menumbuh kembangkan identitasnya (Suseno, 2000 : 6).
3. TINJAUAN AKHIR
Islam waktu telu, kemudian berubah menjadi Metu Telu adalah Islam yang
kental dengan pengaruh tradisi lokal, identik dengan Islam abangan yang dikenal
pada masyarakat Jawa menurut teriminologi Cliffard Geertz (Geertz, 1984). Islam
waktu telu merupakan strategi kontra hegomoni untuk mempertahankan diri dari
berbagai pengaruh luar, dengan berlindung pada kekuatan adat. Agam Islam yang
dianut adalah agama Islam yang dipraktekkan meskipun tidak sesuai dengan konsep
puritahisme dalam Islam.
Tradisi Metu Telu adalah sejenis konsep trinitas dalam tradisi beberapa
agama yang ada. Metu telu menurut para tokoh Bayan sekarang selalu dihubungkan
dengan makhluk hidup yang mengalami perkembangan dalam kehidupan berupa
tiga model reproduksi.
Tiga model tersebut adalah menitik yaitu berkembang melalui tunas, biji,
benih induk tambah. Menteluk atau bertelur untuk binatang dan jenis unggas
(baling), yang ketiga menganak (melalurkan) induk manusia dan binatang
menyusui.
Sejarah keberadaan masyarakat Bayann sesungguhnya merupakan
perjuangan untuk menegakkan identitas. Sebagai kelompok inmaritas mereka
dituntut mampu berintegrasi. Mereka berjuang gempuran kegiatan pulitansial
agama kelompok mainstream waktu telu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Adonis, Tito. 1989. Suku Terasing di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara
Barat. Jakarta : Depdikbud.
Babad Lombok. Puri Karangasem (Bali)
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak : Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta :
L.Kis.
Budiwanti, Erni. 2005. "Islam dalam Konteks Budaya Lokal : Studi Kasus di Bayan,
Lombok Barat". Masyarakat Indonesia, No. 2. Jakarta : Lipi.
Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta :
Yayasan Obor. Sfr The^§pglH3f The Aii(^Mia^a.a^BBPEQweg
Cika, I Wayan. 2012. Ritual Maulid Adat Masyarakat Bayan, Lombok Utara, NTB.
Laporan Penelitian Denpasar : BPNP - Unud.
Eerde, J.C. Van 1901. "Aanteekeningen Over de Bodha's Van Lombok" dalam TBG,
43.
Eriksen, Thomas Hyland. 1993. Ethnicity and Nationalism Anthropological
Perspectives. London : Pluto Press.
Graaf, H.J. de 1941. "Lombok in de 17c eeuw", dalam Djawa, 21, 6.
Haba, John. 2007. Refitalisasi Kearifan Lokal : Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta.
Lukman, H. Lalu. 2004. Sejarah, Masyarakat, Budaya Lombok. Mataram : Propinsi
NTB. Maunati, Y, 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS.
Parimartha, I Gde. 1995. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815 - 1915.
Disertasi Universitas Amsterdam, belum diterbitkan.
Sidemen, Ida Bagus. 2010. Dari Wilatikta ke Swecapura : Perjalanan. Seorang
Aktor Religius. Deupasar: Tunas Jaya.
Suseno, Magnis. 2000. Kuasa Hukum dan Moral. Jakarta : Gramedia.
Spillane, James. J. 1999. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya.
Yogyakarta : Kamisius.
Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Djakarta :
Sumur Bandung.
Van Baal J. 1976. Pesta Alip di Bayan, Jakarta ; Bhratara.
Watson, Conrad William. 2000. Mulciculturalism Open. Buchingham University
Press.
Wirata, I Wayan. 2009. Hegemoni dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di
Kecamatan Bayan Lombok Utara. Disertasi yang Belum diterbitkan,
Unud.
I Wayan Cika
FSB Unud
Abstrak
Geguritan Wiracarita Puputan Margarana (selanjutnya disingkat GWPM)
sangat menarik untuk dikaji dari aspek nilai bela negara karena geguritan tersebut
menceritakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi, yaitu peristiwa sejarah tentang
perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai (Pasukan Ciung Wanara) melawan
penjajah Belanda. Puncak terjadinya perang tersebut adalah pada tanggal 20
November 1946.
Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif dengan pokok masalah
bagaimana aktualisasi nilai bela negara yang terkandung dalam GWPM. Tujuannya
adalah untuk mengungkap aktualisasi nilai bela negara yang ada di dalamnya.
Untuk mengungkap nilai tersebut, digunakan teori semiotik dan ditunjang dengan
metode hermeutika. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa GWPM mengandung nilai bela negara
yang patut diapresiasi. Nilai itu diaktualisasikan dengan sikap para pejuang dan
rakyat yang bersedia membela Negara dengan mengorbankan segala-galanya untuk
kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Sikap seperti itu patut diapresiasi untuk
membangun karakter bangsa yang cinta tanah air dan layak diaktualisasikan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara oleh seluruh generasi muda, bangsa,
dan negara Indonesia. Hal itu penting agar generasi muda dapat mengetahui,
memahami, meneladani dan bisa menghargai para pejuang yang telah gugur sebagai
kusuma bangsa.
Kata kunci: geguritan, nilai bela negara, cinta tanah air, karakter bangsa.
1. PENDAHULUAN
GWPM adalah salah satu genre karya sastra tradisonal yang sampai kini
masih tetap eksis dan berembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang
1
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya, Fakultas Sastra dan Budaya
Unud, Jumat 27 – Sabtu 28 Mei 2016.
selalu dibayang-bayangi oleh arus sejagat yang sangat deras. Karya sastra
geguritan dapat memberikan peluang kepada manusia untuk mempermasalahkan
kehidupan sehingga dapat memunculkan gagasan yang bermakna dan dapat
memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi (Atmazaki, 1990:24)
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa GWPM dipilih
sebagai pokok bahasan dalam penulisan artikel ini. (1) GWPM mengandung banyak
nilai yang dapat dijadikan peluang untuk meningkatkan sikap mental yang positif
dalam rangka pembangunan karakter bangsa, antara lain nilai bela negara. (2)
GWPM menceritakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi, yaitu peristiwa perang
antara pasukan I Gusti Ngurah Rai melawan penjajah Belanda (NICA) pada tahun
1946. Peristiwa sejarah itu terjadi di Margarana, Tabanan yang dikenal dengan
peristiwa “Puputan Margarana”. Namun, media yang digunakan untuk
mengungkap peristiwa sejarah itu adalah bahasa Bali yang dituangkan dalam genre
sastra geguritan. Oleh karena itu, GWPM dapat dikatakan berada antara fakta dan
fiksi. Peristiwa sejarah yang terungkap dalam GWPM benar-benar sesuai dengan
fakta sejarah, baik mengenai tempat terjadinya, para pelakunya, maupun angka
tahunnya, seperti tampak dalam cuplikan berikut.
Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan
Repulik Indonesia. Sejak tanggal itulah bangsa Indonesia telah menjadi
bangsa yang merdeka, terbebas dari penjajahan negara mana pun, termasuk
Belanda. Namun, Belanda tampaknya tidak menyetujui dan menolak
kemerdekaan itu. Niat busuk Belanda untuk menjajah kembali Indonesia
dilakukan dengan menyamar bersama sekutunya. Niat busuk itu segera
diketahui oleh rakyat (rakyate rungu). Rakyat, terutama para pemuda
menggalang kekuatan, bersatu padu dan kompak (tumuli nunggalang paksa)
membela negara (sagulute nindih Negara) (III.2). Para pemuda, di bawah
pimpinan I Gusti Ngurah Rai membuat pasukan gagah berani yang diberikan
nama Pasukan Banteng, sedangkan kaum wanitanya membangun dan
menggalang kekuatan dengan pasukannya yang berjuluk Pasukan Srikandi
(III.3).
Makna yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah setiap warga
negara Indonesia wajib untuk membela, melindungi, dan menjaga
kedaulatan NKRI dari segala ancaman. Ancaman tidak semata -mata datang
dari luar, tetapi juga datang dari dalam bangsa sendiri. Ancaman dari dalam
sama sulitnya dengan ancaman yang datang dari luar. Ancaman bisa
berbentuk militer dan atau nonmiliter.
GWPM merupakan sebuah karya sastra geguritan yang mengisahkan
sejarah perjuangn bangsa (historiografi tradisional Bali) untuk
mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
penuh heroik. Di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang berintikan
kecintaan terhadap tanah air tumpah darahnya, keberanian dalam
mengangkat senjata, ketulusan untuk menyerahkan jiwa dan raga, keteguhan
dan kepatuhan sesama pejuang membela hak rakyat. Cerita ini juga
menjunjung kebesaran Tuhan Yang Mahakusa. Mereka yakin, bahwa
perjuangan akan berhasil atas rida Tuhan (Ida Sanghyang Widhi).
Kolonialisme Belanda telah lama menguasai dan menjajah Indonesia.
Mereka telah memperlakukan rakyat dengan berbagai perlakuan yang
kejam. Mereka menangkap, mebuang/mengasingkan para pejuang. Rakyat
mengalami penderitaan, penistaan lahir dan batin, penyiksaan, dan
perlakuan-perlakuan kasar lainnya.
Bapak I Gusti Ngurah Rai berhasil menghimpun dan mengajak
teman-teman, para pejuang yang mempunyai gagasan yang sama ke dalam
sebuah wadah perjuangan yang disebut Pasukan Ciung Wanara. Mereka
bersatu padu melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang terus -
menerus ingin menjajah Bali pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya.
Peristiwa itu menggelorakan kembali nuansa-nuansa perjuangan
tempo dulu kepada generasi muda penerus bangsa. Secara simbolik,
peristiwa itu mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, Bapak I Gusti Ngurah
Rai merupakan lambang pemuda perkasa yang gagah berani menantang dan
melawam keangkaramurkaan Belanda. Kedua, para generasi muda harus
ditanamkan karakter bangsa yang kuat, jiwa dan semangat cinta tanah air
dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Ketiga, generasi muda
diingatkan bahwa para pahlawan tidak cukup hanya dipuja dan dihormati,
tetapi yang lebih penting ialah meneladani dan melanjutkan cita-cita
3. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) GWPM adalah sebuah historiografi tradisional yang berada antara fiksi dan
fakta. Sebagai fiksi GWPM terikat oleh syarat-syarat tetentu, yang disebut
padalingsa dan sebagai fakta, GWPM merupakan fakta sejarah yang benar-
benar terjadi, yaitu pertempuran antara pasukan pejuang di bawah pimpinan
I Gusti Ngurah Rai melawan kolonial Belanda yang klimaksnya terjadi
pada 20 November 1946 di Desa Marga, Kabupaten Tabanan.
2) Nilai bela negara dalam GWPM diaktualisasikan melalui sikap setia,
patuh, taat, berani, dan teguh memegang janji perjuangan serta
dilakukan secara konsisten.
3) Dalam perspektif pembangunan karakter bangsa, nilai bela negara
mengandung makna semangat cinta tanah air, yakni semangat seseorang
yang sudi mengorbankan segala-galanya demi kejayaan dan kemakmuran
tanah airnya. Pengorbanan tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga jiwa
dan raga yang tak ternilai harganya. Sikap seperti itu patut diteladani dan
diaktualisasikan oleh para generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa untuk menuju masyarakat dan bangsa yang lebih beradab.
4. SARAN
1) Para generasi muda diharapkan memiliki karakter bangsa yang kuat,
jiwa dan semangat cinta tanah air, serta rela berkorban demi bangsa
dan negara.
2) Generasi muda diingatkan bahwa para pahlawan yang telah gugur
sebagai kusuma bangsa tidak cukup hanya dipuja dan dihormati,
TETAPI yang lebih penting ialah meneladani dan melanjutkan cita -
cita mereka untuk mengisi pembangunan bangsa sesuai dengan
amanat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Narji, W. 1975. Geguritan Wiracarita Puputan Margarana. Diterbitkan oleh
Markas Cabang Legiun Veteran RI Daerah Tingkat II Tabanan.
Ratna, N. Kutha. 2004. Teori, Metode, & Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun Laporan Penelitian. 1982. Pahlawan dalam Kesusastraan Panji di
Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kamus. 1993. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.2014.
Oleh:
I Wayan Redig2
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Durga adalah Dewi Ibu, mempunyai peranan penting dalam panteon Sekte
Saiwa. Dia dipanggil dengan banyak nama sesuai dengan manifestasinya, dan
1
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya Fakultas Sastra dan
Budaya Universitas Udayana Denpasar, Jumat 21 – Sabtu 28 Mei 2016.
2
Email: redig_bali@yahoo.co.id, HP: 081338623318
tampil dengan banyak wujud dilihat dari tampilan ikonnya. Dia bisa tampil sebagai
dewi yang garang dengan wajah menyeramkan dan menakutkan, sebaliknya bisa
juga tampil dengan wajah cantik, tenang dengan sosok lemah lembut. Berdasarkan
kitab Vayu Purana, yang dikutip oleh Santiko (1992:1), wujud Dewi Ibu yang
garang ini disebut krodha, raudra atau ugra, dan untuk wujudnya yang cantik dan
penampilan tenang disebut santa atau saumya. Dalam wujudnya yang tenang, dia
adalah Parwati (Uma), Sati, Gauri dan banyak lagi nama lainnya. Dalam wujudnya
yang krodha, dia adalah Durga, Kali, Karali, Kausaki dan masih ada lagi.
menbinasakan asura Mahisa". Kata "mahisa" berarti 'kerbau'. Nama asli Mahisa
adalah Raktawijaya.
lainnya, umumnya secara fisik laki-laki lebih berotot, kuat, kekar, sedangkan
perempuan kurang berotot, lembut, tidak kekar. Karena perbedaan ini, kelompok
laki-laki tergolong maskulin dan perempuan tergolong feminin.
Sampai di sini tidak ada persoalan. Persoalan muncul ketika perbedaan yang
bersifat kodrati ini dijadikan alasan untuk “menomorduakan” hak dan kewajiban
sosial perempuan. Artinya fungsional perempuan di masyarakat menjadi
subordinasi laki-laki. Dari sinilah muncul persoalan gender (bandingkan konsep
gender oleh Baker 2004:73).
Persoalan gender adalah persoalan terjadinya ketidakadilan peranan
perempuan di masyarakat. Dalam banyak hal, laki-laki selalu dianggap lebih
berperanan. Bila disimak ikonografi Durga, tergambar peranan perempuan tidak
kalah penting dibandingkan dengan laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat bisa jadi peranan perempuan dinomorduakan, mungkin sejak dahulu
kala seperti itu. Namun demikian, kehadiran Durga baik, sebagai ikon maupun
mitos dapat dianggap sebagai pesan atau pengakuan bahwa perempuan bila diberi
ruang, kesempatan, kedudukan/ atau yang sejenisnya/ yang sama dengan laki-laki
akan bisa dan sanggup melaksanakannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “aktual” berarti betut-betul ada
(terjadi)’;2 ’sedang terjadi pembicaraan orang banyak ;3’masih baru’. Dalam
makalah ini, arti butir yang pertama ‘betul-betul ada (terjadi)’, dipergunakan
sebagai sebuah konsep untuk memberikan batasan pengertian terhadap “aktualisasi
peranan ibu”; Maksudnya, bahwa peranan ibu yang betul-betul ada (terjadi) adalah
peranannya yang kodrati yaitu mengandung (hamil), melahirkan dan menyusui
(baca: memelihara). Ketiga peranan ini tidak direkayasa oleh budaya. Siapapun,
sebagai seorang ibu dia memiliki peranan hakiki seperti itu. Ketiga peranan ini
adalah sebuah realitas kodrati.
Peranan ibu yang hakiki diwujudkan dalam bentuk simbol Durga berperang
melawan Mahisa; dan Mahisa dapat ditaklukan. Berarti Mahisa berada di bawah
Durga sebagai sakti (Tuhan dalam wujud ibu) adalah istri (sakti) Dewa
Siwa. Tanpa Sakti Siwa tidak produktif. Bagaikan api dengan panasnya. Api adalah
Siwa dan panasnya adalah Sakti (tenaganya). Kekuatan api ada pada panasnya.
Dalam filsafat Sakti-Yoga, Siwa tak berpribadi dan pasif; sedangkan Sakti adalah
dinamis. Sakti menyebabkan adanya bermacam-macam material dunia ini,
termasuk mengembangkan bagian-bagian fisik lain makhluk-makhluk perasa. Jadi
segala isi dunia termasuk kosmos itu sendiri berada di bawah kendali sakti
(Sivananda, 1993:257-258).
Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa Mihisa adalah simbolisasi bumi.
Mahisa dibunuh oleh Durga dalam peperangan adalah simbol bahwa bumi berada
di bawah kekuasaan Durga. Sebagai penguasa, Durga mempunyai tugas kodrati:
mengandung, melahirkan, (mencipta) dan memelihara.
4. KESIMPULAN
Ikonografi Durga adalah peristiwa mitologis peperangan Durga melawan
Mahisa. Dalam peperangan Mahisa terbunuh. Ini sebuah simbolisasi yang
maknanya sebagai berikut.
a. Mahisa adalah simbol bumi; yang penguasanya adalah Durga (feminin, ibu ilahi).
b. Durga sebagai penguasa mempunyai tugas aktual yang hakiki dan kodrati yaitu
mengandung, melahirkan dan memelihara. Tugas seperti ini, tidak dapat
disangkal, juga menjadi tugas ibu anak manusia.
c. Seorang wanita tidak lazim secara budaya berada dalam medan pertempuran.
Walaupun demikian dia sanggup melaksanakan sesuatu yang dianggap tidak
lazim asal diberikan kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
I Wayan Srijaya
Prodi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Unud
Abstrak
Selama ini pembicaraan mengenai kerukunan selalu menjadi ranah dari ilmu
agama sehingga pendekatanya pun lebih kepada pendekatan agama. Karena
kerukunan tidak semata-mata bercicara tentang sisi agama atau keyakinan
seseorang atau kelompok masyarakat, maka pada kesempatan ini, penulis mencoba
untuk mengkaji aspek kerukunan dalam perspektife arkeologi.
Rukun menjadi dambaan setiap orang, golongan, ataupun masyarakat mulai
dari lingkungan yang paling kecil (rumah tangga), masyarakat, dan bangsa. Hidup
rukun tidak saja akan memberikan kedamaian kepada setiap orang atau warga
masyarakat untuk melakukan aktivitasnya sesuai dengan keinginannya tanpa
merasa takut terhadap tekanan pihak lainnya, sepanjang kegiatan yang
dilakukannya mengikuti rambu-rambu yang menjadi aturannya.
Kerukunan atau kedamaian merupakan harapan dan tujuan hidup manusia
sehingga dengan kedamaian yang tercipta akan dapat memberikan jaminan kepada
setiap orang untuk salaing menghargai perbedaan yang dimiliki. Berbicara tentang
kerukunan, dalam perspektife arkeologi dapat dijelaskan bahwa sudah sejak awal
pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia terjaga dengan baik. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan banyaknya bukti arkeologis yang diketemukan di
berbagai tempat di Indonesia seperti Jawa Barat yaitu bangunan-bangunan Hindu
Budha secara berdampingan, kemudian di Jawa Tengah para penguasa dari dua
Wamsa pendiri kerajaan Mataram Kuno dengan agama yang berbeda dapat
mencapai puncak keemasannya. Selanjutnya di Jawa Timur, selain dua agama besar
(Hindu-Budha) yang menguasai wilayah ini, juga sudah ada unsur-unsur agama
baru, yaitu agama Islam, sebagaimana ditemukannya makam-makam Islam di
Tralaya yang menunjukkan asal dari abad ke –11 M.
Dari bukti-bukti arkeologis ini, maka dapat dikatakan bahwa tanpa adanya
toleransi yang dinjunjung tinggi oleh para penguasa beserta warga masyarakatnya
niscaya sebuah kerajaan bisa mencapai puncak kejayaannya.
1. PENDAHULUAN
Masalah kerukunan menjadi bahan perbincangan yang tidak pernah habis-
habisnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mencoba melihat persoalan
kerukunan ini dari perspektif arkeologi. Mengapa? Karena bukti-bukti yang
bersumber dari data arkeologis cukup banyak untuk dapat digunakan menjelaskan
masalah kerukunan ini. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan bukan saja dalam
wajud arsitektur bangunan, melainkan juga dalam bentuknya yang lain, yaitu
prasasti ataupun karya sastra. Itulah sebabnya uraian dalam tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa ini, tetapi ikut
memikirkan dan jika memungkinkan mencarikan solusi pemecahannya.
Sebelum masuk ke persoalan, ada baiknya dijelaskan apa yang dimaksud
dengan kerukunan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun berarti baik
dan damai, tidak bertengkar; sementara kerukunan mengandung arti perihal hidup
rukun, rasa rukun, kesepakatan (Alwi,2005:966). Dari pengertian ini, maka yang
relevan dengan tulisan ini adalah bagaimana kita bisa hidup rukun dan damai di
tengah-tengah masyarkat yang pluralis. Semenata kata perspektif dalam judul
tulisan ini mengandung arti cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang
mendatar sebagaimana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi; dan arti kedua adalah
sudut pandang, pandangan (Alwi, 2005:864). Dari kedua arti perspektif tersebut,
maka yang sesuai dengan maksud dan tujuan tulisan ini adalah arti yang kedua,
yaitu sudut pandang atau pandangan.
Masalah kerukunan atau hidup rukun merupakan persoalan hakiki yang
dihadapi bangsa dan Negara Republik Indonesia. Di negara yang terbangun dari
perjalanan sejarah panjang telah mewariskan nilai-nilai yang penting bagi
keberlangsungan bangsa ini. Republik yang dibangun oleh para founding father
pada masa lalu tentu merupakan sebuah perjalanan panjang yang sebelumnya
diawali dengan berdirinya kerajaan-kerajaan dengan berbagai coraknya. Kerajaan-
kerajaan dimaksud adalah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur yang diperkirakan
berdiri abad ke-4 M (Poerbatjaraka, 1952), disusul kemudian kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat abad ke-5 M (Poerbatjaraka, 1952), kerajaan Sriwijaya
di Sumatra abad ke-6 M (Poerbatjaraka, 1952), selanjutnya kerajaan Mataram Kuno
di Jawa Tengah abad ke-8 M (Soemadio,l975), dan kemudian mencapai puncaknya
dengan berdirinya kerajaan Majapahit di Jawa Timur abad ke-l3 M (Soemadio,
l975; Slamet Moeljono, l979;l98l), yang wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh luas yang sekarang menjadi bagian dari Republik Indonesia. Di samping
itu, juga ditambah lagi beberapa bagian dari Asia Tenggara daratan sebagaiman
disebutkan dalam kitab Negarakertagama gubahan pujangga keraton Prapanca.
2. PEMBAHASAN
Kerukunan dalam Perspektif Sosial Budaya
Dalam perjalanan setiap kerajaan yang disebutkan di atas tentu mengalami
pasang surut, bahkan ada kerajaan yang tidak diketahui keberlanjutannya setelah
kemunculannya. Sebut saja kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, yang sejak berdiri
hanya diketahui dari adanya tujuh buah prasasti Yupa, tetapi kapan kerajaan itu
mengalami kemunduran ataupun kehancurannya. Selain itu, juga tidak mengapa
kerajaan itu mengalami kemunduran atau kehancuran. Akan tetapi, tanpa
mengetahui penyebabnya, lalu muncul kerajaan yang bercorak sama di wilayah
yang jauh dari kerajaan pertama ini, yaitu kerajaan Tarumanegara dengan rajanya
Purnawarman. Begitu pula dengan nasib kerajaan Purnawarman ini, tidak diketahui
apa penyebabnya kemudian muncul kerajaan lain di wilayah Sumatra, yaitu
kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budhistis.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para penguasa atau raja
diperoleh gambaran betapa damai dan makmurnya kerajaan dan masyarakatnya saat
itu. Raja Mulawarman dari kerajaan Kutai yang bercorak Hindu, dalam salah satu
prasastinya menyebutkan diselenggarakannya upacara Baprakesvara serta
pemberian hadiah berupa sepuluh ribu ekor sapi kepada kaum brahmana. Begitu
pula, dengan kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Poernawarman telah
mengadakan upacara Vaprakesvara serta pemberian hadiah seribu ekor sapi kepada
kaum brahmana sebagaimana disebutkan dalam prasasti Tugu. Dari kedua prasasti
itu dapat dipahami bagaimana kondisi kerajaan Hindu tersebut pada masa lalu.
Sebuah kerajaan, dengan rajanya yang menjalankan kekuasaannya, akan dapat
berjalan dengan baik apabila didukung oleh segenap lapisan masayarakatnya.
Dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang raja (sering disebut raja sebagai
inkarnasi dewa) maka raja sudah sepatutnya menjalankan amanahnya dengan
mengikuti sifat-sifat dewa yang menjadi inkarnasinya. Oleh karena itu, raja akan
selalu melindungi dan mengayomi masyarakat yang dipimpinnya. Dengan sikap
kepemimpinnan seperi ini, maka pemimpinnya dalam hal ini raja akan dapat
mengemban amanahnya dengan baik dan memberikan kemakmuran bagi segenap
warganya. Apabila amanah yang diberikan dapat dijalankan dengan baik, akan
tercipta suasana hidup yang damai atau rukun. Dengan kehidupan yang damai ini
maka penguasa beserta warganya akan bisa melakukan berbagai kegiatan, termasuk
mengadakan upacara keagamaan.
Demikian pula dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Kerajaan
Sriwijaya yang menurut berita Cina seperti Fa-hien dan I-tsing yang berkunjung ke
Sriwijaya pada abad ke-5 M, dikatakan merupakan sebuah kerajaan yang penuh
dengan kedamaian. Sebabnya adalah di kerajaan ini hidup para pendeta Budha yang
tekun mempelajari agama Budha dan bahasa Sanskerta (Magetsari, l980). Oleh
karena itu, kemudian baik Fa-hien maupun I-tsing, menyarankan kepada para
pendeta dari Cina yang akan belajar agama dan bahasa Sanskerta ke India sebaiknya
terlebih dahulu belajar mengenai agama dan bahasa Sanskerta di Sriwijaya.
Sumber-sumber sejarah lokal yang berupa prasasti dari kerajaan ini, memberikan
petunjuk bahwa kerajaan Sriwijaya muncul pada abad ke-7–l2 M (Slamet
Moeljono, l98l). Dari sumber-sumber prasasti (tidak kurang dari lima belas buah
prasasti) diketahui bahwa kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang
sangat besar pengaruhnya di Asia Tenggara saat itu. Sebagai kerajaan maritim,
penguasa-penguasa kerajaan ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
kegiatan perdagangan, baik antarpulau maupun perdagangan jarak jauh (long trade
distance) hingga ke India (Wolter, 20l2). Untuk bisa melakukan semua ini, maka
dapat diduga bahwa kerajaan dalam keadaan stabil, kemakmuran masyarakatnya
terpenuhi, dan keamanan tercipta dengan baik sehingga masyarakatnya dapat
melakukan aktivitasnya dengan tenang.
Selanjutnya kerajaan Mataram Kuno yang berkembang dari abad ke-8–l0 M
di Jawa Tengah merupakan sebuah kerajaan besar yang dibangun oleh dua dinasti,
yaitu Sanjaya wamca dan Sailendra wamca (Poerbatjaraka mengatakan di Jawa
Tengah hanya ada satu dinasti). Kedua dinasti ini memiliki perbedaan keyakinan,
yaitu Sanjaya wamca menganut agama Hindu, sedangkan Sailendra wamca
menganut agama Budha. Terkait dengan adanya satu atau dua dinasti pada masa
kerjaan Mataram Kuno, memunculkan beragam pandangan.
Para ahli yang mengatakan bahwa di kerajaan Mataram Kuno berkuasa dua
dinasti dikemukakan oleh J.Ph.Vogel (l9l8) dan didukung oleh F.H. van Naerssen
(l947) dan J.G.de Casparis (l950). Para ahli ini mengemukakan pandangannya
bahwa Sanjaya dan keturunan-keturunannya, yang nama-namanya tercantum pada
prasasti Mantyasih (970 M) ialah raja-raja asli Indonesia yang menganut agama
Siwa, sedangkan Sailendrawamca yang beragama Budha, yang nama-nama rajanya
tersurat dalam berbagai prasasti yang berbahasa Sanskerta adalah pendatang dari
luar Indonesia, yaitu negeri Funan (Boechari, 20l2:l9).Untuk meyakinkan
pandangannya itu, van Naerssen bertolak dari penafsiran prasasti Kalasan, yang
dikatakan berisi keterangan mengenai dua pihak, yaitu pihak raja Sailendra yang
tidak disebutkan namanya, yang memerintahkan pendirian bangunan suci untuk
dewi Tara dan pihak Rakai Panangkaran, pengganti Sanjaya yang memberikan
tanah-tanahnya untuk keperluan samgha.
Poerbatajaraka (l958) dengan gigih menentang pendapat tersebut. Dia
berpendapat bahwa pada zaman Mataram Kuno hanya ada satu dinasti, yaitu dinasti
Sailendra. Sanjaya dan keturunan-keturunannya ialah anggota dari dinasti
Sailendra. Semula raja ini menganut paham agama Siwa, tetapi Rakai Panangkaran
berpindah agama menjadi penganut agama Budha. Pendapat ini didasarkan atas
kata meruvat dalam prasasti Canggal berangka tahun 654 C (732 M) dan tafsiran
satu bagian dari kitab Carita Parahyangan (Boechari, 20l2:20).
Kerajaan ini dapat berkembang pesat didasarkan pada struktur sosial
masyarakatnya yang hidup dari aktivitas bercocok tanam. Kegiatan bertani sebagai
dasar perekonomian kerajaan ini dapat berkembang karena tanahnya yang subur.
Suburnya tanah di wilayah ini salah satu di antaranya disebabkan oleh endapan abu
vulkanik gunung api Merapi (Moedardjito, 2002). Sebagai kerajaan yang
sepenuhnya menggantungkan pada kegiatan bercocok tanam khususnya padi. Hal
ini menunjukkan bahwa kerajaan ini dapat menjaga kadamaian dan kerukunan di
antara penguasa dan masyarakatnya. Dengan adanya sikap yang saling
menghormati adanya perbedaan maka para penguasa dapat mewujudkan
bangunan suci mendapat perhatian yang cukup sehingga berhasil dibangun candi-
candi baik Hindu maupun Budha. Pada saat ini juga hidup seorang pujangga keraton
yang bernama Prapanca dengan hasil karyanya bernama Negarakertagama. Sang
raja juga melakukan perjalanan untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang
dibangun untuk memuliakan leluhur-leluhurnya sebagaimana tersurat dalam kitab
Negarakertagama. Berdasarkan uraian kitab Negarakertagama ini diketahui selain
pemerintahannya berjalan aman dan damai, juga masyarakatnya yang sejahtera.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa sebuah kerajaan untuk dapat
mewujudkan keinginannya menjadi sebuah kerajaan besar haruslah menjaga
kerukunan di antara penguasa dengan pejabat lainnya dan tentu juga dengan
masyarakatnya. Tumbuhnya sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan
(sikap toleransi) akan memberikan rasa tenteram dan damai bagi segenap
warganya. Sikap toleransi ini tentu memberikan ruang untuk terjadinya perbedaan.
Dengan menyatukan perbedaan (unity in diversity), maka akan dihasilkan
keharmonisan yang sangat indah.
Kertanegara (Wiwin Djuwita Ramelan, ed., 20l3:298) serta Cndi Jawi yang
didirikan oleh Raja Kertanegara dari Singosari. Candi ini dikatakan bersifat Siwa
dan Budha dengan meletakkan arca Siwa di ruang utama (garbhagrha) dan
penampil-penampilnya, sedangkan Arca Bhatara Budha Aksobhya diletakkan di
atas tidak tampak karena ia adalah Pramasunya (Kehampaan tertinggi) (Wiwin
Djuwita Ramelan, ed., 20l3:309). Sifat Siwa-Budha juga terlihat pada puncak candi
yang berbentuk kubus dan di atasnya diberi stupa. Keadaan yang tidak jauh berbeda
juga ditemukan di beberapa situs di Bali. Salah satu di antaranya adalah situs Gua
Gajah yang terletak di Desa Bedulu, Gianyar. Situs ini dikatakan bersifat Siwa-
Budha, karena di kompleks ini ditemukan bukti-bukti arkeologis yang bersifat
Budha berupa reruntuhan relief stupa dan arca Dhyani Budha. Di puhak lain, yang
bersifat Hindu ditenjukkan oleh adanya arca-arca yang menghiasi kolam petirtaan
yang ada di depan mulut gua serta arca Ganesa dan tri lingga yang ada di dalam
gua.
3. PENUTUP
Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kerukunan/
kedamaian merupakan kehendak setiap umat manusia. Hidup rukun pada berbagai
tingkatan memungkinkan untuk melaksanakan aktivitas dengan tenang. Bilamana
hidup rukun bisa dibangun tanpa melihat perbedaan, maka kebahagiaan akan
dirasakan setiap umat manusia. Bangsa ini dibangun di atas budaya yang majemuk
(plurar) yang tentunya memiliki kerentanan tersendiri. Oleh karena itu, diperlukan
sikap toleransi, antarpenganut kepercayaan/agama sehingga apa yang menjadi cita-
cita bersama akan dapat diwujudkan. Sikap toleransi seperti ini sudah terlihat sejak
munculnya peradaban Hindu dan Budha di Nusantara yang berlangsung dalam
rentang waktu abad V-XV M.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2005: Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan.
Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti. Hasil Kerja sama
Departemen Arkeologi FIB UI dengan Ecole francaise d´Extreme-
Orien.Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.
Wiwin Djuwita Ramelan, ed.20l3, Candi Indonesia Seri Jawa. Jakarta, Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya dan Permusiuman, Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Oleh
I Wayan Suardiana2
Abstrak
1. PENDAHULUAN
1
Paper dibawakan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya 2016 yang diselenggarakan oleh
Fakultas Sastra dan Budaya Unud tanggal 27-28 Mei 2016.
2
Dosen Program Studi Sastra Bali, Fakultas Sastra dan Budaya UNUD
penyelenggara negara di Republik ini. Atas dasar itu, mulai tahun ajaran 2011,
seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter
dalam proses pendidikannya. Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas, yaitu: (1) Religius, yaitu
sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain; (2) Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; (3)
Toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; (4) Disiplin,
tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan; (5) Kerja keras, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (6) Kreatif, yakni berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah
dimiliki; (7) Mandiri,
sikap dan perilaku yang tidak mudah Bergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas; (8) Demokratis, yakni cara berfikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. (9) Rasa
Ingin Tahu, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar;
(10) Semangat Kebangsaan, merupakan cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya; (11) Cinta Tanah Air, dimaknai sebagai cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; (12) Menghargai Prestasi, yaitu
sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain; (13) Bersahabat/Komunikatif, merupakan sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (14) Cinta Damai, sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (15)
Gemar Membaca, dimaknai sebagai kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; (16) Peduli
Lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) Peduli Sosial, merupakan
sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan; dan (18) Tanggung Jawab, dimaksudkan sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan Yang Mahaesa. (diunduh pada laman:
https://id.search.yahoo.com).
Dari kedelapan belas butir nilai pendidikan budaya dan karakter tersebut
pada akhirnya diharapkan menjadi sebuah ideologi bagi anak bangsa. Sebagaimana
pernah disitir oleh Jones dan Wareing (2006: 54) menandasan bahwa "Pemahaman
kita tentang realita diperantarai sepenuhnya oleh bahasa atau sistem tanda yang kita
gunakan. Sistem tanda ini bukanlah sebuah cerminan yang akurat tentang dunia
melainkan terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang ada dalam budaya kita".
Sebagai sebuah sistem tanda, bahasa (dalam hal ini mewakili kedelapan belas
kriteria tentang pendidikan karakter bangsa Indonesia yang akan diajarkan di dunia
pendidikan formal agar prilaku amoral anak didik menjadi bermoral sesuai dengan
amanat kedelapan belas butir di atas). Dengan memaknai kedelapan belas butir
karakter tersebut di atas, diharapkan perangai masyarakat, lebih-lebih setelah
menjadi pemimpin kelak mampu menahan diri untuk tidak melakukan tindakan
amoral, lebih-lebih berprilaku korup!
Karakter yang menghindari prilaku buruk, amoral, dan menyimpang dari
norma hukum sebagaimana tersurat di atas, sesungguhnya telah lama dirumuskan
oleh pendahulu kita (baca: Bali) terutama sebagaimana telah disuratkan dalam
beberapa teks tradisi maupun teks-teks postmodern sebagaimana terurai dalam
uraian berikutnya.
Ni Rijasa, sebelum kedatangan I Gedé Basur dan I Madé Tanu untuk melakukan
peminangan. Dengan demikian, ungkapan “eda ngadén awak bisa” sebagai
implementasi dari konsep “ngalap kasor” dalam tradisi tulis di Bali, pertama kali
disuratkan oleh pengarang Ki Dalang Tangsub, sebagaimana tampak dalam petikan
berikut ini.
18. Eda ngadén awak bisa, depang anaké ngadanin, geginanné buka nyampat,
anak sa(h)i tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, yadin ririh, liu enu
palajahang! (Pupuh Ginada, I.3).
Terjemahannya:
18. Janganlah pernah menganggap diri (mu) pandai, biarkan orang lain yang
menilai, ibarat menyapu, akan selalu ada sampah, sampah (nya) habis
(masih) ada debu, meskipun pintar, masih banyak yang perlu dipelajari!
Konsep merendahkan diri khususnya dengan ungkapan “eda ngadén awak
bisa” ‘Janganlah pernah menganggap diri (mu) pandai’ pada bait ke-18
sebagaimana petikan di atas, di Bali sering diungkapkan dan dikutip oleh
masyarakat, namun mereka tidak mengetahui persis dari mana ungkapan itu
berasal. Ungkapan “eda ngadén awak bisa” secara sosiologis dalam konteks ini
diidentikkan dengan sikap batin masyarakat Bali untuk merendahkan diri,
khususnya dalam berkata-kata, namun di balik itu secara etos kerja bermakna
sebaliknya. Dengan demikian, sebagai sebuah wacana, ia hadir di tengah-tengah
masyarakat Bali seakan-akan merupakan konsep yang anonim. Hal ini pernah
dikutip oleh I Dewa Gede Palguna, seorang tokoh intelektual muda Hindu menaruh
perhatian besar dengan konsep ini. Dalam kutipan pada sampul dalam buku yang
berjudul Jalan Panjang Hingga ke Medan Merdeka Barat Perjalanan & Pemikiran
Hukum I Dewa Gede Palguna (Hakim Konstitusi Periode 2003 -- 2008) (Palguna,
2008a) disebutkan teks “eda ngadén awak bisa“ ini sebagai teks anonim. Sementara
itu, tokoh lain, I Gde Parimartha, dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhan jabatan
Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas
Udayana (2003), menyebutkan bahwa konsep “eda ngadén awak bisa” ini sebagai
kearifan tradisi.
Sebagai sebuah konsep berpikir, ungkapan “eda ngadén awak bisa” sering
diinterpretasikan negatif atau positif oleh beberapa kalangan masyarakat Bali,
khususnya oleh para pejabat ketika memberikan pidato sambutan atau ceramah bagi
Sikap batin dalam merendahkan diri demi menjaga hidup agar senantiasa
berada dalam keharmonisan, bagi orang Bali selain menata ujaran, juga yang
terpenting adalah bagaimana berbuat dan berperilaku agar selalu mendapat restu
dari orang tua, sebagaimana tampak pada kutipan berikut ini.
19. Plapanin buka manegak, depang éndépan agigis, bas tegeh ban manegak,
yan labuh baongé elung, kéto Cening to ingetang!, eda bani, marerama
tulah baannya! (Pupuh Ginada, I.3).
Terjemahannya:
19. Hati-hati seperti duduk, biarlah lebih rendah sedikit, terlalu tinggi
(mengambil tempat) duduk, bila jatuh lehernya patah, begitulah Ananda itu
diingat, jangan berani, (dengan) orang tua nanti kualat akibatnya!
mengaku pintar' kemudian ditandaskan lagi dengan diksi, "yén mula tusing bisa"
'bila sungguh tidak mampu' menunjukkan ketegasan sikap, yang penting untuk
dimaknai saat ini. Dahulu, orang Bali ketika memperoleh kesempatan untuk
melakukan pekerjaan karena tawaran seseorang, meskipun ia mampu
mengerjakannya, namun jawaban yang akan digunakan pasti "tegarin" '(saya) coba'.
Jawaban seperti itu kurang tegas, sehingga orang yang memberikan tawaran
pekerjaan kepada orang Bali yang jawabannya ragu-ragu seperti itu akan ragu
menerima SDM dari Bali. Dengan demikian, peluang untuk menunjukkan
kemampuan akan pupus. Sebaliknya, sekarang sejalan perubahan waktu hal-hal
seperti itu menurut pandangan postmodern, sebagaimana isyarat dari diksi puisi
yang ditulis oleh IGA Uma Déwi, mesti ditinggalkan! Orang Bali diisyaratkan agar
tegas bersikap sesuai fakta objektif yang ada pada dirinya, terutama ketika
menunjukkan kualitas diri atas kemampuan yang dimiliki!
4. SIMPULAN
Teks mencerminkan jiwa zaman masyarakat pelahir teks bersangkutan
sebagaimana tersurat dalam tiga teks di atas memang kasat mata adanya.
Keluhuran, nilai-nilai yang terungkap di dalam teks dalam suatu zaman, tidak tabu
untuk dikritisi demi menyesuaikan dengan zaman. Konsep "eda ngadén awak bisa",
'Janganlah menganggap dirimu mampu!' di zaman teks Geguritan I Gede Basur
ditulis (awal abad ke-19) sudah kurang sesuai dengan masa kekinian, yaitu masa-
masa kehidupan yang penuh dengan kompetisi seperti sekarang. Bila konsep lama
masih dipertahankan maka SDM Bali akan kehilangan kesempatan dalam merebut
peluang pasar kerja yang semakin kompetitif.
Ketegasan dalam bersikap dengan bahasa yang jelas (hitam-putih) namun
masih tetap menunjukkan kesantunan dalam bertutur kata, sebagai penguat jati diri
generasi muda Bali, ke depan sangatlah penting ditonjolkan agar SDM Bali mampu
bersaing di dunia global!
DAFTAR PUSTAKA
Bali Post Minggu, Redité Paing, 7 Juni 2015 hlm. 17. rubrik Bali Orti.
Ginarsa, Ketut. 1985. Paribasa Bali. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa Singaraja
Bali.
Haryono, Yudhie. M. 2005. Melawan dengan Teks. Yogyakarta: Resist Book.
Jones, Jason dan Shȃn Wareing. 2006. "Bahasa dan Politik" dalam Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan. Diindonesiakan dari judul aslinya
Language, Society and Power. Penerjemah Sunoto, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palguna, I Déwa Gedé. 2008b. Jalan Panjang Hingga ke Medan Merdeka Barat
Perjalanan dan Pemikiran Hukum I Déwa Gedé Palguna. Jakarta
Palguna, I Déwa Gedé. 2008a. “Saya Sungguh Mencemaskan Bali” (Sebuah
Kumpulan Tulisan I Déwa Gedé Palguna (Hakim Konstitusi Periode
2003 -- 2008). Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi.
Parimartha, I Gde. 2003. Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman
(Suatu Tinjauan Historis, Kritis). Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra
Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.
Suarsa, I Madé. 2005. Gunung Menyan Segara Madu Pupulan 100 Puisi Bali
Anyar. Surabaya: Penerbit Pāramita.
https://id.search.yahoo.com diunduh tanggal 12 April 2016
PARWA JARATKARU
PESAN INSANI KELANGSUNGAN
GENERASI PENERUS BANGSA
I Wayan Sukersa
Program Studi Sastra Jawa Kuno
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Karya sastra Jawa Kuno telah menempuh perjalanan usia yang cukup
panjang. Sebagai tonggak awal kemunculannya, tercipta karya sastra berbentuk
parwa/ prosa yang berjudul Candakarana. Kitab tersebut berisi pelajaran tentang
tembang Sekar Ageng (kakawin) yang sampai sekarang masih populer dan diminati
oleh masyarakat Nusantara dan Bali pada khususnya. Kitab tersebut juga memuat
daftar kata yang menyerupai kamus dan oleh para pakar Jawa Kuno disebut mirip
dengan kitab Dasanama. Isi penting yang berkaitan dengan kemunculan sastra Jawa
Kuno adalah kitab Candakarana adalah memuat angka tahun yaitu tahun 700 Çaka
(778 Masehi) dan menyebut nama seorang raja keturunan Çailendra yang
mendirikan candi Kalasan (Poerbatjaraka, 1957:2). Sumber lain ada menyebut
dengan sedikit perbedaan bahwa sebagai tonggak awal peninjauan sastra Jawa
Kuno adalah tahun 726 Çaka (25 Maret 804 Masehi) yang merupakan tahun tertua
prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder, 1983:3). Prasasti
tersebut adalah prasasti Sukabumi, dekat sungai Harinjing di Kediri, Jawa Timur.
Karya sastra Jawa Kuno berbentuk parwa adalah karya berupa prosa, tidak
terikat oleh aturan-aturan persajakan. Parwa dicirikan oleh kutipan-kutipan asli
dalam bahasa Sanskerta. Kutipan-kutipan itu berupa sloka (bait-bait pendek) yang
menyebar di seluruh teks parwa terutama pada bagian-bagian yang penting atau
penekanan cerita. Selain itu, parwa juga digunakan umtuk menyebut bagian-bagian
dari cerita Astadasaparwa (delapan belas parwa) yang dikenal di Indonesia yang
bersumber dari epos besar Mahabharata di India.
Kedua bentuk karya sastra Jawa Kuno itu baik Parwa dan Kakawin
memendam nilai-nilai budaya yang luhur. Nilai-nilai tersebut perlu digali,
ditelusuri, diberdayakan sebagai potensi peneguh karakter bangsa sehingga dapat
mewujudkan kehidupan yang selaras dan seimbang.
2. PEMBAHASAN
itulah yang akan menjadi suaminya. Bhagawan Parasara berdiri di tepi sungai
Yamuna dan meminta untuk disebrangkan. Beliau kemudian berhasil
menghilangkan amis Dewi Durgandhini dan tubuhnya menjadi harum, tercium
sampai jarak seratus yojana atau sekitar 1500 km. Kemudian namanya diganti
menjadi Dewi Sayojanagandhi.
Topik ini diungkapkan berdasarkan inti cerita yang tersirat dalam Parwa
Jaratkaru. Secara garis besar isinya menceritakan seorang brahmana bernama
Jaratkaru yang memiliki budi belas kasihan, selalu memberi pertolongan kepada
orang yang sedang mengalami ketakutan dan ia takut pada kesengsaraan hidup.
Sang Jaratkaru tidak kelekatan cinta asmara, tidak memikirkan isteri, ia tekun
bertapa dan mengajarkan mengatasi kesusahan orang bertapa.
tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalamnya dan setiap hari
mengerat batang buluh.
berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat leluhur dan lepas dari
kesengsaraan ini.
