Anda di halaman 1dari 21

1.

Nilai Pendidikan dalam Kakawin Sumanasāntaka


2. Nilai Pendidikan Moral

Nilai pendidikan moral atau sering disamakan dengan nilai moral adalah nilai yang ingin
disampaikan seorang pengarang melalui makna dalam karya sastra kepada pembaca yang
mengajarkan tentang budi pekerti dan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk.

Nilai pendidikan moral yang terkandung dalam Kakawin Sumanasāntaka karya Mpu Monaguna
ini disampaikan dengan kata-kata yang indah dan mudah diambil hikmah atay pelajarannya bagi
pembaca. Nilai pendidikan moral dalam kakawin ini disampaikan melalui tokoh-tokoh yang
berperan dalam kakawin. Berikut ini adalah penjabaran nilai-nilai pendidikan moral dalam
Kakawin Sumanasāntaka:

1. Tampak tenang pada saat tegang atau gelisah

Nilai moral yang ada dalam kehidupan di lingkungan kita, dapat dilihat dari bagaimana cara
orang-orang disekeliling kita menghadapi sesuatu yang membuat mereka risau. Apakah orang
mempunyai moral yang baik atau tidak, salah satunya dapat dilihat dari bagaimana dia bersikap
menghadapi kerisauan atau masalah mereka. Ketenangan menghadapi masalah terdapat pada diri
Indra, seperti terdapat pada kakawin berikut:

Kutipan:

“Ndan sang hyang Suranātha mukhya pinakādi ning awêdi manangśayê hati. Lwir tan duhkha
sira ndan i twas aweweka ring angěnana de ning olaha. Gūdhākāra nira n wikalpa kadi tan hana
panaha-nahā nirǎlaha. Prāyê sang suyaśa n těka ng bhaya sakêng musuh awědi kaciryanâwědi”
(Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 48).

Terjemahan:

“Indralah yang paling kecut dan paling kalut hatinya. Ia berpura-pura tak merasa galau sedikit
pun, pdahal dalam hatinya, ia sangat berhati-hati mempertimbangkan apa yang hendak
diperbuatnya. Jauh di lubuk hatinya, ia dirundung keraguan. Namun tak tampak gelagat betapa
dirinya khawatir kalau-kalau dikalahkan. Kecenderungan pada muliawan, kala bahaya dari
musuh ada di depan mata, mereka takut ketakutannya kelihatan” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 48).

 
Paragraf ini menceritakan Indra yang merasa gelisah karena kehadiran seorang pertapa sakti
bernama Trnawindu . Indra takut, kedudukannya sebagai raja, akan digulingkan olehnya. Di
jelaskan sosok Indra, pada kutipan di atas, adalah sosok yang tenang dan tidak bertindak cepat.

Sikap tenang dari Indra, telah mengajarkan kita untuk selalu tenang menghadapi masalah
meskipun masalah itu sangat besar, sampai-sampai dapat menggulingkan seorang raja dari
posisinya. Dengan bersikap tenang, maka ketakutan dalam diri ketika berhadapan dengan musuh
akan tak tampak. Hal ini pun bernilai positif karena dengan bersikap tidak menampakkan
ketakutan, musuh kita tidak akan berani menyerang.

2. Hormat kepada siapa pun

Adapun orang-orang yang mempunyai nilai moral yang baik adalah orang yang selalu horma
kepada siapapun meskipun dia seorang pengemis ataupun seorang raja yang mempunyai niatan
jahat. Rasa hormat itu, ada pada diri Dyah Harinī:

Kutipan:

“Nāhan de nira major asru pangutus nira lumarisa tan wruh ing bhaya. Kepwan dyah Hariņī
katon gěgěh i sungsut ira yadin apaksa langgahana. Rěs lāwan pagěh ing kabhaktin ika karana
niki n ubhaya n lumampaha. Panggil panghwata janma lingnya sěděnganya karahatana ring
pamanyacanan” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 50).