Sang Jaratkaru tidak ingin hidup sengsara, dia tekun dalam pendidikannya
yang pada masa itu dilakukan berupa tapa. Dia menguasai segala macam mantra
sehingga mampu pergi ke segala tempat yang diinginkannya. Hal ini terlihat dalam
kutipan Parwa Jaratkaru sebagai berikut.
Terjemahan:
Ingatlah dia tentang penjelmaan dirinya, Jaratkāru itismŗtah, oleh sebab
itu beliau bernama Sang Jaratkaru, takutlah ia akan kesengsaraan hidup
(Widyatmanta, 1968: 33).
Mangkana brata ning kawitan ira, humawacakěn apriya, tan kěneng
stri, kewala tapa ginöng nira, kalaran magawe tapa
Terjemahan:
Demikian awal mula keteguhan tekadnya, tiada kelekatan cinta asmara
(dapat menguasai) tidak memikirkan perempuan, hanya tapa yang
dibesarkan (dipentingkan), dipelajarinya (mengatasi) kesusahan
melakukan tapa (Widyatmanta, 1968: 33).
Huwus pwa sira siddhi mantra, anahas ta sireng sarwa loka, teka ring
asing sakaharěp pinaran ira mwang lumaku tirtha. Kalungha ta laku
nira, kawawa sireng Ayatnāsthāna, ikang loka pāntaraning swarga
lawan naraka,
Terjemahan:
Setelah beliau menguasai segala mantra, mengembaralah beliau ke
segala penjuru, tiba pada semua tempat yang dikehendaki dan juga
melakukan perjalanan suci/ berjiarah. Makin jauhlah perjalanannya,
sampai tiba di suatu tempat (yang bernama) Ayatnāsthana, itu adalah
tempat antara sorga dan neraka (Widyatmanta, 1968: 34).
Tingkatan Catur Asrama yang kedua adalah Grehasta. Ini merupakan topik
utama dalam makalah ini yang objeknya Parwa Jaratkaru. Hal ini merupakan pesan
umat manusia untuk kelangsungan generasi penerus yang akan menjaga dan
mengisi masa di kemudian hari. Dengan demikian, kehidupan akan terus berlanjut
dan dunia tetap terjaga.
Kunang yan kita tuhwasih ikang wiku Jaratkaru ngaranya pinta kāsihi
ta ya kon mānaka, yatanyan kami muliha mareng pitŗloka. Ya
winarahakěn ta kami yan panghiděp sangsāra yatanyan
wělsāmběknya.
Terjemahan:
Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya
sang Wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat
pulang ketempat para leluhur. Dan katakanlah, bahwa saya menderita
sengsara supaya belas kasihan jugalah ia. (Widyatmanta, 1968: 36).
Hanan pwa mārganta muliheng swarga, tan sangçayan rahadyan
sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametānakbi panaka ni
nghulun. Kunang kaharěp i nghulun strī.
Terjemahan:
Adapun kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali ke sorga, janganlah
kamu semua khawatir, saya akan menghentikan kebrahmacarian saya,
mencari anak isteri. (widyatmanta, 1968: 36).
memutru. Bait-bait atau baris-baris sloka itu dibaca dengan intonasi suara yang
dalam seperti membaca mantra. Pembacaan ini biasanya dilakukan pada malam
hari, sehari sebelum puncak upacara ngaben. Maksud dan tujuan dari pembacaan
parwa itu adalah roh leluhur yang diupacarai tidak menderita masuk neraka, tetapi
dapat pulang ke dunia leluhur di alam sorga sehingga mencapai santi (kedamaian).
3. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah –
Arnoldus.
“KOH NGOMONG” :
REFLEKSI PERLAWANAN TERHADAP HEGEMONI KEKUASAAN
REZIM ORDE BARU
Oleh :
Ida Bagus Gde Pujaastawa
ibg_pujaastawa@yahoo.co.id
Abstrak
Istilah “koh ngomong” merupakan sebuah istilah dalam kosa kata Bahasa
Bali yang secara referensial makna istilah ini menunjuk pada sikap enggan bicara
(koh = enggan, ngomong = bicara). Pada masa lalu, istilah “koh ngomong”
merupakan ekspresi pengendalian diri yang mencerminkan tipikal kepribadian
orang Bali yang cenderung menghindari penonjolan diri atau pantang mencari
popularitas melalui wacana yang bersifat retorika belaka.
Sejak masa kekuasaan Rezim Orde Baru istilah tersebut mengalami
pergeseran makna, yakni menjadi bentuk protes atau perlawanan oleh kelompok
tertindas terhadap hegemoni rezim penguasa. Bagi masyarakat Bali “koh ngomong”
dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan sebagai pilihan yang
cukup rasional. Kekuasaan Rezim Orde Baru yang kerap menggunakan
“pendekatan keamanan” tidaklah mungkin dihadapi dengan gerakan perlawanan
yang bersifat nyata. Penculikan sejumlah tokoh politik, mahasiswa, aktivis LSM,
pembredelan surat kabar, dan pembunuhan wartawan yang kerap mengkritisi
kebijakan Orde Baru merupakan bukti betapa represifnya kekuasaan Orde Baru.
Pergantian kekuasaan Orde Baru ke Orde Reformasi membawa harapan
perubahan terhadap sistem politik di negeri ini. Hembusan “angin kebebasan” dan
transparasi mengakibatkan wacana “koh ngomong” didekonstruksi menjadi “eda
koh ngomong” (jangan enggan bicara). Bahkan sebuah stasiun televisi swasta di
Bali secara berkala menayangkan program acara berjudul “Eda Koh Ngomong”
untuk mengakomodasi pikiran-pikiran kritis dari berbagai pihak.
Kata Kunci : “koh ngomong”, wacana, hegemoni, Orde Baru, Orde Reformasi.
1. PENDAHULUAN
Tulisan ini mencoba mengungkap makna istilah “koh ngomong”, sebuah
istilah yang terdapat dalam kosa kata Bahasa Bali. Secara referensial makna istilah
“koh ngomong” menunjuk pada sikap enggan bicara (koh = enggan, ngomong =
bicara). Istilah “koh ngomong” kiranya cukup menarik untuk dikaji mengingat pada
era kekuasaan rezim Orde Baru istilah tersebut menjadi wacana yang sangat populer
di kalangan Orang Bali yang merupakan komunitas penutur bahasa Bali. Istilah
tersebut tidak saja dijumpai dalam bentuk bahasa tutur sehari-hari, tetapi juga dalam
bentuk tulisan seperti yang kerap disaksikan pada stiker yang ditempelkan pada
kendaraan bermotor, baju kaos, tembok, atau media lainnya.
Dalam tulisan ini istilah “koh ngomong” difahami sebagai wacana dalam
pengertian sosiologis seperti yang dikemukakan oleh Sara Mills (1997), bahwa
wacana dalam lapangan sosiologis menunjuk terutama pada hubungan antara
konteks sosial dan pemakaian bahasa. Sementara dalam analisis wacana kritis,
wacana di sini tidak difahami semata sebagai studi bahasa. Meskipun pada akhirnya
analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks dan analisis, tetapi
bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian
linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukanlah semata-mata menggambarkan
aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks di sini
berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya
praktik kekuasaan (Eryanto, 2003 : 7). Sebagaimana pula Foucault berpandangan
bahwa wacana merupakan kendaraan bagi penindasan dan pembebasan, membawa
dan mentransaksikan kekuasaan. Wacana mengkonstruksi dunia sedemikian rupa
sehingga mengakibatkan dihukumnya pihak yang dianggap “penyimpang” (Agger
: 127-128).
karena kekerasan, tetapi secara halus dan diterima sebagai suatu kebenaran
(Eriyanto, 2003 : 14).
“Antara tahun 1885 dan 1910, penduduk wilayah yang di kemudian hari
akan menjadi Indonesia, mulai mengenal kebrutalan Imperialisme Belanda.
Gelombang kekerasan menyapu Kepulauan Nusantara, menggembar-
gemborkan pembangunan sebuah negara jajahan baru, dengan persediaan
artileri modern yang tidak terpermanai, yang dapat mereka gunakan. Dalam
bahan-bahan pustaka kolonial, awal abad ke-20 sebaiknya disebut periode
Politik Etis dengan tema yang dominan bukanlah eksploitasi orang pribumi
melainkan peningkatan moral dan materi mereka. Sedikit sekali perhatian
dicurahkan pada hukuman-hukuman berat yang telah diberikan kepada
penduduk-penduduk lokal dengan maksud mendisiplinkan mereka menjadi
orang pribumi yang patuh. Ekspedisi-ekspedisi militer diadakan di Aceh,
Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Borneo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Seram, Flores, Timor, Lombok, Bali dan kemudian kembali ke
Aceh” (Nordholt, 2002 : 5-7).
Hal yang senada juga dinyatakan oleh Anderson (1983), bahwa dalam
perspektif perbandingan sejarah, terdapat kemiripan antara kekerasan negara di
bawah rezim represif Orde Baru dengan kekerasan negara di bawah rezim
kolonialisme. Digarisbawahi pula bahwa betapa pola-pola kekerasan negara yang
dipraktikkan oleh rezim otoritarian Orde Baru di bawah Soeharto, langsung maupun
tidak merupakan pengulangan atau imitasi dari praktik-praktik kolonial.
jaringan mulai dari tingkat elite hingga ke akar rumput, baik dalam bentuk institusi
formal maupun informal. Orde Baru dan militer tidak hanya menggunakan
kekerasan brutal untuk menumpas gerakan sparatis yang ingin merdeka seperti
Aceh, Papua, Maluku, dan Tiimtim, tetapi juga melakukan tekanan terhadap
berbagai bentuk gerakan protes, demonstrasi, dan lain-lain dengan cara mengkreasi
kekerasan secara terbuka maupun terselubung, memanipulasi kebijakan stabilitas
dan keamanan, serta menyebarluaskan rasa ketakutan (Barsowi dan Sukidin, 2003
: 194).
Salah satu ciri penting karakter politik Orde Baru adalah krisis partisipasi
politik, yaitu suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anggapan bahwa berbagai
tuntutan dan tingkah laku politik masyarakat yang ingin berperan serta dalam proses
politik pemerintah dianggap tidak sah dan ilegal (Fatah, 1994 : 9). Dalam bidang
kebijakan ekonomi misalnya, sistem ekonomi Orde Baru dibangun melalui sistem
politik birokrasi otoriter yang sangat kuat, yang ditandai oleh konsentrasi kekuasan
nirpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bahkan hampir seluruh keputusan
berada di tangan penguasa tripartit, yakni militer, birokrat, dan pengusaha
oligopolik (Nasikun, 2000 : 231-252).
(a) “Liyunan krebek kuangan ujan” (lebih banyak gemuruh daripada hujan).
Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang hanya suka berbicara
daripada bekerja;
(b) “Munyi dogen, naging tusing ada apa de” (ngomong saja, tetapi tidak
ada apa-apanya). Di dalam bahasa Indonesia ungkapan ini kiranya dapat
sisetarakan maknanya dengan ungkapan “tong kosong nyaring
bunyinya”;
(c) “Bungut sebatah” (mulut sebatah). Ungkapan ini ditujukan kepada
orang yang pandai “bersilat lidah” namun tidak mendatangkan manfaat
apa-apa.
Jika pada masa lalu istilah “koh ngomong” lebih dimaknai sebagai ekspresi
pengendalian diri, namun sejak masa kekuasaan rezim Orde Baru istilah tersebut
mengalami pergeseran makna, yakni semacam bentuk protes atau perlawanan yang
dilakukan oleh kelompok tertindas (rakyat) terhadap hegemoni kekuasaan. Seperti
dikemukakan oleh Derrida, bahwa makna bersifat tidak stabil dan terus-menerus
terpeleset (lihat Barker, 2004 : 77; Agger : 116)
Meskipun era kekuasaan Orde Baru telah berlalu, namun kini era reformasi
yang konon mengedepankan wacana keterbukaan dan kebebasan, dan Hak-hak
Azasi Manusia (HAM), ternyata tidak luput dari praktik pendekatan keamanan.
Kasus meninggalnya tokoh aktivis HAM, Munir, yang kontroversial, merupakan
salah satu indikasi ke arah itu.
Tidak jauh berbeda maknanya dengan sikap “koh ngomong” yang dijumpai
di kalangan masyarakat Bali. Tokoh politik Megawati Soekarnoputri juga
melancarkan Perlawanan tanpa kekerasan terhadap penindasan rezim Orde Baru
dengan cara lebih banyak memilih diam. Oleh para simpatisannya kerap dimaknai
sebagaimana ungkapan “diam adalah emas”. Sementara para pengamat dan pakar
politik berpendapat bahwa sikap diam tersebut telah memposisikan Megawati
sebagai figur yang teraniaya dan tidak berdaya. Simpati rakyat pun mengalir deras
kepadanya, sehingga pada gilirannya mengantarkannya ke tampuk pimpinan,
menggeser kekuasaan rezim Orde Baru.
4. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinyya.
(Nurhadi, penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Anderson, B. 1983. Old State, New Society : Indonesia’s New Order in
Comperative Historical Perspective. Dalam Journal of Asian Studies tahun
ke-42 No.43.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (Penerjemah : Nurhadi).
Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana.
Basrowi dan Sukidin. 2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif.
Surabaya : Insan Cendikia.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. (Pepep
Sudradjat, penerjemah). Jakarta : LP3ES.
Cott, James C. 1990. Domination and the Arts of Resistance. Hinden Transcripts,
New Haven and London : Yale University Press.
Danandjaja, James. 1995. Humor Mahasiswa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Danandjaja, James. 1998. “Integrasi Bangsa Kasus Bali Trunyan”. Dalam Wacana
Antropologi Media Komunikasi Antarpeminat dan Profesi Antropologi.
November-Desember 1998, N0.3 Tahun II, halaman : 9-11.
Fairlough, Norman. 2003. Language and Power Relasi Bahasa, Kekuasaan dan
Ideologi. (Alih bahasa : Indah Rohmani-Komunitas Ambarawa). Gresik dan
Malang : Boyan Publishing.
Fatah, R. Eep Saefullah. 1994. “Unjuk Rasa, Gerakan Massa, dan Demokratisasi :
Potret Pergeserasn Politik Orde Baru”. Dalam Prisma No. 4. Tahun 1994.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http://kbbi.web.id/ diakses 10 April
2016.
Kleden, Ignas. 2004. Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan. Magelang :
Penerbit Yayasan Indonesiatera.
Nasikun. 200o. “Reformasi Politik, Demokrasi, dan Integrasi, Nasional”. Dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 3 No.3, Maret 2000, halaman
231-252.
Nordholt, Henk Shulte. 2002. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam
Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Poloma, Margaret M. 1979. Contemporary Sociological Theory. New York :
MacMillan Publishing, Co.
Pujaastawa, I.B.G. 2002a. “Jembatan Jawa-Bali, Bercermin pada Kisah Titi
Situbanda”. Dalam Bali Post. Rabu 10 April 2002.
Pujaastawa, I.B.G. 2002b. “Fenomena Sabung Ayam di Bali : Antara Judi dan
Ritual”. Dalam Lontar Majalah Dokumentasi Budaya Bali No.20/ Tahun
VI/Triwulan I/2002.
Santoso, Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta : Penerbit Ghalia
Indonesia.
Windhu, I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
Yogyakarta : Kanisius.
YATBAWISYATI
IKAN YANG RELA MATI DI KOLAM TANPA AIR
Oleh
Dr. Drs. Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada, M.Hum.
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
idabagusjelantik@yahoo.com
Abstrak
1.1 Pendahuluan
Tradisi Kidung Tantri di Indonesia diidentikkan dengan kisah-kisah dongeng
binatang atau fabel yang mengisahkan kehidupan hewan berperilaku menyerupai
kehidupan manusia. Tradisi Pancatantra yang merupakan tradisi kesusastraan lisan
India itu, telah diadaptasi ke dalam dalam bentuk Tradisi Tantri di Indonesia dalam
kurun waktu cukup lama. Tantri Kāmandaka (TK) di Jawa ditulis dalam bahasa
Jawa Kuna pada masa yang lalu. Teks TK sudah ditransliterasi dan disadur oleh
Hooykaas ke dalam Bahasa Belanda (1931). Hasil transliterasi dan terjemahan
Hooykaas terjemahan Hooykaas tersebut dijadikan dasar untuk menerbitkan
“Tantri Kāmandaka: Naskah dan Terjemahan oleh Mardiwarsito (1983).
Sebelumnya, hasil saduran tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Kamajaya (1982).
Keberadaan Kidung Tantri di Indonesia, awalnya dikemukakan oleh Van
Bloement (1859), seorang asisten-residen Belanda pertama di Karesidenan
Buleleng. Bloement (1859: 150—154), membuat daftar karya sastra yang
disebutnya menggunakan medium bahasa Kawi. Di dalamnya, antara lain
menyebut adanya sebuah karya sastra yang berjudul “Tantri Kamendaka” sebagai
cerita Pancatantra tetapi mirip Kisah 1001 Malam. Selanjutnya, secara kronologis
penelitian Kidung Tantri dilakukan oleh Van der Tuuk (1881 dan 1898), Juynboll
(1907), Brandes (1915), Hooykaas (1929 dan 1931), Artola (1957), Pigeaud (1967),
Venkatasubbiah (1966 dan 1965), Zoetmulder (1983 dan 1995), Klokke (1993),
Penelitian terhadap naskah dan teks Kidung Tantri, selanjutnya cukup banyak
dilakukan. Penelitian lepas dalam bentuk artikel dan penelitian serius dalam bentuk
penelitian ilmiah untuk memperoleh gelar Strata 1, Strata 2, baik Post Doktor di
dalam maupun luar negeri. I Nyoman Suarka dalam penelitiannya menghasilkan
disertasi dengan judul “Kidung Tantri Pisacaharana: Suntingan Teks, Terjemahan,
dan Pendekatan Semiotik” untuk gelar doktor di Universitas Gadjah Mada (2007),
dan Revo Arka Giri Soekatno (2009) menulis disertasi berjudul “Kidung Tantri
Kediri: Kajian Filologis Sebuah Naskah Jawa Kuna Pertengahan” untuk gelar
doktor di Universitas Leiden Belanda yang kemudian diterbitkan dengan judul
“Kidung Tantri Kediri: Kajian Filologis Sebuah Teks dalam Bahasa Jawa” (2013).
Tradisi Kidung Tantri di Indonesia memang melahirkan naskah dan teks yang
kompleks sehingga memerlukan penelitian dari berbagai sudut pandang untuk
mengungkap keseluruhan lapisan maknanya. Di Bali naskah dan teks Kidung Tantri
dengan sebutan Tantri Kamandaka, Tantri Manduka Harana, dan Tantri Pisaca
Harana. Ketiganya disebut sebagai Tri Tantri (Agastia, 2007).
Kidung Tantri Manduka Harana, oleh peneliti dan masyarakat Bali dengan
sebutan Kidung Tantri Kediri, Kidung Ni Diah Tantri atau Kidung Tantri saja.
Kidung Ni Diah Tantri (KNDT) sangat populer di kalangan masyarakat Bali. Pada
saat upacara agama Hindu, baik upacara manusa yadnya, dewa yadnya, rsi yadnya
maupun piodalan di pura dan sanggah (merajan) cuplikan bait-bait KNDT
senantiasa dilantunkan. Kecintaan masyarakat Bali terhadap KNDT bahkan
melahirkan tradisi nantri, yaitu membaca, memahami, dan dapat melantunkannya
dalam tradisi mabebasan.
KNDT sebagaimana diketahui ditulis oleh Ida Padanda Nyoman Pidada dan
adindanya Ida Padanda Ketut Pidada dari Griya Pidada Sidemen Karangasem pada
tahun 1650 Saka atau 1728 Masehi (Klokke, 1993: 46). Naskah saksi Tantri
Kāmandaka, KNDT, dan Tantri Pisaca Harana secara fisikal merupakan versi
tersendiri yang menggunakan Tradisi Pancatantra sebagai hipogram.
Salah satu episode yang diceritakan dalam teks Tantri Kāmandaka dan KNDT
mengisahkan kehidupan tiga ekor ikan bersaudara. Ketiga ikan itu hidup di sebuah
kolam indah berhias bunga teratai warna-warni. Keindahannya disetarakan dengan
kusumabhawana (dunia bunga), istana dewa asmara Hyang Manobawa. Cerita
berkait atau hikayat berhikayat itu, menceritakan tiga ekor ikan bersaudara berbeda
kemampuan pikirnya. Ikan pertama bernama Anangawiduta atau ‘yang
mementingkan kejadian yang akan datang’. Ikan kedua bernama Pradyumnati atau
‘yang selalu sadar, cerdas, dan tangkas’. Ikan ketiga yang bernama Yatbawisyati
adalah ikan yang rela mati mati di kolam tempat tinggalnya tanpa air.
Fenomena kesetiannya mati di tanah kelahiran dan tempatnya hidup
sepanjang hayat itu merupakan intensi pengarang yang menarik untuk diamati. Oleh
karena itu, karya tulis kecil ini difokuskan untuk mengeksplanasi wacana tersebut
sesuai keberadaannya.
(Tuhan Yang Mahaesa) akan aku ikuti dan laksanakan. Silakan bila kalian ingin
pergi dari sini! Biarkan aku mati di tempat suci yang telah memberikan kenikmatan
tiada batas!” Demikian Yatbawisyati menimpali perkataan kedua kakaknya.
Setelah perdebatan sengit itu, Ananggawiduta benar-benar pergi menyusuri
arus air mengalir. Ia berharap, pada suatu hari akan tiba di tengah laut luas yang
akan memberikan kenikmatan kehidupan tiada batas dan abadi. Tinggallah
Pradyumnati dan Yatbawisyati berberdua di kolam itu tanpa bertegur sapa. Mereka
sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Pada suatu hari, datanglah sekelompok nelayan membuat onar di tepi kolam
itu. Mereka merasa sangat beruntung mendapatkan ikan yang banyak di dalam
kolam yang sudah dangkal. Tanpa bersusah payah dijaringnya ikan-ikan yang ada
lalu dimasukkan ke dungki (tempat penyimpanan ikan yang diselipkan di
pinggang), sebagian disuluh (dirangkai dengan tali).
Pradyumnati pura-pura mati, lalu dimasukkan ke dalam dungki. Tetapi
Yatbawisyati ketika ditangkap oleh salah satu nelayan berusaha keras melepaskan
diri, memberontak sedapat mungkin sehingga dipukul sampai mati. Yatbawisyati
mati demi keyakinannya untuk tetap tinggal di kolam yang sudah pasti akan
menjadi kering itu.
Tiba di rumah, para nelayan riang gembira karena mendapat tangkapan ikan
yang banyak hari ini. Mereka bergegas ke tepi sungai besar di belakang rumah
untuk membersihkan ikan hasil tangkapannya. Pradyumnati, ikan yang pura-pura
mati itu segera melompat ke sungai besar saat hendak dibersihkan. “Ini kesempatan
emas bagiku untuk hidup terus menuju laut luas memperoleh kehidupan abadi”
Begitu pikirnya. Pradyumnati, ikan kedua akhirnya dengan cepat akhirnya tiba di
laut untuk menjalani hidup abadi. Sementara Ananggawiduta masih berjuang
melewati lika-liku arus air menuju laut lepas. Adapun Yatbawisyati telah mati demi
keyakinannya.
persoalan objektivitas teks yang disajikan pengarang. Dalam praktek ini, terjadi
praktek penafsiran kembali dan penataan kembali peran pengarang, pembaca, dan
teks itu sendiri dalam proses penciptaan karya sastra. Apabila pada masa yang lalu
teks sastra dipandang sebagai suatu produk pengarangnya semata, dan oleh
karenanya menjadi “harta milik” pengarangnya sendiri, maka pendekatan kritis
“kekuatan pembaca” akan menolak pengarang sebagai “penjaga makna” sebuah
teks sastra. Pendek kata sebuah teks sastra bebas dari “tirani pengarang” (Belsey,
1994 dalam Allen, 2004: 1).
Pada kenyataannya intensi pengarang terhadap suatu objek merupakan
niatnya mengarang. Pada sisi ini, kritikus seringkali mengalami kesulitan untuk
memahaminya karena pengarang sejak awal merencanakan intensional yang keliru
(the intentional fallacy) Beardsley (1986: 108—115).
Intensi pengarang pada teks KNDT mengenai ikan bungsu Yatbawisyati sejak
awal memang direncanakan sebagai tokoh yang berpandangan sempit, hipokrit.
Pertama, pengarang menempatkannya sebagai saudara bungsu dari tiga bersaudara.
Kedua, tentu saja karena pengarang “dengan sengaja” menciptakannya sebagai
tokoh yang tidak mau mengerti keadaan, walaupun telah diyakinkan oleh kedua
saudaranya. Ketiga, Yatbawisyati diciptakan sebagi tokoh yang acuh tak acuh
menghadapi maut yang sudah pasti akan datang.
Namun demikian, mengapa Yatbawisyati mempertahankan pandangannya
terhadap mempertahankan pandangannya terhadap situasi yang terjadi? Pengarang
KNDT dalam hal ini dengan sengaja mengaduk-aduk nalar pembaca. Pada satu sisi,
pengarang KNDT mengemukakan alasan Yatbawisyati tetap tinggal di kolam yang
semakin hari semakin mengering dengan alasan yang menyentuh aspek rasa setia.
Di mana rasa setia itu merupakan sesuatu yang penting dalam mempertahankan jati
diri. Apalagi ditambahkan dengan menyebutkan bahwa kolam tempat ketiga ekor
ikan bersaudara itu hidup merupakan tempat suci bagi Yatbawisyati. Di samping
itu, kebenaran tak terbantahkan dikemukakan oleh Yatbawisyati bahwa hakikat
manusia hidup adalah kematian. Sudah jamaknya kematian pasti akan datang cepat
atau lambat, oleh karena itu mengapa harus lari dari kenyataan akan mengalami
1.5 Penutup
Gayut dengan rangkaian uraian terdahulu, maka tampaklah teks KNDT
menampilkan rangkaian teks yang memiliki kompleksitas makna yang rumit.
Meskipun berbagai analisis telah dilakukan oleh pakar kritik sastra terdahulu, masih
banyak kemungkinan untuk menggali maknanya lebih lanjut.
Ancangan pengarang KNDT sebagai cerita berbingkai memberikan
kemungkinan pembaca memahami teksnya sepotong demi sepotong dalam episode-
episode tertentu. Salah satu episode yang menarik untuk dikaji ialah kisah “Tiga
Ekor Ikan yang Berbeda-Beda” yang menceritakan kehidupan tiga ekor ikan
bersaudara menghadapi musim kemarau. Ikan pertama bernama Ananggawiduta
atau ‘yang mementingkan kejadian yang akan datang’. Ikan kedua bernama
Pradyumnati atau ‘yang selalu sadar, cerdas, dan tangkas’. Keduanya, diceritakan
berhasil meninggalkan kolam tempat tinggalnya yang telah mengering dengan
caranya masing-masing. Terakhir, ikan ketiga yang bernama Yatbawisyati rela mati
di kolam tanpa air setelah dibunuh oleh nelayan.
Yatbawisyati tampaknya merupakan intensi keliru yang sengaja disodorkan
pengarang kepada pembaca. Intensional yang salah itu, berkaitan dengan kisah
selanjutnya dalam KNDT yang menceritakan kisah Sri Maharaja Aridarma yang
mengetahui bahasa binatang tetapi tidak mau memberitahukan kepada
permaisurinya Ratu Dewi Mayawati. Namun sebagai teks yang berdiri sendiri,
kesuluruhan rangkaian maknanya memperlihatkan bahwa intensi pengarang
terhadap tokoh Yatbawisyati bertentangan dengan doktrin susatya dalam agama
Hindu yang bersifat universal.
Di dalam hal ini, makna utuh dari episode kisah “Tiga Ekor Ikan yang
Berbeda-Beda” itu mengintroduksi pembaca agar ketiga sifat ikan bersaudara itu
harus dimiliki oleh manusia. Sifat tersebut ialah visioner dan mempertimbangkan
kebijaksanaan dengan akal pikiran seperti melekat pada sifat Ananggawiduta ‘yang
mementingkan kejadian yang akan datang’. Sifat berikutnya, ialah ‘selalu sadar,
cerdas, dan tangkas’ seperti melekat pada sifat ikan kedua bernama Pradyumnati.
Terakhir, sifat setia pada tanah air dalam keadaan apapun, meskipun harus mati
untuk menjaganya juga harus dimiki oleh setiap orang seperti tampak pada ikan
bungsu Yatbawisyati. Oleh karena itu, ketiga sifat tersebut harus dimiliki oleh setiap
orang. Namun dalam situasi tertentu, salah satu sifat tersebut dapat diabaikan demi
kelangsungan hidup yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Pamela. 2004. Membaca dan Membaca Lagi: Reinterpretasi Fiksi Indonesia
1980—1995 (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Bakdi
Soemanto). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Klokke, Marijke J. 1993. The Tantri Relief on Ancient Javanese dalam VKI 153.
Dordrecht/Cinnaminson: Foris.
Revo Arka Giri Sukatno. 2023. Kidung Tantri: Kajian Filologsis Sebuah Teks
dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
bekerjasama dengan École Française d’Extrême-Orient dan KITLV
Jakarta.
Oleh
Dr. Drs. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum
FSB Unud
Abstrak
Jiwa Dana, secara harfiah berarti harta hidup atau sebagai kata majemuk
dalam ungkapan bahasa Bali mengandung makna harta untuk memelihara hidup.
Dalam tradisi masyarakat Bali Jiwa Dana mendapat apresiasi yang tinggi sebagai
salah satu jenis tuturan atau wacana penting. Betapa tidak? Wacana yang
mengambil perhatian khusus untuk kalangan masyarakat Bali, di mana salah satu
anggota keluarganya yang baru masuk dari keluarga lain (pihak istri) dalam tradisi
perkawinan adat masyarakat Bali membawa harta kekayaan yang disebut Jiwa
Dana. Bekal sang istri yang diberikan oleh orang tuanya itu untuk memelihara
hidupnya berumah tangga dengan pihak keluarga suami.
Jiwa Dana memelihara kehidupan pihak mempelai istri biasanya berupa
tanah, baik tanah sawah atau ladang produktif. Sampai pemahaman ini timbul
pertanyaan, kenapa yang membawa Jiwa Dana dari pihak istri, tidak dari pihak
suami? Dalam bingkai kelaziman adat pernikahan Bali yang mana Jiwa Dana itu
dibawa ?Bagaimana halnya kalau dari pihak suami? Bagaimana kalau Jiwa Dana
tidak berupa tanah sawah atau ladang produktif, apakah ia tetap disebut Jiwa Dana?
Atau pada zaman modern ini mungkinkah Jiwa Dana itu berupa deposito bank,
saham, perusahaan, pendidikan, atau harta (dana) lainnya bersifat produktif yang
dapat menjamin pemeliharaan hidup (jiwa)?
Pertanyaan atau permasalahan itulah yang dapat mengungkap keberadaan
(bentuk) wacana Jiwa Dana. Keberadaan atau bentuk-bentuk Jiwa Dana dalam
penelitian ini dianalisis secara fungsional dengan Teori Fungsi, dimaknai secara
Teori Semiotik, dan Teori Reseptif. Jenis penelitian ini bersifat kualitatif, data
materi penelitian berupa teks tulis bahasa Bali, dan teks lisan yang diperoleh dari
hasil wawancara mendalam dengan nara sumber di wilayah Kabupaten Klungkung
dan Gianyar Teks material tersaji dalam : bentuk wacana Jiwa Dana, fungsi wacana
Jiwa Dana, dan makna Jiwa Dana dalam adat perkawinan masyarakat Bali yang
menjamin pemeliharaan hidup, sehingga tercapai tingkat kehidupan rumah tangga
berkualitas lahir dan batin.
Kata kunci: wacana, Jiwa Dana, adat perkawinan, memelihara kualitas hidup, dan
lahir-batin.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Adat perkawinan dalam masyarakat Bali bukan saja dimaknai secara sakral,
melibatkan batas-batas keyakinan dari aspek keagamaan Hindu yang dianut, tetapi
juga memiliki makna penting bertalian dengan usaha bagaimana keberlangsungan
hidup itu dapat terjamin secara lahiriah.
Perkawinan adat di Bali membawa dampak sosial budaya yang besar bagi
dua keluarga mempelai suami dan istri. Prosesi perkawinan menjadi penting,
karena menjadi sarana komunikasi yang dapat menerjemahkan hal-hal sebelumnya
yang tidak diketahui oleh kedua keluarga besar mempelai. Dalam konteks ini
perkawinan dimaknai sebagai jembatan emas yang menghubungkan, menyatukan,
dan mempersaudarakan dua keluarga besar.
Hubungan persaudaraan yang dibangun, diharapkan memberikan dampak
positif, terutama kepada kedua mempelai dalam menjalani rumah tangga yang
baru. Ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan dan sejenisnya ini
menjadi dambaan dan isi doa dari kedua orang tua mempelai terhadap putra
putrinya ketika mengawali kehidupan berumah tangga.
Harapan dan doa memohonkan mempelai agar hidup damai dan sejahtera
memang selalu klasik dalam memori masyarakat, begitu upacara perkawinan itu
dilangsungkan. Akan tetapi kenyataan bisa saja berkata lain. Tidak jarang
perkawinan yang semula diangankan menjadi bunga-bunga kehidupan, akan tetapi
kenyataan berkata lain; keluarga kedua mempelai harus kandas karena jaminan
hidup tidak berpihak kepadanya. Masalah kekokohan ekonomi keluarga kedua
mempelai sering menjadi latar belakang cita-cita perkawinan itu tidak sampai,
kandas di tengah-tengah perjalanan.
Mencermati dan memperhatikan masalah ini, maka pihak keluarga, dalam
hal ini pihak mempelai istri yang memiliki harta lebih, sebelum pernikahan
dilangsungkan sudah mengambil sikap. Mereka tahu dan sadar, sang suami jodoh
putri kesayangannya berasal atau berada dalam keadaan kurang mampu, atau
memang mereka ingin menjamin kesejahteraan putrinya tanpa harus melihat
keberadaan ekonomi suami putrinya. Karena itu orang tua dari mempelai istri
memberikan sebagaian harta bendanya, dalam adat Bali biasanya berupa tanah
untuk menjamin kehidupan putrinya berumah tangga. Bekal harta pemberian orang
tua pihak istri kepada putrinya ini dalam tradisi Bali disebut jiwa dana.
Jiwa Dana memelihara kehidupan pihak mempelai istri biasanya berupa
tanah, baik tanah sawah atau ladang produktif. Sampai pemahaman ini timbul
pertanyaan, kenapa yang membawa Jiwa Dana dari pihak istri, tidak dari pihak
suami? Dalam bingkai kelaziman adat perkawinan Bali yang mana Jiwa Dana itu
dibawa? Bagaimana kalau Jiwa Dana tidak berupa tanah sawah atau ladang
produktif, apakah ia tetap disebut Jiwa Dana? Atau pada zaman modern ini
mungkinkah Jiwa Dana itu berupa deposito bank, saham, perusahaan, pendidikan,
atau harta (dana) lainnya bersifat produktif yang dapat menjamin pemeliharaan
hidup (jiwa)? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dicarika jawabanya pada bagian
analisis.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dibahas penelitian
ini, yaitu: bagaimana prosesi adat perkawinan masyarakat Bali, dan bagaimana
bentuk, fungsi, dan makna Wacana Jiwa Dana dalam adat perkawinan masyarakat
Bali.
1.3. Metode
Pertanyaan-pertanyaan yang disajikan pada masalah di atas menunjukkan
urutan bagian-bagian penelitian “Wacana Jiwa Dana dalam Adat Perkawinan
Masyarakat Bali Memelihara Kualitas Hidup Rumah Tangga Lahir-Batin “. Topik
Jiwa Dana dalam penelitian ini dianalisis secara fungsional dengan teori fungsi,
dimaknai secara teori semiotik, dan teori reseptif. Jenis penelitian ini bersifat
kualitatif, data materi penelitian berupa teks tulis bahasa Bali, dan teks lisan yang
diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan nara sumber di wilayah
Kabupaten Klungkung dan Gianyar. Teks material tersaji dalam :prosesi adat
perkawinan masyarakat Bali, fungsi wacana Jiwa Dana, dan makna Jiwa Dana
dalam adat perkawinan masyarakat Bali yang menjamin pemeliharaan hidup,
sehingga tercapai tingkat kehidupan rumah tangga berkualitas lahir dan batin.
2. PEMBAHASAN
2.1. Prosesi Adat Perkawinan dalam Masyarakat Bali
Perkawinan adalah pertemuan seorang laki-laki dan perempuan untuk
mengikat hubungan sebagai suami dan istri yang kelak membina sebuah keluarga.
Upacara perkawinan merupakan upacara pesaksian kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, kepada masyarakat atau keluarga, bahwa kedua orang tersebut
mengikat diri menjadi suami istri. Selain itu upacara perkawinan merupakan
penyucian terhadap Kamajaya (sperma) dan Kamaratih (ovum) agar kedua bibit
tersebut bebas dari pengaruh-pengaruh buruk dan apabila terjadi pertemuan akan
tercipta manik (janin) yang suci dan dijiwai oleh roh yang suci pula sehingga
nantinya akan melahirkan putra yang suputra yaitu anak yang berbudi luhur.
Undang-Undang R.I. No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan
kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir
bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non
material.Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan
papan/ perumahan (yang semuanya disebut artha). Unsur non material adalah rasa
kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih
sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga
diri keluarga, dan eksistensi sosial di dalam masyarakat (yang semuanya disebut
Kama).
Ada 6 tahapan prosesi adat perkawinan (pernikahan) Bali, yaitu upacara
ngekeb, upacara mungkah lawang, upacara masegehan agung, upacara madengen-
dengenan (makala-kalahan, upacara mawidhi widana, dan upacara maejauman
Ngaba Tipat(Ma tipat ) Bantal).
2.1.1. Upacara Ngekeb
Prosesi upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon mempelai wanita
dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Dimulai dari
memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa. menurunkan kebahagiaan
kepada calon pasangan dan diberikan keturunan yang baik. Prosesi ngekeb
dilaksanak pada sore hari, dimana calon mempelai wanita dilulur rempah yang
terbuat dari daun merak, kunyit (kunir), bunga kenanga, dan beras yang telah
dihaluskan. Rambutnya pun harus dikeramas dengan air merang (jerami padi yang
diolah dan diambil sarinya). Setelah prosesi mandi, upacara dilanjutkan di dalam
kamar pengantin. Sebelumnya di kamar calon mempelai wanita telah disiapkan
sesaji. Calon pengantin wanita yang sudah dimasukkan ke dalam kamar biasanya
tidak diperbolehkan keluar kamar sampai calon suaminya datang menjemput.
Pada upacara penjemputan, seluruh tubuh calon mempelai wanita ditutup
dengan kain kuning tipis. Upacara ini melambangkan calon wanita siap menempuh
hidup bersama pasangan baru dan mengubur masa lalu sebagai remaja.
2.1.2. Mungkah Lawang
Mungkah lawang atau yang berarti membuka pintu, adalah prosesi upacara
perkawinan adat Bali bertujuan untuk menjemput mempelai wanita yang berada di
kamar. Dalam upacara ini, utusan pria akan mengetuk pintu kamar calon mempelai
wanita sebanyak tiga kali dengan iringan musik khas Bali (Semarapagulingan) dan
tembang Bali Kidung Amalat Rasmii. Nyanyian berisikan ungkapan hati mempelai
laki telah datang dan memohon agar dibukakan pintu.Tembang yang dilatunkan
pihak laki dijawab oleh pihak perempuan.
2.1.3. Mesegehan Agung
Upacara ini dilakukan pada saat kedua calon pengantin berada di
pekarangan rumah pengantin pria. Upacara Mesegeh Agung bermakna sebagai
upacara selamat datang kepada calon mempelai wanita. Kedua mempelai dibawa
atau ditandu ke kamar pengantin. Sesampainya di kamar pengantin, ibu dari
mempelai pria akan memasuki kamar dan meminta kepada pengantin wanita agar
kain kuning yang menutupi tubuhnya dibuka dan ditukarkan dengan uang kepeng
satakan yang ditusukkan dengan tali benang Bali.
2.1.4. Madengen-dengenan
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau menyucikan kedua
pengantin dari energi negatif dalam diri kedua calon mempelai. Upacara biasanya
dipimpin oleh seorang Wiku Pedanda atau Sulinggih yang telah biasa memimpin
upacara adat pernikahan Bali. .
pemeliharaan hidup (jiwa). Kedudukan Jiwa Dana sebagai tata istilah hukum,
telah mempunyai batasan arti yang pasti.
Sebagai dimaklumi, umat Hindu di Bali, hukum kekeluargaannya menganut
sistem Garis Kepurusan. Juga lazim disebut garis kebapaan atau patrilineal. Sistem
ini, bukanlah suatu sistem yang bernilai kemasyarakatan duniawi semata,
melainkan, bernilai sakala-niskala, religi dan sosial. Hukum Kapurusan ini pada
dasarnya adalah perwujudan atau pengejawantahan dari salah satu prinsip ajaran
agama Hindu di Bali, yaitu perinsip Pitra Puja atau pemujaan leluhur.
Ajaran Pitra Puja di samping terdapat dalam hukum adat Bali, juga
diwujudkan dengan disiwinya (dipelihara, dijunjung, dan dipuja bersama) suatu
Pura Kawitan oleh sekelompok orang (besar atau kecil). Di Pura Kawitanlah
diistanakan (didudukkan) Bhatara Kawitan (arwah suci leluhur). Sedang kelompok-
penyiwi dari Pura tersebut seluruhnya mengakui selaku keturunan dari Bhatara
yang disiwi itu. Secara pasti mereka merupakan sekelompok Dadia, yaitu warga
atau klen.kawitan, leluhur.
Tiap-tiap orang tentunya berleluhur rangkap. Punya Bapak dan Ibu.
Bapakpun punya ayah dan bunda, begitu pula si ibu. Dengan demikian, bila
diperhatikan tampaklah bahwa leluhur seseorang itu berkelipatan dua pada setiap
tingkat ke atas. Tetapi dalam menetapkan leluhur/Bhatara Kawitan yang disiwi,
termasuk untuk menetapkan jenis warga, maka seseorang itu hanyalah melihat garis
bapak ke bapak secara terus-menerus ke atas, tanpa memperhitungkan garis ibu.
Inilah dasar, prinsip dari sistem Kapurusan atau garis kebapaan dimaksud.
Mencermati sistem garis kebapaan (Kapurusan) penulis menanyakan
kepada nara sumber (23 Maret 2016) di mana letak ibu disiwi setelah berstatus
sebagai roh suci leluhur? Apakah Ibu tak punya arti dalam sistem ini? Atas
pertanyaan ini, nara sumber menjawab dengan nada rendah hati, dinyatakan bahwa
Ibu telah termasuk. Kalau diselusuri orang melihat dengan gampang dan nyata,
Kawitan itu adalah garis lurus dari bapak ke bapak. Manakala dicermati pada setiap
bapak yang dinilai selaku patok hitung, sesungguhnya ibu atau istri masing-masing
telah inklusip dengan bapak yang bersangkutan. Saat upacara perkawinan
berlangsung mereka itu masing-masing telah menunggalkan pribadinya menjadi
pemberian untuk bekal seorang anak yang kawin ke luar serupa inilah bernama Jiwa
Dana, bebekelan (bekal pemberian orang tua) atau ketipatan (sangu ketupat
makan) namanya. Penyerahan Jiwa Dana biasa dilakukan pada saat dilangsungkan
urutan perkawinan Majauman, yaitu ketika penganten wanita diarak pulang ke
rumah asalnya, untuk pamitan dari Pamerajan dan pada orang tuanya. Bentuk dan
besar Jiwa Dana biasanya berwujud tanah (sawah atau tegal). Dalam sejarah Bali
ada dicatatkan, perkawinan putrinya I Gst. Panji Sakti dengan Raja Mengwi, Jiwa
Dana itu berwujud Suatu Daerah taklukan (Blangbangan). Bagaimana halnya
sekarang ini? Kemungkinan itu sudah pasti bisa saja bentuknya tidak berupa tanah.
Bisa saja mungkin saja berwujud Tabanas, Taska, Deposito, Saham dan sebagainya
atau mungkin pula satu perusahaan (P.T, atau C.V. selengkapnya). Melalui wacana
budaya Bali ini orang tua telah melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai cita-
citanya melahirkan putra yang berkecukupan, sehingga orang tua yang memberti
bekal Jiwa Dana, telah memberikan makna tersendiri terhadap mahligai
perkawinan yang dirintisnya dengan istrinya sehingga kelak anak-anaknya
menurunkan putra-putri yang suputra berkecukupan lahir batin, walaupun mereka
tidak berada dalam satu garis purusa dengan keluarga intinya. Inilah makna yang
tersurat dan tersirat dari bekal Jiwa-Dana, orang tua merasa tenang , karena hari
depan anaknya (yang takkan mendapat warisan) telah terjamin dengan harta itu.
Orang tua berasa tenang, terutama karena status Jiwa-Dana itu secara hukum.
Hubungan Jiwa Dana dengan harta gono-gini segala harta yang benar-benar
diperoleh secara sendiri-sendiri oleh si suami atau si istri, maka Jiwa Dana tetap
merupakan milik/kepunyaan si istri sendiri. Jiwa Dana bersama-sama dengan
Tetadtadan (hasil usaha si istri di masa gadis yang dibawa serta ke dalam
perkawinan), adalah merupakan milik-pribadi si istri, si suami tidak ikut
memilikinya.
Tetadtadan adalah harta yang diperoleh si istri atas usahanya sendiri. Ia
adalah milik yang dikuasainya secara sepenuhnya, baik secara moral maupun secara
material, termasuk secara hukum. Akan tetapi bila si istri menghendaki, terutama
setelah perkawinan menginjak usia lima tahun ke atas yang disebut
sebagai biawak, merupakan peri bahasa yang sangat memalukan, bila sampai
ditempelkan pada diri seseorang.
3. KESIMPULAN
Jiwa Dana, secara harfiah berarti harta hidup atau sebagai kata majemuk
dalam ungkapan bahasa Bali mengandung makna harta untuk memelihara hidup.
Dalam tradisi masyarakat Bali Jiwa Dana mendapat apresiasi yang tinggi sebagai
salah satu jenis tuturan atau wacana penting.
Wacana yang mengambil perhatian khusus untuk kalangan masyarakat Bali,
di mana salah satu anggota keluarganya yang baru masuk dari keluarga lain (pihak
istri) dalam tradisi perkawinan adat masyarakat Bali membawa harta kekayaan
yang disebut Jiwa Dana. Bekal sang istri yang diberikan oleh orang tuanya itu untuk
memelihara hidupnya berumah tangga dengan pihak keluarga suami.
Analisis terhadap wacana fungsi, dan makna Jiwa Dana dalam adat
perkawinan masyarakat Bali, menjamin pemeliharaan hidup mempelai istri di
dalam status rumah keluarga suami, sehingga istri beserta putra putrinya atau rumah
tangganya mencapai tingkat kehidupan yang berkualitas secara lahir dan batin.
DAFTAR PUSTAKA
Ketut Darmana
Program Studi Antropologi, FIB-Unud-Denpasar, Bali
Abstrak
Ritual ider bumi diselenggarakan setiap tahun sekali, yaitu hari ke-2 hari raya
Idul Fitri (Lebaran). Prosesi ritual ini dimulai dari jam 14.00 siang Wib dan
berakhir jam 16.00 Wib sore hari menjelang magrib. Kemudian dalam pelaksanaan
ritual ini meliputi 3 (tiga) tahap sebagai berikut: (1) pembukaan, (2) pelaksanaan,
dan (3) penutupan. Masing-masing tahapan daripada prosesi ritual ini polanya
sudah baku, dengan kata lain tidak boleh berubah baik mengenai waktu maupun
hari. Jika ritual itu tidak dapat terlaksana tepat pada waktu dan harinya maka
konsekuensi yang dihadapi oleh warga masyarakat Using Desa Kemiren adalah
pagebluk yang sangat dihindari dan ditakuti. Pagebluk ini sebagai suatu bentuk
kepercayaan yang sangat diyakini oleh warga masyarakat berupa bencana, seperti
gagal panen, sumber mati air mongering, konflik sosial dalam kehidupan keluarga
dan tetangga, bahkan menimbulkan wabah penyakit sehingga terjadi kematian
massal terhadap warga masyarakat.
Agar ritual tetap eksis di era globalisai maka ritual ini dikemas dalam bentuk
yang lebih meriah, semarak, menarik, dan melibatkan semua warga masyarakat
dengan menambah atraksi-atraksi kesenian yang lain. Sepanjang bentuk atraksi
kesenian itu tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dimaknai dalam ritual
ider bumi. Agar roh atau spirit ritual ini tetap terjaga aura kesakralannya dan
kesuciannya sebagai penolak bala (pagebluk) agar tidak tergerus dalam globalisasi.
Lebih-lebih ritual ider bumi dijadikan sebagai atraksi unggulan (ikon)
pengembangan pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Selain itu, sudah masuk dalam
warisan budaya dunia (word heritage cultural).
Dewasa ini prosesi ritual ider bumi tampak lebih kompleks karena
dikonstruksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tidak hanya bagi warga
masyarakat lokal (Kemiren) justru dari pihak masyarakat luar menghendaki
keberadaan ritus ini. Ritual ider bumi masih mencerminkan ciri-ciri kultur
kehidupan masyarakat dipandang eksotik. Oleh karena itu, ritus ider bumi sebagai
suatu bentuk ritualitas keagamaan sebagai warisan budaya dari nenek moyang
terdahulu, sebelum budaya Jawa pemeluk agama Islam masuk ke wilayah ini.
Pengaruh masuknya unsur-unsur budaya luar yang telah memengaruhi
sosiokultural kehidupan masyarakat Desa Kamiren yang tergolong subetnik Jawa
Using semua penduduk memeluk agama Islam. Fenomena yang menarik dari
persoalan ini bahwa masih tetap dilaksanakan penyelenggaraan ritual ider bumi
setiap tahun yang dirangkaikan dengan perayaan hari raya Idul fitri (Lebaran) bagi
umat Islam. Unsur-unsur nilai budaya yang bagaimana terkandung di balik ritual
ider bumi tersebut. Bila dikaitkan pada aspek pendukung atau pihak pelaku ritual
itu, ternyata sudah terjadi proses pergeseran atau perubahan yang mendasar,
terutama dalam doktrin agama yang dianut sekarang ini.
dll) yang ditujukan kepada kekuatan-kekuatan transenden. Oleh karena itu, dapat
dikatakan ritus sebagai wujud simbolik upaya manusia menjalin hubungan dengan
kekuatan-kekuatan transenden (Suhardi, 2009). Berikutnya, pengertian ider bumi,
secara harfiah berasal dari kata ”ider” dan ”bumi”. Kata “ider” berarti berputar
dengan berjalan kaki mengelilingi, selnjutnya dimaksud ”bumi”, berarti tanah untuk
tempat berpijak bagi manusia. Jadi, yang dimaksud dengan ”ider bumi” adalah
mengelilingi bumi, yaitu suatu kegiatan mengelilingi bumi yang menjadi tempat
tumpuan hunian dan mata pencaharian hidup bagi seluruh komunitas Desa Kamiren
(Rahayu, 2003).
Implementasi teori globalisasi dalam realitas empiris ritual ider bumi adalah
pertemuan tradisi dengan dunia modern sudah menjadi keniscayaan dalam dunia
sosial secara luas. Praktik ritual yang mentradisi akan merevitalisasi diri agar sesuai
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang modern. Begitu juga dunia modern
akan menyesuaikan diri pada kehendak-kehendak tradisi agar kemodernannya
dapat beradaptasi dalam ketradisian. Baik secara teoretis maupun konsepsional,
keduanya belum memiliki landasan yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja
(working definition) yang masih bergantung pada sudut pandang masing-masing
(Eriksen, 2003: Tsing, 2005). Dikatakan bahwa globalisasi akan mampu membuat
praktik ritual semakin kuat dan bergantung satu sama lain. Akan tetapi, ada yang
berpandangan sebaliknya bahwa ritual bisa terlibas habis oleh globalisasi karena
kekolotan dan ketertutupan terhadap unsur-unsur baru dibawa oleh dunia global.
Dewasa ini pengaruh globalisasi begitu besar terhadap keberlangsungan tradisi
bersama ritualnya (Lewellen, 2002).
Dalam konteks industri pariwisata yang telah merasuk ke dalam ritual ider
bumi di Desa Kemiren, menurut pandangan Comaroff dan Comaroff (2001),
globalisasi lebih menekankan pada kemasan baru kapitalisme neoliberal yang
mengancam akar-akar ketradisian bersama ritual-ritual di dalamnya. Mengingat
globalisasi yang selalu bergandengan dengan kapitalisasi ekonomi sebagai
spiritnya. Oleh karena itu, timbul banyak anggapan bahwa praktik-praktik ritual
tradisi akan banyak ditinggalkan karena praktik-praktik tersebut dianggap sebagai
Prosesi ritual ini diselenggarakan pada pergantian hari dari hari sebelumnya
dan sekitar dua jam sebelum pelaksanaan arak-arakan. Lazimnya diselenggarakan
setiap tanggal 2 Syawal (Idul Fitri) dalam rentang waktu antara pukul 12.00–13.30
WIB. Rentang waktu ini dipilih menurut kepercayaan masyarakat Using karena
pergantian hari terjadi pada setiap pukul 12.00 siang. Begitu juga mereka meyakini
bahwa ritual arak-arakan (ider bumi) harus mulai pada pukul 14.00 WIB. Jadi,
prosesi slametan ini bila dilakukan di luar rentang waktu itu, maka kesakralan ritual
slametan dan arak-arakan dipercaya akan kontraproduktif pada keseluruhan ritual
yang diselenggarakan.
penyimpanan di rumah sesepuh adat, sedangkan uborampe dan sesaji diusung oleh
lima sampai sepuluh orang sesepuh adat. Jumlah tumpeng pecel pithik bisa satu
atau lebih, bergantung pada kesepakatan pinisepuh adat dan warga masyarakat.
Walaupun tidak ada ketentuan yang baku, namun pola ini lazim dilakukan bagi
sesepuh adat dan warga, karena sifatnya sukarela berdasarkan kesadaran.
Keseluruhan sesaji tumpeng pecel pithik itu meliputi (a) Seekor ayam jantan
panggang yang pêthénténg (dibelah dengan kedua kaki dan kepala dilipat), (b) satu
éthuk (pincuk) sesaji berisi nasi putih, satu kaki, sayap, dan kepala ayam, serta
secuil betutu (daging ekor), (c) satu tangkep kulit kelapa, (d) satu takir sesaji untuk
Buyut Cili laki-laki, berisi satu bungkus rokok jarum 76 dan satu tusuk sate rempelo
ati, (e) satu takir sesaji untuk Buyut Cili perempuan berisi daun sirih, gambir, batu
kapur, dan tembakau, (f) satu bungkul kemenyan dibungkus daun pisang, (g) satu
bungkus kembang kirim, berisi bunga mawar merah dan putih, bunga kenanga
hijau dan kuning, dan bunga kanthil putih, yang semuanya disirami minyak wangi,
dan (h) satu bakul nasi putih. Sesaji ini sebagian kecil dipersembahkan kepada
Buyut Cili, sisanya untuk pesta makan bersama bagi peserta rombongan yang
mengikuti ritual tersebut, yang dilakukan di areal makam Buyut Cili.
disucikan. Begitu pula, seluruh rangkaian arak-arakan ritual ider bumi yang
dipersepsi oleh seluruh masyarakat sebagai parade suci. Parade suci ini dipercaya
memiliki kekuatan suci, yang mampu mengusir roh-roh jahat, mencegah datangnya
pagebluk dan memberikan kesejahteraan serta perlindungan bagi seluruh warga
desa. Prosesi slametan bukaan yang diselenggarakan di areal makam Buyut Cili
untuk memohon keselamatan dan wajib dilakukan dengan tepat dan benar karena
fondasi bagi rangkaian prosesi ritual ider bumi berikutnya. Sebelum prosesi ini
selesai dilakukan maka prosesi berikutnya tidak dapat dilanjutkan. Prosesi ritual
ini wajib dilakukan terlebih dahulu, kemudian disusul dengan arak-arakan
pembersihan (bersih desa).
Simbol ini bisa dikreasikan karena diambil dari simbol yang telah ada
dalam kehidupan masyarakat Using Desa Kemiren. Beberapa jenis simbol profan
yang diikutkan dalam prosesi ritual arak-arakan, yaitu (a) barisan barong cilik, dan
pitik-pitikan (pitik lanang-wadon), (b) barisan rombongan Bupati dan Kepala
Dinas Pariwisata, (c) barisan Kades dan staf desa, (d) barisan kaum tani membawa
tape buntut, tumpeng panggang ayam, dan polo pendem dengan cingkek; (e)
barisan kelompok kesenian kuntulan, (f) barisan barong lancing yang diikuti pitik-
pitikan, (g) barisan ketua RT/RW serta istrinya, (h) barisan kelompok kesenian
bordah cengkir gading, (i) barisan Banyuwangi Ethno Carnivalmeliputi kelompok
buto-butoan, ewer-eweran, dan peraga busana, (j) barisan anak-anak bermain
egrang, dan (k) kelompok religius mocoan lontar (mocoan reboan).
masyarakat Using Desa Kemiren sebagai prosesi pembersihan dan penyucian bagi
seluruh kehidupannya.
Secara perlahan barisan rombongan yang lain juga ikut bergerak maju
dengan berbagai gaya, tarian, dan tingkah laku sakralnya masing-masing. Semua
bergerak sesuai dengan tugas dan perannya dalam pembersihan yang diiringi
dengan iringan musik perkusi dari tiap-tiap kelompok rombongannya. Simbol
Barong Using menari-nari sambil mengeluarkan aura magisnya, pembawa sembur
oték-oték menyemburkan beras kuning dan uang receh mengusir roh-roh jahatnya.
Begitu juga, seluruh rombongan yang lain, bergerak perlahan sambil menari,
berguling, dan menyanyi mengikuti iringan musik perkusinya. Prosesi arak-arakan
berubah ke dalam suasana yang meriah bercampur riuh, riang bercampur khidmat,
dan gembira bercampur dengan ketakziman. Satu hal yang perlu diperhatikan dari
keseluruhan prosesi ini adalah tidak adanya peserta arak-arakan yang trans atau
mabuk (kerasukan) seperti dalam ritual sakral pada umumnya.
Prosesi seperti ini berlangsung terus di sepanjang jalan, yaitu mulai dari
titik lokasi pemberangkatan sampai kembali lagi ke titik semula. Seperti telah
menjadi ketetapan dalam tradisinya, prosesi pembersihan seperti ini tidak
berlangsung satu arah, tetapi melingkar dengan melewati jalan dan jalur yang sama.
Pada awalnya prosesi bergerak dari arah timur menuju ke barat. Setelah sampai di
titik akhir di sebelah Barat, prosesi berbalik searah jarum jam untuk kembali lagi
ke Timur melalui jalur dan jalan yang sama. Mereka berputar menuju ke titik
pemberangkatan, yang sekaligus juga menjadi titik akhir seluruh prosesinya.
timur dan tenggelam di barat, perjalanan pergantian siang, dan malam, siklus
bercocok tanam (menanam, merawat, memanen), dan siklus kehidupan (lahir,
hidup, mati). Matahari terbit (timur) dipersepsi sebagai dimulainya kehidupan;
waktu siang dilakukannya aktivitas kehidupan; mulai menanam, sebagai awal
kehidupan. Sebaliknya, matahari tenggelam (barat), dipersepsi sebagai simbol
diakhirinya kehidupan; malam berhentinya aktivitas kehidupan, dan mati serta
panen merupakan akhir kehidupan. Namun, berakhirnya kehidupan ini tidak berarti
mati tanpa kembali lagi, tetapi keberakhiran itu merupakan tanda dilanjutkannya
kembali kehidupan, sebagaimana prosesi ritual itu berputar kembali ke arah timur,
tempat awal kehidupan dimulai lagi.
Seluruh warga masyarakat, para penonton, dan wisatawan ikut serta makan
bersama makanan yang telah disucikan itu. Mereka mengerumuni tumpeng pecel
pithik dengan duduk berkelompok dalam bentuk pola lingkaran. Salah seorang dari
kelompok itu membagi tumpeng pecel pithik dengan alas pincukan daun pisang ke
tiap orang dan setelah mendapatkannya, mereka memakan sesaji itu secara
bersama-sama. Mereka bersyukur dan merasa lega karena seluruh rangkaian
prosesi ritual adatnya berhasil terlaksana. Dalam kepercayaan masyarakat, segala
sumber penyakit, pagebluk, atau bentuk-bentuk kebencanaan yang lain telah
berhasil ditangkal dan ke depan semua itu tidak lagi menjadi penghalang dalam
perjalanan kehidupannya. Masa-masa krisisnya telah berhasil diatasi sehingga
yang ada masa-masa keharmonisan dan ketenteraman.
5. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Ritual ider bumi diselenggarakan setiap tahun sekali pada hari ke-2 setelah
hari raya Idul Fitri (Lebaran). Warga masyarakat Using mempercayai ritual
bersih desa untuk penolak pagebluk karena mengancam kehidupan manusia.
2. Prosesi ritual ider bumi meliputi beberapa tahapan, yaitu (1) prosesi
slametan bukaan, (2) prosesi arak-arakan pembersihan, dan (3) prosesi
slametan tutupan. Ketiga tahapan tiap-tiap prosesi ritual ini sudah dipolakan
secara baku dalam tata pelaksanaann ritual tersebut
3. Eksistensi ritual ider bumi dalam konteks globalisasi karena ritual ini
dipercayai oleh masyarakat Using Desa Kemiren untuk mencegah pagebluk
(bencana). Selain itu, ritual ini sangat akomodatif terhadap penerimaan
unsur-unsur nilai budaya modern sepanjang nilai-nilai budaya modern tidak
merusak kesakralan ritual itu sebagai fondasi kerukunan, keharmonisan, dan
integritas sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh
Luh Putu Puspawati
puspawati1960@yahoo.co.id
ABSTRAK
Mitos adalah salah satu bentuk sastra lisan dan tradisi lisan dan merupakan
warisan budaya daerah yang turun-temurun. Mitos tersebut mempunyai nilai-nilai
luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan dengan usaha
menangkal efek negatif globalisasi, serta masih dipercaya oleh masyarakat sampai
sekarang.
Teks mitos sapi diwariskan dari generasi tua ke generasi yang lebih muda
hingga kini. Teks mitos sapi berisi tentang persembahan sapi (bulu geles, i dewa).
Persembahan ini melalui upacara pelepasan bulu geles, pemanggilan i dewa, dan
puncaknya pada upacara mungkah wali.
Berkaitan dengan upacara tersebut, muncul hal-hal yang berkaitan dengan
fungsi sosial yaitu terjadinya interaksi masyarakat dengan pemuka masyarakat,
prajuru adat dengan dinas dan masyarakat, serta para Pamangku dengan
masyarakat. Dalam melaksanakan upacara ini masing-masing memiliki peran
sesuai dengan fungsinya. Seperti Jro Mangku Dalem Lanang memiliki fungsi
menghaturkan sesajen (banten), Jro Mangku Istri yang membuat sesajennya
(banten). Peran pemuka adat dan dinas, Jro Perbekel ( Kepala Desa) dan
jajarannya, dan Jro Bendesa Adat dengan jajarannya adalah ikut memohon dan ikut
matur piuning agar i dewa mendekat, gampang ditangkap dan tidak melawan.
Upacara dilanjutkan dengan penyembelihan pada saat upacara mungkah wali.
Semua ini dilakukan dalam kebersamaan, kekeluargaan tanpa mengenal sor-
singgih.
1. PENDAHULUAN
Teks mitos sapi sudah lama ada dan dalam perkembangan sebagai teks
masih dikenal oleh beberapa orang terutama tokoh-tokoh tua, sementara generasi
muda hampir tidak mengenalnya. Kini, teks mitos sapi diekspresikan lebih
menonjol pada aspek ritual pelepasan sapi dan ritual Mungkah wali sebagai tradisi
turun-temurun yang dilaksanakan di desa Tambakan secara periodik setiap Tilem
(bulan mati) dan dua tahun sekali pada Purnama Kasa. Dalam konteks, mitos itu
lebih dipahami sebagai ritual yang oleh masyarakat desa Tambakan dianggap
sebagai tradisi unik karena teks mitos bulu geles hanya ada di desa Tambakan.
Masalah yang menyangkut tradisi, adat, budaya di Bali tidak akan pernah
tuntas untuk dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa Bali kaya dengan ragam
tradisi, adat, seni, dan budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Keragaman budaya
tersebut tidak lepas dari keragaman latar belakang suku dan ras di dalam masyarakat
Bali. Sebelum agama Hindu masuk ke Bali, di Bali sudah memiliki tradisi.
Selanjutnya, dengan terjadinya defusi atau penyebaran budaya terjadilah alkulturasi
budaya. Antara budaya penduduk Bali asli yang disebut dengan penduduk Bali Aga
( pra Hindu) dan penduduk Bali Apanaga (Bali-Hindu), yaitu masyarakat yang
mendapat pengaruh kebudayaan Hindu (Ramiati, 2006:1).
Suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan aturan tertinggi
bagi perilaku manusia, seperti aturan hukum di dalam masyarakat. Nilai budaya
biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti adaptasi, usaha dan kerja
keras, toleransi, kepercayaan terhadap pendirian atau kepercayaan kepada orang
lain dan gotong royong. Dengan demikian, tradisi lisan dapat diartikan sebagai
produk budaya lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui mulut,
seperti ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita rakyat,
mitos, dan nyanyian rakyat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, memahami, mendiskripsikan,
serta melestarikan mitos sebagai warisan budaya bangsa yang terdapat di desa
pertanian wilayah pegunungan serta mengetahui fungsi sosial yang terdapat di
dalam teks mitos sapi tersebut.
2. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI
2.1. Kajian pustaka
Dalam kajian pustaka dipaparkan sejumlah penelitian, artikel yang ada
kaitannya dengan penelitian ini. Dari artikel tersebut diharapkan dapat lebih
dipahami mengenai segala sesuatu yang diperlukan berkaitan dengan penelitian ini.
Duija (2011) dengan judul tulisan “Samudra dan Danu Kertih”.
Menguraikan masalah pelestarian lingkungan dan tentu saja ada kaitannya juga
dengan masalah kesejahteraan dan sosial. Apabila tanah masih dapat menyimpan
air dengan baik akibat dari lingkungan yang masih asri, tumbuhan masih lestari
sehingga banjir dapat dihindari. Hal ini akan menyebabkan mata air tidak akan mati
sehingga kontinuitas keperluan air masyarakat akan terjamin. Air yang cukup akan
mengakibatkan tumbuhan hidup subur, kesejahteraan dan hubungan sosial
masyarakat terjamin.
Widiatmoko (2012) mengemukakan bahwa mitos yang menjadi tradisi
Gunung Merapi ternyata dapat membawa masyarakat yang hidup di sekitarnya. Hal
ini menunjukkan bahwa kerifan lokal masih mampu menuntun masyarakat dalam
menempuh kehidupannya dengan damai dan sejahtera. Masyarakat di sekitar
Gunung Merapi meyakini bahwa pengalaman kehidupannya sehari-hari telah
melahirkan kearifan lokal. Kearifan lokal ini berupa mitos adanya penjaga Gunung
Merapi yang gaib dan mistis. Kerajaan Mataram kosmologi Jawa dalam hubungan
kekuasaan alam secara mistis ada dua kekuatan alam yang diharmonisasikan, yakni
kekuatan laut Selatan dan Gunung Merapi dengan menempatkan utusannya sebagai
juru kunci. Juru kunci hanya boleh melaksanakan upacara labuhan atas perintah
raja.
2.2. Konsep
Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena yang berupa
kenyataaan, dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda, semakin dekat
suatu konsep kepada realita maka semakin mudah konsep tersebut diukur dan
diartikan (Koentjaraningrat,1994: 4).
Konsep tradisi lisan dalam penelitian ini menunjuk pada konsep
dikemukakan oleh Hutomo (1993:1). Salah satu bentuk ekspresi budaya
masyarakat pemiliknya, tradisi lisan tidak hanya mengandung unsur-unsur
keindahan, tetapi mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai kebudayaan
tradisi yang bersangkutan.
Menurut Piliang (2005:6) tradisi lisan sebagai konsep bentuk karya, gaya
yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini. Tradisi lisan
adalah sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan sebagai pengulangan-
pengulangan tradisi reproduksi atas kelanjutan masa lalu dan akan kehilangan sifat
tradisi bila berubah.
Mitos menurut Finnegan (1989: 146-147) adalah prosa narasi di mana
masyarakat diberitahukan untuk mempertimbangkan sebagai sesuatu yang dapat
dipercaya tentang apa yang terjadi di masa lalu. Mitos-mitos ini diterima karena
takdir. Mereka diajarkan untuk tidak ragu-ragu. Mitos adalah perwujudan dari
dogma mereka yang biasanya sakral.
2.3. Teori
Selain masalah, pertanyaan, tujuan, dan metode penelitian, bagian lain
yang tidak kalah pentingnya dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan
penelitian adalah teori. Tetapi, sebelum melangkah lebih lanjut, penting untuk
ditegaskan apa yang dimaksud dengan teori. Kendati istilah teori sering dipakai
dalam wacana akademik, sebenarnya arti yang tepat masih samar-samar (vague)
dan beragam. Para pakar memberikan definisi sesuai pandangannya masing-
masing. Namun, secara umum, teori diartikan sebagai seperangkat ide, penjelasan
atau prediksi secara ilmiah.
Dalam penelitian ini teori digunakan sebagai acuan dalam memahami
tradisi lisan. Sebelum membahas mitos-mitos lebih lanjut, maka perlu kiranya
diberikan dasar-dasar definisi teori agar analisis memiliki patokan yang jelas.
Teori ini merupakan pisau bedah terhadap masalah yang diangkat dalam penelitian
ini. Teori yang dimaksud adalah teori fungsi, semiotik, dan transmisi.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan penelitian
Rancangan penelitian ini disusun berdasarkan rumusan masalah yang telah
diuraikan di atas. Secara metodologis rancangan penelitian ini menggunakan
metode kualitatif, sehingga apabila ditinjau dari jenisnya penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9)
pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan
pengamatan kuantitatif. Kemudian didefinisikan metodologi kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan manusia dalam kekhasannya sendiri dan berhubungan dengan
saksi. Pelepasan atau mapanauran bulu geles dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa
ada paksaan karena bagi masyarakat yang melaksanakan upacara mapanauran
merasa tenanglah hatinya sehingga hidupnya menjadi damai dan sejahtera.
Pelepasan bulu geles lebih menekankan pada aspek individu. Upacara ini
dilaksanakan di Pura Dalem yang dipimpin oleh Jro mangku Dalem dan disaksikan
oleh para Jro mangku yang lainya di wilayah desa Tambakan.
Bulu geles terkumpul dalam jumlah tertentu dan diupacarai, Jro Mangku
Dalem berinteraksi dengan masyarakat yang akan melakukan upacara melepas
bulu geles serta keluarganya. Keluarga yang ikut upacara melepas bulu geles saling
menghargai tanpa disertai oleh rasa curiga, apakah bulu geles yang dihaturkan lebih
kecil atau lebih besar dari yang lainnya. Keikhlasan yang menjadi hal penting
dalam upacara pelepasan atau mapanauran bulu geles. Sarana upacara disiapkan
oleh masing-masing warga masyarakat yang melaksanakan upacara pelepasan atau
mapanauran bulu geles. Biasanya dalam membuat sarana bebantenan dikerjakan
dengan sistem gotong-royong oleh keluarga yang menyelenggarakan maupun
tetangganya dengan tulus ikhlas. Jro Mangku Dalem hanya menghaturkan sesajen
dan melepas bulu geles setelah diupacarai. Upacara pelepasan bulu geles ini
memiliki makna keikhlasan.
Biasanya dari tiga hari sebelum upacara melepas bulu geles, warga
masyarakat menghadap Jro Mangku Dalem. Terjadilah pembicaraan Jro Mangku
Dalem dengan warga masyarakat bahwa pada Tilem (bulan mati) akan ada
menghaturkan bulu geles dengan banten dibuat oleh warga masyarakat yang
menghaturkan bulu geles. Jro Mangku Dalem hanya menghaturkan upakara
(banten) tersebut.
Dua bulan kemudian setelah ritual pelepasan bulu geles dilakukan ritual
Mungkah Wali yaitu bertepatan dengan bulan Purnama Kasa. Sebulan sebelum
upacara Mungkah Wali diadakan paruman (rapat) mengenai berbagai hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan upacara. Paruman (rapat) dihadiri oleh para prajuru
adat dan dinas se desa Tambakan. Pimpinan rapat adalah Jro Perbekel (Kepala
Desa) di dampingi oleh Bendesa Adat.
5. SIMPULAN
Fungsi sosial teks mitos bulu geles adalah kebersamaan masyarakat desa
Tambakan (tua-muda, laki-laki dan perempuan) dalam melaksanakan kegiatan
upacara dengan sistem ngayah dan nguopin (gotong-royong) mulai upacara
melepas bulu geles, pemanggilan (nunas), penangkapan sampai pada upacara
Mungkah Wali.
DAFTAR PUSTAKA
Ramiati, Ni Made. 2006. Tradisi Naur Klaci Dalam Upacara Perkawinan Di Desa
Adat Munduk Lumbang, Baturiti, Tabanan. Tesis, Tidak
Dipublikasikan Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar.
Duija. 2011. “Tradisi Lisan Maritim Sebagai Kekuatan Kultural Masyarakat Bali”.
Dalam Jurnal ATL. Edisi V April 2011 Hal 29-41
Widiatmoko, Bambang, 2012. “Mitos Dalam Tradisi Merapi”. Jurnal ATL Edisi
VI. Mei 2012 Hal 11-14
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Cerita Kenterung Sarah Wulan di Tuban. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Piliang,Yasraf Amir. 2005. Cultural Studies dan Posmodernisme : Isyu, Teori dan
Metode. Makalah disampaiakan dalam seminar pada Program
Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, 12 Juli
2005.
Kirk, J. &Miller, M.I. 1986. Reability and Validity in Qualitative Research, Vol. I,
Beverly Hill: Sage Publication.
Soelaeman, M. Munandar. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung. Erisco.
Teew, A.1984. Sastra dan Ilmu Satra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Oleh
Marhamah, M.Ed.
Yulianto, M.Pd.
I Gusti Putu Wiratama
Universitas Islam Riau
Email: marhamahahmadhamid@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci tentang
bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai budaya dalam tradisi Mesuryak dalam upacara
hari raya Kuningan khususnya di desa Bongan, Tabanan-Bali.Tradisi ini digelar
bertepatan pada Hari Raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) setiap 6 bulan
sekali. Tradisi ini bertujuan untuk memberikan bekal
berupa beras dan uang kepada leluhur yang akan kembali Suarga Loka (alam
baka). Metode penelitian ini menggunakan metode kualitaif deskriptif. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi.
Teori yang digunakan menurut pendapat Koenjaraningrat (1967) yang mengatakan
bahwa ada beberapa unsur yang berkait dengan upacara adat diantaranya 1) saat
berlangsungnya upacara – waktu pelaksanaan, 2) Tempat berlangsungnya upacara,
3) benda-benda atau alat dalam upacara, 4) orang-orang yang terlibat didalamnya.
Berdasarkan hasil dari observasi,1) upacara ini dilaksanakan pada pukul 9 pagi
hingga 12 siang, karena lewat jam 12 siang para leluhur telah kembali ke surga, 2)
tempat berlangsungnya yaitu di depan Kori gerbang rumah,3) benda-benda atau alat
dalam upacara yaitu sesajian terdiri atas beras, telur, pis bolong dan perlengkapan
lainnya yang disiapkan sebagai bekal leluhur, 4) orang-orang yang terlibat dalam
upacara ini yaitu orang yang dituakan dalam suatu keluarga tersebutdanmasyarakat
baik tua maupun muda.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
beragam, yaitu mulai dari pulau, daerah, dan tempat yang berisi suku, agama, dan
ras yang berbeda-beda. Begitu pun meliputi upacara keagamaan, upacara adat,
upacara kematian, kelahiran, upacara perkawinan, dan masih banyak upacara yang
lainnya. Hal ini menunjukan bahwa tradisi juga tidak lepas dari kehidupan manusia
bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya. Sebagian besar masyarakat
Indonesia masih menghargai tradisi dan kebudayaan yang ditinggalkan oleh
leluhur.
Tradisi Mesuryak ini tentunya tidak jadi hiburan saja di mata masyarakat
Bongan, tapi apa makna tradisi ini bagi masyarakat Bongan sendiri. Bagaimanakah
cara masyarakat mempertahankan tradisi ini? Berdasarkan hal inilah penulis tertarik
untuk meneliti lebih lanjut agar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai pelaksanaan tradisi Mesuryak ini di Desa Bongan, Tabanan, Bali.
Kajian Teori
tradisional termasuk dalam golongan adat yang tidak mempunyai akibat hukum.
Apabila tidak dilakukan oleh masyarakat maka timbul rasa kekhawatiran akan
terjadi sesuatu yang menimpa dirinya. Dengan demikian, hukum adat kebiasaan
yang mempunyai akibat hukum, berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak
dalam penetapan (putusan-putusan), misalnya putusan kepala adat sesuai dengan
lapangan kompetensinya masing masing.
Menurut Koentjaraningrat (1967:241), ada beberapa unsur yang terkait
denganpelaksanaan upacara adat, di antaranya adalah:
a. Tempat berlangsungnya upacara
Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara biasanya
adalah tempat keramat atau bersifat sakral/suci, tidak setiap orang dapat
mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya digunakan oleh orang-
orang yang berkepentingan saja, dalam hal ini adalah orang yang terlibat
dalam pelaksanaan upacara seperti pemimpin upacara.
b. Saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat
untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara rutin yang diselenggarakan
setiap tahun biasanya ada patokan dari waktu pelaksanaan upacara yang
lampau.
c. Benda-benda atau alat dalam upacara
Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang
harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam pelaksanaan
upacara adat tersebut.
d. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang
bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang
paham dalam ritual upacara adat
Metode
Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang akan
mendeskripsikan tradisi Mesuryak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
2. PEMBAHASAN
Tradisi mesuryak (berteriak) merupakan tradisi dan budaya unik. Tradisi itu
sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka ada, tanpa diketahui kapan
dimulainya sehingga menjadi prosesi rutin dan mendarah daging sampai sekarang,
tua muda, dewasa, anak-anak, laki-laki dan perempuan bercampur baur, berdesak-
desakan memperebutkan uang. Mereka berteriak (mesuryak), bersuka cita, suasana
riang gembira walaupun mereka berebutan, sehingga terpancar keakraban
antarwarga.
a. Waktu Pelaksanaan
Mesuryak berasal dari kata suryak yang berarti berteriak atau
bersorak. Mesuryak adalah ritual yang dilakukan secara turun-temurun oleh
warga Desa Bongan, Kabupaten Tabanan, Bali untuk merayakan hari raya
Kuningan. Upacara Mesuryak digelar bertepatan pada hari raya Kuningan (sepuluh
hari setelah Galungan) setiap 6 bulan sekali. Mesuryak bertujuan untuk
memberikan bekal berupa beras dan uang kepada leluhur yang akan kembali
ke suarga loka (alam baka). Warga Bali percaya bahwa leluhur mereka turun pada
hari raya Galungan dan kembali ke nirwana pada hari raya Kuningan. Upacara ini
dilaksanakan pada pukul 9.00 hingga 12.00 WITA karena setelah pukul 12.00
WITA para leluhur telah kembali ke surga. Sebelum upacara ini dimulai, semua
warga sembahyang di pura keluarga atau pura kahyangan tiga yang berada di desa
setempat.
b. Tempat Pelaksanaan
Tradisi melempar uang dibuat bergiliran, dari ujung desa hingga batas utara
desa, tujuannya adalah agar warga dapat berebut uang secara adil. Jika ditaksir, total
uang yang dilempar selama tradisi Mesuryak hampir mencapai lima puluh juta
Banyaknya uang yang dilempar membuat warga yang mengikuti tradisi ini
panen uang yang beruntung bisa mendapat uang sebesar Rp 300.000,00. Namun,
ada juga yang hanya bisa mendapatkan Rp 5.000,00. Meskipun begitu, bukan itu
tujuan utama tradisi Mesuryak. Tujuan utama adalah rasa bahagia dan kegembiraan
yang ditimbulkan yang diyakini oleh masyarakat bahwa para leluhur pun akan
kembali pulang dengan tenang dan damai lalu memberikan berkah kemakmuran.
Tradisi ini telah ada secara turun-temurun, yaitu para warga mengatar para leluhur
pulang ke surga dengan tradisi Mesuryak.
Adapun orang-orang yang terlibat dalam tradisi Mesuryak ini adalah Pemangku
yang memimpin ritual, anggota keluarga yang lain mempersiapkan sesajen, salah
satu anggota keluarga juga ikut melemparkan uang. Selain itu, seluruh keluarga
yang melakukan tradisi tersebut juga ikut serta dalam menjalankan tradisi ini,
tetangga terdekat,dan masyarakat bagian yang ada di sekitar daerah Desa Bongan
Tabanan Bali.
Nilai Agama
Setiap pribadi atau insan sewajarnya menyadari nilai yang agung itu
sehingga dengan rela hati akan mengikuti dan mematuhinya. Orang yang berbuat
demikian dipandang sebagai manusia yang tinggi martabat pribadinya. Selain itu,
juga dipandang sebagai suri teladan untuk menuju jalan hidup yang mulia.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, diketahui bahwa nilai agama yang
terdapat dalam tradisi ini yaitu sebelum melakukan tradisi ini terlebih dahulu
masyarakat khususnya di Desa Bongan, Tabanan, Bali melakukan
persembahyangan terlebih dahulu sebagai pengucapan syukur kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Berdasarkan hasil wawancara (5 April 2016) dengan Bapak I Gusti Made
Suratnaya selaku pemuka adat di Kelurahan Bongan Tengah, Kecamatan Tabanan,
Kabupaten Tabanan, Bali diperoleh informasi sebagai berikut.
“Nilai agama yang bisa ditemui disini , dimana sebelum melakukan
tradisi ini
Seluruh keluarga berkumpul melakukan persembahyangan di pura
masing masing atau merajan masing masing”.
Nilai Adat
Sistem nilai ini memberikan ukuran-ukuran dan ketentuan-ketentuan
terhadap bagaimana manusia harus berbuat dan bertingkah laku disertai dengan
serangkaian sanksi yang cukup tegas. Sistem nilai yang diberikan oleh adat
meupakan hasil pemikiran yang mendalam dari nenek moyang terdahulu tentang
bagaimana sebaiknya kehidupan bermasyarakat dapat diatur sehingga kehidupan
dapat berjalan dengan damai, bahagia, serta harmonis.
Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa nilai adat dalam tradisi ini,
yaitu dimana tradisi ini merupakan adat budaya yang selalu dilakukan masyarakat
Bongan, Tabanan, Bali. Sudah menjadi adat dan kebiasaan saat pelaksanaannya
pada hari raya Kuningan.
Berdasarkan hasil wawancara (5 April 2016) dengan Bapak I Gusti Made
Suratnaya selaku pemuka adat di Kelurahan Bongan Tengah, Kecamatan Tabanan,
Kaupaten Tabanan Bali diperoleh informasi seperti di bawah ini.
“Pada tradisi mesuryak ini yang kita lihat adalah bahwa tradisi ini masih
berjalan dan masih diteruskan hingga sekarang untuk menjaga kebudayaan leluhur
dan adat istiadat yang dipercaya. Jangan sampai tradisi ini hilang dan jangan juga
adat ini di hentikan. Bila itu terjadi maka nilai nilai dalam tradisi juga akan hilang
dan nilai adat juga hilang”.
Nilai Tradisi
Sistem nilai tradisi mencoba membuat keharmonisan antara manusia dan
alam. Nilai-nilai tradisi relatif lebih mudah dan lebih dahulu dicernakan oleh pihak
anggota masyarakat karena nilai-nilai inilah yang lebih awal diperkenalkan dalam
perkembangan hidup bermayarakat.
3. SIMPULAN
Makna pelaksanaan tradisi mesuryak ini bagi masyarakat khususnya di
Bongan, Tabanan, Bali adalah sebagai pemberian bekal pada leluhur yang diyakini
turun pada hari raya Kuningan. Di samping itu, juga sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam pelaksanaan tradisi ini biasanya diadakan di depan kori atau di depan
gerbang rumah dan dimulai pada pagi hari sekitar pukul 09.00 sampai dengan siang
hari pukul 12.00. Dahulu tradisi ini menggunakan uang bolong (pis bolong) dan
beras yang dilemparkan ke udara dan diperebutkan sambil berteriak/ bersorak.
Akan tetapi, dengan seriring perkembangan zaman prasarana dan alat-alatnya
mengalami perubahan yang dahulu memakai uang bolong (pis bolong) sekarang
diganti menjadi uang logam dan uang kertas. Nilai nilai budaya yang dimiliki oleh
masyarakat khususnya di Desa Bongan, Tabanan, Bali bahwa kepercayaan yang
tertanam (believe system) sangat mengakar dan menjadi kerangka dasar dan acuan
dalam bertindak dan berperilaku dalam mempertahankan tradisi ini. Dengan adanya
tradisi ini masyarakat dapat berkumpul satu dengan yang lain, dan dapat
menjalankan kepercayaan leluhur yang telah diperacaya sebagai tradisi turun
temurun.
Sebagai pemuda-pemudi Indonesia yang bermartabat seharusnya kita
dapat mempertahankan budaya leluhur yang telah diwariskan kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Alih wahana dalam dunia bahasa, sastra, sejarah, sosial budaya, dan dunia
humaniora pada umumnya berkembang pesat. Kondisi ini menuntut keterbukaan
untuk melintasi batas kajian dengan berbagai sudut pandang.
Alih wahana dari cerpen ke drama panggung yang dibahas dalam tulisan ini
adalah salah satu contoh bagaimana lintas batas itu terjadi. Cerpen Paradoks karya
Putu Wijaya dialihwahanakan ke dalam drama panggung “Paradoks”. Konflik yang
dibaca dalam naskah cerpen dan konflik yang dibaca dalam tontonan adalah dua
hal yang berbeda.
Konsentrasi pada wahana yang baru meyakinkan pengkaji untuk mengerti
bahwa perubahan dan perkembangan iptek telah menjadikan alih wahana sebagai
lahan kajian serius dan memerlukan sebuah cara berpikir yang multidisiplin dan
interdisiplin.
1. PENDAHULUAN
“Menonton cerpen,” itu yang ada dalam pikiran pada saat menyaksikan
pementasan drama panggung berdasarkan naskah drama yang dialihwahanakan dari
cerpen. Apakah cerpen yang dibaca sama dengan cerpen yang telah dikemas
menjadi drama panggung? Apakah cerpen dan drama dalam pementasan dapat
memegang satu benang merah yang sama, baik alur, perwatakan tokoh-tokoh, dan
latar cerita? Pertanyaan-pertanyaan ini menyertai saya sebagai pembaca cerpen dan
penonton drama yang dialihkan dari cerpen dalam Lomba Drama Modern (LDM)
se-Bali 01 – 03 September 2015.
LDM diselenggarakan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Wantilan, Art
Center Denpasar. Lomba diikuti kelompok teater se-Bali utusan kabupaten, kecuali
Kabupaten Klungkung. Mereka adalah Teater Kontras (SMAN 1 Singaraja), Teater
Jineng (SMAN 1 Tabanan), Teater Agrocia (SMAN 1 Negara), Teater Galang
Kangin (SMAN 2 Karangasem), Teater Angin (SMAN 1 Denpasar), Teater Teras
(SMAN 1 Kuta), Teater Genta Malini (SMAN 1 Gianyar), dan Teater Gerbang
(SMAN 1 Bangli).
LDM yang melibatkan teater dari kalangan SMA se- Bali ini
menggembirakan karena LDM sebagai ajang pertumbuhan kreativitas kelompok
teater sekolah jarang dilakukan. LDM sudah lama terhapus dari Pekan Seni Remaja
(PSR) Denpasar sebagai media tumbuh kembang kreativitas anak muda (Aswarini,
2015). Karenanya LDM 2016 menjadi menarik untuk dicermati, terutama
tumbuhnya kreativitas remaja dalam mengaliwahanakan cerpen ke dalam naskah
drama dan selanjutnya diperankan di atas pentas.
“Lewat lomba teater ini, kami ingin memberikan ruang positif bagi para
remaja untuk menyalurkan kreativitasnya, di samping bentuk perhatian
kami terhadap seni modern! Selain itu, banyak hal positif yang bisa didapat
remaja lewat lomba teater seperti melatih kemampuan berkomunikasi yang
baik, belajar mencintai karya sastra, dan juga membina kerja sama dengan
tim (Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, Minggu,
29 Agustus 2015)
2. ALIH WAHANA
Alih wahana pada prinsipnya adalah perpindahan tempat. Dari satu tempat
dipindahkan ke tempat yang lain. Misalnya air dalam gelas dipindahkan ke dalam
piring atau air dalam ember dipindahkan ke dalam baskom, gelas, piring, dan lain-
lain. Isinya tetap sama, air, tempatnya yang berubah. Demikian pula proses
pengalihan juga berubah seperti dari gelas ke dalam ember mungkin dengan sekali
tuang, apalagi jika embernya kosong. Lain halnya dari ember penuh air dialihkan
ke dalam gelas, mungkin diperlukan banyak gelas dengan cara menuang yang
cukup hati-hati agar tidak tertumpah. Jika gelasnya hanya satu dengan ukuran kecil,
kemungkinan besar hanya sedikit air yang berpindah, air lainnya masih tersimpan
dalam ember. Ada hubungan erat antara bentuk gelas, baskom, piring sebagai
media, dan air sebagai isinya. Hubungan antarmedia ini perlu diperhatikan
sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Pembicaraan tentang alih wahana pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan
dari hubungan-hubungan antarmedia. Namun sebelum membicarakan
tentang media, kita rapikan dulu pengertian wahana. Ada dua konsep
penting yang berkaitan dengan wahana. Pertama wahana adalah medium
yang dimanfaatkan atau dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu;
kedua, wahana adalah alat untuk membawa atau memindahkan sesuatu dari
satu tempat ke tempat lain. Sesuatu yang bisa dialih-alihkan itu bisa
berwujud gagasan, amanat, perasaan, atau ‘sekadar’ suasana (Djoko
Damono, 2014:13).
Pelaut dan dipentaskan dalam dramatisasi puisi Penari dan Pelaut di Fakultas Sastra
Unud tahun 2009.
Musikalisasi puisi adalah salah satu bentuk alih wahana yang menjadi trend
di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kreativitas alih wahana dari cerpen ke novel,
novel ke film, film ke novel dll menunjukkan bahwa ahli wahana dalam dunia
kesenian telah menjadi salah satu media berkembangnya kreativitas. Alih wahana
menjadi bagian dari proses perubahan kebudayaan dan berlangsungnya satu bentuk
peradapan baru di tengah “keliaran” berbagai perubahan komunikasi dan
transformasi.
Alih wahana dalam dunia bahasa, sastra, sejarah, sosial budaya, dan dunia
humaniora pada umumnya berkembang pesat. Bahkan ada kecenderungan terjadi
tabrakan ideologi yang bersembunyi di balik argumentasi kreativitas alih wahana.
Salah satu contohnya adalah novel De Davinci Code (Dan Brown) yang memulai
kisahnya dari hilangnya lukisan Monalisa (Leonardo da Vinci). Kisah mengalir
dengan suspence yang lihai dan dikaitkan dengan kehidupan Yesus Kristus dan
Maria Magdalena, kekuasaan para pembesar Gereja, dan berbagai masalah
seputarnya. Novel ini menimbulkan pro-kontra yang cukup tajam ketika
dialihwahanakan menjadi film (perlu dibahas secara khusus) di tengah era iptek
yang menjejali pikiran dan hati dunia.
Situasi di atas memerlukan cara berpikir yang multidisiplin dan
interdisiplin, tidak hanya fokus pada satu bidang kajian saja. Perkembangan
teknologi komunikasi memberi ruang terbuka dan bebas serta menuntut
keterbukaan kajian ilmu-ilmu humaniora untuk melintasi batas, baik bagi pelintas
batas maupun bagi batas itu sendiri. Menneke Budiman (2014) mencermati “Masa
Depan Humaniora dan Kajian Alih Wahana” di tengah dunia yang sedang
didominasi oleh “iptek” yang menuntut suatu kesediaan untuk berpikir dengan
multidimensi.
Kajian alih wahana tetap menjadi sebuah ajang kritis untuk
memperbincangkan bagaimana ideologi-ideologi yang merasuk ke dalam
bentuk-bentuk, khususnya dalam situasi intermedial ketika suatu bentuk
mengalami transformasi ke bentuk yang lain, atau pun ketika sebuah bentuk
secara internal terbangun oleh multimedialitas. Dalam konteks ini, bentuk
sama sekali mustahil diabaikan, dan siapa pun yang hendak menggali aspek
ideologi di situ tak bisa tidak harus berhadapan dengan kewajiban untuk
memahami kompleksitas bentuk yang akan dibedah tersebut (Budiman,
2014:7).
Alih wahana dari cerpen ke drama panggung yang dibahas dalam tulisan ini
adalah salah satu contoh bagaimana cerpen Paradoks dialihwahanakan ke dalam
drama panggung “Paradoks”. Penulis naskah drama sekaligus sutradara - I Gde
Pandu dari teater Genta Malini SMAN I Gianyar – langsung maupun tidak langsung
pasti dipengaruhi oleh transformasi cerpen ke drama secara umum, cerpen
Paradoks, dan pendalaman naskah drama “Paradoks”, yang dipentaskan sebagai
sebuah drama panggung, serta ideologi yang dibawa cerpen tersebut.
Apa saja yang berubah ketika cerpen dialihkan ke dalam bentuk drama
panggung? Perubahan ini hanya dapat cermati dengan lebih tepat jika kajian
terhadap cerpen Paradoks sebagai sumber pertama dilakukan lebih awal.