Terjemahan:

“Usai berkata demikian, dengan kasar ia menyuruh berangkat buru-buru dan tak usah
memikirkan marabahaya yang menghadang. Dyah Harinī resah. Jelas sekali indra pasi murka
apabila perintahnya tak dipatuhi. Ia bersedia pergi karena hormat dan bakti. Mengingatkan diri
sendiri bahwa ia bisa terpuruk di tempat penggodaan, ia akan melakukan apa yang dipinta
padanya dengan harapan derajat penjelmaannya akan terangkat” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 51).

Dalam kutipan di atas, Harinī memiki rasa hormat dan bakti kepada Indra yang menyuruhnya
untuk mengganggu seorang pertapa. Harinī tetap melaksanakan perintah yang tidak baik itu
meskipun sudah disuruh berangkat dengan buru-buru dan kasar oleh indra. Bahkan Indra
menyuruh Harinī untuk tidak memikirkan marabahaya yang menghadang.

 
Selain Harinī, terdapat karakter yang memiliki sikap hormat yaitu Trnawindu. Ini terdapat pada:

Kutipan:

“Marěk sira sulaksanâdara mangaksama kaměna nira n palungguha. Katon upaśamâtalangkup


angagěm kayu kanaka supattralepana. Tamuy nira masewa dharma pakatonan i manah ika bhakti
kewala. Prasiddha guru śisya rupa nira kalih i papupul irêrikang bukur” (Worsley, P., dan S.
Supomo, 2014: 62).

Terjemahan:

“Dia menghampiri perempuan itu baik-baik dan, sebelum duduk, meminta maaf dengan sopan.
Penampilannya tetap kalem ketika ia dengan takzim menangkupkan tangannya, yang membawa
kayu cendana, dedaunan dan boreh yang harum baunya. Tamunya menghormat khidmat.
Penampilan perempuan itu mengisyaratkan tak ada yang mengisi benaknya selain rasa hormat
yang amat mendalam. Sesungguhnya mereka berdua tampak seperti guru dan siswa duduk
bersama di balai” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 63).

Dalam kutipan di atas, terlihat Trnawindu memperlakukan Harinī dengan sopan, meskipun dia
seorang perempuan dan dia sendiri seorang pertama yang pada hakikatnya tidak boleh bersama
pada waktu-waktu tertentu. Trnawindu bukan saja memperlalukan Harinī layaknya seorang
tamu. Dia juga meminta maaf dengan sopan kepada Harinī. Di dalam kutipan di atas juga
menunjukkan Harinī bersikap hormat kepada sang petapa.

Rasa hormat juga perlu dilakukan kepada orang tua karena orang tua adalah seseorang yang
merawat dan membesarkan diri kita sejak lahir. Maka, kita wajib untuk menyayangi dan
menghormati mereka dengan sepenuh hati. Rasa horma kepada orang tua ditunjukkan oleh Aja:

Kutipan:

“Sakweh ning kuměmit prapañca ni hatinya kuměkěsi tangisnya ring karas. Āpan buddhi
narendraputra kadi tan tulusa dugâ-duganghalimbanga. Bhakty âněmbah i jöng ni rena nira
měnggěp amanis agawe wulat maling. Lunghā tan pracurâněkěr-něhěrakěn manah ing ahayu kāri
suksěka” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 134).

Terjemahan:
“Semua perempuan yang memendam kebingungan di hati itu menyembunyikan air mata mereka
pada papan tulis mereka. Seperti akan sia-sia saja jika mereka terang-terangan berusaha ikut
Pangeran. Ketika menghormat di kaki ibunya, sang pangeran bersikap manis, mencuri pandang
dari sudut matanya. Dia mencuri hati. Maka sedihlah hati dayang-dayang menawan yang
ditinggalkan pergi.” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 135).

Terlihat jelas sikap Aja yang menghormat kaki ibunya, meskipun di hadapan orang-orang yang
melihat. Ini menunjukkan bahkan seorang pangeran pun mempunyai rasa hormat kepada ibunya
sendiri. Tidak hanya menghormat di kaki ibunya, sang pangeran pun bersikap manis dan
mencuri-curi sudut mata sang ibu. Ini menunjukkan Aja mempunyai rasa yang lebih tinggi
daripada rasa hormat, yaitu rasa sayang kepada ibunya.