Sersan yang dengan sangat kasar memerintahkan tukang es pudeng agar dirinya
dilayani lebih dulu, sementara anak-anak juga ribut meminta untuk dilayani.
Tiba-tiba Pak Sersan yang marah bukan main. Ia menilai tukang es itu
hanya datang untuk membuat keributan. Dia menembak ke udara yang membuat
anak-anak ketakutan. Dia menodongkan senjata ke kepala tukang es. Pak Amat
berusaha melindungi tukang es. Sersan tidak peduli dia kembali ke rumahnya tanpa
bayar. Namun tiba-tiba tukang es mengeluarkan celurit dan menuduh Pak Amat
berutang padanya.
Dikisahkan juga nasib Pak Amat yang baik hati. Pak Made berutang
padanya dengan banyak alasan. Waktu berlalu utang tidak pernah dibayar.
Sementara rumah Pak Made berubah lebih bagus, rumah tingkat tiga, dan kekayaan
berlimpah. Bu Amat mendesak agar Pak Amat menagih utangnya namun tidak
berhasil. Pak Made terus berkelit dengan alasan bahwa dirinya berutang demi
Nyoman, anaknya yang terancam penjara.
Selanjutnya tukang es pudeng datang lagi dikerumuni anak-anak. Pak Amat
mendekat untuk memastikan bekas luka akibat celurit yang disabet tukang es. Ia
mengakui bahwa kemana-mana dia tidak membawa celurit lagi, dirinya malu
menjadi kasar seperti dulu, dia bertobat, dan keluarganya pun telah pindah ke
Denpasar. Uang Pak Amat dikembalikan dengan permohonan maaf. Ternyata
banyak yang dipelajari tukang es di Denpasar.
Pak Amat menerima permohonan maaf tukang es. Ia pun mengikuti
nasehat istrinya untuk mengerti saja situasi orang kaya seperti Pak Made dan
anaknya, Nyoman. Nyoman berterima kasih karena Pak Amat yang menurut
Nyoman tidak bersedia pinjamkan uang kepada Pak Made, ayahnya. Akibatnya,
Nyoman divonis satu tahun. Cerita yang membuat Bu Amat tercengang.
“Terima kasih Pak Amat,” kata Amat menirukan Nyoman. “Terima kasih,
dulu, Pak Amat tidak mau meminjamkan uang kepada bapak saya untuk
menebus saya, sehingga akibatnya saya divonis satu tahun. Tapi untung,
berkat dihukum itulah saya jadi tegar, nyadar, jengah, lalu berusaha
maksimal sampai saya bisa sukses, membantu keluarga sampai bisa seperti
sekarang. Suksma!”
Bu Amat tercengang.
“Kok terbalik begitu?”
Tukang es asal Jawa yang tetap menjadi tukang es meskipun waktu berlalu.
Dia mengalami perubahan dan mensyukuri perubahan itu. Denpasar telah
membuatnya menjadi lembut dan baik hati. Celurit ditinggalkan dan menjalani
pekerjaannya dengan bahagia. Pak Amat dan Bu Amat yang tabah menghadapi
keluarga Made yang tidak peduli. Bertahun-tahun utang tidak dilunasi, menjadi
kaya, dan tidak peduli tetangga. Sersan yang selalu mengancam, melarang, namun
juga mengambil keuntungan tanpa tanggung jawab. Anak-anak yang riang dan
polos yang tetap riang menghadapi berbagai perubahan tokoh-tokoh di sekitarnya.
Naskah Drama Paradoks yang dialihkan dari cerpen Paradoks karya Putu
Wijaya ini mengalami beberapa perubahan mendasar dari sisi alur, perwatakan, dan
latar cerita. Sebelum dipentaskan, cerpen dialihkan ke naskah drama. Pementasan
drama “Paradoks” berdasarkan naskah drama, bukan berdasarkan cerpen. Proses
adaptasi dari naskah drama ke pementasan mudah dilakukan karena naskah drama
disiapkan untuk dipentaskan.
5. PENUTUP
Dalam alih wahana cerpen ke drama panggung, cerpen atau novel ke film,
film ke novel, dan lain sebagainya, pikiran penikmat mesti dibebaskan dari sumber
pertama naskah. Sebagaimana dijelaskan Damono sebelumnya, penonton harus
menjauhkan harapan tentang kesetiaan pada naskah yang diadaptasi. Hal ini tidak
hanya terjadi pada drama “Paradoks” yang jauh berbeda dengan cerpen Paradoks,
tetapi pada cerpen Leak (Abubakar) yang dialihwahanakan menjadi drama
panggung “Leak”, dan cerpen Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar (Nyoman
Rastha Sindhu) ketika cerpen monumental itu dibawa ke atas panggung LDM.
Alih wahana tidak dapat dihindari dalam era teknologi komunikasi sekarang
ini. Pesan-pesan dalam cerpen yang dibaca dikemas menjadi pesan drama panggung
yang ditonton. Perubahan dan konflik akibat perubahan dalam cerpen Paradoks
dibahasakan dalam pesan tentang utang dan kejujuran untuk mengakuinya dalam
drama panggung Paradok. Konflik batin Gung Lila tentang stratifikasi sosial yang
menikam dalam cerpen Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar terasa lebih
menikam hakikat hidup manusia pada saat Gung Lila di atas drama panggung dapat
memerankan dengan tepat. Leak terasa sungguh-sungguh leak yang menakutkan
pada saat perempuan pemeran Leak sanggup memukau penonton pada saat
pementasan.
Cerpen dan drama adalah dua wahana yang berbeda, demikian pula puisi,
novel, radio, film, sinetron, serta berbagai wahana lainnya untuk menyampaikan
“sesuatu” yang sama. Dalam pelaksanaannya, “sesuatu” itu pun terpaksa berubah
karena harus tunduk sepenuhnya pada wahananya yang baru (Djoko Damono,
2014:216).
Ternyata memang cerpen yang dibaca tidak sama dengan cerpen yang telah
dikemas menjadi drama panggung? Cerpen dan drama dalam pementasan tidak
selalu dapat memegang satu benang merah yang sama, baik alur, perwatakan tokoh-
tokoh, dan latar cerita? Pertanyaan-pertanyaan ini menyertai saya sebagai pembaca
cerpen dan penonton drama yang dialihkan dari cerpen dalam Lomba Drama
Modern (LDM) se-Bali 01 – 03 September 2015. Meskipun demikian sebagai
pembaca cerpen dan penonton drama yang dialihwahanakan dari cerpen, saya
merasa perlu berharap: pertama pelaku alih wahana wajib bertanggung jawab pada
benang merah isi dan kualitas yang sama dengan sumber pertama; tulisan ini
menjelaskan bahwa untuk menghasilkan sebuah kajian yang mendalam tentang alih
wahana, diperlukan dukungan kajian multidisiplin dan interdisipilin
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Aswarini, Ni Made Frischa. 2015. “Paradoks dalam Teater” Denpasar: Bali Tribun.
Barthes, Rolland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa Semiotika atau
Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Terjemahan Mahyuddin
Ikramullah (2007). Yogyakarta: Jalasutra.
Budiman, Manneke. 2014 “Masa Depan Humaniora dan Kajian Alih Wahana” dalam
Alih Wahana. Jakarta: Editum.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Terjemahan Evi Setyarini dan Lusi
Lian Piantari. Yogyakarta: Jalasutra.
Djoko Damono, Sapardi. 2014. Alih Wahana. Jakarta: Editum.
Kleden-Probonegoro, Ninuk. 1996. Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan
Diakronik. Jakarta: Obor Indonesia.
Pandu, I Gede. 2015. “Paradoks” Naskah Drama Alih Wahana dari Cerpen Paradoks
(Putu Wijaya). Gianyar: Teater Genta Malini, SMAN I.
Prior, John Mansford. 2004. Berdiri di Ambang Batas. Maumere: Penerbit Ledalero.
Pudentia M.P.S.S. 1990. Transformasi Sastra Analisis Atas Cerita Rakyat
“Lutung Kasarung”. Jakarta: balai pustaka
Rendra, W.S. 1979. Tentang Bermain Drama. Jakarta: Pustaka Jaya.
Satoto, Soediro. 1995. Pengkajian Drama I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia.Bandung: Citra Aditya Bakti
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Tambayong, Yapi, 1981. Dasar-Dasar Dramaturgi. Bandung: Pustaka Prima.
Van Luxemburg, Jan, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick Hartoko).
Jakarta:Gramedia.
Wijaya Putu. “Paradoks” dalam 25 Cerpen dalam 60 Tahun Denpasar Kota
Persimpangan, Sanur Tetap Ramai. I Nyoman Darma Putra (ed).
Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Abstrak
Di wilayah Nusa Tenggara Timur, apresiasi terhadap karya sastra Indonesia mulai
nyata. Hal ini terlihat dari munculnya penulis dan penyair baru di bidang sastra.
Karya sastra berupa puisi, cerpen dan novel tidak sekedar sebagai media hiburan
untuk mengisi waktu luang tetapi sebagai cermin hidup masyarakat dan budayanya.
Begitu pun dalam dunia akademisi, meski di Nusa Tenggara Timur belum ada
fakultas sastra yang berdiri sendiri menjadi pionir di bidang kesusastraan, namun
tidak menyurutkan para pegiat sastra untuk berkarya. Aktivitas menulis karya sastra
mulai bermunculan, beberapa penulis dan penyair muda dengan genre berbeda
menambah warna sastra di NTT.Di era global ini, apresiasi sastra sangat perlu
diberikansebagai bentuk sikap menghargai karya sastraagar dapat memotivasi
masyarakat untuk bergelut di bidang sastra. Pelaku sastra diharapkan mampu
menulis sastra dengan nilai rasa dan seni untuk merangsang para pembaca sehingga
bisa mencintai setiap karya sastra Indonesia. Seni dalam menulis diupayakan agar
nilai-nilai moral yang terkandung dalam setiap karya sastra membawa dampak
positif dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.Seni tentunya harus kreatif untuk
menghasilkan tulisan-tulisan baru yang original bukan plagiasi.
Kata kunci: Karya Sastra, Apresiasi, Menulis kreatif
1. PENDAHULUAN
gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial.
Usaha melacak jejak novel dalam sastra NTT tidaklah gampang. Kendala
utama yang dihadapi adalah ketiadaan buku atau tulisan sebagai referensi. Satu-
satunya referensi yang dipakai dan saya kembangkan adalah buku Mengenal
Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
2012). Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel opini sastra yang telah
dipublikasikan oleh penulis Yohanes Sehandi di sejumlah media cetak di NTT
yang sempat menjadi bahan diskusi, bahkan polemik sejak akhir tahun 2011
sampai pertengahan 2012. Artikel-artikel opini sastra dalam buku ini pun murni
hasil pelacakan penulis terhadap sastra dan sastrawan NTT.
Menurut hemat saya, novel dalam sastra NTT itu lahir pada saat orang NTT
pertama kali menulis dan menerbitkan karya novelnya dalam bahasa Indonesia
kepada masyarakat umum. Siapakah orang NTT pertama yang menulis dan
menerbitkan novel kepada masyarakat umum? Setelah melalui proses penelusuran
yang panjang dan agak rumit terhadap sejumlah data dan informasi yang ada,
akhirnya saya menemukan orang NTT pertama yang menulis dan menerbitkan
novel. Orang yang sangat berjasa itu adalah Gerson Poyk. Gerson Poyk lahir pada
16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, kini berusia 82 tahun. Nama-
nama orang NTT yang lain baru muncul kemudian setelah Gerson Poyk
merintisnya.
Gerson Poyk menerbitkan novel pertama kali pada tahun 1964 (49 tahun
lalu). Pada tahun 1964 Gerson Poyk menerbitkan novel pertamanya berjudul
Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta). Novel Gerson yang kedua
berjudul Sang Guru terbit tahun 1971. Novel yang ketiga berjudul Cumbuan
Sabana terbit tahun 1979 oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. Sampai dengan
Desember 2013 ini Gerson Poyk telah menerbitkan karya sastra berbentuk novel
sebanyak dua belas judul buku. Namun, menurut sejumlah pengamat sastra, masih
sekitar 1/3 karya Gerson yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada
waktu ditanyakan, beliau sendiri tidak ingat lagi jumlah karya sastra berbentuk
novel yang telah diterbitkannya.
2. KAJIAN TEORI
Karya Sastra
Menurut Hauser (1952, Vol.I: 23–27) diduga karya seni sudah ada sejak
zaman paleolitikum, sekitar 750.000 – 15.000 tahun yang lalu. Secara lisan karya
sastra pun pada dasarnya sudah digunakan sejak manusia memahami
keterkaitannya dengan makhluk adikodrati yang kemudian menjadi lebih bermakna
dengan adanya sistem religi. Dalam bentuk tertulis pada umumnya disepakati
bahwa awal karya sastra sudah mulai sejak abad ke-9 SM.
Menurut Rohinah Noor (2011: 25–26), karya sastra merupakan sebuah dialog
yang menolak adanya keasingan, ketidakjujuran, dan penindasan. Dengan
demikian, karya tersebut selalu membawa aura kekuatan dengan merasakan hidup
dalam suatu gairah yang mungkin dapat memecahkan masalah kebudayaan kita.
Karya sastra sebagai lembaga masyrakat yang bermediumkan bahasa memiliki
keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya.
Apresiasi Sastra
bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan
angan-angan merupakan “dunia dalam” pengarang, karya sastra merupakan “dunia
luar” yang bersesuaian dengan “dunia dalam” itu. Dengan cara pendekatan ini,
penilaian karya sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang.
Menurut Juhl (dalam Sugihastuti, 2011) dalam bukunya Interpretation: An
Essay in the Philoshopy of Literary Criticism memaparkan sejumlah konsep umum
tentang arti sebuah karya sastra. Ada satu pandangan yang mengatakan bahwa arti
sebuah karya sastra ditentukan oleh maksud si pengarang. Kualifikasi karya sastra
biasanya bertambah apabila arti sebuah karya sastra bergantung pada maksud
pengarang, sebatas di dalam teks tersebut terdapat aturan-aturan bahasa yang dapat
diuraikan agar mempunyai arti.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi
sastra dilakukan dalam berbagai bentuk dan sikap menelaah karya-karya sastra
secara lebih kritis dengan melibatkan unsur emosi dan logika.
Menulis Kreatif
Faiz Manshur dalam buku Genius Menulis, Penerang Batin Para Penulis
(2012) menjelaskan bahwa modal penulis adalah otak/pikiran untuk memiliki ide-
ide yang kreatif. Selain itu, seperangkat mesin ketik/komputer, stok bacaan, akses
informasi dan mitra diskusi serta kebutuhan efektif lainnya akan selalu dibutuhkan
kemauan atau mental yang kuat. Penulis yang mengedapankan ego mengejar
kepuasan idealismenya tanpa mau mempertimbangkan kebutuhan masyarakat,
mungkin hanya akan melahirkan buku-buku tak laku yang memenuhi gudang,
setumpuk naskah yang selalu ditolak penerbit atau segudang draf yang tersimpan
bertahun-tahun.
memang banyak dari penulis yang memiliki kejeniusan tertentu sehingga dengan
itulah profesi penulis sering identik dengan dunia orang-orang jenius. Dikatakan
demikian para penulis suka berpikir, mencari ide dan gagasan baru, bermain
imajinasi tanpa batas dan memublikasikan lewat berbagai media cetak dan
elektronik.
3. PEMBAHASAN
Gita Kasih, Kupang, 2006); (22) Surga Retak (Mezra E. Pellondou, Kairos,
Kupang, 2007); (23) Loge (Mezra E. Pellondou, Frame Publishing, Yogyakarta,
2008); (24) Nama Saya Tawwe Kabota (Mezra E. Pellondou, Frame Publishing,
Yogyakarta, 2008); (25) Zico & Nina (Yoss Gerard Lema, Gita Kasih, Kupang,
2008); (26) Cleo Kemarilah (Fanny J. Poyk, 2009); (27) Pelangi di Langit Bali
(Fanny J. Poyk, 2009); (28) Sang Sutradara dan Wartawati Burung (Gerson Poyk,
Kakilangit Kencana, Jakarta, 2009); (29) Tarian Ombak (Gerson Poyk, Kakilangit
Kencana, Jakarta, 2009); (30) Meredam Dendam (Gerson Poyk, Kakilangit
Kencana, Jakarta, 2009); (31) Seruling Tulang (Gerson Poyk, Kakilangit Kencana,
Jakarta, 2009); (32) Atma, Putih Cinta Lamahala Kupang (Pion Ratulloly, Perum
PNRI, Kupang, 2010); (33) Perempuan Itu Bermata Saga (Agust Dapa Loka, Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2011); (34) Badut Malaka (Robert Fahik, Cipta
Media, Yogyakarta, 2011); (35) Belis Imamat (Inyo Soro, 2011); (36) Cinta
Terakhir (V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (37) Membadai Pukuafu
(V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (38) Loe Betawi Aku Manggarai (V.
Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (39) Perempuan dari Lembah Mutis
(Mezra E. Pellondou, Frame Publishing, Yogyakarta, 2012); (40) Dua Malam
Bersama Lucifer (Buang Sine, Andi, Yogyakarta, 2012); (41) Rumah Lipatan
(Kopong Bunga Lamaruran, 2012); (42) Nyoman Sulastri (Gerson Poyk, Libri,
Jakarta, 2012); (43) Seribu Malam Sunyi (Gerson Poyk, Libri, Jakarta, 2012); (44)
Luka Batin yang Tersisa (Fanny J. Poyk, 2013): (45) Petualangan Bersama
Malaikat Jibrail (Buang Sine, Andi, Yogyakarta, 2013); (46) Aku? (Yos Mau,
Medium, Bandung, 2013); (47) Janji Sabana (Misel Gual, (2013); dan (48) Likurai
untuk Sang Mempelai (Robert Fahik, Cipta Media, Yogyakarta, 2013).
Karya sastra NTT sebagai produk budaya intelektual orang-orang NTT yang
beragam suku, adat-istiadat, bahasa, dan budaya yang multikultural, dengan jumlah
penduduk lebih dari empat juta orang, dalam rentang jangka waktu selama 49 tahun,
angka 48 buku novel ini dinilai masih sangat kurang. Apalagi, sebagian buku sastra
NTT ini pada saat ini sulit ditemukan di pasaran buku dan perpustakaan karena
tidak dicetak ulang, baik oleh penerbit maupun oleh pengarangnya.
Dari segi produktivitas, sastrawan NTT yang sangat produktif adalah Gerson
Poyk sendiri, telah menerbitkan dua belas buku novel. Gerson juga telah
menerbitkan empat belas buku kumpulan cerpen. Novelis NTT yang sedikit
mengikuti produktivitas Gerson Poyk adalah Maria Matildis Banda (tujuh novel),
Mezra E. Pellondou (enam), Julius Sijaranamual (lima), sedangkan yang lain baru
menerbitkan tiga, dua, dan satu novel.
Beberapa tahun terakhir ini ada fenomena menarik dalam penulisan novel di
NTT. Novelis Vincentcius Jeskial Boekan muncul pertama kali tahun 2011 dengan
tiga judul novel sekaligus, setelah itu vakum. Novelis NTT Buang Sine (polisi di
Polda NTT) tampil fenomenal dengan menerbitkan dua novel, yakni novel Dua
Malam Bersama Sucifer (2012) dan Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (2013).
Kedua novel ini sangat laris, sampai kini sudah terjual puluhan ribu eksemplar
(Telah dimuat dalam harian Victory News (Kupang) pada Rabu, 8 Januari 2014).
Karya sastra yang terlahir dari tangan-tangan penulis sastra NTT sebagian
besar mendapat apresiasi dari masyrakat NTT. Tahun 2011 merupakan tahun
kebangkitan sastra dan sastrawan NTT. Sastra NTT yang dimaksudkan di sini
adalah sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan orang NTT dengan
menggunakan media bahasa Indonesia. Di pihak lain sastrawan NTT adalah
pengarang karya sastra kelahiran NTT atau keturunan orang NTT (lihat Yohanes
Sehandi, Pos Kupang, 13 Desember 2011 dan Flores Pos, 10–11 Januari 2012).
cerpen dan cerpenis serta jumlah puisi dan penyair NTT pada tahun-tahun
sebelumnya.
Berdasarkan data yang saya kumpulkan, selama tahun 2011 sebanyak empat
belas judul buku sastra NTT yang diterbitkan. Perinciannya adalah: enam judul
buku novel, lima judul buku kumpulan puisi, satu judul buku kumpulan cerita
pendek (cerpen), dan dua judul buku telaah/kritik sastra. Penerbitan buku sastra
tahun 2010 dan tahun-tahun sebelumnya tidak sebanyak itu. Keenam judul buku
novel yang diterbitkan tahun 2011 adalah (1) Perempuan Itu Bermata Saga (Agust
Dapa Loka, Elex Media Komputindo, Jakarta); (2) Cinta Terakhir (Vincentcius
Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang); (3) Membadai Pukuafu (Vincentcius Jeskial
Boekan, Nuraniku, Kupang); (4) Loe Betawi Aku Manggarai (Vincentcius Jeskial
Boekan, Nuraniku, Kupang); (5) Badut Malaka (Robert Fahik); dan (6) Belis
Imamat (Inyo Soro).
Hal yang cukup menarik dan membanggakan adalah sejumlah novel yang
diterbitkan tahun 2011 ini dibedah dan diluncurkan di tempat bergengsi dengan
acara protokoler yang meriah dipadati peserta. Cinta Terakhir dan Membadai
Pukuafu dibedah dan diluncurkan di hotel berbintang dan restoran bergengsi,
sedangkan Badut Malaka dibedah dan diluncurkan di aula perguruan tinggi yang
juga bergensi. Salah satu novel yang terbit 2011, yakni novel Perempuan Itu
Bermata Saga (Agust Dapa Loka) berhasil memenangkan hadiah (penghargaan)
kategori “sastra” NTT Academia Award (NTT AA) tahun 2011 yang diberikan oleh
Forum Academia NTT (FAN). Forum Academia NTT (FAN) adalah sebuah forum
intelektual NTT yang anggota-anggotanya tersebar di seluruh dunia. Penyerahan
NTT Academia Award ini dilakukan pada 14 Januari 2012 di Gedung Museum
Daerah NTT.
Kelima judul buku puisi yang diterbitkan 2011 adalah (1) Cerah Hati: Sebuah
Kumpulan Puisi (Christian Dicky Senda, Indie Book Corner, Yogyakarta); (2)
Riwayat Negeri Debu (Jefta Atapeni, Kiara Publishing, Bandung); (3) Pukeng Moe
Lamalera (Bruno Dasion, kumpulan puisinya dalam bahasa Lamaholot dan bahasa
Indonesia, Lamalera, Yogyakarta); (4) Ketika Cinta Terbantai Sepi (Usman D.
Ganggang); dan (5) Antologi Puisi Lonceng Sekolah (Arnoldus Ola Aman).
Buku kumpulan puisi Ketika Cinta Terbantai Sepi karya “penyair nyentrik”
Usman D. Ganggang dibedah dan diluncurkan dua kali di dua provinsi yang
berbeda pada Oktober 2011 diluncurkan di Kesultanan Bima (NTB), pada
November 2011 diluncurkan di SMA Katolik Loyola, Labuan Bajo, Manggarai
Barat (NTT). Di Labuan Bajo acara sastra ini mendapat sambutan yang meriah dari
banyak kalangan. Satu-satunya buku kumpulan cerpen yang terbit tahun 2011
adalah Wanita Sepotong Kepala: Antologi Cerpen (Komunitas Sastra Filokalia
Seminari Tinggi Santu Mikhael, Lima Bintang, Kupang). Di pihak lain dua buku
telaah atau kritik sastra adalah (1) Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi
(A.G. Hadzarmawit Netti, B You Publishing, Surabaya), dan (2) Studi Sastra Lisan:
Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya (Yoseph
Yapi Taum, Lamalera, Yogyakarta).
Ke enam belas judul artikel opini sastra yang dimuat Pos Kupang tahun 2011
adalah (1) “Cerpen dan Puisi Pos Kupang 2010: Krisis Apresiasi dan Kritik”
(Yohanes Sehandi, PK, 1 Februari 2011); (2) “Sastra dan Pengarusutamaan
Gender” (Taty Gantir Neonbasu, PK, 24 Februari 2011); (3) “Cerpen: Antara
Realitas dan Kritik Sosial” (Jimmy Meko Hayong, PK, 10 Maret 2011); (4) “Dusun
Flobamora: Wadah Sastra Kreatif untuk Para Pemula” (Amanche Franck Oe Ninu
dan Mario F. Lawi, PK, 20 Maret 2011); (5) “Putu Wijaya dan Amanche Franck:
Di Persimpangan Semiotik Keduanya Bebas Bicara” (Pion Ratulolly, PK, 27 Maret
2011); (6) “Puisi dan Kekuatan Sosial” (Hengky Ola Sura, PK, 28 Maret 2011); (7)
“Memaknai Puisi Elisabet A. Sulastri” (Videntus Atawolo, PK, 2 April 2011); (8)
“Mempertimbangkan Cinta Terakhir” (Resensi Novel Cinta Terakhir, Julianus
Akolit, PK, 3 April 2011); (9) “Novel dan Tirani Televisi” (Apresiasi Novel Belis
Imamat) (V. Nahak, PK, 4 April 2011); (10) “Bersastra di Tengah Karang dan
Lontar” (Januario Gonzaga & Amanche Franck Oe Ninu, PK, 10 April 2011); (11)
“Menulis Cerpen, Bukanlah Bercerita” (Julianus Akoit, PK, 10 April 2011); (12)
“Belajar Bersastra dari Seorang Umbu” (Willem B. Berybe, PK, 8 Mei 2011); (13)
“Diksi Sang Penyair: Percintaan di Dunia Sunyi” (Julianus Akoit, PK, 15 Mei
2011); (14) “Dialektika tentang Kematian di Ruang Imajinasi” (Julianus Akoit, PK,
29 Mei 2011); (15) “Puisi-Puisi Chairil Anwar” (Sebuah Refleksi HUT ke-66 RI)
(Willem B. Berybe, PK, 16 Agustus 2011); dan (16) “Sastra NTT yang Berpijak di
Bumi” (Yohanes Sehandi, PK, 13 Desember 2011).
Selanjutnya, ke-10 judul artikel opini sastra yang dimuat Flores Pos adalah
(1) “Mempertimbangkan Ruang dan Waktu: Pengajaran Penulisan Kreatif Sastra di
Sekolah” (M.M. Bali Larasati, FP, 6 Januari 2011); (2) “Mitos Ine Pare: Antara
Fakta dan Fiksi” (Perbincangan Sastra Lisan Etnik Lio) (M.M. Bali Larasati, FP,
13 Januari 2011); (3) “Sastra dan Pendidikan” (Hengky Ola Sura, FP, 19 Januari
2011); (4) “Sahabat dan Puisi” (Bill Halan, FP, 10 Maret 2011); (5) “Puisi: Model
Pembangunan Karakter” (Sr. Wilda Wisang, CIJ, FP, 27 Juni 2011); (6) “Dilema
dan Tantangan Pekarya Sastra” (Thomas A. Sogen, FP, 18 Agustus 2011); (7)
“Melacak Sastra dan Sastrawan NTT” (Yohanes Sehandi, FP, 19 November 2011);
(8) “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT” (Sebuah Tanggapan) (Norbertus Jegalus,
FP, 24 November 2011); (9) “Pengarang NTT” (Menanggapi Yohanes Sehandi)
(Pion Ratulolly, FP, 29 November 2011); dan (10) “Dosa Asal Sastrawan” (NTT)
(Januario Gonzaga, FP, 9 Desember 2011).
Jumlah cerpen Pos Kupang (PK) tahun 2011 yang berhasil saya kumpulkan
dan cermati berjumlah 45 judul cerpen dari 33 cerpenis NTT yang diambil dari 42
nomor PK edisi Minggu. Bandingkan dengan jumlah cerpen PK tahun 2010
sebelumnya. Tahun 2010, cerpen yang ditampilkan di PK berjumlah 36 judul dari
31 cerpenis. Jadi, tahun 2011 ini ada penambahan sembilan judul cerpen dan
penambahan dua cerpenis NTT.
Cerpen PK tahun 2011 yang berjumlah 45 judul ini berasal dari 33 cerpenis.
Ada beberapa cerpenis yang menulis lebih dari satu cerpen. Ke-33 cerpenis NTT
yang menghasilkan 45 judul cerpen itu (berdasarkan urutan pemuatan cerpen di PK
dari Januari sampai Desember 2011) adalah Yosef S. Sefni, Amanche Franck,
Jimmy Meko Hayong, Bernard Nailiu, Kristo Ngasi, Arys Botha, Engky Pukan,
Roman Nama, Gobin D.D., Mikhael E. Bernardus, Arsen Ngai, Taty Gantir,
Ambrosius Beda Niron, Nong Djese, Rheynard el Meo, Fabio Seran, Mario F.
Lawi, Atel Lewo Keda, Karolus Larantukan, Mariana Rilis Sogen, Holang
Odorikus, Cosmas Kopong Beda, Keletus Marcel Udak, Jose Wassa, Herry Serang,
Deodatus D. Parera, Lolik Luon, Januario Gonzaga, Agustinus Raring, Fram
Maget, Fanny Watu, Djho Izmail, dan Vinsen Making.
Agar bisa diketahui para pembaca, ke-36 penyair NTT yang menghasilkan 99
judul puisi tahun 2011 itu (berdasarkan urutan pemuatan cerpen di PK dari Januari
sampai Desember 2011) adalah: Magdalena Ina Tuto, Gobin D.D., Jingga Clarita,
Pion Ratulolly, Dody Kudji Lede, Vinsen Making, Avianita Rachmawati,
Inosensius Nahak Berek, Elisabet A. Sulastri, Florensius Marsudi, Ferdy Mello,
Viktorius P. Feka, Mario F. Lawi, Dion Tunti, Soleman Febe Maria, Trasianus
Golo, Cosmas Kopong Beda, Holang Odorikus, August Kani, Januario Gonzaga,
Jimmy Meko Hayong, Selamat Frans, Valens Daki Soo, Willem B. Berybe, Rosalia
Dolu, Lambert Lalung Namang, Ishack Sonlay, Ninu Ecko, Fredy Oki, Arie Putra,
Lee Risar, Chintia Devi Yurensi, Even DJ, Sisilia Semilia Seran, Tinus Tamo Ama,
dan Bara Pattyradja.Dalam tahun 2011 ini juga dua penyair muda NTT, yakni
Ishack Sonlay dan Mario F. Lawi terpilih mewakili NTT menjadi peserta Temu
Sastrawan Indonesia 4 (TSI 4) di Ternate, Maluku Utara pada 25–29 Oktober 2011
bersama 124 sastrawan yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia.
4. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Kuntha Ratna, Nyoman. 2014. Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sugihastuti. 2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Noor, Rohinah. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Manshur, Faiz. 2012. Genius Menulis Penerang Batin Para Penulis. Bandung:
Nuansa
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2014/02/melacak-jejak-novel-dalam-sastra-
ntt.html
http://yohanessehandi.blogspot.com/2012/03/kebangkitan-sastra-ntt-2011.html
BIODATA PENULIS
ABSTRAK
Mantra bahasa Ende seperti puisi dan maknanya hanya dipahami oleh dukun
atau tua adat yang bersangkutan. Mantra pada hakikatnya terdiri atas bunyi-bunyian
yang membangun irama dan mengandung kekuatan gaib. Mantra termasuk dalam
puisi rakyat yang terdiri atas beberapa kalimat, panjang, pendek suku katanya
berdasarkan irama serta mengandung kata-kata magis untuk mencapai maksud
tertentu. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna Sua
Buka Uma Muri pada masyarakat Desa Emburia sebagai bentuk pemertahanan
bahasa lokal.
1. PENDAHULUAN
Mantra adalah susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang
dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang
untuk menandingi kekuatan gaib lainnya. Mantra digolongkan pada karya sastra
lisan, karena mantra disampaikan secara lisan, sehingga sastra lisan seperti mantra
ini harus dijaga dan dilestarikan bahkan dalam pelaksanaannya diharapkan agar
sastra lisan, termasuk mantra tidak boleh lenyap begitu saja. Mantra merupakan
bentuk puisi rakyat yang terdiri atas beberapa kalimat panjang pendeknya suku kata
dan berdasarkan irama (Danandjaja, 1984:45). Mantra memiliki kekuatan gaib.
Sai ata soi, Bobi atau soi artinya siapa yang ikat, Bobi yang ikat.
Sai ata towa, Tiwe ata towa artinya siapa yang buka, Tiwe yang buka.
Sai ata poru, Ndozu ata poru artinya siapa yang elus, Ndozu yang elus.
Sai ata dhemba, Semba ata dhemba artinya siapa yang kebas, Semba yang kebas.
Daya atau kekuatan mantra di atas dapat disikapi dengan cara persuasif yang
mengandung pengungkapan maksud tertentu.Ini merupakan suatu bentuk
permohonan terhadap makhluk halus agar sudi menyelamatkan ibu dan anak pada
saat proses persalinan. Bobi, Tiwe, Ndozu dan Semba adalah nama makhluk halus
yang dipercaya bisa menolong memperlancar dan menyelamatkan ibu dan anak
pada saat persalinan (ngai sia ana).
Dilihat dari segi bentuk, mantra merupakan salah satu bentuk karya sastra
dan termasuk jenis puisi lama. Irama serta korespondensinya menyerupai puisi,
karena adanya ciri dan unsur tersebut, maka mantra dianggap prototipe puisi (Eddy,
1991:130). Mantra sebagai prototipe puisi merupakan ekspresi kerinduan batin
manusia kepada alam. Oleh karena itu, mantra merupakan sebuah peristiwa
pengungkapan alam pikiran, sikap, dan nilai kebudayaan masyarakat setempat, dan
sebagai sarana gagasan yang mendukung pembangunan Indonesia secara
keseluruhan.
3. FUNGSI MANTRA
Mantra mempunyai fungsi sebagai sastra lisan, antara lain untuk menunjang
perkembangan bahasa dan sastra, serta pengungkapan pola pikir, sikap dan nilai
kebudayaan setempat dan sebagai sarana gagasan yang mendukung pembangunan
manusia Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, Dananjaja (2002:19)
mengemukakan beberapa fungsi mantra, antara lain:
sastra yang lahir dan hidup dalam masyarakat lama Indonesia. Masyarakat lama
yang dimaksudkan dalam sastra lama adalah suatu masyarakat yang terikat kuat
dengan adat istiadat. Mantra merupakan bentuk puisi lama yang tertua dan berbait-
bait.
Mantra yang menjadi subjek penelitian ini merupakan salah satu jenis puisi
lama yang terikat oleh syarat tertentu, misalnya mempunyai irama dan berirama.
Teori sosiolinguistik merupakan suatu teori untuk mencari konteks sosial
kebudayaan, ragam-ragam bahasa dalam studi tertentu dan mencari fungsi
penggunaan bahasa dalam masyarakat (Nababan, 1997:21). Bahasa sebagai
medium dalam mantra merupakan bentuk pengungkapan imajinasi dan manifestasi
kehidupan manusia dan masyarakat dalam bentuk sastra lisan bukan dalam bentuk
tulisan.
4. PEMBAHASAN
4.1. BentukSuaBuka Uma Muri
Mantra dalam upacara buka uma muri berbentuk puisi lama yang terlihat oleh
banyaknya baris per bait dan banyaknya suku kata dalam setiap baris, serta
memiliki pola persajakan. Mantra buka uma muri atau membuka kebun baru adalah
mantra yang disampaikan pada saat pembukaan lahan baru. Syair mantra ini terdiri
atas 5 bait, tiap bait terdiri atas 4-6 baris. Hal ini dapat di lihat pada uraian di bawah
ini.
Tana wuzi woso
Watu zando kapa
Tana poro tiko wozo
Poa tiko bhoa
Mbaka tiko randa
1. Bait Pertama
Tanah wuzi woso
Tanah semacam siput yang dipakai banyak
Tanah sebagai perhiasan dalam upacara adat
Tanah yang banyak seperti siput di kali
Watu zando kapa
Batu bunga tebal, banyak
Batu yang banyak seperti bungan ditaman
Tana poro tiko wozo
Tanah terjun hadang, kepung bukit
Tanah datang dari bukit
Poa tiko bhoa
Terjun hadang, kepung lembah perbukitan
Datang dari lembah
Mbaka tiko randa
Menyeberang kepung, hadang cabang, dahan
Dari segala penjuru
Terjemahan:Tanah yang banyak seperti siput di kali batu yang banyak seperti bunga
yang bermekaran. Tanah datang dari bukit, datang dari lembah dan datang dari
segala penjuru.
Melihat data di atas maka kalimat tana wuzi woso menggambarkan bahwa kata
tana artinya “tanah dan lahan yang akan digarap”, kata wuzi artinya “sejenis siput
di kali yang bentuknya lebih besar dari yang lainnya dan sangat indah”. Siput
tersebut biasanya sebagai perhiasan dalam upacara adat. Kata woso artinya
“banyak”.
Kata watu artinya “batu”, kata zando artinya “bunga yang bermekaran”, kapa
artinya “banyak”. Jadi, di atas lahan yang akan digarap tersebut, juga terdapat
banyak batu.
Tana poro tiko wozo mengandung arti bahwa “tanah yang akan digarap tersebut
datang dari bukit”. Poa tiko bhoa mengandung arti bahwa “tanah tersebut juga
datang dari lembah”., sedangkan mbaka tiko randa, mengandung arti bahwa tanah
tersebut datang dari segala penjuru.
Bait ini terdiri atas 5 baris, tiap baris terdiri atas 3-4 kata, dengan pola
persajakan akhir /ab-ab-b/, seperti tempat dalam kata : woso, kapa, wozo, bhoa,
randa.
2. Bait Kedua
Tana taji papa tau
Tanah mengadu domba halang buat
Tanah tumpah darah
Watu soza papa wesa
Batu teriakan halang potong
Batu pengorbanan
Tana ra ngere wari wesa
Tanah darah seperti jemur hambur
Tanah seperti darah yang terpercik kemana-mana
Watu boge ngere jawa goe
Batu potong daging seperti jagung campur
Batu seperti potongan daging yang berhamburan
Terjemahan bebas
“Untuk memperoleh tanah harus melalui usaha dan pengorbanan. Tanah dan
batu seperti darah dan daging yang terpercik dan berhamburan ke mana-mana”.
Melihat data di atas, maka kalimat tana taji papa tau dan watu soza papa
wesa, mengandung arti bahwa “ untuk mendapatkan tanah harus melalui usaha dan
pengorbanan”.
Dengan tanah manusia bisa saling mengadu domba satu sama lain. Dengan
begitu, maka terjadilah pertumpahan darah. Pada kalimat, tana ra ngere wari wesa
dan watu boge ngere jawa goe, mengandung arti bahwa “dengan terjadinya
pertumbahan darah, makan korban akan berserakan ke mana-mana” dan pada saat
itulah darah dan daging akan menyatu dan akan berhamburan kemana-mana.
Bait ini terdiri atas 4 baris, tiap baris terdiri atas 4-5 kata, dengan pola
persajakan awal /ab-ab/, seperti yang tampak dalam kata: tana, watu, tana, watu.
3. Bait Ketiga:
Ndie ja’o wi kozu
Di sini saya akan, mau isi
Di sini saya akan mengisi
Ndie ja’o wi roe
Di sini saya akan, mau siram, tuang
Di sini saya akan menuang
Ndie ja’o wi kozupare bhara
Di sini saya akan mengisi beras putih
Ndie ja’o wi roe moke
Di sini saya mau, akan siram, tuang tuak
Di sini saya akan menuang tuak
Ndie ja’o wi rote tezo
Di sini saya akan, mau tumbuk telur
Di sini saya akan menumbuk telur
Terjemahan bebas :
“Di sini saya akan mengisi dan menuang, saya akan mengisi beras putih dan
menuang tuak, serta menumbuk telur”.
Melihat data di atas kalimat ndie ja’o wi kozu dan ndie ja’o wi roe mengandung
arti bahwa setelah melalui perjuangan yang berat dan meletihkan, kini tibalah
saatnya meraih kemenangan. Sebagai tanda syukur tersebut, maka sang tua adat
meminta izin kepada leluhur untuk melakukan ritual adat. Sedangkan pada kalimat
ndie ja’o wi kozu pare bhara, ndie ja’o roe moke dan ndie ja’o wi rote tezo
mengandung arti bahwa “setelah minta izin kepada leluhur, maka tua adat akan
mengisi beras putih menuang tuak dan menumbuk telur dalam sebuah bakul untuk
diberikan kepada arwah leluhur”.
Bait ini terdiri atas 5 baris, tiap baris terdiri atas 4-6 kata, dengan pola
persajakan awal/aa-aa-a/ seperti yang tampak dalam kata: ndie, ndie, ndie, ndie.
4. Bait Keempat :
So netu zoka bhoka
Ajakan seruan asal tumpah berkembang tunas
Asalkan dia bertunas dan berkembang
So netu tendo tembu
Ajakan seruan asal tanam tumbuh
Tumbuh dengan baik
Kombe wutu tembu
Malam empat tumbuh
Malam keempat tumbuh
Kombe zima suza
Malam lima muncul
Malam kelima muncul
Netu jo mbo’o-mbo’o
Asal kerja kenyang-kenyang
Bekerja agar hidup sejahtera
Netu ghagha kapa-kapa
Asal buka tebal-tebal, banyak-banyak
Mengharapkan hasil yang melimpah
Terjemahan : “Mengharapkan tanaman yang ditanam bisa tumbuh dan berkembang
dengan baik. Malam keempat tumbuh, malam kelima muncul dan mengharapkan
hasil yang melimpah untuk kemakmuran hidup”.
Melihat data di atas, maka kalimat So netu zoka bhoka, so netu tendotembu
mengandung arti bahwa “setelah benih ditanam, diharapkan bisa tumbuh dan
berkembang dengan baik”. Kombe wutu tembu, dan kombe zima suza mengandung
arti bahwa “benih yang sudah ditanam diharapkan bisa tumbuh pada malam
keempat dan bisa muncul pada malam kelima”.
Bait ini terdiri dari atas 6 baris tiap baris terdiri atas 3-4 kata, dengan pola
persajakan akhir /ab-ba-ca/seperti yang tampak dalam kata: bhoka, tembu, tembu,
suza, mbo’o, kapa.
5. Bait Kelima
So ndie zima ko’o ja’o iwa
Ajakan, seruan di sini tangannya saya tidak
Di sini bukan tangannya saya
Zima ko’o zaki zima ko’o mosa
Tangannya tuan adat tangannya tuan adat
Tangannya tuan adat
So ndie siku ja’o iwa
Ajakan, seruan di sini sikunya saya tidak
Di sini bukan sikunya saya
Siku ko’o zaki ziku ko’o mosa
Sikunya tua adat sikunya tua adat
Tapi sikunya tua adat
Terjemahan bebas: “Ini bukan tangannya saya, tetapi tangannya tua adat. Dan ini
bukan sikunya saya, tapi sikunya tua adat”.
Melihat data di atas, maka kalimat so ndie zima ko’o ja’o iwa, zimako’o mosa
dan so ndie siku ko ja’o iwa, siku ko’i mosa mengandung arti bahwa “tua adat yang
memimpin upacara tersebut menyatakan kerendahan hatinya. Ia mengakui bahwa
tangan dan siku yang saat memimpin upacara adat tersebut bukanlah
kepunyaannya, tetapi kepunyaan leluhur yang terdahulu”. Ini mengartikan bahwa
tua adat juga mengharapkan campur tangan dari para leluhur untuk turut membantu
melancarkan upacara adat tersebut sehingga apa yang diharapkan bisa diperoleh”.
Bait ini terdiri dari 4 baris, tiap baris terdiri atas 6 kata dengan pola persajakan
akihr /aa-aa/ seperti tempat dalam kata : iwa, mosa, iwa, mosa.
Berdasarkan data di atas maka dapat diketahui bahwa mantra yang dituturkan
pada saat upacara buka uma muri merupakan mantra yang bertujuan memohon
bantuan para leluhur untuk terlibat dalam usaha pertanian yang menjadi mata
pencaharian utama bagi masyarakat setempat.
1. Bait Pertama
Tana wuzi woso
Watu zendo kapa
Tana poro tiko wozo
Poa tiko bhoa
Mbaka tiko randa
a. Pada bait pertama baris pertama, unsur keindahannya terletak pada pengulangan
bunyi vokal a-a pada katatana, perpaduan vokal u-a pada kata wuzi dan
pengulangan bunyi vokal o-o pada kata woso.
b. Pada bait pertama baris kedua, unsur keindahkannya terletak pada perpaduan
bunyi vokal a-u pada kata watu dan pengulangan vokal a-a pada kata kapa.
c. Pada bait pertama baris ketiga, unsur keindahan terletak pada pengulangan bunyi
vokal a-a pada kata tana dan pengulangan vokal opada kata poro, tiko dan woso.
d. Pada bait pertama baris keempat, unsur keindahannya terletak pada pendobelan
vokal, yaitu vokal o-a pada kata poa dan bhoa dan perpaduan bunyi vokal i-o
pada kata tiko.
e. Pada bait pertama baris kelima, unsur keindahannya terletak pada pengulangan
vokal a-a pada kata mbaka, dan perpaduan vokal i-o pada kata tiko.
2. Bait Kedua
Tani taji papa tau
Watu soza papa wesa
Tana ra ngere wari wesa
Watu boge ngere jawa goe
a. Pada bait kedua baris pertama, unsur keindahannya terletak pada pengulangan
bunyi vokal a-a pada kata tana dan papa, perpaduan vokal a-i pada kata taji dan
pendobelan vokal a-u pada kata tau.
b. Pada bait kedua baris, unsur keindahannya terletak pada perpaduan vokal a-a, o-
a, e-a pada kata watu, soza, wesa dan pengulangan bunyi vokal a-a pada kata
papa.
c. Pada bait kedua baris ketiga vokal a-a pada kata papa. Pengulangan bunyi vokal
a-a, e-e pada kata tana, ngere dan perpaduan bunyi vokal a-i, e-a pada kata wari
dan wesa.
d. Pada bait kedua baris keempat, unsur keindahannya terletak pda perpaduan
bunyi a-u, o-e pada kata watu, boge dan pengulangan bunyi vokal e-e, a-a pada
kata ngere,jawa serta pendobelan bunyi vokal o-e pada kata goe.
3. Bait Ketiga
Ndie ja’o wi kozu
a. Pada bait ketiga baris pertama, unsur keindahannya terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e pada kata ndie dan perpaduan bunyi vokal o-u pda kata kozu.
b. Pada bait ketiga baris kedua, unsur keindahnnya terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e, o-e pada kata ndie dan roe.
c. Pada bait ketiga baris ketiga, unsur keindahannya terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e pada kata ndie, perpaduan bunyi vokal o-u, a-e pada kata kozu,
pare dan pengulangan bunyi vokal a-a pada kata bhara
d. Pada bait ketiga baris keempat, unsur keindahannya terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e, o-e pada kata ndie, roe dan perpaduan bunyi vokal o-e pada
kata roe, moke
e. Pada bait ketiga baris kelima, unsur keindahannya terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e pada kata ndie, perpaduan bunyi vokal o-e, e-o pada kata rote
dan tezo. Secara keseluruhan, letak keindahan syair mantra pada bait ketiga di
atas adalah terlihat pada pengulangan kata ndie, ja’o dan wi.
4. Bait Keempat
So netu zoka bhoka
So netu tendo tembu
Kombe wutu tembu
Kombe zima suza
Netu jo mb’o-mbo’o
Netu ghagha kapa-kapa
a. Pada bait keempat baris pertama unsur keindahannya terletak pada perpaduan
vokal o-a dan e-u pada kata zoka, bhoka dan netu.
b. Pada bait keempat baris kedua, unsur keindahannya terletak pada perpaduan
bunyi vokal e-u pada kata netu.
c. Pada bait keempat baris ketiga, unsur keindahannya terletak pada pengulangan
bunyi u-u pada kata wutu dan pengulangan vokal u pada kata wutu dan tembu.
d. Pada bait keempat baris keempat, unsur keindahannya terletak pada perpaduan
bunyi vokal i-a dan u-a pada kata zima dan suza.
e. Pada bait keempat baris kelima, unsur keindahannya terletak pada perpaduan
vokal e-u pada kata netu.
f. Pada bait keempat baris keenam, unsur keindahannya terletak pada perpaduan
vokal e-u pada kata netu dan pengulangan bunyi vokal a-a pada kata kapa.
5. Bait kelima
So ndie zima ko’o ja’o iwa
Zima ko’o zaki, zima ko’o mosa
So ndie siku ko’o ja’o iwa
Siku ko’o zaki siku ko’o mosa
a. Pada bait kelima baris pertama, unsur keindahan terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e pada kata ndie dan perpaduan bunyi vokal i-a pada kata zima
dan iwa
b. Pada bait kelima baris kedua, unsur keindahannya terletak pada pengulangan
kata zima dan ko’o serta perpaduan bunyi vokal o-a pada kata mosa.
c. Pada bait kelima baris ketiga, unsur keindahannya terletak pada pendobelan
bunyi vokal i-e pada kata ndie, dan perpaduan bunyi vokal i-u, i-a pada kata
siku dan iwa.
d. Pada bait kelima baris keempat, unsur keindahannya terletak pada
pengulangan kata siku dan ko’o serta perpaduan bunyi vokal a-i, o-a pada
kata zaki dan mosa.
4.3 Makna Mantra
4.3.1 Makna Kepahlawanan
Makna kepahlawanan mengandung arti bahwa untuk memperoleh sesuatu
yang kita harapkan harus melalui pengorbanan dan kerja keras. Seperti pada kalimat
mantra dibawah ini :
Pada saat tersebut, sambil membaca mantra tua adat yang memimpin upacara
mengambil bakul, mengisinya dengan beras putih, menuangkan sedikit tuak ke
dalamnya dan yang terakhir memasukkan telur.
Telur tersebut dipecahkan (dengan cara ditumbuk) di dalam bakul yang sudah
berisi dengan beras putih dan tuak tersebut.
5. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Saini. 1983. Sastra Lisan Aceh. Jakarta Timur: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Indonesia.
Nababan, P.W.J. 1983. Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam Masyarakat dan
Pendidikan. Jakarta: Sinar Budaya.
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Fakta yang terjadi di lapangan, justru banyak peserta didik yang tidak tertib
dalam menerjemahkan kalimat nominal dan kalimat verbal dalam bahasa Arab,
padahal untuk sampai kepada pesan teks yang akan diterjemahkan, penerjemah
harus memahami karakter dari kedua kalimat tersebut, baik dalam bahasa Arab
maupun dalam bahasa Indonesia. Hal ini semakin dipertegas oleh fakta lapangan
yang terjadi pada peserta didik yang ada di MAN Karanganyar dan MAN 1
Surakarta. Ketika mereka, para peserta didik tersebut, dituntut untuk
menerjemahkan sebuah karya tulis sederhana dalam bahasa Arab yang mengandung
kalimat nominal dan kalimat verbal, hasil terjemahan dari para peserta didik
tersebut tidak komunikatif (untuk tidak mengatakan “salah” dalam
menerjemahkan).
Selain itu, tidak adanya bahan ajar yang menjelaskan pola-pola kalimat
nominal dan kalimat verbal dalam penerjemahan teks berbahasa Arab menjadi salah
satu faktor utama mengapa para peserta didik di MAN Karanganyar dan MAN 1
Surakarta kurang memahami urgensi dari penerjemahan kalimat nominal dan
kalimat verbal. Dalam keadaan demikian, Iptek bagi Masyarakat (IbM) sebagai
salah satu program pengabdian kepada masyarakat (PPM) yang difokuskan pada
penerapan hasil-hasil Iptek perguruan tinggi untuk meningkatkan keterampilan dan
pemahaman Iptek masyarakat menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi
masalah tersebut.
Arab yang sederhana tersebut diambil dari buku al-Qira’ah ar-Rasyidah karya
Abul-Chasan ‘Aliy Al-Chasaniy diterbitkan oleh United Kingdom Islamic Academy
tahun 2003. Buku tersebut selama ini digunakan sebagai bahan ajar bahasa Arab
dan kebudayaan Islam. Dengan memahami dan membaca teks-teks sederhana
dalam buku tersebut, peserta didik di MAN Karanganyar MAN 1 Surakarta
diharapkan memahami alur dan susunan tema yang ada dalam teks-teks berbahasa
Arab. Selain buku tersebut, juga akan diberikan buku perihal berbudi pekerti yang
baik terhadap Allah swt, yaitu kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali.
10. Peserta didik mampu memahami dan menerapkan dalam penerjemahan pola
fi’liyyah 2:fi’l mudhari’ ()يرجع أبي إلى جاكرتا
11. Peserta didik mampu memahami pola fi’liyyah 3: ( فعل المضارع+ )كان
bahasa Arab yang menggunakan pola kalimat nominal dan kalimat verbal, (3)
mengoptimalkan latihan soal dalam “menuliskan” dan menerjemahkan teks-teks
sederhana bahasa Arab yang mengandung pola kalimat nominal dan kalimat verbal,
dan (4) penulisan bahan ajar sebagai guide line penerjemahan kalimat nominal dan
kalimat verbal dalam bahasa Arab dan peningkatan publikasi karya ilmiah di
seminar internasional dan jurnal nasional terakreditasi perihal penerjemahan Arab
- Indonesia.
Dari seluruh permasalahan yang teridentifikasi, telah disepakati bersama
bahwa beberapa permasalahan yang diprioritaskan untuk diselesaikan dalam
program IbM adalah: (1) kurang optimalnya pendampingan dalam membaca teks
sederhana berbahasa Arab, sehingga peserta didik kesulitan membaca teks
sederhana dalam bahasa Arab, (2) peserta didik kesulitan dalam menerjemahkan
dan menulis teks sederhana dalam bahasa Arab, (3) peserta didik tidak bisa
menerjemahkan secara komunikatif kalimat nominal dan kalimat verbal dalam teks
berbahasa Arab, dan (4) tidak adanya bahan ajar yang mengajarkan penerjemahan
pola-pola kalimat nominal dan kalimat verbal dalam teks berbahasa Arab. Oleh
sebab itulah diberikan contoh penerjemahan kedua pola kalimat tersebut yang ada
dalam buku al-Qira’ah ar-Rasyidah dan kitab Bidayatul-Hidayah yang membahas
perihal tata krama yang baik kepada Allah SWT sebagai dasar dalam pendidikan
moral Islami.
3. Metode Penelitian
Salah satu metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
distribusional dengan menggunakan teknik bagi unsur langsung untuk
memporakkan pola kalimat yang ada dalam buku teks berbahsa Arab tersebut.
Memang sepertinya akan menjadi tampak asing ketika harus mengajarkan pola-pola
penerjemahan dan mengajarkan nilai-nilai moral dalam satu program, yaitu dengan
kekhawatiran akan tidak fokusya sebuah program. Namun dalam hal ini, tim
peneliti atau tim pengabdi berusaha untuk membuat sebuah inovasi baru, yaitu
pembelajaran penerjemahan Arab – Indonesia berbasis pendidikan moral.
Langkah teknis yang akan dilakukan dalam pengabdian/ penelitian ini adalah:
1. Secara selektif, tidak random, akan dipilih beberapa buku teks berbahasa
Arab dengan standar siswa MAN yang mengandung tuntunan moral Islami
yang sesuai dengan norma moral bangsa Indonesia.
2. Setelah buku teks berbahasa Arab dipilih, langkah selanjutnya adalah
mengumpulkan data berupa satuan bahasa (kalimat) yang ada dalam teks
tersebut. Kemudian mengelompokkan kalimat-kalimat tersebut berdasarkan
pola-pola yang membentuknya. Berlandaskan pada pola-pola tersebut, para
peserta didik diharapkan lebih mudah memahami penerjemahan kalimat
yang ada dalam bahasa Arab.
3. Latihan dan evaluasi penerapan pola-pola penerjemahan dalam kelas.
4. Penulisan bahan ajar sebagai guide line atau panduan dalam memahami dan
mempraktikkan penerjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa sasaran (baik
bahasa Indonesia, bahasa Jawa, maupun bahasa Inggris).
5. Mengelaborasi teknik dan metode yang ada dalam teori penerjemahan
kemudian mengintegrasikan dalam sebuah bahan ajar.
6. Implementasi isi bahan ajar pada para peserta didik. Beberapa ajaran moral
yang ada dalam teks penerjemahan tersebut, seperti disiplin dalam ibadah,
bersahabat dengan kawan-kawan, menyayangi binatang, meneladani
perilaku Rasulullah, yang dengan proses implementasi substansi ajaran
moral sembari melatih diri menerjemahkan kalimat nominal dan kalimat
verbal bahasa Arab, dapat tercapai dengan baik. Memadukan antara dua hal
dalam sebuah kegiatan memang membutuhkan persiapan yang matang, oleh
sebab itu peneliti harus memberikan skala prioritas dari kedua kegiatan
tersebut. Dalam hal ini, melatih penerjemahan kalimat nominal dan verbal
dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tetap diutamakan. Adapun
implementasi ajaran moral menjadi capaian periferal.
7. Ancangan awal dalam menanamkan pendidikan moral berdasarkan teks-
teks yang sudah diterjemahkan, kemudian akan dilakukan pantauan secara
berkelanjutan dalam menerapkan nilai-nilai moral yang sudah
Pola fi’liyyah 1: fi’l madhi ()اغتسل محمد, Pola fi’liyyah 2:fi’l mudhari’
()يرجع أبي إلى جاكرتا, Pola fi’liyyah 3: ( فعل المضارع+ )كان.
sebuah ajektiva. Menurut Ramlan (2005: 129-130) kalimat nominal ialah klausa
yang predikatnya terdiri atas kata atau frase golongan nomina, misalnya:
(1) ia guru
(2) rumah-rumah itu rumah dinas Departemen Penerangan
(3) mereka itu karyawan suatu perusahaan swasta di Jakarta
(4) yang dibeli orang itu sepeda
(5) yang diperjuangkan kebenaran
(1) Pada tataran klausa dapat menduduki fungsi sebagai subyek, predikta, dan
objek.
(2) Pada tataran frase tidak dapat dinegasikan dengan kata tidak, melainkan
dengan kata bukan, dapat diikuti kata itu sebagai atributnya, dan dapat
mengikuti kata depan di atau pada sebagai aksisnya.
Misalnya kata buku. Pada tataran klausa, kata ini dapat menduduki fungsi
subjek, misalnya pada klausa buku sangat berguna, dapat menduduki fungsi
predikat, misalnya pada klausa itu buku, dan dapat menduduki fungsi objek,
misalnya pada klausa ia membawa buku. Pada tataran frase kata buku tidak dapat
dinegasikan dengan kata tidak, melainkan dengan kata bukan, dapat diikuti kata itu
sebagai atributnya, dan dapat mengikuti kata depan di atau pada sebagai aksisnya:
*tidak buku, bukan buku, buku itu, di pada buku.
Frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata golongan nomina
disebut frase nominal. Misalnya frase rumah dinas Departemen Penerangan:
karyawan suatu perusahaan swasta di Jakarta: sepeda baru: suatu kebenaran:
buku itu: dan sebagainya. Dalam pembahasan frase nominal dan klausa nominal,
kata benda menjadi pusat.Al-Khuli (1982: 184) menyebut frase nominal dengan
sebutan majmū‘ah ’ismiyyah atau ‘ibārah ismiyyah yaitu kumpulan dari kata-kata
yang berpusat pada sebuah ism/nomina tertentu yang menjadi bagian dari
kalimat.Selanjutnya Al-Khuli (1982: 184) menyebut klausa nominal dengan istilah
َوحدة إسناديّة تبدأ أصـــالة باسم يقوم بوظيفة المسند إليه و يُس ّمى الُمبتدأ و تَتض ّمن اسما آخر يقوم بوظيفة
يس ّمى الُمسند إليه اسم الناسخ و يُسمى, إذا دخل ناسخ على هذه الجملة.ٌشجاع ّ ال ُجن ِد:الُمسند و يُ َس ّمى اللخبر
ُ ي
ُ ي
. كما تحاففظ الجملة علىى اسميّتها.شجاعا ُّ كان ال ُجند:المسند خبر الناسخ
It is a referential unit which starts basically with a noun called primate fulfilling
the subject-function, and which includes another noun called predicate fulfilling
the information-function: The soldier (is) valiant. If an annuller intervenes in this
sentence, the subject is called noun of the annuller and the information predicate
of the annuller: the soldier (was) valiant. Meanwhile the sentence keeps its nominal
character.
Ad-Dahdah memfokuskan definisi jumlah ismiyyah pada struktur kata di
dalam sebuah kalimat. Kalimat yang dimulai dengan ism/nomina disebut dengan
jumlah ismiyyah. Nomina tersebut berfungsi sebagai musnad ilaih/ subjek yang
dinamakan dengan al-mubtada’. Selain itu juga ada nomina lain yang menempati
posisi musnad/ predikat yang dinamakan dengan al-khabar. Ditambahkan pula oleh
Ad-Dahdah bahwa apabila kalimat terkandung di dalamnya adātun-nasikh/ article
of annulment maka kalimat tersebut tetap termasuk dalam jumlah ismiyyah.
Adapun kalimat verbal (jumlah fi’liyyah) adalah kalimat dalam bahasa Arab
yang didahului oleh verba (fi’l) dan kemudian diikuti oleh pelaku verba (fā’il).
Beberapa pola kalimat verbal dalam bahasa Arab yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam menerjemahkan teks bahasa Arab adalah
sebagai berikut.
Pola fi’liyyah 1: fi’l madhi ()اغتسل محمد, Pola fi’liyyah 2:fi’l mudhari’
()يرجع أبي إلى جاكرتا, Pola fi’liyyah 3: ( فعل المضارع+ )كان.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Nani Sunarni
Universitas Padjadjaran
(nani_sunarni@yahoo.com)
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebuah negara yang kaya raya, dengan luas laut 3.257.357 km2,
luas daratan 1.910.443 km2, dan jumlah luas kawasan hutan 124. 023 ha (Badan
Pusat Statistik, 2013). Dari 33 provinsi di Indonesia, menurut data BPS tahun 2012
Papua merupakan provinsi yang memiliki hutan lindung terluas, yaitu 7.815 ha;
suaka alam dan pelestarian alam seluas 7.755 ha; hutan produksi terbatas 5961 ha;
hutan produksi tetap 4.739 ha, hutan produksi yang dapat dikonversi 4.116 ha, dan
jumlah daratan kawasan hutan seluas 15.525 ha. Di pihak lain Jawa Barat sebagai
provinsi penyangga ibu kota memiliki luas 1, 85% dari luas Indonesia dan hanya
memiliki hutan lindung 291 ha, suaka alam dan pelestarian alam seluas 132 ha,
hutan produksi terbatas 190 ha, hutan produksi tetap 203 ha, tidak memiliki hutan
produksi yang dapat dikonversi, dan jumlah daratan kawasan hutan seluas 817 ha.
Ironisnya sebagai provinsi penyangga ibu kota, menurut data tahun 2014 provinsi
ini memiliki penduduk terpadat di Indonesia sejumlah 46, 3 juta jiwa.
Penambahan jumlah penduduk yang sangat cepat ini tidak diimbangi
dengan sarana dan prasarana khususnya sumber air yang baik. Malahan jumlah
seke (sumber mata air) di Kota Bandung yang asalnya berjumlah 300 seke, tahun
2016 di Bandung Utara hanya tersisa 44 seke saja. Dari ke 44 seke tersebut pun
sebagian besar tidak lagi berada di tanah bebas, tetapi berada di tanah pribadi yang
sudah dikomersialkan (PR, 20 Maret 2016). Selain timbulnya permasalahan
berkurangnya sumber mata air, masalah banjir, longsor pun sering terjadi
khususnya di Jawa Barat yang menyebabkan kerugian besar, baik di bidang
finansial maupun di bidang yang lainnya. Dahulu Bandung sebagai ibu kota Jawa
Barat terkenal dengan keindahan dan kesejukannya sehingga mendapat banyak
julukan sebagai kota Parahyangan (tempat tinggalnya para Dewa), Bandung Kota
Kembang”, “Varis van Java”, bahkan penyanyi grup Bimbo menyebut “Bumi
Parahyangan diciptakan ketika Tuhan sedang Tersenyum”. Namun bagaimana
dengan kondisi lingkungan Bandung khususnya atau Jawa Barat umumnya
sekarang? Jawabannya perlu penanganan yang serius dalam memelihara,
melestarikan lingkungan. Masyarakat Jawa Barat khususnya di kota besar sudah
memjadi kota multikultur. Karena perubahan tatanan nilai, keserakahan, dan
komersialisasi, semuanya menyebabkan kerusakan alam. Mengapa terjadi
keserakahan dan komersialisasi sehingga mengakibatkan alam rusak? Salah satu
diantaranya, yaitu kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan
hidup kurang mendapat perhatian dan tidak lagi dijadikan rujukan sebagai
pandangan hidup. Oleh karena itu, perlu revitalisasi. Salah satu kearifan lokal yaitu
peribahasa. Dalam bahasa Sunda terdapat banyak peribahasa. Salah satu
diantaranya, yaitu peribahasa yang terkait dengan lingkungan. Berbagai cara dapat
ditempuh untuk menyosialisasikan peribahasa di atas, di antaranya melalui
pendidikan formal maupun nonformal. Seandainya peribahasa terkait dengan
lingkungan disosialisasikan, dipahami, dilestarikan, dijadikan pedoman dalam
upaya memelihara lingkungan khususnya di Jawa Barat. Berdasarkan uraian di atas,
dalam makalah ini, dianalisis bentuk-bentuk peribahasa Sunda dan strategi
revitalisasinya.
2. METODE PENELITIAN
Peribahasa merupakan salah satu bentuk budaya dan sebagai penanda budaya
Sunda yang bertahan sepanjang masa. Setiap peribahasa memiliki fungsi, tujuan,
dan hasil. Peribahasa sebagai karya budaya dapat berfungsi sebagai sarana untuk
pendidikan, penghalus budi pekerti, dan pendidikan moral. Peribahasa pun dapat
dianggap sebagai filsafat karena merupakan akar pemikiran dan pandangan hidup
suatu masyarakat. Begitu pula peribahasa dalam bahasa Sunda merupakan hasil dari
pemikiran masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda sebagai masyarakat daratan dan
menganut “budaya daratan” memfokuskan pada gunung, lembah, dan sungai untuk
dipelihara dan dilestarikan untuk kelestarian alam. Masyarakat zaman dahulu
menciptakan peribahasa yang berisi tentang larangan agar lingkungan tetap
terpelihara dan lestari. Seperti peribahasa yang diciptakan masyarakat Baduy
sebagai berikut.
Peribahasa yang mengandung larangan agar alam tetap lestari ini merujuk
pada kata kunci lojor (panjang), pondok (pendek), kurang (kurang), leuwih (lebih)
yang semuanya merujuk pada alam, seperti dapat divisualkan dalam tabel berikut.
dikurangi. Larangan ini sangat kuat karena secara kebahasaan ditandai dengan frasa
teu meunang (tidak boleh). Pada zaman sekarang terjadi banyak pelanggaran
terhadap peribahasa tersebut. Misalnya, terjadi fenomena reklamasi laut menjadi
daratan, lembah, kolam, sawah diuruk menjadi bangunan dan lain-lain. Hal ini
terjadi karena manusia merasa daratan kurang (terlalu pendek) sehingga daratan
bertambah, tetapi lautan atau sumber air berkurang. Hal ini ada segi positif, tetapi
terdapat juga sisi negatifnya, yaitu lautan atau sumber air berkurang otomatis
hewan, ikan, dan benda yang lainnya ikut musnah.
(iuhaneun) (melestarikan).
2 Lamping awianeun Sumber air,
Lamping tumbuhan, hewan,
(lereng penyejuk Sumber
hutan) air
3 Gawir Cocok untuk tumbuhan
(jurang) tanaman (bambu)
bambu sebagai
penjaga erosi
dan dapat
dijadikan
sumber air,
bambu
4 Darat Untuk lahan Kehidupan
(daratan) perumahan manusia,
(imahaneun) Perumahan
5 Legok Lahan untuk Sumber air, ikan
Legok dijadikan
(bagian kolam
daratan (balonganeun)
yang
dalam)
6 Lebak Lahan untuk Sumber air
(dataran dijadikan Tumbuhan/padi,
rendah) sawah air, hewan
(Sawahaneun)
Peribahasa Larangan
Pelestarian lingkungan tidak hanya dibebankan pada satu pihak saja, tetapi
semua pihak harus ikut serta berkontribusi sehingga menjadi gerakan nasional.
Kalau tidak dilakukan, akan terjadi seperti yang dalam peribahasa berikut:
5. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum dan I Made Budiana, S.S., M.Hum
Abstrak
1. Latar Belakang
Keberadaan masyarakat Jepang di Bali pada khususnya cukup banyak. Hal ini
sesuai dengan catatan Dinas Pariwisata Propinsi Bali selama bulan januari sampai
juni 2015, sebanyak 104.127 orang Jepang atau memiliki andil sebesar 5, 44 % dari
1,9 juta orang jumlah turis asing yang berkunjung ke Bali. Hal tersebut dapat dilihat
dari semakin banyaknya komunitas orang Jepang yang tinggal di beberapa wilayah
di Bali. Salah satunya adalah Yayasan Persahabatan Jepang-Bali (Japan Club) di Jl.
Kutat Lestari Sanur Denpasar, merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
Jepang dari berbagai daerah di Bali.
Hal inilah yang menjadi daya tarik peneliti untuk mencari tahu, pola atau cara
masyarakat Jepang dalam mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak
mereka. Lokasi penelitian kali ini dipilih wilayah Sanur, Kota Denpasar-Bali
sebagai daerah penelitian dengan alasan Sanur merupakan desa kajian Fakultas
Sastra dan Budaya pada tahun 2016. Selain itu, banyaknya masyarakat Jepang yang
tinggal di wilayah Sanur sebagai daya tarik dan kemudahan untuk peneliti dalam
melakukan penelitian ini.
2. Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai
berikut :
3.3 Kuesioner
Menurut Arikunto (2006) kuesioner adalah pernyataan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadi atau
hal-hal yang diketahui. Sedangkan menurut Sugiono (2008), kuesioner merupakan
teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.
Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kuesioner merupakan
seperangkat cara/teknik untuk mengumpulkan data dengan memberikan sejumlah
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden tentang pribadi atau hal-hal
yang ia ketahui.
4. Analisis Data
Pada bagian ini data dianalisis data-data yang didapat dari kuesioner.
Penyebaran kuesioner di wilayah Sanur, diperoleh sejumlah 74 buah kuesioner.
Berikut ini analisis dilakukan berdasarkan jenis informasi yang ingin diperoleh
untuk penelitian ini.
4.1 Pola pengajaran bahasa Indonesia oleh orang tua yang berketurunan
Jepang kepada anak-anaknya
Dari 74 buah data yang diperoleh, dapat diklasifikasikan mengenai pola
pengajaran bahasa Indonesia oleh orang tua yang berketurunan Jepang kepada
anak-anaknya berdasarkan dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan
tipe formal. Dalam penelitian ini ada juga informan yang tidak mengajarkan bahasa
Indonesia kepada anak-anaknya walaupun mereka sedang berada di Indonesia.
Analisis seperti berrikut.
a. Tipe naturalistik
Jumlah informan yang mengaplikasikan pola pengajaran dengan tipe ini
sebanyak 31 orang. Mereka membiasakan anak-anaknya berbicara dalam bahasa
Indonesia kepada orang tuanya yang berwarga negara Indonesia dan membiarkan
anak-anaknya bergaul dengan anak-anak Indonesia.
b. Tipe formal
Jumlah informan yang menyatakan bahwa keturunan Jepang diajarkan bahasa
Indonesia pada tipe ini sejumlah 19 orang. Orang tua yang berwarga negara Jepang
menyekolahkan atau memanggil guru privat untuk mengajarkan anak-anak mereka
bahasa Indonesia.
5.2 Saran
Dalam penelitian ini masih banyak hal yang belum dibahas dan perlu dibahas
lebih lanjut untuk tercapainya kesempurnaan. Misalnya dari pihak guru yang
mengajar bahasa Indonesia kepada keturunan Jepang atau dari segi psikologis dan
budaya dari orang tua yang berwarga negara Jepang terhadap penggunaan bahasa
Indonesia oleh anak-anak mereka. Diharapkan pada penelitian berikutnya bisa
menemukan hal-hal baru untuk melengkapi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Abstrak
Penelitian ini mengenai transformasi novel ke dalam film. Transformasi
tersebut bertujuan untuk mengajak pembaca menvisualkan isi novel yang
dimaksud. Dari penjelasan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk transformasi alur dan tokoh dari novel Supernova
ke dalam film “Supernova”. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah novel
Supernova karya Dee Lestari dan film Supernova Rizal Mantovani. Untuk
memperoleh data, metode membaca novel Supernova dan menyimak film
Supernova dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan alur dalam karya tersebut.
Kemudian, data yang diperoleh dianalisa dengan teknik deskriptif – kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) bentuk transformasi alur dari novel
Supernova karya Dee Lestari ke film “Supernova” karya Rizal Mantovani adalah
adanya pengurangan alur. Seharusnya ada adegan Reuben meminta maaf pada
Dimas; dan (2) bentuk transformasi penokohannya terlihat dari kurangnya akting
para pemain dalam memerankan tokoh-tokoh dalam novel sehingga esensi dari sifat
tokoh tidak bisa tercapai.
1. PENDAHULUAN
Saat ini banyak karya sastra dalam bentuk novel ditransformasi ke dalam
film, serial TV, dan lain-lain. Di Amerika transformasi dari novel ke film bukanlah
suatu hal yang baru, hampIr 85 persen film pemenang novel adalah hasil
transformasi dari karya sastra novel. Di Indonesia sendiri transformasi dari novel
ke film sudah dimulai pada era tahun 70-an. Misalnya film yang berjudul Romi dan
Yuli, film tersebut ditransformasi dari novel karya William Shakespeare berjudul
Romeo and Juliet.
Tentu saja dengan adanya transformasi dari novel ke film, bentuk atau
struktur cerita pun akan berubah. Cerita tersebut bisa mengalami suatu pengurangan
atau penambahan karena adanya perubahan wujud dari bentuk tertulis menjadi
bentuk tayangan gambar. Dengan adanya perubahan wujud tersebut, tentu saja
interpretasi dari cerita akan berbeda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang
sutradara terhadap isi cerita.
Proses transformasi ini dikenal dengan istilah ekranisasi. Menurut Supadi
Djoko Damono (2005: 96), ekranisasi adalah proses alih wahana, yaitu pengalihan
karya seni dari satu wahana ke wahana lainnya. Dengan kata lain, ekranisasi dapat
dikatakan sebagai pengadaptasian karya sastra (wahana tulis) ke dalam film
(wahana audiovisual). Ketika melakukan ekranisasi tentu saja akan ada perubahan,
antara lain penciutan atau pengurangan, penambahan dan/atau kombinasi dari
keduannya. Jika transformasi dari novel ke film sukses, maka akan banyak
mendapatkan pujian. Akan tetapi, jika transformasi tersebut gagal, tentu saja celaan
dan kritikanlah yang akan diterima. Akan tetapi, perlu diingat, proses ekranisasi ini
justru membuat suatu hubungan simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling
mengutungkan antara kedua belah pihak, yaitu antara karya sastra dan film. Banyak
film-film hasil ekranisasi menduduki box office karena diangkat dari novel yang
juga best seller. Hal yang paling penting yang perlu diketahui adalah ekranisasi
merupakan sutu media promosi baik bagi novel maupun film untuk lebih dikenal
oleh masyarakat luas.
Menurut Eneste (1991: 60–61), perbedaan yang terjadi antara film dan novel
yang diadaptasi selain karena perbedaan medium juga karena tingkat kreativitas
sang sutradara dengan cara penambahan, pengurangan, dan pemunculan variasi-
variasi alur cerita dan hal ini dapat mengakibatkan pula perubahan khususnya pada
alur cerita dan tokoh. Perubahan yang terjadi merupakan dampak dari perubahan
media. Seperti diketahui novel menggunakan kekuatan kata-kata untuk
mengarahkan imajinasi pembacanya, sedangakn film menggunakan audiovisual
untuk menyampaikan isi cerita kepada penontonnya melalui dialog, gerak, properti,
latar, dan sebagainya. Setelah itu juga pada film, sang sutradara hanya memiliki
waktu yang terbatas untuk memvisualkan cerita sehingga sutradara dituntut untuk
2. KAJIAN TEORI
Transformasi
Menurut Nurgiyantoro (2010:18), trasnformasi adalah perubahan, yaitu
perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Dalam penelitian ini yang berubah
adalah medianya, yaitu dari bentuk novel ke dalam bentuk film. Dengan kata lain
transformasi dapat diartikan sebagai pemunculan, pengambilan, atau pemindahan
unsur-unsur film dengan perubahan.
Ekranisasi
Istilah ekranisasi pertama kali dikemukakan oleh Blustone (1957:5) yang
berarti proses pemindahan atau perubahan bentuk dari sebuah novel ke film.
Ekranisasi berasal dari bahasa Prancis ecran (layar) yang dapat diartikan sebagai
pelayarputihan. Erneste (1991:60–61) menyatakan bahwa ekranisasi merupakan
proses perubahan pada alat yang dipakai, proses penggarapan, proses penikmatan,
dan waktu penikmatan. Lebih lanjut lagi, Sapardi Djoko Damono (2005:96)
menyebut istilah ekranisasi dengan istilah lain, yakni alih wahana yang dapat
mengakibatkan adanya perubahan, antara lain adanya penciutan, penambahan, dan
perubahana yang bervariasi.
Novel
Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang bersifat realis, artinya
menceritakan kehidupan tokoh secara nyata. Umumnya novel merupakan
tanggapan terhadap lingkungan sosial budaya di sekelilingnya. Novel juga
didefinisikan sebagai suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjang tertentu yang
melukiskan para tokoh, gerak, dan adegan kehidupan yang bersifat imajinatif.
Novel sebagai sebuah karya sastra memiliki, baik unsur intrinsik maupun unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra itu hadir secara faktual akan
ditemukan jika membaca karya sastra (Nurgiyantoro, 1995: 23).
Film
Menurut Kridalaksana (1984:32), film adalah alat media massa yang
mempuyai sifat lihat dengar (audiovisual) dan dapat mencapai khalayak yang
banyak. Lebih lanjut lagi Effendi (1986:239) mengartikan film sebagai hasil budaya
dan ekspresi kesenian. Menurut sifatnya, film dapat dibagi menjadi empat yaitu (1)
film cerita, (2) film berita, (3) film documenter, dan (4) film kartun.
Alur
Menurut Siswato Wahyudi (2008:28), alur adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Suyati (2000:32) struktur alur
dapat dibagi tiga yaitu (1) bagian awal alur yang merupakan bagian terpenting ari
sebuah cerita, (2) bagian tengah alur terdapat adanya konflik dan klimaks, dan (3)
bagian akhir alur yang terdiri atas segala sesuatu dari klimaks menuju pemecahan
atau hasil cerita.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitoan merupakan alat yang digunakan dalam melaksanakan
penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif –
kualitatif, yaitu pendiskrepsian mengenai transformasi pada novel Supernova:
Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh ke dalam bentuk film yang berjudul Supernova:
Kesatria, Putrid an Bintang Jatuh. Oleh sebab itu, data yang dikumpulkan berupa
kata-kata dan fakta yang ada bukan dalam bentuk angka.
Adapun sumber data penelitian ini adalah novel Supernova Kesatria, Putri
dan Bintang Jatuh karya Dee Lestari dan film Supernova: Kesatria, Putri dan
Bintang Jatuh karya Rizal Mantovani. Novel Supernova sendiri dirilis pada 16
Februari 2001 dan hingga kini telah terjual kurang lebih 75.000 eksemplar dan
termasuk dalam novel best seller pada saat itu. Panjang novel ini adalah 350
halaman, sedangkan film Supernova: Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh sendiri
dirilis di bioskop-bioskop di Indonesia pada 11 Desember 2014 dan seketika
booming pada penayangan perdananya. Film tersebut berdurasi kurang lebih dua
jam dan penulis skenarionnya adalah Dhoni Dirgantara dan diproduksi oleh Soraya
Intercine Films.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara membaca terlebih dahulu novel Supernova: Kesatria, Putri dan
Bintang Jatuh kemudia menonton film Supernova: Kesatria, Putri dan Bintang
Jatuh. Selanjutnya melakukan pengamatan untuk menganalisis alur. Setelah itu data
dikelompokkan untuk dibandingkan anatara alur pada novel dan film untuk
mengetahui apakah ada penciutan, pengurangan, atau penambahan.
Adapun alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri
sebagai instrumen dalam penelitian.
4. PEMBAHASAN
Sinopsis Novel Supernova: Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh
Reuben dan Dimas, pasangan gay yang sama-sama berprofesi akademisi,
berikrar untuk membuat karya bersama pada hari jadi mereka ke-10. Reuben, yang
terobsesi menghubungkan sains dan spiritualitas dan menyebut dirinya Psikolog
Kuantum, terpaksa mengalah kepada Dimas yang ingin membuat novel. Akhirnya,
mereka sepakat untuk mengemas kolaborasi mereka dalam bentuk fiksi populer
dengan sentuhan teori-teori sumbangan Reuben. Terinspirasi kisah dongeng
berjudul Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, karya mereka dimulai. Dimas dan
menghadapi kemungkinan lain. Bagaimana kalau ternyata mereka pun bagian dari
plot yang mereka susun? Siapa sesungguhnya yang menulis siapa? Jejaring
Supernova akan membuktikannya.
Transformasi Alur
Transformasi dari novel ke film dikenal dengan istilah ekranisasi. Dalam
ekranisasi tersebut tentu akan muncul beberapa perubahan yang meliputi penciutan,
pengurangan dan penambahan.
Berdasarkan sinopsis novel dan film tersebut jelas terlihat adanya perbedaan
alur cerita. Pada novel sang penulis, yaitu Dee Lestari lebih menitikberatkan pada
fiksi ilmiah. Untuk mengungkapkan rasa para tokoh penulis banyak memakai istilah
sains dan istilah tersebut dijelaskan pada catatan kaki. Dengan demikian, para
3. Di dalam novel Dimas dan Ruben hidup dan tinggal di Jakarta, tetapi di
dalam film mereka tinggal di rumah mewah di Bali.
4. Adegan cemburu dan tawa lepas Ruben dan Dimas yang menunjukkan
bahwa hubungan mereka adalah suatu hal yang manusiawi walaupun
mereka adalah pasangan gay dihilangkan di dalam film.
5. Adagen Diva ketika menjadi juri dalam lomba fashion show anak kecil
lalu ia dengan berani berbicara di depan panggung mengatakan kepada
anak-anak tersebut bahwa kelak ketika mereka dewasa belum tentu akan
tumbuh menjadi wanita cantik juga dihilangkan.
6. Adagen Diva mengigat masa lalunya yang membuat hatinya terluka dan
rapuh dan seketika menangis di kursi mobil belakang juga dihilangkan.
7. Adagen yang aneh adalah ketika Diva menginap di pegunungan dan di
sana dia menggunakan internet, sedangkan dalam kehidupan nyata hal
tersebut sangat mustahil dilakukan karena susahnya sinyal di pedesaan.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan pada bagian pembahasan dapat disimpulkan bahwa
transformasi dari novel ke film dapat menyebabkan terjadinya perbedaan alur
cerita. Perbedaan-perbedaan yang muncul menimbulkan berbagai interpretasi dari
orang-orang yang telah membaca novelnya. Akan ada penonton yang merasa
bahwa filmnya sudah bisa mewakili novelnya dan ada pula penonton yang merasa
kurang puas karena film tersebut gagal menyampaikan pesan yang sesuai dengan
novel sehingga mengundang banyak tanda tanya bagi para penonton.
kembali ke suaminya Arwin. Penghilangan adagen dalam novel di dalam film pun
terjadi, seperti (1) ketika ada adegan cemburuan dan tertawa lepas Ruben dan
Dimas, (2) ketika diva menjadi juri lomba fashion show anak, dan (3) ketika Diva
teringat akan masa kecilnya yang menyakitkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bluestone, George. 1957. Novels into Film. Berkeley and Los Angeles: University
of California Press.
Effendi, Onong Uchjana. 1986. Televisi Siaran, Teori dan Praktek. Bandung:
Alumni.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.
Krevolin, Richard. 2003. Rahasia Sukses Skenario Film-Film Box Office. Bandung:
Kaifa.
Kridalaksana, Harimurti dkk. 1984. Leksikon Komunikasi. Jakarta: Lembaga
Linguistik Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Lestari, Dee. 2014. Supernova: Kesatria, Putrid an Bintang Jatuh. Yogyakarta:
Bentang Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan.1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.
Sapardi Djoko Bamono. 2005. Pengangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama
Media.
Abstrak
Negara kesatuanRepublik Indonesia memilikilebih dari 300 etnis dan lebihdari
500 bahasa daerah yang tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia. Kebhinekaan
ini menginspirasi untuk melaksanakan makalah tentang komunikasi lintas
bahasa/budaya (cross culture understanding). Setiap etnis memiliki keunikan yang
terungkap dalam setiap conversational routines (cultural script) yang digunakan
pada bahasa dalam kehidupan sehari-hari (Conversational Routines). Wierzbicka
mengatakan bahwa kajian tentang komunikasi lintas budaya/ bahasa sangat
diperlukan, karena pada masyarakat yang berbeda dan komunitas yang berbeda
orang akan bertutur secara berbeda. Perbedaan cara bertutur adalah sangat penting
dan sistematik. Perbedaan ini merefleksikan nilai budaya yang berbeda atau
setidak-tidaknya mencerminka adanya hirarki nilai yang berbeda. Cara bertutur
yang berbeda, stilistik bertutur suatu masyarakat dapat dijelaskan dan memiliki
makna yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang berbeda yang dibangun
secara independen dan sesuai dengan prioritas budaya.
1. Latar Belakang
3.2 KerangkaTeori
Untuk menjawab permasalahan di atas, teori yang digunakan adalah teori
Etnopragmatik. Teori etnopragmatik ini akan didukung oleh teori Natural Semantic
Metalanguage dan teori Cultural Scripts. Teori etnopragmatik didukung dengan
pendekatan Etnografi Komunikasi, dan teori fungsi bahasa.
3.2.1 Etnopragmatik
Etnopragmatik terkait dengan semantik lintas linguistik karena keseluruhan
idenya adalah untuk memahami praktek bertuturan kepada orang laint entang
sesuatu yang masuk akal, seperti: nilai-nilai adat, keyakinan dan sikap, kategori
sosial, emosi, dan sebagainya.Orang-orang di dalam budaya yang berbeda berbicara
secara berbeda karena mereka berpikir secara berbeda, merasakan sesuatu secara
berbeda, dan berhubungan secara berbeda dengan orang lain. Istilah etnopragmatik
merujuk pada pendekatan penggunaan bahasa yang melihat kebudayaan
memainkan peran yang jelasdan sentral, dan pada saat yang sama bisa
menghubungkan bahasa dengan fenomena budaya lainnya. Etnopragmatik
menelaraskan tujuan, alat metodologis, dan dasar bukti (Goddard, 2006). Tujuan
dari etnopragmatik adalah untuk mengartikulasikan perspektif budaya-internal
tentang mengapa praktek bertuturan dalam bahasa sangat beragam di dunia. Hal ini
merupakan upaya untuk menggambarkan dan menjelaskan cara orang bertutur
kepada orang lain.
bawaan innate grammar dari kognisi manusia; dan (3) menggunakan leksikon
semantik universal.
Goddard (1997: 276) mengatakan bahwa pada masyarakat yang berbeda,
orang atau sekelompok orang tidak hanya memakai bahasa yang berbeda, tetapi
mereka menggunakan bahasa-bahasa tersebut dengan cara-cara yang sangat
berbeda pula. Terkait dengan hali ni, conversational routines atau cultural scripts
dibuat untuk membahas komunikasi manusia atau sekelompok orang dari perspektif
budaya. Wierzbicka (1999) mengatakan bahwa cultural scripts ini dapat diterapkan
untuk mengkaji emosi lintas budaya, untuk melihat bagaimana perbedaan-
perbedaan emosi perasaan seseorang dalam berkomunikasi.
Wacana budaya dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu high-level script dan
low-level script (Wierzbicka, 2002a). High-level script merupakan master script.
Master script di dalam masyarakat dianggap sebagai wacana inti yang berisikan
praktik-praktik budaya yang dapat digunakan sebagai pedoman atau model untuk
mengetahui nilai
Kedua jenis wacana budaya tersebut berhubungan dengan komponen makna
asali evaluasi, seperti ”Hal itu bagus jika...”. Komponen evaluasi seperti ini
memiliki berbagai varian, seperti: ”Hal itu tidak bagus jika...”, ”Hal itu buruk
jika...”, Hal itu akan ”menjadi bagus jika...”. Di samping itu, komponen persepsi
manusia juga bisa digunakan untuk menjelaskan norma budaya. Persepsi yang
dimaksud adalah ”Saya dapat mengatakan (memikirkan, melakukan, dll)...” Saya
tidak dapat mengatakan (memikirkan, melakukan, dll)...”. Jenis conversational
routines yang low-level script cenderung dibuat dengan komponen ”ketika” dan
komponen ”jika” (Goddard, 2004:6).
3.2.3 Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi merupakan pengembangan etnografi berbahasa yang
mula-mula dikembangkan oleh Hymes (1974). Etnografi yang dimaksud adalah
mengkaji peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu cara-
cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda
kebudayaannya. Definisi ini juga mengandung kajian situasi, penggunaan bahasa,
dan pola fungsi bicara sebagai suatu kegiatan, misalnya, mengkaji tuturan atau
seseorang baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal. Mengucapkan salam
harusdisesuaikan dengan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Dalam
Cara mengucapkan salam orang Inggris tidak jauh berbeda dengan orang
Indonesia. Merupakan hal yang wajar bagi orang Inggris untuk mengucapkan salam
“Good morning/afternoon/evening.” kepada mitra tutur baik yang dikenal maupun
yang tidak dikenal. Kalimat sapaan tersebut biasanya juga disertai dengan
menanyakan kabar seperti “How are you?”, “How are you doing?” atau “How have
you been?”. Tidak jarang pula orang Inggris mengucapkan, “Good morning. How
are you?” secara bersamaan. Bila si penutur hendak mengucapkan salam kepada
seseorang yang akrab atau dikenal dengan baik biasanya kalimat sapaan yang
diucapkan berupa “How’s your day?”, “How’s it going?”, “What’s going on?”,
“How’s your day, bud?”, “You good?”, “Hey, what’s up?”, “What are you up to?”,
“What’s up, digga?” yang merupakan kalimat sapaan informal. Biasanya kalimat
sapaan ini disertai dengan merangkul atau menepuk pundak mitra tutur.
4.2 Perpisahan
4.3 Memuji
melakukan kesalahan terhadap seseorang baik yang kita kenal maupun yang tidak
kita kenal. Dalam percakapan sehari-hari, orang Indonesia cenderung mengucapkan
permohonan maaf dengan menggunakan bahasa nonformal seperti ungkapan maaf
ya atau sorry ya yang terkadang disertai dengan mencakupkan tangan, terutama
ketika menyapa seseorang yang tidak terlalu mereka kenal, misalnya ketika tidak
sengaja bersenggolan atau tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Orang Indonesia
terkadang meminta maaf meskipun mereka tidak melakukan suatu kesalahan atau
merasa tidak enak hati karena sesuatu yang mereka perbuat, misalnya“Maaf
sebelumnya bu, saya ingin bertanya mengenai ini”.Namun apabila dihadapkan
dalam situasi formal, maka orang Indonesia cenderung mengucapkan permohonan
maaf seperti“Mohon maaf jika ada kata-kata yang tak pantas”ketika meminta maaf
kepada seseorang misalnya, seseorang yang hendak menyampaikan permohonan
maaf kepada atasan atau orang yang lebih tua.
permohonan maaf disertai dengan mengucapkan nama mitra tuturnya seperti, “I’m
sorry Ana”.
4.7 Basa-Basi
family doing? (Bagaimana dengan keluargamu?)”, sedangkan untuk istri atau suami
kerabat dengan ungkapan “How’s your relationship going? (Bagaimana dengan
hubungan kalian?) atau How do you think about this man (my boyfriend)?
(Bagaimana
menurutmu tentang cowok ini?)”, dan yang terakhir ungkapan basa-basi untuk
menanyakan keadaan anak-anak kerabat “How old they are now? (Berapa umur
mereka sekarang?) atau How do they like the school? (Bagaimana sekolah
mereka?)”
5. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ameka, F. 1987. ‘A Comparative Analysis of Linguisti Routines in Two
Languages:
English and Ewe’. Journal of Pragmatics 11: 299—326. North Holland:
Elsevier Science Publisher B. V.
Fay, Brian. 2004. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Goddard, C. 1994. Cross Linguistic Syntax from A Semantic Point of View (NSM
Approach). New England: New England University Press.
Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal” Dalam Cliff
Goddard and A. Wierzbicka (eds), from Semantic and Lexical Universals:
Theory and Empirical Findings. Amsterdam/Philadelphia: Benjamins, 7--
29.
Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik, Edisi Terjemahan oleh Dr. Oka M.A.
Jakarta: UI Press.
Miles, M.B. dan A.M.Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber
tentang Metode-Metode Baru (TjetjepRohindi, penerjemah). Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Wierzbicka, Anna. 1996. Semantics Primes and Universals. Oxford and New York:
Oxford University Press
Wierzbicka, Anna 1999. Emotions Across Languages and Cultures: Diversity
andUniversals. Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. New York and
Oxford: Oxford University Press
Ni Made Suryati
Program Studi Sastra Bali, Fakultas Sastra dan Budaya,
Universitas Udayana
Abstrak
Masalah Anggah-Ungguhin Basa Bali tentu sudah sering dibicarakan,
namun sampai saat ini ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan hal
tersebut. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dibahas beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan Anggah-Ungguhin Basa Bali, yaitu (1) mengapa Anggah-
Ungguhin Basa Bali muncul? (2) Benarkah basa Bali akan surut pemakaiannya
akibat adanya Anggah-Ungguhin Basa Bali? (3) Apakah golongan tri wangsa selalu
menggunakan bahasa kepara kepada golongan non-tri wangsa? (4) adakah
keterkaitan antara penggunaan anggah-ungguhin basa Bali dengan kesantunan
berbahasa? (5) perlukah penggunaan anggah-ungguhin basa Bali dipertahankan?