Sikap hormat Harinī, Trnawindu, dan Aja telah mengajarkan kita untuk selalu hormat kepada
siapapun, bahkan kepada orang yang menyuruh kita untuk berbuat tidak baik, orang tua, dan
perempuan. Dengan bersikap hormat, mungkin kita dapat balasan yang setimpal untuk perbuatan
hormat dan bakti tersebut.

3. Memikirkan baik-baik apa yang disuruh orang lain

Orang-orang yang memiliki nilai moral yang baik, pasti akan merasa resah jika disuruh untuk
berbuat yang tidak baik. Orang-orang ini pasti akan memikirkan lagi perbuatan yang telah
dibebankan kepadanya untuk dijalankan. Keresahan saat disuruh melakukan hal yang tidak baik,
ada pada diri Harinī:

Kutipan:

“Kāngěn denya katuhwan ing gina mamighani tapa wipathâgawe hala. Yadyastun kawaśā pira ng
sukha těmun yan amuhara hala ndya don ikā. Mwang yan tan kawaśā katon tětěp i śapa nira
pangawaśanya tan wurung. Kodāsīnan ireka ta pwa pinalar-palar ika siha sang hyang Iśwara”
(Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 52).

Terjemahan:

“Dia renungkan apa guna sesungguhnya mengganggu tapa pertapa. Perbuatan tak senonoh dan
mendatangkan bencana. Kalau pun ia berhasil, kesenangan apa yang diperolehnya? Dan jika
membawa kemalangan, apalah artinya? Dan jikalau ia gagal, kutukan sang pertapa jelas takkan
bisa dicabut, dan pastilah ia termakan kekuatan kutukan itu. Ia berharap sang pertapa tak
menghakimi dirinya dan Dewa Iswara menaruh belas kasih padanya.” (Worsley, P., dan S.
Supomo, 2014: 53).

Dalam kutipan di atas, Harinī memiki rasa gelisah dan takut jika mengganggu seorang pertapa
yang sedang melakukan pertapaan. Harinī ragu untuk melaksanakan perintah yang diberikan
kepadanya oleh Indra. Harinī beranggapan bahwa perbuatannya tidak baik. Ini merupakan suatu
ciri, dimana dia mempunyai nilai moral.

Orang-orang yang mempunyai nilai moral yang baik juga pasti akan mempertimbangkan baik-
baik apa yang dilakukannya. Orang itu pasti akan memperhitungkan baik atau buruhnya sesuatu.
Ini ditunjukkan Harinī:

Kutipan:

“Huwus těka ring āśramângingět-ingět ry ulaha nika měne n paněmbaha. Něhěr lumaku
munggah ing gupura sangśaya manaha-nahā marê dalěm. Alungguh irikang bukur
pangaranganya něhěr asiděhângure gělung. Cěcěk masahuran sakê wuri pinakpak ika pinakadūta
ning hala” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 58).

Terjemahan:

“Setibanya di pertapaan, dia sejenak mempertimbangkan baik-baik apa yang hendak


dilakukannya bila dia nanti menghadap. Kemudian, ia mendaki tangga gapura, ragu-ragu untuk
masuk. Dia duduk di balaik bukur tempat merenung. Lalu sambil menopang badan dengan
sebelah tangan, ia uraikan gelung rambutnya. Ditenangkannya kawanan cicak yang berdecak
sahut-menyahut di belakangnya, karena dianggap alamat buruk.” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 59).

Dalam kutipan di atas, terlihat Harinī mempertimbangkan baik-baik untuk mengganggu seorang
pertapa dalam pertapaannya. Dia bahkan ragu-ragu untuk masuk ke tempat perenungan sang
pertapa.

Sikap Harinī untuk resah melaksanakan tugas yang tidak baik mengajarkan kita untuk selalu
merenungkan sesuatu, apakah sesuatu itu baik untuk dikerjakan atau tidak. Dengan bersikap
resah dan merenung kepada tugas yang ktia kerjakan, kita dapat menghindari malapetaka atau
masalah.