Data bersumber dari penutur bahasa Bali, dikumpulkan melalui observasi;
kemudian dianalisis dengan metode kualitatif dengan teknik deskriptif-analitik, dan
disajikan dengan metode informal dengan teknik induksi dan deduktif.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Anggah-ungguhin basa Bali
muncul akibat adanya stratifikasi sosial pada masyarakat Bali baik secara
tradisional maupun modern; berkurangnya penggunaan bahasa Bali pada
masyarakat Bali tidak sepenuhnya disebabkan oleh adanya anggah-ungguhin basa;
tidak semua tri wangsa menggunakan bahasa andap ketika berbicara dengan
golongan non triwangsa; penggunaan anggah-ungguhin basa dengan baik dan
benar dalam bahasa Bali perlu dipertahankan.
Kata kunci : anggah-ungguhin basa Bali, tri wangsa, stratifikasi social
1. PENDAHULUAN
Istilah anggah-ungguhing basa Bali tidak asing lagi bagi penutur bahasa
Bali karena hal ini selalu muncul pada saat penutur bahasa Bali berkomunikasi
dengan sesama suku Bali yang merupakan penutur dengan stratifikasi sosial yang
berbeda. Istilah lainnya yang sering digunakan adalah Warna-warna basa Bali,
Unda-usuk basa Bali, Sor-singih basa Bali, Undag-undagan basa, dan Tata krama
basa Bali. Namun, istilah yang paling tepat digunakan adalah anggah-ungguhing
basa sesuai dengan kesepakatan para ahli bahasa Bali pada saat Pesamuhan Agung
Bahasa Bali tahun 1974.
Bali, sehingga menjadi jelas. Dengan demikian, tulisan ini akan bermanfaat bagi
penutur yang tidak memahami pentingnya anggah-ungguhing basa Bali dalam
rangka menunjukkan kesantunan dalam berbahasa.
2. PEMBAHASAN
Sesuai dengan judul tulisan ini, ada dua hal yang perlu dibahas, yaitu hal-
hal yang berkaitan dengan Anggah-ungguhing dan kesantunan berbahasa.
Keduanya diuraikan berikut.
Anggah-ungguhing Basa dalam bahasa Indonesia disebut tata tingkat
berbicara. Pada umumnya, masyarakat yang bahasanya memiliki tingkat-tingkatan
adalah bahasa yang penuturnya memiliki stratifikasi social, baik secara tradisional
maupun modern. Stratifikasi sosial yang berpengaruh terhadap tingkat-tingkat
berbicara adalah stratifikasi sosial secara tradisional. Dalam perkembangan
sratifikasi sosial modern juga berpengaruh. Bahasa-bahasa daerah di Indonesia
yang memiliki tata-tingkat berbicara adalah bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa
Bali, Bahasa Sasak, dan mungkin juga bahasa lainnya.
Stratifikasi sosial secara tradisional dipengaruhi oleh struktur
masyarakatnya, sedangkan stratifikasi sosial secara modern dipengaruhi oleh
kedudukan/jabatan seseorang dalam masyarakat. Stratifikasi sosial secara
tradisional pada masyarakat Bali dipengaruhi oleh sistem wangsa. Secara
tradisional struktur masyarakaat Bali umumnya dibagi menjadi empat yang disebut
catur wangsa. Keempat wangsa tersebut adalah: Brahmana, Ksatria, Wesya, dan
Sudra. Ada juga yang mengelompokkan struktur stratifikasi sosial masyarakat Bali
secara tradisional hanya dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tri wangsa
terdiri atas brahmana, ksatriya, dan wesia; sedangkan golongan yang kedua adalah
golongan non-tri wangsa yang disebut golongan jaba. Secara modern, struktur
masyarakat dipengaruhi oleh jabatan seseorang, pendidikan, kekayaan, dan lain-
lain. Adanya penggolongan masyarakat (baik secara tradisional maupun modern)
inilah yang mempengaruhi penggunaan anggah-ungguhing Basa Bali.
Sehubungan dengan hal tersebut, banyak usaha yang dilakukan oleh para
pemerhati bahasa Bali dalam usaha untuk mengelompokkan bahasa Bali dalam
makolem, mapesengan, ngendika, masucian, cokor, rabi, raka, rai; (2) Kruna Alus
Mider (selanjutnya disingkat Ami) adalah kata yang digunakan untuk menghormati
(nyinggihang) dan merendahkan (ngandapang) diri atau kata jenis ini hanya
memiliki satu bentuk alus. Contoh: lanjaran, rauh, jagi, adeng, kemad, purun, asu,
bakta, banget, eling, lali, duk, daweg; (3) Kruna Alus Madia (selanjutnya disingkat
Ama) adalah kata yang memiliki nilai rasa di tengah- tengah atau berada antara
alus singgih dan alus sor. Contoh: ampun, tiang, ngajeng, napi, niki, nika, ten, kari,
sirep, sirah; dan (4) kruna alus sor (selanjutnya disingkat Aso) adalah kata yang
digunakan untuk ngasorang (merendahkan) diri, misalnya: titiang, nunas, dewek,
lampus, tangkil, neda, pamit ,jatma, padem, nambet.
2) Kruna Mider adalah kata yang hanya memiliki satu bentuk dan dapat
digunakan untuk semua golongan, seperti: tas, kija, nyongkok, ngepung, poh,
buluan, duren, nungging, meong, kambing, payuk, nenbok;
3) Kruna Andap adalah kata yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari
dengan kawan akrab, tri wangsa, maupun non tri wangsa. Contoh: suba, daar,
jemak, bok, kuping, batis, basang, be, biu, jukut, nasi, lengis, pules, nyak, nongos,
teka, abesik, tetelu.
4) Kruna Kasar adalah kata-kata yang biasanya digunakan sesama teman
akrab dan dalam konteks bertengkar, seperti: pelot, bangka, medem, memelud,
amah, leklek, pantet, tidik.
Pada tingkat kalimat (selanjutnya digunakan istilah Balinya lengkara) dapat
dikelompokkan menjadi lima.
(1) Lengkara Asi adalah kalimat yang dibentuk oleh kruna: Asi, Ami, Mider dan
digunakan untuk menghormati yang patut dihormati
Contoh:
(a) Ida kantun nembok ‘ Beliau masih memasang tembok’
(b) Ratu jagi lunga kija? ‘Ratu mau pergi ke mana?
(c) Para pamedek sareng sami mangda masandekan ring wantilane ‘Para
hadirin (yang akan sembahyang) supaya beristirahat (berhenti dulu) di
Wantilan (bangunan tempat beristirahat)’.
2) Lengkara Ama dibentuk oleh kruna Ama, Ami, Mider, Andap dan umumnya
digunakan oleh penutur yang memiliki stratifikasi sosial sederajat.
Contoh:
(d) Tiang kari ngae katik sate ‘saya masih membuat tusuk sate’.
(e) Ragane mangkin lakar kija? ‘Kamu sekarang akan ke mana?
(f) Tiang ibi liu pesan maan be ‘Saya kemarin banyak sekali mendapat
ikan’.
3) Lengkara Aso dibentuk oleh kruna Aso, Ami. Andap, Mider dan digunakan
untuk merendakhan diri. Umumnya digunakan oleh non-tri wangsa.
Contoh:
(g) Ipun sareng pianakne numbas kisa sareng ayam tetiga ‘Dia dan anaknya
membeli kisa (tempat ayam yang terbuat dari daun kelapa hijau) dan
ayam tiga ‘.
(h) Limanipune kantun madaging endut ‘Tangannya masih berisi lumpur’.
(i) Titiang rauh saking Jawi ‘Saya datang dari Jawa’
4) Lengkara Andap dibentuk oleh kruna: Andap dan, Mider secara tradisional
umumnya digunakan oleh non-tri wangsa.
Contoh:
(j) Ia mara malajah ngae meja ‘Dia baru belajar membuat meja’.
(k) Nyoman mara pesan liwat kema, kone lakar ngebah tiing di tegale
‘Nyoman baru saja lewat, katanya akan menebang bambo di ladang;.
(l) Buin mani icang sing maan bareng nulungin masang keramik di piasane
‘Besok saya tidak bisa ikut membantu memasang keramik di Salah satu
bangunan di areal tempat suci’
5) Lengkara Kasar dibentuk oleh kruna kasar, andap, mider digunakan oleh
masyarakat yang memiliki hubungan akrab dan bisa juga dalam konteks
bertengkar.
Contoh:
(m) Medem dogen gaene ‘Tidur saja kerjanya’
(n) Mara bangun ngenggalang ngamah ’Baru bangun cepat-cepat makan’
Yadiastun kai tiwas kanti jani kai tonden taen ngidih amah-amahan teken
iba. Kai nu inget, bapan kaine ane nebusang carik ibane, sangkalanga jani
iba nyidang ngamah.
Masing-masing kelompok bahasa sudah memiliki aturan pemakaiannya .
Pembahasan selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara penggunaan
anggah-ungguhing basa Bali dengan kesantunan berbahasa? Sebelum membahas
hal tersebut terlebih dahulu dijelaskan tentang kesantunan berbahasa. Istilah
“kesantunan” berasal dari adjektiva “santun” (polite). Menurut (CALD-2003)
dalam Cambridge Advanced Learners Dictionary, dikatakan bahwa kesantunan
adalah berperilaku yang sesuai dengan kaidah sosial yang berlaku dalam
masyarakat dan dapat menunujukkan kepedulian dan kepekaan terhadap perasaan
orang lain. Kesantunan berbahasa menurut Wardhaugh (1987:267) adalah perilaku
berbahasa yang memperhitungkan solidaritas, kekuasaan, keakraban, status
hubungan antar partisipan, dan penghargaan. Kesantunan berbahasa juga
ditentukan oleh kesadaran terhadap kebiasaan sosial.
Apabila diperhatikan konsep kesantunan berbahasa di atas dan
dihubungkan dengan penggunaan anggah-ungguhing basa Bali, ternyata memiliki
kaitan erat. Intinya, penutur yang menggunakan bahasa Bali sesuai dengan anggah-
ungguhing basa Bali adalah penutur yang memiliki kesantunan dalam berbahasa.
Penggunaan kalimat asi kepada lawan bicara dan aso untuk diri sendiri bukan
merupakan hal yang rendah atau nista. Justru hal itu menunjukkan seseorang
memiliki kesantunan dalam berbahasa. Hal ini senada dengan pandangan Suasta
(2001:2) yang menyatakan bahwa jika dalam percakapan tidak menggunakan
anggah-ungguhing basa dengan baik, maka rasa basa nya hilang dan
kedengarannya janggal. Jadi, penggunaan anggah-ungguhing basa Bali dengan
baik dan benar disertai dengan keihklasan akan menimbulkan perasaan senang pada
orang lain. Membuat perasaan senang pada orang lain ada pahalanya.
3. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut.
1) Anggah-ungguhing basa Bali muncul akibat adanya stratifikasi sosial pada
masyarakat Bali, baik secara tradisional maupun moderen. Bahasa Bali
dikelompokkan menjadi empat, yaitu bahasa Bali alus, bahasa Bali madia,
bahasa Bali andap/kapara/lumrah dan bahasa Bali kasar. Masing-masing
memiliki aturan penggunaan sesuai dengan wangsa/kedudukan
pembicara/persona I, lawan bicara/persona II, dan yang dibicarakan/persona III.
2) Penggunaan anggah-ungguhing basa Bali berkaitan dengan kesantunan
berbahasa karena jika penutur bahasa Bali menggunakan bahasa Bali sesuai
dengan kaidah-kaidah anggah-ungguhing Basa, maka mereka dapat memiliki
kesantunan dalam berbahasa.
4. SARAN
Walaupun masalah anggah ungguhing basa Bali sudah sering dibicarakan,
namun penting untuk dibahas pada momen-momen seperti ini agar penutur bahasa
Bali mengenal juga bahasa daerahnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah (ed). 1975. Masalah Pembakuan Bahasa Bali. Singaraja:
Balai Penelitian Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagus, I Gusti Ngurah (ed). 1975/1976. “Tingkat-Tingkat Bicara dalam Bahasa
Bali”. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagus, I Gusti Ngurah (ed). 1978/1079 “Unda-Usuk Bahasa Bali”. Denpasar:
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat
Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Cambridge Advanced Learners Dictionary (CALD – CD ROOM). 2003.
Cambridge University Press.
Kersten, J. 1957. “Garis Besar Tata bahasa Bali. Singaraja: Widyataya.
Narayana, Ida Bagus Udara. 1984. “Tingkatan Anggah-Ungguhing Basa bali”
dalam Jurnal Widya Pustaka Th. I, Nomor 1. Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Suasta, Ida Bagus Made. 2001. “Rasa Basa Basa Bali”. Prosiding. Kumpulan
Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Fakultas sastra Unud,
Program S2, S3 Linguistik dan Kajian Kebudayaan Unud dan IKIP Ngeri
Singaraja, 13—16 November 2001.
Wardhugh, R. 1987. Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
Abstrak
Esai adalah tulisan yang terdiri atas beberapa paragraf yang membahas
tentang satu topik atau permasalahan. Penulisan esai ilmiah bagi siswa SLTA
berguna sebagai penulis pemula dalam upaya mengkomunikasikan informasi,
opini, dan perasaan yang disertai dengan argumentasi. Bagi siswa SLTA, penulisan
esai perlu dilakukan untuk mengasah kemampuan siswa dalam berkreativitas
keilmuan melalui lomba-lomba karya ilmiah berbahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia salah satunya berfungsi sebagai alat komunikasi dalam dunia pendidikan.
Hal seperti ini telah dilakukan oleh siswa SLTA di kota Denpasar dan Badung
dalam seminar Nasional pada Oktober 2015.
Pengkajian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan pemakaian bahasa
Indonesia yang dilakukan oleh siswa SLTA dalam karangan esai. Di samping itu,
hasil ini dapat diaplikasikan sebagai bahan pengajaran bahasa Indonesia akademik
dan dapat diabdikan kepada masyarakat.
Kerangka teori dan prinsip-prinsip yang cocok untuk kajian masalah ini
adalah teori komponen bahasa (Langacker, 1972, teori analisis (Ubol, 1981, dan
Akhadiah, 1985). Sumber data kajian ini berupa bahasa tulis berbahasa Indonesia
pada karangan esai siswa SLTA Denpasar dan Badung. Kajian masalah ditemukan
bentuk-bentuk kesalahan: ejaan, kata (pembentukan kata dan diksi), kalimat efektif,
dan paragraf.
1. PENDAHULUAN
Penelitian ini dilakukan di Denpasar dengan didasari atas lomba menulis
karangan berbentuk esai siswa SLTA di kota Denpasar dan Badung. Pelaksanaan
lomba karya tulis ilmiah itu dilaksanakan pada Oktober 2015.
Kota Denpasar dan Badung selain sebagai kota administrasi, kota budaya
juga sebagai kota pelajar. Di kota ini terdapat banyak sekolah unggulan dan sekolah
favorit, terutama sekolah lanjutan tingkat atas. Banyak orang tua siswa dari seluruh
*) Disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya di Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana Denpasar, Mei 2016.
**) Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
daerah yang ada di Bali dan luar Bali mempercayakan SLTA yang ada di
Denpasardan Badung untuk menyekolahkan anaknya di sana, dengan harapan dapat
melanjutkan kuliah diperguruan tinggi yang berkualitas.
Penulisan karangan ilmiah berupa esai bagi siswa berguna untuk mengasah
pikiran dan sebagai penulis pemula. Di sisi lain, penulisan esai sebagai upaya
mengomunikasikan informasi, opini, perasaan siswa yang disertai dengan
argumentasi. Bagi siswa SLTA, penulisan esai perlu dilakukan untuk mengasah
kemampuan siswa dalam berkreativitas keilmuan melalui lomba-lomba karya
ilmiah berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia yang wajib digunakan
oleh masyarakat Indonesia dalam situasi formal, baik di kantor (lembaga
pemerintahan dan swasta) maupun pada lembaga pendidikkan. Bahasa Indonesia
mempunyai kedudukan penting sebagai bahasa negara yang tercantum dalam UUD
1945 Bab XV, pasal 36. Dalam kedudukannya itu, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai: (1) bahasa resmi kenegaraan; (2) bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan; (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan; dan (4) alat
pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
modern (Halim 1981:28).
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini
adalah kesalahan pemakaian bahasa Indonesia dalam karangan berbentuk esai
siswa SLTA di kota Denpasar dan Badung. Kesalahan bahasa yang dikaji
mencakup kesalahan ejaan, kesalahan kata termasuk pembetukan kata dan diksi,
kesalahan kalimat efektif dan paragraf.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan mengaji kesalahan pemakaian
ejaan, kesalahan pemakaian kata, (pembentukan kata dan diksi) kesalahan
pemakaian kalimat efektif, dan penulisan paragraf. Hasil penelitian ini dipakai
sebagai bahan pengajaran bahasa Indonesia akademik. Di sisi lain, penelitian ini
dapat dipakai sebagai bahan pengabdian kepada masyarakat (siswa dan guru) dan
masukkan untuk memperbaiki mutu pengajaran bahasa Indonesia.
Dua teori yang dipakai dalam penelitian ini: teori komponen dan teori
analisis kesalahan. Teori komponen menurut Langacker (1972:3) adalah bahasa
terdiri atas komponen sintaksis (kalimat), leksikon, dan fonem. Penelitian ini
bersumber pada bahasa tulis (esai), maka bukan komponen fonem yang dipakai,
melainkan komponen ejaan. Dengan demikian, penelitian ini mengategorikan
kesalahan ejaan, kata (pembentukan kata dan diksi), dan kalimat efektif.
Analisis kesalahan menurut Ubol (1981:8) adalah deskripsi dan penjelasan
yang sistematis mengenai kesalahan pemakaian bahasa, baik secara tertulis maupun
lisan ketika menggunakan bahasa target. Teori ini diterapkan dalam interpretasi
data bahasa berbentuk paragrap yang dilaksanakan dengan deskripsi dan penjelasan
secara sistematis.
Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini melalui tiga
tahapan, yaitu metode dan teknik perolehan data, analisis data, dan penyajian hasil
analisis. Metode pemerolehan data dilakukan secara tidak langsung hanya
berdasarkan bahasa tertulis dalam esai dengan teknik catat. Metode analisis data
menggunakan metode pendeskripsian data sinkronik dengan teknik induktif.
Metode panyajian hasil analisis menggunakan metode informal dengan
mendeskripsikan secara kebahasaan data yang dikaji.
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahasa tulis berbentuk
esai siswa SLTA di kota Denpasar dan Badung. Jumlah tulisan digunakan sebagai
bahan analisis 43 karangan. Keterbatasan jumlah tulisan ini untuk menjaring
kesalahan bahasa secara tuntas, tetapi dapat menghasilkan data yang sepontan dan
wajar.
2. PEMBAHASAN
Bahasa Indonesia memiliki tataran kebahasaaan dari tataran terendah yang
mencakup fonem, leksikon (kata), dan sintaksis. Penelitian ini bersumber pada
bahasa tulis, maka tataran yang terkecil itu adalah ejaan. Di samping itu, pemakaian
bahasa yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa erat hubungannya dengan
kemampuan berpikir. Dalam menuangkan gagasan atau pikiran, seorang (siswa)
dituntut mampu menghubungkan kalimat dengan kalimat dalam satu kesatuan yang
padu. Hubungan itu menyatakan kesatuan yang diikat oleh struktural bahasa dan
kesatuan secara logis. Dalam tulis-menulis atau karang-mengarang, ikatan itu
dilahirkan dalam bentuk paragraf (Akhadiah M.K, 1985:36).
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dideskripsikan dan dikaji dalam
penelitian ini mencakup bahasa: (1) analisis kesalahan penulisan ejaan; (2) analisis
kesalahan penulisan kata (pembentuk kata dan diksi); (3) analisis kesalahan
penulisan kalimat efektif; dan (4) analisis kesalahan penulisan paragraf. Untuk
lebih jelas, sistematis uraian serta kajian dari masing-masing masalah di atas
diuraikan seperti di bawah ini.
Perbaikan
1) Di samping itu ada juga ekstrakulikuler sastra Indonesia ….
2) … karakter bangsa kejujuran sangat diperlukan.
3) Memerah warna langit di timur.
4) … dirayakan dengan meriah di berbagai tempat.
B. Penulisan partikel pun
Kesalahan penulisan partikel pun ditemukan pada contoh data seperti
berikut.
5) … tidak banyak yang peduli ataupun berusaha mengubah keadaan tersebut.
6) … apapun usaha yang dilakukan akan sia-sia.
Penulisan partikel pun pada contoh di atas berarti juga, sehingga penulisannya
harus dipisah dengan kata yang diikutinya, sehingga diperbaiki seperti ini.
Perbaikan
5) … tidak banyak yang peduli atau pun berusaha mengubah keadaan tersebut.
6) … apa pun usaha yang dilakukan akan sia-sia.
C. Penulisan tanda baca
Kesalahan penulisan tanda baca seperti koma, titik, dan tanda hubung
ditemukan pada data berikut.
7) … untuk memperkuat karakter bangsa terkandung 18 karakter positif
bangsa, seperti: a. religius, b. jujur, c. toleransi, dan seterusnya.
8) … menjadikan pemuda generasi emas 2020, akan sia-sia
Data 7 dan 8 di atas menunjukkan kesalahan penulis tanda baca koma, tanda
hubung, dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat. Perbaikan data tersebut
seperti berikut.
Perbaikan
7) … untuk memperkuat karakter bangsa terkkandung 18 karakter positif
bangsa, seperti:
a. Religious, b. jujur, c. toleransi, dan seterusnya.
8) … menjadikan pemuda Generasi Emas 2020, akan sia-sia.
Perbaikan
1) … kita mungkin kurang mengubah karakter dari dalam diri.
2) Ide dan kreativitas yang dimiliki setiap anak ….
3) Orang yang mempunyai pandangan berbeda bukanlah musuh, melainkan
….
4) Siswa harus mentaati peraturan sekolah.
2. Kesalahan ketepatan pilihan kata (diksi)
1) … dapat membangun karakter bangsa anak muda yang lebih baik dari
generasi tua sekarang.
2) Makalah kami terdiri atas tiga bab.
3) Untuk bisa menjadi penikmat sastra ada tiga hal ….
Kesalahan data di atas diperbaiki seperti berikut.
Perbaikan
1) … dapat membangun karakter bangsa anak muda yang lebih baik daripada
generasi tua sekarang.
2) Makalah kami terdiri dari tiga bab.
3) Untuk bisa menjadi pengapresiasi sastra ada tiga hal ….
Paragraf
Paragraf merupakan inti penuangan buah pikiran dalam karangan. Paragraf
mengandung satu unit buah pikiran yang didukung oleh semua kalimat dalam
paragraf tersebut, mulai dari kalimat pengenal, kalimat topik/utama, dan kalimat
penjelas sampai pada kalimat penutup.
Perbaikan
Berdasarkan uraian tersebut bahwa, nilai-nilai karakter dapat diperoleh
melalui cerita dongeng, seperti semangat kebangsaan, rasa ingin tahu, dan nilai
religius. Dongeng itulah yang membentuk karakter seseorang ketika anak-anak.
Seseorang setelah menginjak remaja dan dewasa, jenis-jenis karya sastra menjadi
imajinasi jika ingin tetap produktif dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
dan meningkatkan martabat. Dengan membaca sebuah cerita, seseorang akan
menambah wawasan dan memperlancar cara membaca.
2) Tapi tidak sebagian orang bisa memberdayakan sastra dan bahasa Indonesia di
dalam dunia bermasyarakat. Kita bisa perhatikan, generasi muda saat ini.
Dengan berkembangnya teknologi, konsep-konsep dan istilah baru di dalam
pertumbuhan dan perkembangan Iptek pun secara tidak langsung memperkaya
khasanah bahasa Indonesia. Sehingga banyak kata-kata yang muncul yang
tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang sesungguhnya. Walaupun pelajaran
bahasa Indonesia tetap berjalan di setiap sekolah, bahasa-bahasa asing lain bisa
dikatakan melejit perkembangannya dibandingkan bahasa Indonesia.
Contohnya, anak-anak sekarang lebih menyukai bahasa asing dibandingkan
Perbaikan
Tidak semua orang bisa memberdayakan sastra dan bahasa Indonesia dalam
masyarakat, seperti generasi muda saat ini. Berkembangnya Iptek secara tidak
langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia, terutama pada konsep dan
istilah baru yang menyebabkan banyak kata yang muncul tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia tetap diajarkan di sekolah,
bahasa asing lebih pesat perkembangannya daripada bahasa Indonesia. Generasi
muda lebih menyukai bahasa asing dan “mengagungkannya” dibandingkan dengan
bahasa Indonesia.
Contoh data pada paragraf 1 menunjukkan kesalahan pada penggunaan kata
jadi sebagai hubungan yang menyatakan akibat atau hasil. Kata jadi hanya dipakai
untuk mengakhiri paragraf yang merupakan hasil dari uraian dan sebagai kata
penghubung antarkalimat dalam sebuah paragraf. Paragraf 2 di atas menunjukkan
kesalahan pada penggunaan kata tapi pada awal paragraf. Kata tetapi sebagai kata
penghubung antarkalimat dalam sebuah paragraf hanya dipakai untuk hubungan
yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang sudah disebut sebelumnya.
Selain itu, terdapat kemubaziran kata/kalimat dalam paragraf 1 dan 2 di atas.
Saran
Penelitian pemakaian bahasa Indonesia dalam karya ilmiah, terutama pada
generasi muda perlu dilakukan. Hal ini disebabkan generasi muda dewasa ini lebih
cenderung menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia,
sehingga sering mencampuradukkan kaidah bahasa asing ke dalam bahasaa
Indonesia. Melalui penelitian ini, dapat membina dan mengembangkan bahasa
Indonesia dari lajunya arus globalisasi. Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan
melalui pengabdian kepada masyarakat terutama pada siswa SLTA.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, M.K., dkk. 1985. Buku Materi Pokok Bahasan Indonesia. UNT 112/2
SKS/Modul 1-3 dan 4-6. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Universitas Terbuka.
Ali, Lukman. 1994. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Depdikbud RI.
Dalman. 2011. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Langacker, Ronald W. 1972. Fundamentals of Linguistic Analysis. New York:
Harcourt Brace Jovanovich.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif, Struktur, Gaya, dan Variasi. Jakarta: PT
Gramedia.
Ubol, Charas. 1981. An Error Analysis of English Compositions by Thai Students.
Singapore: Seameo Regional Language Centre.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
masing. Jadi, bisa dikatakan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi
masing-masing yang ingin diperkenalkan kepada orang lain.
Aktivitas kebudayaan (tradisi) dari suatu masyarakat, selalu menggunakan
simbol-simbol baik verbal maupun non verbal yang sering hanya bisa dipahami
oleh pemilik kebudayaan tersebut. Di sisi lain, kebudayaan sebenarnya tidak hanya
untuk dinikmati oleh pemilik suatu kebudayaan, ada orang lain yang baik secara
langsung atau pun tidak terlibat dan berinteraksi dengan kebudayaan tersebut.
Dengan demikian, orang lain yang bukan pemilik kebudayaan tersebut tidak akan
mengerti hingga kepada simbol-simbol yang digunakan dalam suatu kebudayaan.
Tradisi daerah merupakan suatu gambaran terhadap bentuk masyarakat
daerah tertentu, sehingga tradisi tersebut memiliki ciri khas tersendiri antara yang
satu dengan yang lainnya sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan daerah
masing-masing. Pelestarian tradisi tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya
penelitian dan pengkajian mengenai berbagai macam tradisi yang ada didaerah itu
sendiri. Salah satu tradisi daerah yaitu tradisi pelawe pintu dan buka kipas yang
terdapat dalam adat pernikahan di lingkungan masyarakat Melayu di Pekanbaru
Riau.
Dalam Kamus Bahasa Melayu (2011:211), pelawe artinya mengajak atau
basa-basi, bila dihubungkan dengan tradisi pelawe pintu pada adat pernikahan
masyarakat Melayu, pelawe pintu yaitu basa-basi yang dilakukan di depan pintu.
pelawe pintu adalah suatu proses acara dalam adat pernikahan yang harus
dilakukan pengantin pria sebelum masuk ke dalam rumah untuk duduk bersanding
dengan pengantin wanita yang dilakukan dengan cara berbalas pantun. Sedangkan
buka kipas adalah suatu proses berbalas pantun yang dilakukan antara pihak
pengantin pria dan wanita didepan pelaminan dengan tujuan agar pengantin pria
dapat bersanding duduk dipelaminan. Tradisi pelawe pintu dan buka kipas ini pada
dasarnya tidak bisa dipisahkan dan dilakukan sejalan karena saling berkaitan.
Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:bagaimanakah
pelaksanaan tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas dalam adat pernikahan
masyarakat Melayu di Pekanbaru Riau?
KAJIAN TEORI
UU Hamidy (2006:57) mengatakan tradisi dalam pengertian sebagai
tingkah laku dan perbuatan manusia yang selalu berlanjut dari satu generasi kepada
generasi berikutnya, lebih banyak mendorong orang berbuat, karna adanya suatu
mitos dalam tradisi itu. Menurut UU Hamidy (2006:22) tiap peristiwa dari
kehidupan biasanya berlangsung dengan upacara. Setiap upacara meliputi: (1)
Waktu, (2) Tempat, (3) Peralatan, (4) Teks upacara, (5) Pelaku dan peserta upacara.
Dengan demikian upacara merupakan suatu tradisi yang selalu mengambil bagian
dalam rentangan hidup manusia. Tradisi kehidupan dengan muatan agama, adat,
dan resam yang biasanya dipelihara melalui upacara, namun tetap akan dapat
bergeser dan akhirnya akan berubah oleh pergantian generasi, ruang dan waktu.
Menurut Sal Murgiyanto (2004:2) tradisi merupakan hasil cipta dan karya
manusia objek material, kepercayaan, khayalan, kejadian, atau lembaga yang
diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Selanjutnya Sal Murgiyanto
(2004:10) juga mengatakan tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan
pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke generasi, dari
leluhur ke anak cucu secara lisan.
Menurut Waridy (2009:12) tradisi berasal dari kata tradision yang
mengandung pengertian sesuatu yang bersifat turun temurun, kebiasaan serta adat
istiadat. Tradisi sebagai tingkah laku dan perbuatan manusia yang selalu berlanjut
dari generasi kegenerasi berikutnya, kita harus melakukan suatu tradisi sebagai
suatu cara yang efektif untuk menggerakkan potensi masyarakat.
Menurut Zainul Daulay (2011:27) mengatakan sebuah tradisi dikatakan
tradisional karena pengetahuan ini diciptakan dalam suatu cara yang mencerminkan
tradisi masyarakatnya dengan demikian tradisi bukan hanya mengenai hakikat dari
tradisi tersebut, tetapi juga bagaimana tradisi itu diciptakan, dilestarikan, dan
disebarluaskan.
Menurut Koentjaranigrat (2009:296) mengatakan sebuah tradisi itu terdiri
dari upacara-upacara tertentu didalamnya, upacara itu juga memiliki banyak unsur
yaitu: (1) bersaji, (2) berkorban, (3) berdoa, (4) makan bersama makanan yang telah
disucikan dengan doa, (5) menari tarian suci, (5) menyanyi nyanyian suci, (6)
berprosesi atau berpawai, (7) memainkan seni drama suci,
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analisis dengan
menggunakan data kualitatif adalah penelitian yang diarahkan menjelaskan data-
data yang berbentuk lisan dan tulisan tentang fenomena-fenomena atau peristiwa
yang diteliti. Data yang ditemukan langsung di lapangan berdasarkan hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi. Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif
penelitian perlu mengamati, meninjau, dan mengumpulkan informasi serta
menggambarkannya secara tepat.
Menurut Suharsimi Arikunto (2013:20) metode kualitatif adalah penelitiaan
yang tidak menggunakan angka-angka dalam pengumpulan datanya. Dalam
penelitian kualitatif peneliti diharapkan langsung pada responden maupun
lingkungannya sedemikian intensif sehingga peneliti dapat menangkap dan
merefleksi dengan cermat apa yang diucapkan dan dilakukan oleh responden.
Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif
dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris).
Proses penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia
dalam aneka bentuk. Penelitian kualitatif lebih berorientasi kepada upaya untuk
memahami fenomena secara menyeluruh..
Penelitian ini dilakukan di Pekanbaru Propinsi Riau, pada acara tradisi
Pelawe Pintu dan Buka Kipas di daerah tersebut. Sampel dalam penelitian ini
menggunakan sampel purposive karena peserta yang terlibat lansung pada kegiatan
tradisi pelawe pintu dan buka kipas yang berjumlah 5 orang yaitu Mak Andam, Mak
Inang, pemuka adat serta beberapa orang yang di tue kan atau orang yang biasa
ditunjuk dalam prosesi berbalas pantun di Pekanbaru Riau.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan Tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas
1.Waktu Pelaksanaan Tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas
Waktu pelaksanaan prosesi pelawe pintu dan buka kipas ini ialah pada siang
hari, biasanya disebut berarak bersatu, Setelah akad nikah penganten duduk di
pelaminan untuk proses tepuk tepung tawar diiringi dengan serakal orang-orang
tua. setelah selesai kemudian penganten laki-laki tadi pulang untuk melakukan
proses selanjutnya. pada siang hari nya pengantin laki-laki berarak menuju rumah
pengantin perempuan dengan diiringi rombongan pemain kompang. Setelah sampai
dirumah pengantin perempuan, pengantin laki-laki disambut dengan pencak silat,
kemudian proses pelawe pintu dan buka kipas ini dilakukan.”
2. Ruang Atau Tempat Pelaksanaan Tradisi Pelawe Pintu Dan Buka Kipas
Tempat pelaksanaan tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas ini yaitu di
kediaman pengantin wanitanya, karena semua proses mulai dari akad nikah hingga
acara selesai dilakukan atau dibuat di rumah pengantin wanita. Biasanya orang-
orang dulu membuat pelaminan didalam rumah, tetapi sekarang setelah zaman dan
generasi berganti, orang-orang yang mengadakan pesta pernikahan lebih sering
membuat pelaminan diluar rumah untuk mempermudah pelaksanaan acara
pernikahan tersebut, tapi tak jarang pula zaman sekarang pelaminan masih dibuat
didalam rumah. Walaupun pelaminannya sekarang sering dibuat diluar rumah, tapi
prosesi Pelawe Pintu dan Buka Kipas tidak berubah atau tidak mengalami
perubahan. Hanya letak pelaminan saja yang berubah.
4. Orang-orang yang terlibat didalam Tradisi Pelawe Pintu Dan Buka Kipas
Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang
bertindak sebagai pemimpin jalannya upacara dan beberapa orang yang paham
dalam ritual upacara adat. Dalam pelaksanaan pernikahan harus lah ada orang-
orang yang menjadi wali dari kedua belah pihak calon mempelai.
Dalam pelaksanaan tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas ini harus lah ada
orang-orang yang terpilih untuk melangsungkan tradisi tersebut. Adapun orang-
orang yang melangsungkan prosesi Pelawe Pintu dan Buka Kipas ini adalah Mak
Andam, Mak Inang Atau Dayang, orang yang ditue kan atau orang yang biasa
ditunjuk pihak keluarga dalam proses berbalas pantun, dan kedua belah pihak sanak
keluarga calon pengantin yang menyaksikan prosesi Pelawe Pintu dan Buka Kipas
tersebut dan juga para undangan yang berada atau hadir dalam acara pernikahan
tersebut..
5. Prosesi Tradisi Pelawe Pintu Dan Buka Kipas Dalam Adat Pernikahan
Setelah semua proses sudah dijalankan, maka tibalah pengantin pada proses
terakhir yaitu Pelawe Pintu dan Buka Kipas yang penulis teliti. Pada pelaksanaan
Pelawe Pintu ini pengantin laki-laki dihadang didepan pintu oleh Mak Andam atau
orang yang ditue kan atau yang biasa ditunjuk tuan rumah dalam prosesi berbalas
pantun. Tapi sekarang karena perkembangan zaman banyak tuan rumah yang
mengadakan pesta membuat pelaminan diluar. Jadi pada prosesi Pelawe Pintu ini
hanya membentangkan kain panjang yang dijadikan penghalang dalam prosesi
Pelawe Pintu ini. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini dimana pengantin
laki-laki melalui prosesi Pelawe Pintu:
Dalam pelaksanaan Pelawe Pintu ini, terlihat pada gambar bahwa orang tue
yang ditunjuk tuan rumah saling berdialog dan berbalas pantun. Pantun-pantun
yang dibawakan sangat beragam. Pantun-pantun tidak dibakukan, tergantung siapa
yang membawakan / yang menyampaikan pantun-pantun tersebut. pantun harus
dibawakan oleh orang-orang yang mahir berpantun agar tidak terjadi kevakuman.
Pantun-pantun yang di gunakan dalam Pelawe Pintu tersebut sebagai berikut:
Pihak lelaki:
“Dari bukom pegi ke batam
Naik ferry terase mabok
Assalamu’alaikum wahai Mak Andam
Kenape kami tak diberi masok”
Pihak perempuan:
“Sampai dibatam tengah hari
Terase mabok kepale berat
Wa’alaikumsalam jawab diberi
Hendak masok musti ade syarat”
Pihak lelaki :
“Memasang jerat dengan perangkap
Perangkap dipasang diwaktu malam
Surat menyurat semuenye lengkap
Kami ini bukan pendatang haram”
Pihak perempuan:
“Tak kire jerat atau perangkap
Kite tarok dekat pojok petai
Walau surat semue dah lengkap
Pihak lelaki :
“Nasi Uduk Ulam nye petai
Makan same sambal terasi
Hendak masok kene baya cukai
Ini namenye mike korupsi”
Pihak perempuan:
“Ulam petai dengan sambal terasi
Bekelah makan ditepi batu
Kami tak pandai bekorupsi
Memang peraturannye sudah begitu”
Pihak lelaki :
“Buah durian si buah duku
Banyak dijual dipasa balai
Kalau sudah peraturannye begitu
Aaa ini kami baya die punye cukai, mike hitong lah selai-selai”
Pada prosesi pelawe pintu, orang tue dari pihak pengantin perempuan yang
berpantun setelah itu menghitung jumlah uang dalam amplop yang diberikan orang
tue dari pihak pengantin laki-laki. Setelah menghitung jumlah uang tersebut, pihak
dari pengantin perempuan melanjutkan pantunnya kembali, isi pantun tersebut
sebagai berikut berdasarkan wawancara dengan Mak Ijah (23 November 2015):
Pihak perempuan:
“Dari jelutong pegi ke balai
Singgah ke kios naek angkot
Kami dah hitong selai-selai
Beli rokok sebungkus tak cukop, ini tandenye mike kedekot”
Pihak lelaki :
“Diwaktu pagi petik selaseh
Hendak menggulai si siput sedot
Dah kami bagi tak terime kaseh
Dikatenye pulee kite kedekot”
Pihak perempuan:
“Banyak budak naek angkot
Pihak lelaki :
“Pegi bekelah ketelok lekop
Sambil melihat PT. mandiri
Kami dah bagi tadi tak cukop
Aaa ini kami tambah satu amplop lagi”
Pihak perempuan:
“Daon selaseh penyedap masakan
Same juge si daon salam
Terime kaseh kami ucapkan
Sile lah penganten masok kedalam”
Setelah amplop kedua diberikan lagi untuk orang tue yang berpantun dari
pihak pengantin perempuan tadi, maka dibukakan lah kain penghalang tadi, dan
pengantin laki-laki diizinkan melanjutkan proses berikutnya yaitu Buka Kipas. Pada
proses Buka Kipas ini lah proses terakhir dalam tradisi pernikahan masyarakat
Melayu sebelum duduk bersanding dipelaminan.
Setelah kain penghalang dibuka, pengantin laki-laki dibawa menuju depan
pelaminan untuk melanjutkan proses Buka Kipas. Pengantin perempuan sudah
duduk dipelaminan menunggu pengantin laki-laki dengan wajah ditutupi dengan
kipas. Sebelum duduk bersandingdipelaminan, masih harus melakukan prosesi
berbalas pantun kembali seperti proses Pelawe Pintu tadi. Para pelaku dalam
pelaksanaan Buka Kipas ini pun masih dengan orang yang sama seperti pelaksanaan
Pelawe Pintu tadi.
Pihak perempuan :
“Angin redup kolek belepas
Muat sarat berisi batu
Wajah pengantin ditutop dengan kipas
Memang biase adatnye begitu”
Pihak lelaki :
“Bawak batu pegi belaya
Ke tanjung pelepas telangga balak
Bukak pintu tadi sudah kami baya
Bukak kipas macam mane pulak”
Pihak perempuan :
“Bawak batu pegi belaya
Batu dijual dituka beras
Bukak pintu tadi kene baya
Bukak kipas mesti pakai pengeras”
Pihak lelaki :
“Pasang togok besame lukah
Lukah dipasang dipulau keras
Bukan menyogok bukan juge rasuah
Aaa ini kami baya die punye pengeras”
Setelah amplop ketiga diserahkan dengan orang tue dari pihak pengantin
perempuan atau orang yang sering ditunjuk tuan rumah dalam proses berbalas
pantun dari pihak pengantin perempuan, kemudian orang tue dari pihak pengantin
perempuan menutup pantunnya. Pantun tersebut yaitu:
Pihak perempuan :
Setelah proses berbalas pantun dan penyerahan amplop ketiga pada Buka
Kipas selesai, maka pengantin laki-laki dipersilahkan duduk dipelaminan, maka
selesailah semua proses dalam tradisi pernikahan mulai dari Khatam Al-Qur’an
hingga tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas dalam adat pernikahan sudah
dilakukan, dan kedua pengantin duduk di pelaminan hingga acara selesai untuk
diberi selamat oleh para tamu undangan yang hadir dalam acara pernikahan
tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
SIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa Pelawe Pintu dan Buka Kipas merupakan suatu tradisi yang
masih ada dan masih dijalankan dari dahulu hingga sekarang dalam adat penikahan
masyarakat Melayu di Pekanbaru Propinsi Riau. Pada tradisi ini juga memiliki cara-
cara tersendiri dalam menjalani dan melaksanakannya. Tapi bergesernya waktu,
adat tradisi ini juga mengalami sedikit perubahan dalam pelaksanaannya namun
hal-hal yang wajib dilaksanakan tetap dilaksanakan.
Dalam serangkaian pelaksanaan tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas
tersebut terdapat hal-hal yang harus dilalui oleh pengantin laki-laki sebelum duduk
bersanding dipelaminan. Adapun hal-hal yang harus dilalui oleh pengantin setelah
proses akad nikah yaitu: (1)Melaksanakan prosesi berarak bersatu, (2)Sambutan
pihak rumah keluarga perempuan untuk peengantin laki-laki pada prosesi pencak
silat, (3)Melaksanakan prosesi tradisi Pelawe Pintu, (4)Melaksanakan prosesi
tradisi Buka Kipas
Hal-hal diatas ialah proses pelaksanaan yang harus dilakukan pada tradisi
Pelawe Pintu dan Buka Kipas sebelum duduk bersanding dipelaminan, tradisi-
tradisi tersebut wajib dilakukan dalam pelaksanaan adat pernikahan. Proses
berbalas pantun dilakukan pada pelaksanaan tradisi Pelawe Pintu dan Buka Kipas
ini. sebelum memulai proses Pelawe Pintu dan Buka Kipas, pantun-pantun yang
dibawakan harus dipersiapkan terlebih dahulu agar proses pelaksanaannya berjalan
lancar dan tidak terjadi kevakuman.
Di dalam pelaksanaan Tradisi Pelawe Pintu Dan Buka Kipas Dalam Adat
Pernikahan Mayarakat Melayu Di Kelurahan Baran Barat, terkandung beberapa
nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, yang mana
disetiap nilai-nilai tersebut memiliki arti dan makna tersendiri. Adapun nilai
tersebut yaitu nilai agama Islam, nilai adat, dan nilai tradisi.
DAFTAR PUSTAKA
POSMODERNISME:
MODERNITAS DAN MASYARAKAT DESA
DALAM NOVEL MAGENING
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendekripsikan kekecewaan masyarakat atas
modernitas dalam tatanan sosial dan politik; (2) pandangan masyarakat desa
terhadap perubahan sosial budaya dalam novel Magening. Penelitian ini
menggunakan metode deskripsi analisis, pendekatan sosiologi sastra, dan teori
posmodernisme sebagai pisau bedah analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa konstruksi manusia yang kecewa terhadap modernitas disebabkan oleh
tatanan masyarakat patriarkat, terutama yang bertindak kapitalisme modern yang
mengubah mayoritas manusia menjadi bergantung, ditindas, dan dijadikan mesin
ekonomi serta budak politik uang secara nyata tergambar dalam Magening.
Sementara itu, alienasi akibat perubahan sosial budaya masyarakat Bali
memberikan isyarat bahwa manusia, kelompok masyarakat, kehilangan dorongan
hati bergaul (motif egoisme), kreativitas (motif monoton), kontrol terhadap
tindakan (motif pasivisme), dan kehilangan otonomi (motif pemujaan komoditas).
Masyarakat dimunculkan dengan konsep alienasi tidak hanya mengalami
perubahan dalam bidang pekerjaan, tetapi di bidang politik, kultur, pendidikan,
kesenian, kesenangan, konsumsi, keluarga, dan bidang lain. Novel Magening
menyadap modernitas yang dianggap oleh sebagian masyarakat modern sebagai
jalan buntu sejarah manusia atau kehancuran komunitas tertentu, dalam konteks
masyarakat Bali.
Kata kunci: modernitas, posmodern, masyarakat Bali, Magening
PENDAHULUAN
Secara umum, sebagai masyarakat yang pluralis dan multikultur, Bali
memberikan perubahan dan kemajuan di bidang komunikasi, pemukiman, dan
penduduk, baik lokal maupun yang bersifat modern. Perubahan penduduk di Bali
merupakan simbol kebangkitan kebudayaan yang bersifat non-etnis, urban, dan
modern.Terlepas persoalan modernitas yang terjadi di masyarakat Bali, refleksi
imajinasi pun dapat ditemukan dalam karya sastra. Bahkan, dalam karya sastra,
tema modernitas menjadi kekuatan untuk novel Mageningkarya Wayan Jengki
Sunarta.
tercabik dan di ujung komunitas desa yang semula lembut, personal, harmonis,
kolektif, dan humanistik pelan berubah menjadi komunitas yang individualistik,
serbakontraktual, terpolarisasi, dan sekaligus makin kritis. Komunitas pedesaan
yang semula berciri ruralisme dan pluralisme, perlahan semakin bergeser, bahkan
berubah ke arah urbanisme dan unitarisme (Hayami dan Kikuchi, 1987; Suyanto,
2010:9—10). Posmodern menawarkan kajian kesenjangan pemikiran sosial dan
budaya, yaitu pemikiran modern dan posmodern lebih unggul di dunia Barat atas
dunia Timur.
Modernitas dapat dipahami sebagai pengertian yang merangkum banyak
hal, mulai dari sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya—muncul di dunia Barat
sekitar abad ke-18 sampai akhir abad ke-20 hingga sistem pemikiran modern.
Sementara itu, Giddens (1990:55—58; Ritzer, 2003:241—242) berpendapat bahwa
modernitas secara tingkatan makro menitikberatkan pada nation-state, daripada
perhatian sosiologi yang lebih konvensional pada masyarakat, berbeda secara
radikal dari jenis karakteristik komunitas dalam masyarakat pramodern. Ada empat
istilah institusi modernitas, yaitu (1) kapitalisme, (2) industrialisasi, (3) kapasitas
pengamatan, dan (4) kekuatan militer. Secara subtansial, Giddens tidak memandang
modernitas saja, tetapi melihat kemungkinan masa depan bagi dunia modern.
Kaitan modernitas dan posmodern merupakan wacana yang mengelaborasi
posmodernitas. Kehadiran modernitas untuk memahami kontradisi dan
ketidakpastian yang melekat pada dirinya. Teori ini mengungkapkan dimensi
transdormasi sosial pada posmodernitas (Ashcroff, 2005:196). Teori modernistias-
posmodern sebagai pijakkan penelitian ini untuk mengkaji akibat positif dan negatif
modernitas yang muncul dalam novel Magening.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan sumber data berupa novel
Magening karya Wayan Jengki Sunarta, vi + 164 halaman, terbit 2015, dan penerbit
Kakilangit Kencana. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode pustaka
dengan teknik catat. Metode analisis data yang digunakan adalah dengan teknik
analisis isi. Teori posmodern dengan metode wacana kritis untuk menganalisis
subur permai dengan banyak pemandangan indah yang menjadi magnet tersendiri
bagi wisatawan (Sunarta, 2015:36).
Pendirian yayasan ini pun pada mulanya dicurigai oleh sebagian besar masyarakat
Magening. Ada yang menuduh Yayasan Rare Bali hanya akan menambah
kekayaan keluarga Suni. Sejumlah warga mencurigai ada udang di balik batu dari
si turis yang rela menyisihkan kekayaannya untuk mendanai yayasan (Sunarta,
2015:36).
masyarakat, juga antara daerah perkotaan dan pedesaan. Lihat kutipan “Ada yang
menuduh Yayasan Rare Bali hanya akan menambah kekayaan keluarga Suni”
adalah pesan implisit yang perlu dipikirkan oleh pemerintah daerah untuk
mengatasi kemiskinan masyarakatnya. Pandangan buruk atas modernisasi
merupakan bentuk perilaku manusia yang wajar sebelum ada pembuktian nyata
perubahan kehidupan masyarakat desa. Berikut kutipan yang memperkuat
keberadaan Yayasan Rare Bali yang lambat laun dapat diterima masyarakat Dusun
Magening.
Latihan akan segera dimulai. Tempat latihan mencari di wantilan. Beberapa orang
tua, terutama ibu-ibu, menyempatkan diri datang ke kantor yayasan melihat anak-
anaknya latihan. Bagus juga mereka datang, pikirku. Paling tidak mereka bisa
melihat langsung bahwa yayasan ini memang benar bertujuan untuk pendidikan
kesenian. Sekaligus juga bisa menepis kecurigaan sejumlah warga terhadap
yayasan ini (Sunarta, 2015:76).
Pak Gumbreng memarkir motornya dan ikut bergabung bersama kami minum tuak.
Tidak berapa lama dia sudah nyerocos bicara prihal harga pupuk yang melambung.
Tentang harga-harga kebutuhan hidup yang melonjak. Tentang susahnya menjadi
petani di zaman sekarang (Sunarta, 2015:66).
Percakapan tokoh Pak Gumbreng, pemuda desa, dan Mudra tentang kasus
nyata harga pupuk, sembako, dan keberpihakan terhadap nasib petani semakin
menambah beban kemelaratan golongan miskin desa. Hal ini mengakibatkan
merebaknya polarisasi sosial di kalangan masyarakat desa. Dengan merebaknya
proses modernisasi dan pembangunan nasional—ternyata di Bali justru muncul
kontradiksi. Pengangguran, setengah pengangguran, dan kemiskinan, baik kota
maupun desa, tidak berkurang secara berarti sekalipun telah tercapai pertumbuhan
ekonomi yang pesat di bidang pariwisata. Tidak dapat dimungkiri, sikap kecewa
masyarakat desa tumpah ruah sehingga terlampiaskan dengan bersikap kolot,
bahkan pasrah menerima perlakukan keadaan.
Konon ayah Pak Manik termasuk salah satu algojo yang sangat beringas pada
waktu itu. Itu pula salah satu sebab mengapa Pak Manik tidak begitu warga,
terutama warga yang keluarganya menjadi korban keberingasan ayah Pak Manik.
Sebab ketika peristiwa memilukan itu meledak, banyak orang tidak bersalah
menjadi korban fitnah dan hasutan yang lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan
sepele di luar urusan politik, seperti kecemburuan, dendam keluarga, rebutan tanah
warisan, persaingan jadi kadus, dan sebagainya (Sunarta, 2015:114).
Pemilihan kadus kali ini memang sangat mengecewakan. Banyak warga mengeluh
kenapa bisa Pak Manik yang terpilih menjadi kadus? Padahal kebusukan Pak
Manik sudah banyak diketahui warga. Tapi begitulah politik, tidak bisa ditebak ke
mana alurnya. Bahkan, politik di tingkat dusun pun memiliki pola yang sama
dengan politik di tingkat negara. Bisa jadi juga, memang sudah tabiat manusianya,
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuannya. (Sunarta, 2015:128).
kenyataannya, masih banyak campur tangan birokrat yang otoriter dan bersifat
sentralistik telah melahirkan berbagai masalah. Pemikiran tersebut dalam dunia
sastra telah diimplikasikan sebagai bentuk protres terhadap permasalahan sosial
yang terjadi di dunia nyata. Kutipan “Bahkan, politik di tingkat dusun pun memiliki
pola yang sama dengan politik di tingkat negara” merupakan simbol dunia politik
yang kotor.Warga takut kepada Pak Manik sebab siapa saja berani melawannya
akan mengalami nasib sial. Kecurangan Pak Manik tidak saja merugikan
masyarakat Desa Magening, tetapi pada tingkat pemerintahan pusat. Desa yang
masih ditemukan penduduk miskin ini, telah membiarkan kebusukan Pak Manik
demi keselamatan keluarga masing-masing.
Tekanan atas kelompok masyarakat desa yang miskin semakin terasa
dampaknya ketika pemilikan tanah bersama diganti oleh pemilikan tanah
perorangan. Jumlah petani yang tidak memiliki tanah, tumbuh secara meyakinkan,
kesempatan baru untuk golongan ini ditentukan oleh tuan tanah. Di sisi lain,
pemimpin komunal desa yang sebelumnya menjadi pengambil keputusan desa,
cenderung diganti dengan tuan tanah.
Lalu bagaimana dengan Kacret? Dari analisiku, Pak Manik menganggap Kacret
bukanlah saingan berat. Masa pendukung Kacret hanya di kalangan anak-anak
muda yang suka mabuk-mabukan. Tentu maneuver Kacret dengan mudah
dipatahkan oleh Pak Manik lewat isu pemabuk yang dilabelkan pada Kacret. Mana
ada warga yang mau dipimpim oleh seorang pemabuk dan tidak mampu mengurus
dirinya sendiri? Warga sebagian besar terbelakang ini tentu tidak mau peduli dan
tidak mau tahu kalau Kancret sebenarnya seorang pemuda yang cerdas dan kritis.
Sebab predikatnya sebagai pemabuk lebih dominan di tengah-tengah warga.
Namun, aku justru melihat sebaliknya. Kancret merupakan anak muda yang
potensial di masa depan. Tentu dengan syarat dia harus mengubah kebiasaan
buruknya yang terlalu berlebihan mengonsumsi alkohol (Sunarta, 2015:129—
130).
masyarakat desa tidak memiliki hak suara. Praktik politik kotor yang sudah melekat
pada pemimpin terdahulu berkembang terus-menerus. Perhatikan kutipan novel
Magening “Tentu maneuver Kacret dengan mudah dipatahkan oleh Pak Manik lewat isu
pemabuk yang dilabelkan pada Kancret”. Rasa kecewa pada diri pemuda, Made
Parwata atau Kancret, juga masyarakat desa hanya sebatas wacana yang muncul di
permukaan dan hilang dengan sendirinya. Protret peristiwa sosial di Dusun
Magening merupakan simbol persoalan masyarakat dalam menghadapi eksploitasi
dan modernisasi.
Yang membuatku tertarik adalah karena yayasan itu bergerak di bidang kesenian.
Namun, dilema yang muncul dalam diriku adalah aku belum pernah menetap di
daerah lain. Aku bukan tipe orang yang suka merantau. Sedangkan lowongan
Banyak desa tertinggal meskipun jargon kota pariwisata melekat jelas di Provinsi
Bali. Kota Denpasar di Bali mengalami titik kulminasi perkembangan pesat sejak
tahun 1990-an. Sementara itu, pembangunan desa terbelakang jauh dari slogan
pariwisata di Bali. Seperti digambarkan pada kutipan berikut ini.
Dusun Magening baru-baru ini memang dipersiapkan menjadi salah satu daerah
tujuan wisata alam di wilayah Bali Timur. Turis-turis yang menyukai petualangan,
seperti menyusuri hutan dan bersepada, cukup sering terlihat di dusun ini.
Namun seperti dusun terpencil lainnya di Bali, berkah pariwisata hanya dinimati
oleh segelintir orang tertentu yang memiliki keterampilan, modal, dan akses ke
saluran kekuasaan. Sebagian besar warga dusun harus cukup puas menjadi
penonton (Sunarta, 2015:21).
atau berandal desa. Aku mendengarkan coletahan Pak Gumbreng dengan penuh
perhatian (Sunarta, 2015:40).
Suni kembali ke dalam ruangannya. Aku kembali berkutat dengan komputer dan
menyusun program-program latihan, target pelaksanaan, perkiraan jumlah peserta,
rencana evaluasi, dan sebagainya. Sebenarnya wilayah kerjaku ada di dua bidang,
di kantor dan lapangan. Di kantor bergelut dengan komputer, di lapangan
memantau pelaksanaan kursus-kursus yang berlangsung (Sunarta, 2015:74).
SIMPULAN
Novel Magening memberikan jawaban atas berbagai masalah kekecewaan
masyarakat desa atas modernitas dalam tatanan sosial dan politik. Kekecewaan
yang paling menonjol terletak pada bidang ekonomoi, teknologi, dan ilmu
pengetahuan masyarakat desa yang tertinggal dengan masyarakat perkotaan. Selain
itu, faktor politik kotor yang dikuasai oleh pihak tertentu telah melukai hati rakyat
kecil. Novel Magening menggambarkan pandangan masyarakat desa atas
perubahan sosial budaya masyarakat Bali. Kondisi posmodern lahir dari budaya
ruralisme menuju pluralisme masyarakatnya. Perubahan budaya itu tercermin
dalam masyarakat Bali sejak tahun 1970-an setelah pariwisata menjadi ikon
pemerintah Provinsi Bali. Kondisi posmodern tampakdalam novel Magening yang
membentuk manusia untuk berpikir mulai dari gaya hidup, pendidikan, penguasaan
teknologi dan informasi, serta memajukan kebudayaan modern tanpa meninggalkan
budaya tradisional. Bahkan, persoalan modernisasi yang berdampak pada
urbanisasi besar-besaran memengaruhi kemajuan masyarakat desa yang semakin
tertinggal.
DAFTAR PUSTAKA
Arida, Nyoman Sukma. 2012. Pandora Bali Refleksi di Balik Gemerlap Turisme.
Denpasar: Pustaka Larasan.
Ashcroff, Bill. 2005. “Modernity’s First Bron: Latin America and Poscolonial
Transformation”. Dalam Linked Histories: Poscolonial Studies in A
Globalized World. Pamela Mc Callum & Wendy Faith (editor). Alberta:
University of Calgary Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Singkat.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Faruk, H.T. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme sampai Post-
modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fitria. 2015. "Perahu dan Kupu-Kupu: Analisis Posmodern Lyotard terhadap
Cerpen Seno “Perahu yang Muncul dari Balik Kabut”. Dimuat dalam Jurnal
Kandai, Volume 11, Nomor 2, Edisi November, hlm. 189—205.
Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Stanford, CA: Stanford
University Press.
Goldmann, Lucien. 1970. “The Sosiology of Literature: Status and Problems of
Method”. Dalam The Sosiology of Art and Literature. Editor Milton C.
Albrecht, et all. New York: Praeger Publisher.
Kumar, Krishan. 1995. From Post-Industial to Pos-Modern Society. Oxford:
Blackwell.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Podtmodernisme Teori dan Metode. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Lyotard, J. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Mashuri. 2013. “Kondisi Posmodern dalam Novel Durga Umayi”. Dimuat dalam
Jurnal Widyaparwa, Volume 41, Nomor 2, Edisi Desember, hlm. 157—170.
Nordholt, Henk Schulte. 2010. Bali Benteng Terbuka 1995—2005. Terjemahan Arif
Bagus Prasetya. Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan KITLV.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Suyanto, Bagong. 2010. “Perkembangan dan Peran Sosiologi”. Dalam Sosiologi:
Teks Pengantar dan Teks Terapan. J. Dwi Narwoto dan Bagong Suyanto
(editor). Jakarta: Prenada Media Group.
Sariban dan Iib Marzuqi. 2015. “Menemukan Keindonesiaan dalam Novel-Novel
Pramoedya Ananta Toer”. Dimuat dalam Jurnal Atavisme, Volume 18,
Nomor 2, Edisi Desember, hlm. 159—169.
Sunarta, Wayan Jengki. 2015. Magening. Jakarta: Kakilangit Kencana.
Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.
KONSEPSI KESEIMBANGAN
ALAM PEMIKIRAN TRADISIONAL ETNIK BALI
SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK
Putu Sutama
Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana
sutama_udayana@yahoo.com
Abstrak
Etnik Bali memiliki sudut pandang yang spesifik terhadap kehidupan di
alam semesta ini. Ciri khas tersebut adalah mengenai konsepsi keseimbangan secara
kosmologi. Konsepsi tersebut dapat dipahami pada alam pemikiran mereka pada
tataran: makro-kosmos (skala-niskala), mikro-kosmos (lingkungan) dan psiko-
kosmos (batiniah). Harmonisasi hubungan ketiga kosmologi tersebut disebut
sebagai keseimbangan. Keseimbangan alam pemikiran inilah yang menjadi tujuan
hidup orang Bali (Hindu) yang dalam istilah lain dinamakan sebagai “Moksartam
Jagadhitaya Ca Iti Dharma.” Tulisan ini akan menggali alam pemikiran orang Bali
yang tersimpan dalam teks sosial, sehingga diperoleh data dan fakta untuk
menjelaskan keberadaannya. Melalui studi Antropolinguistik akan digali makna-
makna yang tersimpan dalam data Bahasa Bali sehingga dapat diformulasikan
dalam bentuk generalisasi tentang konsepsi keseimbangan dalam konteks
kebudayaan Bali.
1. PENDAHULUAN
sebab itu, meminjam konsep ahli Antropologi Linguistik Sapir dan Whorf yang
merumuskan bahwa perbedaan-perbedaan budaya ada kaitaannya dengan
perbedaan bahasa (Hudson, 1985). Konsep tersebut dikenal dengan nama Cultural-
Relativity. Dalam konsep tersebut tersurat bahwa ada kaitan antara studi bahasa
dengan studi kebudayaan. Perpaduan antara kedua kajiann tersebut dinamakan
Linguistik-Kebudayaan, antropolinguistik atau Linguistik-Kultural (Suharno,
1982).
Merujuk kepada cara berpikir di atas, banyak hal yang perlu dikaji berkaitan
dengan studi antropolinguistik dalam kebudayaan Bali. Entik Bali memiliki
kebudayaan tersendiri dan identitas etniknya dikenal melalui bahasa ibunya, yaitu
Bahasa Bali (Bagus, dalam Koentjaningrat, 1971). Salah satu tema
antropolinguistik yang menarik yang dimiliki oleh etnik Bali, yaitu konsepsi
tentang keseimbangan atau harmonisasi dalam memandang realitas kehidupan alam
semesta. Pandangan hidup atau gagasan pemikiran fundamental yang dimiliki oleh
orang Bali sejak awal (secara tradisional) adalah padangan tentang kehidupan
secara kosmologis.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, ada 2 hal yang dikaji pada tulisan ini
yaitu:
3. KERANGKA TEORI
4. PEMBAHASAN
Konsepsi Keseimbangan
terwujud secara harmonis atau seimbang atau bahagia apabila manusia dapat
menyatukan entitas alam semesta baik dalam hubungan vertikal maupun horizontal
secara serasi dan selaras. Dari konsepsi dasar inilah kemudian dipilah pada masing-
masing poros (vertikal atau horizontal) menjadi sejumlah varian atau komposisi.
Konsepsi Tri Hita Karana dengan simbol pertemuan garis vertikal (V) dan
horizontal (H) bermakna keseimbangan atau harmonis. Kemudian, simbol vertikal
dan horizontal tersebut berkembang menjadi simbol tampak Dara (+) sebagai
lambang perputaran atau siklus alam semesta yang senantiasa bergerak dengan
sumbu matahari sebagai pusat tata surya. Seluruh planet di alam semesta bergerak
mengelilingi matahari untuk mencapai keseimbangan. Dari bentuk tampak Dara
berubah menjadi bentuk swastika yang bermakna seimbang atau harmonisasi antara
Bhuana Alit dengan Bhuana Agung. Dari konsepsi Tri Hita Karana yaitu hubungan
harmonis vertikal dan horizontal sebagai konsepsi keseimbangan Bhuana Alit
(Psiko-kosmos) berkembang menjadi tampak Dara dan swastika sebagai simbol
keseimbangan Bhuana Agung (Mikro-kosmos) dan berevolusi lagi menjadi simbol
Cakra dan Padma (teratai berdaun bugan delapan) yang disebut pula Asta-Dala
sebagai simbol keseimbangan Alam Semesta (makro-kosmos) (Kaler, tth).
Komposisi Vertikal
- Sekala – Niskala
- Sor – Singgih
- Pertiwi – Akasa
- Sor – Luur
Komposisi Horizontal
Teja : api
Bayu : udara
Akasa : eter/ruang
Pertiwi : tanah
5. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1971. “Kebudayaan Bali” dalam Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia.Jakarta: Djambatan.
Hudson, R. A. 1985. Sociolinguistic (Second Edition). Cambrige: Cambrige
University Press.
Kaler, I Nyoman BA. (tth). “Krakah Modre Aji Griguh: Mengungkap dan
Membantu Cara Membaca Aksara Modre/Aksara Wayah/Aksara Nawa
Sastra”.
Koentjaraningrat.1986. Peranan Kebudayaan Bali dalam Kebudayaan Nasional.
Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bali: Aspek Arsitektur, Cara
Pengobatan, dan Makanan Ternak. Denpasar: Baliologi
Kridalaksana, Harimurti. 1998. “Linguistic dan Ilmu Pengetahuan Budaya” dalam
Linguistika Edisi ke-9 September 1998. Denpasar: Fakultas sastra
Universitas Udayana.
Robins, R. H. 1992. Linguistik Umum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Salombe, Kornelius. 1989. “Aspek Ekologis Alam Pemikiran Tradisional Suku
Toraja: Suatu Analisis Antropolinguistik”. Ujung Pandang: Universitas
Hasanuddin.
Suharno, Ignasius. 1982. “Linguistik Kultural” dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra.
Sutama, Putu. 1998. “Human Ecology Alam Pemikiraan Tradisional Suku Bali:
Studi Awal Linguistik Kebudayaan” dalam Linguistika Edisi ke-9
September 1998. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Abstrak
Kata Kunci: Batik Blitar, makna, motif hias, dan jati diri.
1. PENDAHULUAN
Batik merupakan salah satu budaya adiluhung bangsa Indonesia yang sudah
mendapat pengakuan resmi dari Unesco sebagai warisan dunia pada tanggal 2
Oktober 2009 sehingga pemerintah menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Batik
Nasional. Pengakuan dan penetapan tersebut mendorong perajin batik lebih
bergairah untuk memproduksi karena permintaan masyarakat yang semakin tinggi.
Demikian juga kebijakan pemerintah yang lebih leluasa dalam kegiatan resmi
kedinasan telah mengizinkan masyarakat menggunakan busana batik sebagai
pengganti jas yang lebih formal di samping juga mendorong peningkatan produksi
batik.
Permintaan tersebut juga mencakup pemilihan ragam motif dan warna batik
yang lebih modern sebagai pengembangan motif-motif tradisional yang sudah lama
berkembang. Sentuhan terampil para perajin juga memberikan kontribusi besar
terhadap perubahan dan pengembangan seni batik di Indonesia. Minat masyarakat
menggunakan busana batik bahkan sudah merambah pada generasi muda sebagai
fashion atau gaya yang tren dengan motif-motif yang lebih elegan dan warna yang
lebih terang. Bahkan sebagian besar sekolah dan kantor pemerintahan juga telah
banyak yang menggunakan seragam batik sehingga perajin semakin berkreasi
mengembangkan motif. Peminat batik juga berasal dari pelancong atau pengunjung
objek wisata di berbagai daerah. Batik tersebut dijadikan cinderamata (souvenir)
karena memiliki motif-motif yang khas dan menunjukkan ciri daerah tertentu. Ide
pengembangan motif batik khas daerah berasal dari potensi daerah atau masyarakat
sehingga menghasilkan batik yang berbeda dengan daerah lainnya (Bawono dan
Zuraidah, 2014).
Khusus daerah Blitar, pengembangan usaha batik semakin mengalami
peningkatan seiring banyaknya motif yang ditawarkan dari setiap sentra industri
batik sehingga menawarkan banyak pilihan bagi peminatnya. Pembuatan motif
tersebut didasarkan atas kekayaan sumberdaya lingkungan, sumberdaya manusia,
dan sumberdaya budaya di Blitar (Bawono dan Zuraidah, 2015). Ragam motif hias
tersebut tidak semuanya memiliki nilai-nilai khusus (makna) seperti halnya batik
klasik tradisional yang setiap goresannya memiliki maksud dan harapan tertentu.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui pesan yang tersembunyi berdasarkan
motif batik untuk memahami jati diri Kota Blitar. Manfaat penelitian yaitu
memberikan pemahaman motif batik yang berkharakter dan berjati diri khususnya
kepada generasi muda sehingga semakin bangga ketika mengenakan batik tersebut.
2. METODE
Metode pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi
pustaka. Observasi merupakan pengamatan langsung kepada industri batik yang
3. HASIL
Kebangkitan seni batik di Blitar terjadi pada tahun 2007 dengan diawali
kegiatan pencarian kesejarahan dan identitas batik gaya Blitar yang tersimpan di
Museum Leiden Belanda dan diperkirakan dibuat pada tahun 1902. Batik tersebut
akhirnya disebut Batik Tutur Blitar oleh Wima Bramantya dengan motif-motif
binatang yang disamarkan dengan bentuk yang khas. Batik tersebut memiliki
makna politik etis pada masa Kolonial Belanda sehingga mempengaruhi pembuatan
motif antara lain kuda terbang (masyarakat ulama/bangsawan muslim pribumi) dan
burung (kaum terpelajar pribumi) yang digambarkan lebih besar dibandingkan
bentuk singa (simbol Kolonial Belanda). Bentuk atau motif binatang yang khas
tersebut ditindaklanjuti oleh Edi Dewa melalui Dewan Kesenian Kabupaten Blitar
(DKKB) dengan mengembangkan Batik Tutur Blitar dengan tambahan beberapa
tanaman dan fenomena alam yang terdapat di Blitar antara lain motif Cinde Gading,
Galih Dempo, Gambir Sepuh, Simo Samaran, Celeret Dubang,Winih Semi, Jalu
Watu, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Mirong Kampuh Jinggo, dan Gunung
Menyan. Batik Tutur Blitar tersebut dianggap sebagai budaya bertutur melalui
media gambar yang awalnya didasarkan pada kekayaan cerita-cerita fabel
(binatang) di dinding Candi Panataran. Penggambaran tersebut memiliki pesan
moral bagi siapa saja yang melihatnya khususnya kepada generasi muda (Bawono
dan Zuraidah, 2016).
Gairah pembuatan batik juga diikuti oleh Adib Arifianto dengan mendirikan
Batik Djojokoesoemo di Desa Garum Blitar pada tahun 2010. Ia juga belajar ke
Kraton Yogyakarta sejak 2003 hingga 2007 sehingga sangat memahami gaya batik
klasik Yogyakarta. Teknik batik yang pakai yaitu menggunakan canting dan
menghindari cap (stamp). Proses pembuatan batik Djojokoesoemo masih
menggunakan tatacara yang berlaku pada pembuatan batik di Kraton Yogyakarta
dan Surakarta. Motif-motif yang telah diciptakan dan dikembangkan oleh industri
batik Djojokoesomo, antara lain, batik Koi Panataran, Batik Kopi Djojokoesomo,
batik Cengkeh Djojokoesoemo, Singobarong Djojokoesoemo, dan motif Gunung
Kelud. Setiap motif yang digoreskan pada batik Djojokoesoemo memiliki
kandungan makna yang sangat mempengaruhi pemakainya, dimana sebelumnya
pembeli selalu diberikan penjelasan secara detail maksud dan makna setiap
motifnya (Rosalia dan Nahari; 2012; Bawono dan Zuraidah, 2015).
Sentra industri batik di Blitar lainnya yaitu batik Balitar yang dikembangkan
oleh Nanang Pramadi dengan belajar secara mandiri pada beberapa sentra industri
batik di Solo dan Yogya sejak 2006. Batik Balitar menggali dan mengembangkan
berbagai motif baik kekayaan alam berupa flora maupun fauna yang ada di wilayah
Blitar antara lain motif Grebeg Pancasila, motif Sekarjagad, motif Koi Sejodo,
motif pisang, dan motif Bendogeritan (Bawono dan Zuraidah, 2015).
4. PEMBAHASAN
Blitar memiliki kekayaan motif batik yang dikembangkan oleh para perajin
atau seniman melalui sentra-sentra industri batik. Setiap sentra industri batik
memiliki motif khas dan selalu menjadi andalan memutar roda ekonomi untuk
mendapatkan keuntungan material. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa
sentra industri yang memiliki panggilan nurani untuk mempertahankan batik
sebagai motif utama tetapi kedua benda kerajinan tersebut mengisi bidang
sebagai motif pendukung. Motif tersebut tidak memiliki makna tertentu
selain kekayaan industri yang ada di Blitar.
c. Keberadaan lingkungan buatan
Kekayaan lingkungan buatan berupa makam Bung Karno dan aktivitas
manusianya menginsipirasi batik Balitar untuk menciptakan motif Gerebeg
Pancasila yang merupakan gabungan 5 sudut bintang belimbing, lima
gunungan, dan lima kawung yang bermakna kerjasama dan gotong royong.
d. Kekayaan motif batik yang diwariskan
Batik-batik klasik tradisional yang dimiliki Indonesia sering diproduksi di
pusat-pusat kebudayaan antara lain, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon serta
wilayah Pesisir Utara Pantai Jawa sehingga mewariskan kekayaan motif
yang beranekaragam. Motif-motif tersebut juga menjadi sumber inspirasi
perajin untuk menciptakan motif baru dengan sedikit perubahan desain.
Batik Djojokoesoemo masih memproduksi motif Sidomulyo dan
Parangrusak Yogyakarta dengan sedikit perubahan. Batik Balitar juga
memproduksi motif Sekarjagad yang sering dijumpai pada batik keraton.
Motif yang dikembangkan tersebut menggunakan nama yang sama dengan
motif sebelumnya dan memiliki makna yang sama.
Berbeda dengan motif Tutur Blitar yang mengadopsi motif-motifnya dari
batik koleksi Museum Leiden di Belanda dengan bentuk-bentuk binatang
antara lain singa, kuda terbang, burung, ayam, dan kupu-kupu serta
ditambah dengan sulur tanaman. Penamaan motif diubah sesuai makna dan
maksud tutur (petuah) yang sengaja diciptakan. Motif tersebut antara lain
Cinde Gading, Galih Dempo, Gambir Sepuh, Mupus Pupus, Simo Samaran,
Tutur Prumpun, Gobog, dan masih banyak lainnya.
e. Kekayaan budaya daerah
Kekayaan budaya juga mampu menginspirasi batik Djojokoesoemo
menciptakan motif Singobarong Djojokoesoemo yang berasal dari kesenian
Singo Barong di Blitar yang dipadukan dengan sulur pohon dan bunga
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Rektor Universitas Udayana dan
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LPPM) Universitas Udayana yang
menfasilitasi mendapatkan dana skim Penelitian Hibah Bersaing pada 2015, serta
Dekan Fakultas Sastra dan Budaya yang telah memberikan kemudahan
administrasi. Matur suksma.
DAFTAR PUSTAKA
Bawono, Rochtri Agung dan Zuraidah. 2014. “Identifikasi dan Modifikasi Motif
Hias pada Benda Cagar Budaya Periode Majapahit Sebagai Desain
Pengembangan Usaha Batik”. Laporan Penelitian. Universitas Udayana.
- . 2015. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar Budaya
Periode Majapahit Sebagai Desain Pengembangan Usaha Batik”. Laporan
Penelitian. Universitas Udayana.
- . 2016. “Batik Tutur Blitar: Transformasi Pesan Moral dari Dinding Candi
menjadi Sehelai Kain”. Prosiding Seminar Nasional dan Teknologi 2016.
Universitas Udayana.
Abstrak
1. PENDAHULUAN
Morengku, dll. Muna, (salah satu etnis di Sulawesi Tenggara) adalah masyarakat
yang juga kaya dengan folklor . Di tengah-tengah masyarakatnya sampai saat ini
masih hidup beberapa jenis folklor. Pada masyarakat Muna sendiri masih
ditemukan folklor bukan lisan seperti Mesjid Muna, Mooru (kerajinan tenun),
kambewe, susuru, kaparende (makanan tradisionla), dll. Folklor sebagian lisan
dapat dijumpai pada kalinda (sejenis tarian), kakampua, katoba, kangkilo (ritual
sunatan), kasukano inere (ritual setelah sembuh dari penyakit/musibah), dll. Folklor
lisan misalnya, kabhanti, kantola, watawataangke atau teka-teki yang dalam
folklor dikenal dengan istilah pertanyaan tradisional dan mempunyai jawaban yang
tradisional pula. Dari beberapa etnis yang hidup di Sulawesi Tenggara (Buton,
Bugis, Tolaki, Bajo, Mornene,dll) tradisi lisan teka-teki (watawataangke dalam
bahasa Muna) belum mendapat perhatian penting, dan uniknya tradisi ini masih
ditemukan pada etnis Muna. Selain itu, walaupun peribahasa dan teka-teki adalah
bentuk “kecil” jika dibandingkan dengan cerita prosa rakyat dan nyanyian rakyat,
namun seorang ahli dapat menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk meneliti
kedua genre ini. Hal ini tentu mempunyai alasan mendasar sebagaimana dinyatakan
oleh Fang (2011) bahwa sastra rakyat yang termasuk di dalamnya teka-teki adalah
sesuatu yang dianggap penting. Alasannya bahwa dari kajian ini kita dapat
mengetahui pandangan dunia (world view), nilai kemasyarakatan, dan masyarakat
yang mendukungnya. Hasil penelitian Yusransyah (2012) juga menunjukan bahwa
capatian (teka-teki dalam masyarakat Banjar) ternyata memiliki nilai-nilai sosial.
Nilai-nilai tersebut di antaranya sebagai media mempererat kekerabatan para
penuturnya dan sebagai wahana untuk mengungkapkan pikiran, sikap, dan
kepribadian penuturnya.
Teka-teki juga digunakan dalam dunia pendidikan sebagai salah satu teknik
pembelajaran. Di Amerika Utara misalnya, penggunaan teka-teki mulai
dikembangkan dalam dunia pendidikan. Mereka menggunakan teka-teki untuk
memotivasi dan menghibur anak-anak dalam mengidentifikasi hewan seperti lama
hidup, habitat, dan diet. Teknik ini sangat digemari anak-anak karena mereka
merasa terhibur dan termotivasi. Mereka mengenal teknik pembelajaraan ini
dengan nama kids riddles for animal identification. Bahkan salah seorang pemerhati
pendidikan di Amerika Serikat mengatakan, “Riddles are the perfect medium for
learning how to manipulate language for many reasons, including students'
familiarity with them and motivation for reading them. Here's how riddles can be
used in the classroom to stimulate student's metalinguistic awareness” (Zipke,
2008). Menurut Zipke, teka-teki adalah media pembelajaran yang sempurna untuk
menggunakan bahasa dengan alasan bahwa teka-teki membangun femilaritas
terhadap bahasa dan memotivasi siswa untuk membaca bahasa itu. Di sinilah teka-
teki dapat digunakan untuk menstimulasi kesadaran metalinguistik siswa. Inilah
beberapa urgensi pentingnya menggali dan menginternalisasi kembali makna dan
nila-nilai watawataangke sebagai sebuah karya sastra budaya.
2. BENTUK-BENTUK WATAWATAANGKE
‘Pegang pinggangku ini, supaya saya (dapat) berputar’. Jawaban dari teka-teki ini
adalah ‘Penggiling’. Bagian kedua unsur pelukisan, ‘supaya saya (dapat) berputar’’
mengandung pernyataan yang sebaliknya dari apa yang diharapkan, sebagai akibat
wajar perbuatan bagian pertama, ‘pegang pinggangku ini’. Kata ‘aaku
(pinggangku)’ adalah simbol dari ‘alat putar penggiling’. Kata aentorogho
(berputar) adalah akibat yang ditimbulkan dari memegang ‘aaku’. Makna dari teka-
teki ini adalah deskripsi teknologi sederhana masyarakat etnis Muna untuk
mengolah makanan. ‘kagili’ biasanya digunakan untuk menggiling kambuse
(makanan tradisionla) hingga halus untuk dapat dimakan. Selain itu, makna dari
teka-teki ini adalah deskripsi pengenalan sistem teknologi sederhana untuk
mengolah makanan.
Unsur pelukisan yang menunjukan persamaan dengan sifat yang melekat pada
makhluk hidup adalah pada topik pelukisan, nolili nokantobha anano (dia keliling
menanam anaknya). Keliling menanam anaknya adalah bentuk metafor dari sifat
makhluk hidup yang dapat ditemukan pada hewan/binatang, tumbuhan, dan
manusia. Makna teka-teki ini adalah deskripsi sistem mata pencaharian masyarakat
Etnis Muna di Kelurahan Napabalano berupa bertani (menanam ubi jalar). Selain
itu, makna teka-teki ini adalah deskripsi pengenalan ciri pada tumbuhan/fauna.
6. Watawataangke, wogha kaweoku ini, aoghaegho
Ghuluhano, o tawa-tawa
Teka-teki, pukul bisulku ini, supaya akan menangis.
Jawabnya, gong.
‘Pukul bisulku ini, saya akan menangis’ . Jawaban dari teka-teki ini adalah, ‘gong’.
Bagian kedua unsur pelukisan ‘saya akan menangis’ mengandung pernyataan yang
sebaliknya dari apa yang diharapkan, sebagai akibat wajar perbuatan bagian
pertama ‘pukul bisulku ini’. Kata kaweoku (bisulku) adalah simbol dari ‘tonjolan
yang terletak di tengah gong yang bulat mirip bisul’. Kata aoghaegho (saya akan
menangis) adalah simbol dari ‘bunyi tonjolan gong yang dipukul dan mengeluarkan
suara keras seperti orang menagis’. Makna teka-teki ini adalah deskripsi budaya
hidup masyarakat etnis Muna di Kelurahan Napabalano yang menggunakan tawa-
tawa (gong) sebagai alat musik tradisonalnya.
Dengan pendekatan kultural, maka semua teks ujaran dalam tiap bentuk
watawataangke di atas adalah simbol-simbol (tanda-tanda) yang mewakili makna-
makna sesuatu. Sesuatu yang dimaksud adalah budaya hidup dan kehidupan etnis
Muna, khususnya di Kelurahan Napabalano. Hal ini senada dengan pandangan de
Saussure (1988) yang menjelaskan teori semiotika dengan merelasikan hubungan
antara simbol-simbol dan budaya itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa kebudayaan
tidak bisa lepas dari bagaimana teori kebudayaan memandang kebudayaan.
Kebudayaan menurut teori kebudayaan adalah sebagai, (a) sistem adaptasi terhadap
lingkungan, (b) sistem tanda, (c) teks, baik memahami pola-pola perilaku budaya
secara analogis dengan wacana tekstual maupun mengkaji hasil proses interpretasi
teks sebagai produk kebudayaan, (d) fenomena yang mempunyai struktur dan
fungsi, (e) dipandang dari sudut filsafat (Ratna, 2010). Hal ini sebagaimana makna-
makna simbolis kultural yang terdapat di dalam watawataangke.
Selanjutnya, Pierce menjelaskan lebih jauh tentang hubungan tanda dan
acuannya. Ia menyatakan bahwa tanda merupakan: (1) suatu tabiat yang intrinsik
yang muncul dari dalam kata itu sendiri; (2) konotasi suatu kata yang terdapat di
balik kata yang dilambangkannya; (3) suatu kegiatan atau aktivitas yang
diproyeksikan ke dalam suatu objek; (4) konsekuensi praktis dalam suatu hal atau
benda dalam pengamalan kita pada masa yang akan datang. Beberapa contoh
watawataangke juga menunjukan makna-makna intrinsik yang muncul dari kata itu
sendiri. Misalnya, kata “menulis” makna intrinsiknya ‘mengais’, kata “membaca”
makna intrinsiknya ‘mematuk’. Dua hal ini juga merupakan konotasi di balik kata
yang dilambangkannya. Hal ini mirip dengan pemaparan Grenz (2001) yang
mengikuti Pierce (1931) yang menempatkan tanda (sign) dan acuannya (referent)
di luar pengguna tanda itu, yaitu ke unsur-unsur dari realitas ekstern. Tanda dalam
kalimat watawataangke, misalnya inano neburu, anano nebasa ‘ibunya menulis,
anaknya membaca’ adalah kata “menulis” dan “membaca”. Sementara accuannya
adalah ‘ayam’ yaitu unsur yang ada pada realitas eksternal penandanya itu.
4. NILAI-NILAI WATAWATAANGKE
Selain itu, nilai-nilai watawataangke juga lahir dari bentuk dan maknanya.
Watawataangke bertentangan (oppositional riddles) misalnya, melahirkan makna
identifikasi penganalan pada fauna, flora, benda, manusia, alam dan sebagainya,
merupakan esensi dari pola didik dengan mengajak pendengarnya untuk berpikir,
menganalisis unsur-unsur deskripsinya, hingga menemukan jawabannya. Pada
akhirnya, pola seperti ini akan melahirkan nilai pendidikan. Watawataangke yang
mengandung makna pengenalan terhadap fenomena alam, pada akhirnya juga akan
melahirkan nilai natural. Watawataangke yang mengandung makna penyadaran
akan eksistensi diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya akan melahirkan
nilai spiritual. Watawawataangke yang bertendensi cabul (pretended obscele
riddles), pada akhirnya akan melahirkan nilai moral. Dengan kata lain, etika
berbahasa dalam watawataangke seolah-olah cabul ini cenderung tabu, meski
artinya tidaklah demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 2002 (cet.VI). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-lain. Jakarta. PT. Pustaka Utama Grafiti.
Dundes, Alan. 1961. “Brown Country Superstition”. Midwest Folklore. XI. Hlm.
25-26.
Fang. Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Fitriana, Yulia. 2010. “Teka-Teki Melayu”. Rantau Kuantan.
http://www.sungaikuantan.com/2010/02/teka-teki-melayu-rantau-
kuantan.html
George, Robert dan Alan Dundes. 1963. Toward A Structural of the Riddles, “
Journal of American Folklor”. Vol. 76, hlm 111-118.
Koentjaraningrat. 1990 (cet.VIII). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nazurty, Hajjah. 2013. Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Tale Kerinci,
http://kerincitime.co.id/pariwisatabudaya/nilainilai-budaya-dalam-sastra-
lisan-tale-kerinci.html
Noth, Winfied. 1990. Hands Book of Semeiotics: Indiana University Press:
Bloomington dan Indianapolis.
Pierce, Charles Sanders. 1931. Collected Papers. Cambridge: Harvard University
Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metode Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Course de Linguistique Generale (Linguistik
Umum). Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Taylor, Archer. 1951. English Riddles for Oral Tradition. Barkeley. California.
University of California Press.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Java.
Wira, Saputra. 2011. Nilai Budaya, Sistem Nilai, dan Orientasi Nilai Budaya,
http://wirasaputra.wordpress.com/2011/10/13/nilai-budaya-sistem-nilai-dan-
orientasi-nilai-budaya/
Yusransyah, Muhammad. 2012. Cipatian, Teka-Teki Lisan Tradisional (Riddles
Oral Tradition) Masyarakat Banjar),
http://blogpendidikanbahasa.blogspot.com/2012/08/capatian-teka-teki-lisan-
tradisional.html#.UwSgUPty9hA.
Zipke, M. 2008. Teaching Metalinguistic Awareness and Reading Comprehension
With Riddles. The Reading Teacher.
http://www.readingrockets.org/article/28315.
Sri Jumadiah
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana Denpasar
Abstrak
Kata kunci: Laskar pelangi, novel, film, skenario, alur, latar, perwatakaan
I. Pendahuluan
Alih wahana dari novel ke film sudah terjadi sejak lama dan mencapai titik
perkembangan pesat ketika novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar
difilmkan. Film dengan tokoh utama bintang yang laris pada waktu itu Roy Martin,
Lenny Marlina, dan Rae Sita Supit menyita perhatian publik dan menjadi
perbincangan media massa cetak, radio, maupun televisi (TVRI). Tidak lama
setelah itu difilmkan novel Kabut Sutra Ungu dan Mawar Jingga karya Ike Supomo
yang masing-masing dibintangi oleh Yenny Rahman dan Lenny Marlina.
Alih wahana dari novel ke film mengalami perkembangan pesat pada tahun
2000-an sampai saat ini, dan mengalami booming ketika novel Ayat-Ayat Cinta
(Republika, 2004) karya Habiburrahman El Shirazy dan Jomblo (Gagas Media,
2003) karya Adhitya Mulya. difilmkan dengan judul yang sama oleh Hanung
Bramantyo. Sebelumnya Eiffel I’m in Love (Gagas Media, 2003) karya Rachmania
Arunita difilmkan oleh Nasry Cheppy, dan Ca-Bau-Kan (Kepustakaan Populer
Gramedia, 1999) karya Remy Sylado juga di film oleh Nia Dinata.
Fenomena alih wahana dari novel ke film, cerpen dan puisi ke film, atau
sebaliknya dari film ke novel berkembang pesat di Indonesia. Alih wahana dalam
karya sastra dan karya seni lainnya menambah kuantitas, kualitas, dan kreativitas
pada tingkat local maupun nasional, juga yang paling mudah dilakukan adalah alih
wahana dari puisi ke musikalisasi puisi. Fenomena ini telah menjadi ajang
pertumbuhan karya kreatif mahasiswa yang inovatif sehingga puisi tidak hanya
dibaca dalam tampilan tulisan tetapi juga didengar dalam tampilan musik dan lagu
yang dapat dinikmati bersama-sama. Selain dilombakan, musikalisasi puisi juga
mengisi berbagai acara kebudayaan.
Alih wahana dalam dunia seni penulisan, pementasan, pembacaan, film,
musik, dan lain-lainnya, memiliki daya tarik tersendiri. Dalam proses alih wahana
terjadi berbagai penambahan, pengurangan, penyisipan, dan perubahan lainnya
yang disesuaikan dengan media alih wahana baru yang memiliki ciri-ciri dan
keunikan tersendiri. Makalah ini secara khusus akan menyoroti alih wahana dari
novel ke film. Novel yang dipilih adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang
diproduseri oleh Mira Lesmana dengan judul yang sama. Penulis skenerio film ini
adalah Salman Aristo bersama dengan Riri Riza dan Mira Lesmana. Film ini
disutradarai oleh Riri Riza. Alasan pemilihan topik ini karena Novel Laskar Pelangi
adalah novel terlaris sepanjang sejarah publikasi novel di Indonesia. Film Laskar
Pelangi juga termasuk film terlaris sebagaimana novelnya. Pembahasan novel dan
film sudah sangat banyak dan ada kecenderungan tumpang tindih pembahasan,
namun menambah satu lagi pemikiran tentang alih wahana akan menambah
khazanah pemahaman tentang alih wahana itu sendiri. Makalah ini akan menyoroti
alur, perwatakan, dan latar dalam novel, serta mencermati bagaimana visualisasinya
di dalam film. Urutan penulisannya sebagai berikut:
1. Sinopsis Novel Laskar Pelangi
2. Alih Wahana Novel Laskar Pelangi ke Film Laskar Pelangi: alur,
perwatakan, dan latar.
3. Penutup.
Karya sastra yang ada sekarang bukan hanya peniruan dari gambaran kenyataan,
kini karya sastra: serius maupun populer, menjadi ‘pedoman’ bagi para pekerja film
dalam melahirkan sebuah film, dimana ide lahir dari prosa yang laris dibaca.
jumlah murid tidak memenuhi syarat minimal, sampai sekolah dimulai, sampai
berakhir dengan nasib anak-anak yang tergabung dalam Laskar Pelangi. Alur
merupakan salah satu unsur intrinsik dalam novel. Novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata dengan tema khusus pendidikan, persahabatan, kemelut hidup
dengan aspek ekonomi yag sangat kuat melatarinya, serta masa depan yang diraih
oleh masing-masing tokoh. Bersama unsur karakter dan latar serta unsur-unsur
lainnya tahap-tahap awal, pemunculan konflik, konflik, mencapai konflik tertinggi,
dan selesai.
Tahap awal cerita terjadi pada saat penerimaan murid baru di SD
Muhamadiyah. Sekolah akan ditutup jika kekurangan murid. Dalam situasi cemas
itulah datang seorang murid yang bernama Harun. Harun yang mengalami
keterbelakangan mental ini justru menjadi inspirasi sekolah yang membebaskan
kampung miskin di Belitung yang kaya timah itu bebas dari keterbelakangan
pendidikan.
Cerita menjadi lebih menarik perhatian ketika Ibu Muslimah berjuang
dangan pantang menyerah, mendayung sepeda dari rumah ke sekolah pulang pergi
setiap hari, untuk mendidik murid-muridnya. Mereka berhasil melewati masa sulit
dengan upaya untuk saling mendukung satu sama lain, serta dukungan kepala
sekolah yang tetap antusias demi menjaga martabat sekolah.
Cerita mengalami kemajuan pesat seirama dengan kemajuan pesat yang
dialami SD ini. KEdua tokoh cerdas, Mahar dan Lintang berjuang keras dengan
dukungan Ibu Mus mengikuti Lomba Cerdas Cermat. Keduanya menjadi bintang
dan sanggup mengalahkan sekolah milik PN Timah yang terkenal. Selain cerdas
cermat juga sanggup tampil dengan memukau dalam karnaval merayakan HUT RI.