 
4. Perbuatan yang jahat pasti akan mendapat hukumannya

Semua hal di dunia ini pasti akan ada timbal baliknya. Termasuk perbuatan yang tercela seperti
menggoda orang suci yang sedang melakukan ibadahnya. Orang yang mengganggu orang yang
sedang beribadah pasti akan merasakan akibatnya seperti Harinī yang menggoda Trnawindu:

Kutipan:

“Adā wipatha ko pakojar iku dhūrta tan aharěp i haywa ning tapa. Huwus wruh aku yan pakona
Suranātha karanamu datěng mamañcana. Ikang hala gawemu tan wurung amangsulana
malěsanêri ko měne. Manusya těmahamwa tan waluya ring surapada wěkasamwa dewatī”
(Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 70).

Terjemahan:

“’Hei, kau salah bicara dusta. Kau tak ingin pertapa sentosa. Aku sudah tahu kau datang untuk
menggodaku atas perintah Indra, Raja Dewata. Kejahatan yang kau lakukan pasti berbalik
padamu saat ini juga. Kau akan menjadi manusia dan tidak bisa kembali ke alam dewa.
Riwayatmu sebagai batari sudah tamat’” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 71).

Pada kutipan di atas, sang pertapa mengutuk Harinī menjadi manusia dan tidak bisa kembali ke
alam dewa. Hal ini dilakukannya karena Harinī mencoba mengganggu tapaan Trnawindu dengan
tubuhnya. Setelah mendapat kutukan, Harinī tidak mendapat bantuan dari siapapun:

Kutipan:

“Nahan śruti ni de nikânangis atungtung ucapan amělas-mělas- harěp. Samasta para dewa
sūksma huměněng tinangisan ika tan hanânglawad. Ares hawa-hawākěnâwědi kumol wruh i
gěgěh i wuyung dwijeśwara. Padângrěs anangis-nangis tangis ikā piniturun ika munggu ring
waneh” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 76).

Terjemahan:

“Dia berucap sambil menangis. Kata-katanya diakhiri permohonan belas kasihan. Semua dewa,
gamang, diam seribu bahasa ketika dia terisak-isak memohon kepada mereka. Tak ada yang
datang melipur laranya. Mereka takut bernasib sama dengan dia. Mereka membisu ketakutan,
menyadari bertapa dahsyat amarah sang mahabrahmin. Mereka menangis terharu. Derai air mata
mereka menjelma sesuatu yang lain” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 77).

Dari perbuatan yang Harinī, kita mendapat pelajaran bahwa kita tidak boleh berbuat sesuatu yang
jahat karena akan ada timbal baliknya kepada kita sendiri. Bahkan jika kita berbuatu demikian,
kita akan mendapat sesuatu yang lebih parah dari perbuatan buruk kita seperti yang dialami oleh
Harinī yang dikutuk menjadi manusia (yang pada awalnya seorang dewi).

5. Segala bakat pasti akan mendapat hadiah

Segala sesuatu pasti akan ada imbalannya, termasuk bakat yang ada dalam diri seseorang.
Seseorang yang memiliki bakat pantas diberi hadiah karena keahlian mereka jarang dimiliki
orang lain. Dalam kakawin sumanasantāka orang-orang yang memiliki bakat akan diberi hadiah:

Kutipan:

“Prah-prah nrpawaraduhitā ri gundik ira len i kaka-kaka nira. Yan wruh-wruh agaměl angidung
lawan wruh angawat ya liněngěnan ira. Embuh pwa guna nika sininghělan kinalungan ya
kinalěwihakěn. Sampun pwa ya kawi pada kāku sing guna samangkana ya kinarahan” (Worsley,
P., dan S. Supomo, 2014: 190).

Terjemahan:

“Sang putri mengamati kebiasaan tertentu para dayang dan sahabatnya. Mereka yang ahli
memainkan gamelan dan menembangkan kidung, dan mereka yang ahli menggubah gending, ia
anugrahi lěngěn (gelang) sebagai tanda pembeda. Pada mereka yang keterampilannya lebih
unggul, ia anugrahkan singhěl (hiasan) dan kalung sebagai pengakuan atas keunggulan mereka.
Begitu menjadi penyair dan menguasai segala macam kesenian, mereka dianugrahi karah (pita
atau cincin) sebagai penghormatan” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 191).

Pada kutipan di atas, terlihat sang putri memberikan dayang dan sahabatnya yang memiliki bakat
tertentu. Bakat-bakat itu berupa keahlian bermain musik dan bersastra, juga segala macam
kesenian.