Puncak cerita terjadi ketika Lintang, murid yan paling cerdas yang telah
mengharumkan nama sekolah, yang telah membanggakan sekolah, yang telah
menjadi idola Ikal dan teman-teman lainnya, harus putus sekolah. Anak jenius yang
bercita-cita menjadi ahli matamatika itu terpaksa berhenti, meninggalkan teman-
temannya karena harus mengurus adik-adiknya setelah ayahnya meninggal.
Laskar Pelangi diselesaikan dengan terukirnya masa depan setiap tokohnya.
Kemiskinan dihentikan dengan symbol kesuksesan dan jalan hidup setiap tokohnya.
Hancurnya kejayaan PN Timah menjadi salah satu symbol bahwa kemiskinan dan
keterbelakangan pendidikan harus dihentikan; dan kerja sama semua pihak (tokoh-
tokoh Laskar Pelangi) serta upaya saling mendukung penting demi kemajuan masa
depan pendidikan, masa depan Belitung.
Novel Laskar Pelangi menampilkan tokoh protagonis Ikal yang dibahasakan
dengan sudut pandang ‘aku’ (Ikal). Ikal sebagai pencerita sekaligus pelaku utama
cerita. Selain pratagonis juga ditampilkan tokoh antagonis dengan berbagai watak
yang mendukung cerita seperti Lintang dan teman-temannya, juga Ibu Muslimah
dan Pak Harpan. Pemahaman tokoh antogonis dalam novel ini bukan tokoh yang
berwatak buruk (anagonis) sebagai lawan tokoh yang berwatak baik (protagonist).
Tokoh antagonis adalah segenap tokoh yang mendukung harmoni cerita dari awal
sampai akhir cerita. Semua tokoh dilukiskan dengan perwatakan masing-masing.
Penokohan adalah tokoh-tokoh yang ditampilkan sedangkan perwatakan adalah
sifat atau watak tokoh. Perwatakan pada umumnya dirumuskan dari sisi fisik
(penampilan fisik, umur, jenis kelamin, ciri-ciri yang dapat dilihat dengan mata
seperti pincang, rambut keriting, kulit putih), sisi psikis (penampilan psikis seperti
malas, rajin, suka menolong, selalu memaafkan, tabah, dan sabar), dan sisi sosial
(penampilan yang bekaitan dengan latar belakang social, pekerjaan, kekayaan dan
kondisi social seperti miskin atau kaya atau menengah).
Tokoh yang dilukiskan sebagai protagonist adalah Aku yang bernama Ical.
Icallah pencerita utama dalam novel ini yang setia kawan dan tidak mudah putus
asa dalam berjuang. Dia bercerita tentang teman-temannya dan segala situasi pahit,
manis, lucu, dan menegangkan sepanjang cerita. Ical adalah tokoh terpandai kedua
setelah Lintang. Suka menulis puisi dan jatuh cinta pada A Ling saudari sepupu A
Kiong. Pencarian cinta Ical dan A Ling inilah yang selanjutnya menjadi salah satu
benang merah lahirnya Sang Pemimpi, Endensor, dan Maryana Karpow.
Ibu Muslimah dan Pak Harpan dilukiskan sebagai guru yang berdedikasi
tinggi. Pak Harpan dengan nama lengkap N.A. Harfan Efendi Noor bin K.A.
Fadilah Z e i n N o o r . Ramah dan baik hati serta mengesankan. Salah satu yang
paling mengesankan adalah kisah para nabi yang diceritakan pada murid-muridnya.
Ibu Muslimah bernama lengkap N.A. Muslimah Hapsari Hamid binti K.A. Abdul
Noor sebagai istri Pak Harfan, Mathias Muchus sebagai Bapak Ical, Rieke Diah
Pitaloka sebagai Ibu Ikal, Teuku R. Wikana sebagai Pak Bakri, Robby Tuwewu
sebagai ayah A. Ling dan Tora Sudiro sebagai Pak Mahmud, Lukman Sardi sebagai
Ikal dewasa, dan Ario Bayu sebagai Lintang dewasa. Pemeran anak-anak
seluruhnya dimainkan oleh anak-anak Bilitong temuan kru film yang secara khusus
datang ke Bilitong untuk mencari pemain. Mereka adalah Zulfani sebagai Ikal,
Ferdian sebagai Lintang, Verrys Yamarno sebagai Mahar, Jeffry Yanuar sebagai
Harun. Dewi Ratih Ayu Safitri sebagai Sahara, Suhendri sebagai A. Kiong,
Marselina El Jholla sebagai Flo, Febriansyah sebagai Borek, Yogi Nugraha sebagai
Kucai, M. Syukur Rahmadan sebagai Syahdan, Suharyadi sebagai Trapani, dan
Levina sebagai A. Ling.
Meskipun film ini laris ditonton sebagaimana novelnya laris dibaca,
nyatanya keindahan yang dilukiskan dalam novel tidak dapat dibahasakan
seluruhnya dalam film. Hal ini dapat dipahami karena tulisan berbeda dengan
gambar di dalam layar lebar. Misalnya penampilan latar sekolah, rumah, pohon,
gua, yang indah dilukiskan dalam novel berbeda dari film. Begitu juga kaitannya
dengan tokoh-tokoh dan suasana, ada beberapa hal berbeda yang terjadi dalam film
dan ditampilkan sebagai pemanis film. Hal ini tidak ada dalam Laskar Pelangi
sebagai sebuah novel yaitu: 1) Mahar menyanyikan lagu Melayu; 2) Pak Harfan
meninggal; 3) hubungan spesifik antara Ibu Muslimah dan Pak Mahmud; 4) Ibu
Muslimah terpukul dan mogok mengajar sepeninggal Pak Harfan. Satu hal lagi
yang dilukiskan sangat menegangkan dalam novel tidak ada di dalam film adalah
adegan gatal-gatal yang disebabkan oleh kostum yang dikenakan.
IV. Penutup
Novel dan film sebagai karya seni berbeda satu sama lain. Novel adalah
tulisan dengan kekuatannya pada kata dan diksi. Sedangkan film menggarisbawahi
adegan dan dialog yang divisualkan dalam gerak dalam layar lebar.
Pembaca dan penikmat film memiliki interpretasi dan apresiasi yang
berbeda. Harus diakui bahwa tidak semua yang tertulis dalam novel dapat
ditampilkan dalam film. Penonton dan pembaca yang memaklumi hal ini akan
memperoleh dua jenis menikmati karya seni dengan berbeda sekaligus memperkuat
pendalaman dan pencapaian makna.
Berdasarkan semua penjelasan di atas, alih wahana novel ke film telah
melahirkan sebuah media kreativitas yang inovatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan karya seni di Indonesia. Alih wahana memiliki masa depan cerah
tidak hanya novel fim tetapi lebih luas lagi yaitu kerja sama yang saling mendukung
antara film, sastra, musik, lagu, dan kehadirannya bagi masa depan sastra dan seni
di Indonesia.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi, Jakarta: Bentang Pustaka
Luxemburg, Jan Van Dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra Terjemahan oleh Dick
Hartono. Jakarta: Gramedia
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Kelima. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Teuw. A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya
Artikel Internet
Kompas "Sekuel Laskar Pelangi Dirilis 17 Desember" di situs web Kompas.
Okezone 2011 "Dongkrak Film, Abaikan Moral". Okezone.com. 2011-04-21.
Sri Rahayu
Alber
FKIP Universitas Islam Riau Gedung C
Jalan Kaharuddin Nasution No.113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru 28284
(rahayuayu357@gmail.com)
Hp. 0812 7644 6817
Abstrak
Peran pantun (sastra) sangat besar sumbangannya terhadap pembentukan
karakter masyarakat (bangsa) di era globalisasi. Peran sastra dalam pembentukan
karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya,
tetapi juga sebagai strategi pelestarian kearifan lokal. Selain itu, pantun juga
mempunyai peran penting dalam sosialisiasi nilai di dalam masyarakat. Oleh karena
itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui peran pantun tunjuk ajar Melayu karya
Tenas Effendy dalam pembentukan karakter bangsa. Teori yang digunakan Hamidy
(2005), Waluyo (2002), Ghawa (2007), dan Puskur Kemendiknas (2011). Penulisan
makalah ini bersifat deskriptif-analitik dengan metode deskriptif kualitatif. Data
penelitian ini bersumber dari buku Tunjuk Ajar Melayu Karya Tenas Effendy tahun
2013. Berdasarkan analisis, menunjukkan bahwa pantun tunjuk ajar Melayu karya
Tenas Effendy tersebut memberikan sumbangan dalam pembentukan karakter
bangsa di antaranya, religius, peduli sosial, disiplin, jujur, persahabatan, tanggung
jawab, cinta damai.
Kata kunci: Karakter, karya sastra, pantun
1. PENDAHULUAN
Pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-
nilai dan kritik budaya masyarakat. Pantun adalah puisi asli Indonesia (Waluyo,
2002). Sementara itu, Hamidy (2005: 134) mengatakan bahwa akar kata tun dalam
dunia Melayu bisa berarti ‘arah’, ‘pelihara’, dan ‘bimbing’, seperti diperlihatkan
oleh kata tunjuk dan tuntun, karena itu kata pantun dapat berarti sebagai sepasang
bahasa terikat yang dapat memberi arah, petunjuk, tuntunan, dan bimbingan. Tiap
bait pantun biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak ab-ab dengan variasi aa-
aa. Umumnya tiap baris terdiri atas 4-8 kata. Baris pertama dan kedua disebut
sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi pantun. Bentuk puisi lama pantun
terdapat di hampir setiap suku bangsa di Indonesia. Dua baris pertama tidak
hanya sebagai sampiran, tetapi sebagai pembentuk bunyi yang akan diikuti oleh
dua baris berikutnya (isi pantun), tetapi keduanya diciptakan dalam suatu kesatuan
berpikir. Sampiran bisa sebagai kiasan terhadap maksud pantun, bisa juga sebagai
sugesti bunyi dan unsur estetik pada irama, bahkan menjadi teka-teki pengertian
terhadap isi pantun. Keduanya dipertalikan oleh suatu tali perasaan yang halus.
Pantun merupakan salah satu jenis sastra lisan yang berbentuk puisi. Pantun
dikenal di berbagai daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Dalam
bahasa Minang, pantun berasal dari kata patuntun ‘petuntun’. Dalam bahasa Jawa,
pantun dikenal dengan nama parikan dan dalam bahasa Sunda dikenal dengan
paparikan. Pada masyarakat Batak, pantun dikenal dengan sebutan umpama atau
ende-ende, dan masyarakat Toraja menyebutnya dengan londe. Hampir setiap
daerah di Indonesia mempunyai bentuk teks pantun walaupun dengan nama yang
berbeda. Penyebaran pantun sampai ke pelosok nusantara menjadi bukti bahwa
pantun merupakan salah satu sastra lama yang hidup dalam kebudayaan Indonesia,
masih disukai sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, walaupun pantun
telah menyebar ke seluruh Indonesia, tetapi minat generasi yag seharusnya
mewarisinya terasa semakin menurun. Sebagian besar anggota masyarakat
sekarang menganggap pantun hanya alat hiburan semata, tanpa menyadari dan
memahami keberagaman peranan pantun di dalam kehidupan bermasyarkat. Oleh
karena itu, pantun merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang perlu
lestarikan bukan hanya penyebaranm, tetapi juga peranannya untuk masyarakat.
Bagi orang Melayu, pantun dianggap memiliki peran penting dalam
menyebarluaskan nilai asas kemelayuan, pantun dijadikan media tunjuk ajar. Salah
satunya tunjuk ajar karya Tenas Effendi. Tunjuk Ajar Melayu merupakan salah satu
karya emas budayawan Riau Tenas Effendy. Tunjuk Ajar Melayu juga dikenal
sebagai petuah yang sangat berharga dan mengandung banyak nilai dan
pembelajaran hidup. Tenas Effendy merupakan seorang budayawan Riau yang
cukup disegani. Beliau mulai dikenal masyarakat pada tahun 1957, sebelumnya
beliau memakai nama lahir yang diberikan orang tuanya yakni Tengku Nasaruddin
Said Effendy. Namun, dengan nama tersebut terbina jarak antara masyarakat
dengan Tengku Nasaruddin Said Effendy, tak lain karena nama tersebut
menyiratkan bahwa beliau berasal dari keturunan raja. Akhirnya, setelah berganti
nama dengan Tenas Effendy masyarakat lebih mudah bergabung dan membaur
dengannya.
Bila Tunjuk Ajar diabaikan orang
Adat binasa lembaga terbuang
Perangai rusak marwahpun hilang
Hiduppun menjadi lintang pukang (Tenas Effendy, 2013:7)
Tunjuk ajar di atas mengandung petuah dan nasihat orang tua-tua dalam
kehidupan orang Melayu, karena meninggalkan atau mengabaikan Tunjuk Ajar
dapat membawa kepada malapetaka bagi kehidupan berumah tangga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Itulah sebabnya orang tua-tua Melayu
selalu mengingatkan, agar Tunjuk Ajar yang sarat dengan nilai-nilai luhur itu
hendaknya disimak, dihayati, dan dikekalkan melaului berbagai cara.
Effendy (2013:1) menyatakan Tunjuk Ajar Melayu dalam pantun
mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman dan bekala hidup, yang
sarat dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya yang Islami. Nilai-nilai inilah yang
apabila sudah dicerna dan dihayati serta diamalkan akan menjadi “jati diri
kemelayuan”nya. Dengan berpegang teguh kepada “jati diri” itu pula setiap insan
akan menjadi manusia terpuji, andal, terbilang, piawai, arif dan bijak, berilmu
pengetahuan, berwawasan luas dan berbudi mulia, yang memiliki harkat dan
martabat, tuah dan marwah yang akan mendatangkan kesejahteraan lahiriah dan
batiniah dalam berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hakikat atau isi dari pantun menurut Effendy (2013:9) adalah tunjuk ajar
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma norma yang
dianut masyarakat yang disampaikan melalui bentuk kelakar, sindiran, nyanyian,
dan sebagainya. Namun apapun wujud pantunnya, di dalamnya dimuat nilai-nilai
luhur budaya untuk menyindir, membujuk, dan mendidik manusia. Tunjuk Ajar
yang diwujudkan ke dalam beragam jenis pantun itu sering ditampilkan dalam
berbagai kegiatan, baik dalam upacara adat dan tradisi maupun dalam kegiatan
tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan
dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada
kebaikan dan membela kebenaran. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti bagaimana peran pantun Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas
Effendy dalam pemebentukan karakter bangsa?. Makalah ini bertujuan untuk
mengetahui peran pantun Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy dalam
pembentukan karakter bangsa.
2. METODE PENELITIAN
Sesuai dengan masalah yang telah dijelaskan, maka metode dalam makalah
ini adalah menggunakan metode deskriptif kualitatif bersifat deskriptf-analitik.
Menurut Moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian deskriptif
berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Metode kualitatif ini memberikan
informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Data pada
makalah ini berupa pantun Melayu dalan buku Tunjuk Ajar Melayu Karya Tenas
Effendy yang terdapat nilai-nilai pembentukan karakter bangsa.
Data (1)
Adat kayu berdiri tegak
Tegak tinggi besar bertambah
Adat Melayu bersendi syarak
Syarak bersendi Kitabullah (Tenas Effendy, 2013:31)
Data (2):
Berisikan syarak beserta sunnah
Berisikan petuah dengan amanah
Berisiskan jalan mengenal Allah
Berisiskan ilmu mengenal akidah
(Tenas Effendy, 2013:31)
Berdasarkan data (1) dan (2) sangat tampak muatan karakter religius telah
ditanamkan di dalamnya. Menurut Depdiknas (2005:944) religius adalah bersifat
religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut paut dengan religi. Sementara itu,
Kemendiknas (2010) mengatakan bahwa religius merupakan sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Hal
itu terlihat pada baris ketiga dan keempat dari data (1) yakni Adat Melayu bersendi
syarak ,Syarak bersendi Kitabullah yang bermakna orang Melayu di dalam
masyarakat terutama di dalam adat istidat selalu berpegangan dan berpedoman
kepada ajaran Islam yakni ajaran yang terkandung di dalam Alquran. Begitu juga
halnya pada data (2) pantun tersebut sangat jelas terdapat karekter religius pada
setiap baris yang secara jelas menyinggung tetang sunnah, amanah, Allah, dan
akidah.
Data (3)
Apa guna benang ditempun
Untuk membuat tali bendera
Apa guna orang berpantun
Untuk mengikat tali persaudraan
(Tenas Effendy, 2013:14)
Berdasarkan data (3) sangat tampak muatan karakter peduli sosial telah
ditanamkan di dalamnya. Menurut Depdiknas (2005:841) peduli merupakan
mengindahkan, memperhatikan, dan menghiraukan. Sementara itu, Kemendiknas
(2010) peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang memerlukan. Hal itu terlihat pada
baris keempat dari data (3) yakni Untuk mengikat tali persaudaraan yang bermakna
bahwa orang Melayu selalu mengindahkan, memperhatikan, dan menghiraukan tali
persaudaaran atau silaturahmi di dalam bermasyarakat atau di dalam kehidupan
sosial.
Data (4)
Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain selendang
Apa guna orang berpantun
Untuk mengingat hukum dan undang
(Tenas Effendy, 2013:14)
Berdasarkan data (4) sangat tampak muatan karakter disiplin telah
ditanamkan di dalamnya. Menurut Depdiknas (2005:268) disiplin merupakan tata
tertib, ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan. Sementara itu, Kemendiknas (2010)
mengatakan bahwa disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai kesatuan dan peraturan Hal itu terlihat pada baris keempat
dari data (4) yakni ‘Untuk mengingat hukum dan undang’ yang bermakna bahwa
orang Melayu selalu tertib dan patuh pada berbagai kesatuan dan peraturan di
dalam bermasyarakat terutama patuh hukum dan undang-undang yang berlaku di
dalam nasyarakat, baik hukum adat maupun hukum pemerintahan.
Data (5)
Adat berjanji berpantang mungkir
Adat bersumpah pantang berhelah
Adat memberi pantang menyindir
Adat bersedekah pantang menyunggah
(Tenas Effendy, 2013:32)
Data (6)
Kalau hendak memilih kain
Pilihlah kain bertapak catur
Berdasarkan data (5) dan (6) sangat tampak muatan karakter jujur telah
ditanamkan di dalamnya. Menurut Depdiknas (2005:479) jujur adalah lurus hati,
tidak berbohong, tidak curang. Sementara itu, Kemendiknas (2010) mengatakan
bahwa jujur yakni perilaku yang didasarkan pada upaya yang menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan. Adanya linieritas antara ucapan dan perbuatannya. Hal itu terlihat pada
baris pertama dari data (5) yakni Adat berjanji berpantang mungkir yang bermakna
bahwa orang Melayu selalu perilaku yang didasarkan pada upaya yang menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan di dalam bermasyarakat. Begitu juga pada data (6) hal itu terlihat pada
baris keempat yakni pilihlah pemimipin berkhlak jujur yang bermakna bahwa orang
Melayu selalu memilih pemimipin yang lurus hati, tidak berbohong, dan tidak
curang.
Data (7)
Adat makan pantang memunah
Adat minum pantang mengering
Adat berkawan pantang memfitnah
Adat berkaum pantang menengking
(Tenas Effendy, 2013:32)
Berdasarkan data (7) sangat tampak muatan karakter persahabatan telah
ditanamkan di dalamnya. Menurut Depdiknas (2005:977) persahabatan adalah
perihal bersahabat, perhubungan selaku sahabat. Sementara itu, Kemendiknas
(2010) mengatakan bahwa persahabatan/komunikatif merupakan tindakan yang
memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain . Hal itu terlihat pada baris ketiga dari data (7) yakni ‘Adat berkawan pantang
memfitnah’ yang bermakna bahwa orang Melayu memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain di dalam bermasyarakat
tanpa ada unsur negatif seperti memfitnah.
Data (8)
Adat berkain jangan lah koyak
Bila koyak tampak menyalah
Adat memimpin janganlah menyalah
Bila tamak rakyat menyumpah
(Tenas Effendy, 2013:32)
Berdasarkan data (8) sangat tampak muatan karakter tanggung jawab telah
ditanamkan di dalamnya. Menurut Depdiknas (2005:1139) tanggung jawab adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi boleh dituntut,
dipersalahkan, dan diperkarakan). Sementara itu, Kemendiknas (2010) mengatakan
bahwa tanggung jawab ialah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya) negera dan Tuhan Yang Maha
Esa; Hal itu terlihat pada baris ketiga dan keempat dari data (8) yakni Adat
memimpin janganlah menyalah, Bila tamak rakyat menyumpah yang bermakna
bahwa orang Melayu apabila menjadi seorang pemimpin harus melaksanakan tugas
dan kewajibannya, jika melanggar maka akan dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan oleh rakyat.
Data (9)
Kalau duduk dinding berlubang
Jangan sekali intai mengintai
Kalau masuk rundingan orang
Jangan sekali memandai-mandai
(Tenas Effendy, 2013:36)
Berdasarkan data (9) sangat tampak muatan karakter cinta damai telah
ditanamkan di dalamnya. Kemendiknas (2010) mengatakan bahwa cinta damai
merupakan sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya. Hal itu terlihat pada baris kedua, ketiga,
dan keempat dari data (9) yakni Jangan sekali intai mengintai, Kalau masuk
rundingan orang, Jangan sekali memandai-mandai yang bermakna bahwa orang
Melayu harus menjaga sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya serta tidak suka mencari
kesalahan orang lain apabila sudah bergaul di dalam masyarakat.
4. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Effendi, Tenas. 2013. Tunjuk Ajar Melayu dalam Pantun, Gurindam, Seloka, Syair,
dan Ungkapan. Provinsi Riau: Tenas Effendy Foundation.
Ghawa, John. 2007. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Cetakan 2. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Hamidy, UU. 2005. Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru:
Bilik Kreatif Press.
Oleh
Dr. H. Sukri, S.Pd., M.Hum.
Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Mataram-
sukrimuhammad75@gmail.com)
Abstrak
Permasalahan logis yang dikaji dalam paper ini adalah ihwal penggunaan
bahasa di media sosial. Media sosial yang dimaksudkan dalam kajian ini
adalah Facebook. Pendekatan yang digunakan untuk memahami arti penting
sosio-kultural adalah media sebagai pembentuk, cermin, pengemas, guru,
ritual, atau bahkan “tuhan”. Adapun teori yang dianggap relevan membedah
fenomena komunikasi hiperpersonal ini adalah teori kajian budaya,
khususnya microscopic interpretive theories (Hall, 1980). Pengumpulan
data dilakukan melalui observasi, dalam hal ini observasi berpartisipasi.
Beradasarkan temuan awal, dapat dikemukakan di sini bahwa media sebagai
pembentuk terjadinya komunikasi hiperpersonal.
Kata kunci: bahasa, komunikasi, media, dan sosial.
1. PENDAHULUAN
surat-menyurat, tatap muka yang diawali dengan berjabat tangan, hingga melalui
telepon seluler (tentunya dengan persyaratan sedikit biaya pulsa); setakat ini tengah
bergeser menjadi komunikasi melalui tulisan berbasiskan laptop, handphone
celular, tablet, dan sejenisnya.
2. Teori Bergayut
1. Teori Budaya
Teori ini disebut sebagai teori media kritis. Tema umum teori media kritis
adalah bahwa produk isi media begitu terkendala karena media tidak terelakkan
memperkuat status quo dan meremehkan upaya-upaya yang dianggap bermanfaat
untuk melakukan atau memengaruhi perubahan sosial yang konstruktif. Dengan
menyoroti sistem-sistem komunikasi simbolis sebagai bentuk komoditas, isu
budaya dalam kaitan dengan kajian media menjadi terkait dengan isu-isu ekonomi
politik. Beberapa di antara pengkaji komunikasi dan media, misalnya menggunakan
dikotomi yang telah digunakan secara luas oleh teoretisi budaya untuk
membedakan bidang kesarjanaan mereka menjadi dua lingkup (Garnham, 1995 via
Ibrahim dan Bachruddin, 2014:12) adalah sebagai berikut. Pertama, teori-teori
interpretif lingkup mikro (Microscopic Interpretive Theories) yang memfokuskan
pada mekanisme individu-individu dan kelompok sosial menggunakan media untuk
menciptakan atau membantu perkembangan bentuk-bentuk budaya yang
membentuk kehidupan sehari-hari. Teori-teori ini biasanya disebut sebagai teori
kajian budaya (Hall, 1980). Kedua, teori-teori struktural lingkup makro
3. Sosio-Kultural Media
komunikasi awal diketahui bahwa media tidak hanya berperan untuk memberi
informasi (to inform) melainkan juga untuk mendidik ( to educate) masyarakat.
selera” karena setiap orang memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi, terlebih-
lebih pada zaman teknologi yang kian mempermudah manusia dalam pemenuhan
kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan akan informasi. Hak atas informasi
merupakan hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional. Dalam UUD
1945, pasal 28 F disebutkan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Pasal inilah menjadi dasar bahwa setiap orang mempunyai hak atas informasi
(Faisol, 2008: 15-16). Pergaulan di abad komunikasi selalu diwakili dengan media.
Media dimanfaatkan untuk mendukung pergaulan walaupun hanya melalui dunia
maya. Hal ini ditandai dengan munculnya pemanfaatan layanan pertemanan, salah
satunya yang berupa facebook. Kegunaannya antara lain untuk jembatan
pertemanan yang efektif walaupun terpisahkan dengan jarak dan waktu, untuk
berkomunikasi secara lancar dan terbuka, untuk menunjukan kreativitas, untuk
mempromosikan suatu produk kepada teman-temannya, bahkan sejumlah kalangan
ada yang memanfaatkan untuk ajang kampanye agar memilih calon legislatif
tertentu seperti saat pemilu, juga bisa digunakan sekadar untuk berbasa-basi
(Tinarbuko, 2009: 189-190). Fenomena yang tidak bisa dihindari pada zaman
sekarang ini adalah bahwa manusia memiliki kecenderungan pada sesuatu yang
lebih bersifat praktis dan efektif.
kini telah berubah menjadi beringas (ketika membuat status di fb terhadap salah
satu temannya di fb yang kebetulan tidak sepaham dengan diri atau partainya);
menjadi individu yang memisahkan diri dari masyarakatnya disebabkan mendapat
“teman maya” di fb; menjadi pembohong dengan merekayasa profil dirinya di fb;
menjadi kurang ajar dengan mencaci maki lawan politik dengan akun palsunya.
Semua ini tidak menutup kemungkinan terjadi. Komodifikasi dapat terjadi dalam
komunikasi hiperpersonal.
5. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. (Diterjemahkan dari
Cultural Studies: Theory and Practise SAGE Publication, London,
2000). Yogyakarta: BENTANG (PT Bentang Pustaka)
Faisol, Ahmad, dkk. 2008. Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: Institut Studi
Arus Informasi bersama Yayasan TIFA.
Ibrahim, Idi Subandy dan Akhmad, Bachruddin Ali. 2014. Komunikasi Dan
Komodikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Makoni, Sinfree et.al (edited). 2003. Black Linguistic: Language, society, and
politics in Africa and the Americas. London and New York: Routledge.
Abstrak
Masalah utama yang dikaji pada penelitian ini adalah sistem transitivitas pada teks
surat Al Insan sebagai wujud identitas budaya dalam membangun karakter bangsa.
Berdasarkan kelogisan permasalahan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui
tipe proses yang mendominasi, untuk mengetahui wujud identitas dalam
membangun karakter bangsa. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif berdasarkan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS).
Metode pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, dan teknik catat.
Adapun penganalisisan data dilakukan dengan teknik mengidentifikasi klausa dan
hasil penganalisisan data menggunakan metode deskripsi, menguraikan dan
menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa sistem transitivitas pada teks terjemahan surat Al Insan sebanyak 27 proses
material (46.55%),9 (15.52%) proses mental,10 (17.24%) proses relasional,2
(3.45%) proses tingkah laku,1 (1.72%) proses verbal, dan proses wujud sebanyak
1 (1.72%). Kemunculan dominan sistem transitivitas pada teks terjemahan teks
surat Al Insan sebagai wujud sebuah perintah, larangan dan petunjuk yang
ditunjukkan kepada manusia sebagai penyadaran diri dalam berbudaya dan upaya
dalam merubah keperibadian manusia, dalam menjadikan insan yang sesuai dengan
karakter bangsa.
1. LATAR BELAKANG
Bahasa pada umumnya disamakan dalam bentuk lisan dan tulisan Bahasa
lisan adalah bahasa yang dituturkan sebagai sarana komunikasi antarsosial sebagai
alat untuk saling memahami dan menghargai. Selain itu, bahasa tulisan bahasa yang
dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.
Dalam wujud tulisan bahasa dapat ditemukan dalam naskah atau kitab.
Kitab merupakan suatu perintah yang ditulis di atas kertas, yang merupakan
wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul yang berisi segala pedoman hidup
dan petunjuk untuk seluruh umat manusia. Ada empat kitab Allah SWT yang wajib
diimani, yaitu (1) kitab Taurat, yang diturunkan kepada Nabi Musa AS sebagai
petunjuk bagi bani israil, (2) kitab Zabur, yang diturunkan kepada Nabi Daud AS
sebagai pedoman hidup umat Yahudi, (3) kitab Injil, yang diturunkan kepada Nabi
Isa AS sebagai petunjuk bagi bani Israil, (4) kitab Alquran, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk kepada umat manusia. Alquran sebagai
kitab suci terakhir yang isinya meliputi seluruh kitab terdahulu dan melengkapi
aturan-aturan yang belum ada dan dianalisis menggunakan teori Lingusitik
Fungsional Sistemik ( untuk seterusnya disingkat menjadi LFS).
Perspektif LFS bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yakni sistem bentuk
dan ekspresi) untuk merelisasikan arti tersebut. Kajian LFS berdasarkan dua konsep
yang membedakan LFS dari aliran linguistik lainnya. Pertama, bahasa merupakan
fenomena sosial yang terwujud sebagai semiotik sosial. Kedua, bahasa merupakan
teks yang konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial.
Bahasa sebagai fenomena sosial yang berbentuk tanda berarti bahasa yang
memberikan tanda dalam dunia yang berbentuk lambang atau kode yang
difokuskan secara sosial. Di pihak lain pengertian bahasa dalam konteks sosial
merupakan locus tempat berkembangnya teks. Konteks situasi mencakup seluruh
lingkungan, baik pemakai bahasa maupun lingkungan teks. Konteks sosial
menentukan bahasa dan bahasa menetukan konteks sosial. Berdasarkan teori LFS,
diketahui bahwa fungsi bahasa ada tiga, yakni fungsi pemaparan pengalaman,
pertukaran pengalaman, dan perangkaian pengalaman. Fungsi bahasa tersebut
secara langsung membawa tiga makna, yakni makna ideasional, makna
interpersonal, dan makna tekstual.
Adapun pemilihan teks surat Al-Insan sebagai bahan kajian dalam penelitian
ini karena dianggap sebagi teks yang menarik dalam bidang teks terjemahan untuk
melakukan proses analisis. Di samping itu, peneliti tidak hanya dituntut untuk
menguasai hakikat ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tetapi juga dituntut
untuk bisa mengaplikasikannya ke mahasiswa atau khalayak ramai. Oleh karena
itulah, diharapkan melalui analisis teks terjemahan teks surat Al-Insan ini para
mahasiswa diharapkan dapat memahami teks atau wacana yang sesuai dengan teori
Halliday yang mempunyai struktur yang berbeda dalam tata bahasa baku
tradisional. Hal ini sesuai dengan judul yang di angkat dalam penelitian ini “ Kajian
Sistem Transitivitas Teks Surat Al Insan Sebagai Wujud Identitas Budaya dalam
Membangun Karakter Bangsa”. Adapun rumusan masalah penelitian ini dapat
dijabarkan sebagai berikut. (1) Tipe proses apakah yang mendominasi Teks surat
Al-Insan? (2) Bagaimanakah wujud identitas budaya dalam membangun karakter
bangsa? Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui tipe proses yang
mendominasi teks surat Al Insan.
2. LANDASAN TEORI
Transitivitas
Mengingat keberadaan manusia pada proses sosial yang beragam, maka
corak sosiallah yang akan menentukan dan ditentukan oleh bahasa sehingga variasi
pengalaman sosial itu terwujud dalam variasi gambar pengalaman linguistik.
Realisasi pengalaman linguistik pemakai bahasa inilah yang disebut transitivitas.
Dalam kajian LFS, Halliday (1994:107) mengemukakan bahwa satu unit
pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas (1) proses,
(2) partisipan, dan (3) sirkumstan.
a. Proses
Proses merupakan penentu dalam suatu unit pengalaman karena proses
mengikat partisipan. Inti suatu pengalaman adalah proses karena proses
menentukan jumlah dan kategori partisipan (Halliday, 1994:10). Berikut uraian
jenis proses tersebut.
Proses Material
Proses material adalah aktivitas fisik atau kegiatan yang menyangkut fisik
dan nyata dilakukan pelakunya. Kerena sifatnya yang demikian, proses material
dapat diamati dengan indra (Saragih, 2001:26). Dalam proses material, pelaku
setara dengan subjek, proses material setara dengan predikat, gol setara dengan
objek, dan sirkumstan setara dengan keterangan.
Proses Mental
Proses Relasional
Proses Verbal
Menurut Saragih (2001:34), proses verbal berada antara proses mental dan
relasional. Dengan demikian, sebagaian proses verbal memiliki ciri proses mental
dan sebagian lagi memiliki ciri relasional. Dalam proses relasional, penyampai
pembicara setara dengan subjek, proses verbal setara dengan predikat, penerima
perkataan setara dengan objek, dan sirkumstan setara dengan keterangan.
Proses Wujud
Partisipan
Proses merupakan inti atau pusat yang menarik atau mengikat semua unsur
lain, khususnya partisipan, sebagai initi yang memiliki daya tarik atau ikat. Proses
potensial menentukan jumlah partisipan yang dapat diikat oleh proses itu. Dengan
sifatnya yang demikian, proses digunakan sebagai dasar pelabelan yang melakukan
proses (Partisipan I) dan partisipan yang diarahkan/ditunjukkan kepadanya proses
itu (Partisipan II), (Saragih, 2001: 36).
Sirkumstan
Sirkumstan merupakan lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya
proses. Sirkumstan berada di luar jangkauan proses. Sirkumstan terdiri atas rentang
yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi yang dapat mencakupi tempat atau
waktu, cara, sebab, lingkungan, penyerta, peran, masalah ,dan sudut pandang.
Konsep sirkumstan setara dengan keterangan dalam tata bahasa baku tradisional.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini brsifat deskriptif, yakni berdasarkan teks yang ada dalam
Alquran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan
data menyajikan data berupa frasa, grup, dan klausa dalam transitivitas (proses,
4. PEMBAHASAN
Tipe Proses yang Mendominasi dalam Terjemahan Teks Surat Al Insan
Berdasarkan persentase proses tabel di atas, diketahui bahwa proses yang ada,
yakni proses material sebanyak 27 butir atau 46.55%, proses mental sebanyak 9
butir atau 15.52%, relasional identifikasi sebanyak 10 butir atau 17.24%, proses
tingkah laku sebanyak 2 butir atau 3.45%, proses verbal sebanyak 1 butir atau
1.72%, dan proses wujud sebanyak 1 butir atau 1.72%. Jadi, jika dilihat dalam tabel
dan grafik di atas, maka proses material yang mendominasi merupakan aktivitas
fisik yang nyata dilakukan pelakunya, disusul oleh proses mental yang
menunjukkan aktivitas yang menyangkut indra, kognisi, emosi, dan persepsi yang
terjadi di dalam batin. Selanjutnya relasional identifikasi yang menghubungkan satu
entitas dengan maujud atau lingkungan lain di dalam intensif, sirkumstan, atau
kepemilikan. Setelah itu proses tingkah laku yang merupakan aktivitas fisiologis
yang menyatakan tingkah laku fisik manusia, kemudian proses wujud yang
menunjukkan keberadaan. Hal yang terahir adalah proses verbal yang berada antara
proses mental dan relasional.
Relevansi LFS Pada Teks Surat Al Insan Sebagai Wujud Identitas Budaya
Dalam Membangun Karakter Bangsa.
5. PENUTUP
Simpulan dan Saran
Berdasarkan uraian persentase proses melalui sistem transitivitas dan
modalitas, diketahui bahwa proses yang ada, yakni proses material sebanyak
46.55%, proses mental sebanyak 15.52%, relasional identifikasi sebanyak 17.24%,
proses tingkah laku 3.45%, proses verbal sebanyak 1.72%, dan proses wujud
sebanyak 1.72%.
Pengkajian LFS pada teks terjemahan teks surat Al Insan dapat dijadikan
bahan rujukan dalam pengajian teks yang berbasis pada teks kitab suci sebagai
bahan pembelajaran pada kajian teks. Oleh karena itu, penelitian yang lebih
mendalam dan lebih sempurna perlu dilakukan lebih lanjut dalam kajian LFS
(Sistem Transitivitas).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Maman & Sabas Ali Muhidin. 2011. Panduan Praktis Memahami
Penelitian (Bidang Sosial-Administrasi-Pendidikan). Bandung: Pustaka
Setia.
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., dan Moeliono, A.M. 2000. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Alwi, Hasan. 1992. Modalitas dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: KANISIUS
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana (Teori, Metode, dan Penerapannya pada
Wacana Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Eggins, S. 1994. An Introduction to Systemik Functional Linguistics. London:
Pinter.
Halliday dan R. Hasan (Terjemahan Barori) . 1992. Bahasa Konteks dan Teks:
Aspek-Aspek Bahasa dalam Konteks Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univeristy Press.
Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edwarl
Arnold.
Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. Second Edition.
London: Edward Arnold.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Lubis, A Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Mahalli, Al. Jalaluddin. 2012a. Tafsir Jalalain Jilid 1. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Mahalli, Al. Jalaluddin. 2012b. Tafsir Jalalain Jilid 2. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Mahalli, Al. Jalaluddin. 2012c. Tafsir Jalalain Jilid 3. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Mahalli, Al. Jalaluddin. 2012d. Tafsir Jalalain Jilid 4. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Moeleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Zuraidah
Prodi Arkeologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana, Jl. P. Nias 13
Denpasar Bali
Telp/Fax: (0361) 224121, E-mail: ida_arkeounud@yahoo.com
ABSTRAK
Warisan budaya Indonesia merupakan kebudayaan masa lalu yang harus kita akui
sebagai milik bersama, hingga diharapkan tumbuh kecintaan dan sikap memiliki
diantara semua kalangan terhadap warisan budaya. Harapan seperti itu khususnya
ditujukan pada para generasi muda sebagai generasi penerus bangsa dalam rangka
menghadapi arus globalisasi. Tulisan ini bertujuan untuk menjabarkan pentingnya
perkuliahan sejarah kebudayaan Indonesia diberikan kepada mahasiswa terutama
bagi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra di Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana. Mata kuliah ini berisi materi hasil-hasil kebudayaan
Indonesia kuno. Selain itu, mahasiswa diharapkan mengetahui nilai-nilai positif
yang terkandung dalam budaya masa lalu yang sangat penting diterapkan dalam
kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
Kata Kunci : meningkatkan, pemahaman, mahasiswa, warisan budaya
1. PENDAHULUAN
Warisan budaya, baik yang bersifat tangible maupun intangible sangat
penting untuk dikenalkan pada generasi muda sekarang, dalam kaitannya dengan
pemahaman akan jati diri budaya bangsa. Salah satu unsur penting dalam jati diri
itu adalah kesadaran sejarah. Artinya, suatu bangsa yang kuat dan bermartabat
adalah yang mempunyai keunggulan-keunggulan untuk bertanding dan bersanding
dengan bangsa-bangsa lain di masa kini, plus tahu benar siapa dirinya dalam arti
asal usul sejarah dan sejarah kebudayaannya (Sedyawati, 2007:384).
atas diperlukan berbagai metode agar mahasiswa dapat lebih mengenal potensi
warisan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Potensi warisan budaya masa
lalu tentunya tidak hilang begitu saja, walaupun sudah ada sejak ribuan tahun lalu,
tetapi potensi warisan budaya itu masih bisa digali dan direkonstruksi untuk
menumbuhkan jatidiri suatu bangsa. Pengenalan warisan budaya dalam konteks ini
adalah berupa budaya yang ditinggalkan atau disebut dengan tinggalan arkeologi.
Selama ini dunia pendidikan sekolah, baik tingkat dasar, menengah maupun
atas masih belum mendapatkan informasi arkeologi yang cukup memuaskan. Oleh
karena itu, kepada mereka perlu diperkenalkan arkeologi sejak dini. Peran aktif
arkeologi dalam pemasyarakatan tersebut diharapkan dapat merubah pandangan
generasi muda untuk secara lambat laun akan mencintai warisan budaya nenek
moyang yang bukan hanya sebagai sebuah tinggalan monumental belaka, tetapi
sedikit demi sedikit dapat memahami dan mengerti bahwa mereka memiliki
kebudayaan yang bernilai tinggi dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia
(Lelono, 2006 : 28). Sehingga nantinya peran serta generasi muda dapat membantu
dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia.
Materi tentang sejarah kebudayaan Indonesia begitu luas, dan tidak habis
dibahas dalam satu semester, sehingga dalam mata kuliah ini dibatasi pada
pembahasan dari prasejarah sampai pada masa klasik. Materi zaman prasejarah di
antaranya menjelaskan tentang kehidupan manusia purba yang awalnya masih
nomaden dan bergantung pada ketersediaan bahan pangan dari alam sampai mereka
bertempat tinggal tetap dan bercocok tanam sederhana. Pada tahap ini juga
dipelajari peralatan tertua Indonesia, yaitu kapak perimbas, alat serpih, pebble,
kapak pendek, batu giling, dan alat-alat dari tulang binatang. Pada tahap yang lebih
maju manusia masa lalu mulai mengenal pembuatan alat-alat dari logam. Pada masa
ini telah terjadi berbagai kemajuan, diantaranya kemajuan dalam bidang teknologi,
misalnya kemahiran dalam teknik peleburan, pencampuran dan penuangan logam.
Penggunaan logam untuk dijadikan sebuah alat pastinya berbeda proses
pengerjaannya dari alat-alat batu. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa
manusia pada waktu itu sudah mempunyai pemikiran yang lebih maju dari masa
sebelumnya.
prasejarah akhir begitu kompleks, pada masa ini ditemukan beberapa bukti adanya
hubungan antara Indonesia dengan benua Asia Tenggara. Hal ini bisa dilihat pada
ragam hias yang ada pada nekara. Pada masa ini juga sudah dikenal adat
penguburan yang menggunakan beberapa media seperti sarkofagus, dolmen, kubur
peti batu, kalamba, pandhusa, waruga, dll. Sehingga bisa disimpulkan bahwa
manusia pendukung kebudayaan pada masa ini sudah mempunyai sistem
kepercayaan, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
Dalam ruang lingkup tulisan ini, peran penting dosen untuk menjabarkan
kembali materi tentang warisan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
menjadi sangat penting, paling tidak kita mengingatkan kembali kepada mahasiswa
tentang beragamnya kekayaan warisan budaya bangsa. Hal ini bertujuan agar
mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak begitu saja melupakan warisan
budaya bangsa yang mempunyai nilai-nilai yang sangat penting.
Dosen dalam hal ini bertugas sebagai fasilitator dan meluruskan berbagai
data sejarah kebudayaan yang mahasiswa dapatkan dari sumber beragam. Dosen
sebagai fasilitator juga menampilkan beberapa dokumen foto mengenai beragam
warisan budaya bersifat tangible yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Mahasiswa diajak untuk mengenal hasil-hasil budaya nenek moyang yang sangat
beragam, di antaranya kapak perimbas, kapak lonjong, menhir, dolmen, sarkofagus,
lukisan di dinding gua, nekara, candi, prasasti, lingga, arca, gerabah, relief, kitab
kesusastraan, masjid kuno, benteng, dan masih banyak lagi yang lain.
Pada bangunan candi juga terlihat adanya sikap toleransi antar penganut
agama. Hal itu ditunjukkan pada beberapa candi yang memiliki dua sifat
keagamaan. Contohnya; Raja Kertanegara dicandikan di Singhasari dengan tiga
arca perwujudan, yaitu sebagai Siwa Budha dalam bentuk Bhairawa, sebagai
Ardhanari (arca yang berbentuk setengah wanita dan setengah laki-laki, sebelah
kanan bersifat laki-laki dan sebelah kiri bersifat wanita), dan sebagai Jina dalam
bentuk Aksobhya (arca Joko Dolok). Dalam Negarakertagama disebutkan bahwa
Kertanegara juga dimuliakan di Candi Jawi, bagian atas candi Jawi bersifat Budhist,
dan bagian bawahnya bersifat Siwaistis. Sehingga dalam Negarakertagama
Kertanegara disebut Bhatara Lumah Siwa Budhist.
Data lain tentang nilai-nilai toleransi dapat dilihat bahwa pada pemerintahan
Raja Udayana dan Mahendradatta, dibantu oleh badan penasihat pusat yang
beranggotakan para Senopati dan pendeta Agama Siwa dan Budhha. Adanya
penempatan wakil-wakil Agama Siwa dan Budha dalam badan penasihat pusat,
menunjukkan kedua penganut agama tersebut mampu hidup berdampingan secara
damai. Raja Udayana dan Mahendradatta mempunyai perhatian yang cukup besar
terhadap kedua agama tersebut, dan dijadikan sebagai agama Negara (Goris, 1948
dalam Bagus, 2002: 77). Tinggalan Goa Gajah juga menunjukkan dua sifat
keagamaan dalam satu lokasi, yaitu terdapat tinggalan yang bercorak Hindu (arca
Ganesa, lingga) dan tinggalan yang bercorak Budha (arca Dhyani Budha, arca
Hariti).
budaya. Hal ini dapat dilihat dari posttest yang diberikan pada mahasiswa yaitu
berupa hasil ujian tengah semester (UTS) dan hasil ujian akhir semester (UAS)
menunjukkan peningkatan kemampuan mahasiswa pada pemahaman akan warisan
budaya bangsa Indonesia. Peningkatan pemahaman tersebut diharapkan tidak
mengalami penurunan ketika mata kuliah sejarah kebudayaan Indonesia sudah
selesai diajarkan. Karena pemahaman tentang nilai dan makna warisan budaya
harusnya bisa disadari oleh mahasiswa untuk memupuk semangat nasionalisme.
4. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan, 2015. Warisan Budaya Perspektif Masa Kini. Denpasar: Udayana
University Press.
Bagus, A.A. Gde Bagus, 2002. “Sumberdaya Arkeologi Sebagai Salah Satu Unsur
Integrasi Bangsa” dalam Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk
Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar: Upada Sastra.
Istiyarti, 2009. “Relief Cerita Binatang di Candi Borobudur Sebagai Sarana
Pendidikan Moral”. Magelang: Balai Konservasi Borobudur
Lelono, T.M. Hari, 2006. “Membidik Siswa Mengenal Arkeologi” dalam Berkala
Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Sedyawati, Edi, 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Simanjuntak, Truman, 2012. “Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa”
dalam Arkeologi Untuk Publik”. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.