Dari kutipan di atas, kita mendapat pelajaran bahwa segala macam bakat, baik itu bermusik,
bersastra, dan berseni, akan mendapat penghargaan. Penghargaan itu dapat dari mana saja dan
untuk siapa saja yang memiliki niat. Untuk itu, kita harus bekerja keras hingga menjadi ahli
dalam bakat tersebut.

6. Tidak boleh membunuh sesama manusia

Kita sesama manusa tidak boleh membunuh satu sama lain. Orang yang memiliki nilai moral
yang baik tidak akan membunuh sesama manusia lain. Jika ada permasalahan yang menjadi
konflik, harus dipikirkan jalan keluar agar tidak ada pertumpahan darah. Jika pun terjadi
pertikaian, kita tidak boleh menghabisi nyawa musuh kita. Sikap tidak membunuh antar sesama
manusia tercermin dalam diri Aja:

Kutipan:

“Rakryan yeki panahkw amungwakena tandadi wiphala lepasnya ring musuh. Sangharastra
wimohanakhya pangalah pinakakajayasatrun i nghulun” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014:
434).

Terjemahan:

“’Sayangku, panahku ini akan membangunkan mereka. Ketika kutembakkan ke musuh, tidak
akan luput. Panah penghancur bernama “Wimohana” inilah saraku mengalahkan musuh dan
meraih kemenangan.” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 435).

Dari kutipan di atas, Aja memanah musuhnya dengan panah khusus yang diberikan seorang
dewa yang ditolongnya dulu. Panah tersebut tidak membunuh orang, hanya menidurkannya. Aja
sengaja tidak menggunakan pedang pada saat pertempuran itu karena dia tahu nyawa manusia
sangat berharga. Oleh karena itu, dia memakai panah yang membuat orang tertidur untuk
mengalahkan musuh-musuhnya.

Dari tokoh Aja kita dapat mengambil pelajaran bahwa nyawa seseorang sangat berarti. Kita tidak
boleh membunuh seseorang, apalagi tentang masalah sepele. Nyawa manusia sesungguhnya
sangat berarti, bukan hanya pada manusia itu sendiri, tetapi pada orang-orang di sekitarnya
seperti orang tuanya, anak-anaknya, dan keluarganya. Oleh karena itu, kita harus menghargai
nyawa manusia.

7. Memandang positif segala sesuatu


Kita harus memandang sesuatu dari sisi positifnya. Orang yang memandang segala sesuatu
dengan sisi positif adalah orang yang memiliki nilai moral yang baik. Kita tidak boleh menilai
sesuatu dari sisi negatifnya saja, bahkan kalau perlu kita singkirkan sisi negatif tersebut.
Memandang dari sisi positif dapat dilihat dari sikap Harinī:

Kutipan:

“Nahan rasa ni de nirâměgati śāpa nira těhěr ajar satorasih. Ri mula ni dadinya len těmahananya
tinalatah iragalar tangan. Kunang pwa wěkasan hiděpnya ri kaśāpa nika kadi wineh anugraha.
Uněngnya matěmah luh adrěs i kapo lara turida nikâtěmah tangis” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 80).

Terjemahan:

“Demikianlah keputusan sang pertapa untuk meringankan akibat kutukannya. Kemudian ia


berbicara tulus. Dia menjelaskan secara terang-benderang, dengan membaca telapak tangan,
asal-usul perempuan itu, keberadaannya sekarang dan inkarnasinya pada masa depan.
Demikianlah, akhirnya, perempuan itu menganggap kutukannya sebagi berkah. Kerinduannya
menjelma banjir air mata yang mengalir ke telinganya. Duka dan sakit hatinya menjadi tangis”
(Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 81).

Dalam kutipan di atas, Harinī memandang kutukan yang diberikan oleh sang pertapa kepada
dirinya sebagai berkah. Dia pun menangis karena bahagia.

Dengan memandang sisi positif dari kutukannya, Harinī bertemu dengan pangeran Aja dan jatuh
cinta kepadanya:

Kutipan:

“Narendratanayâwěněs mulat i rūpa sang Aja wawang agring anglayung. Kasambět i manis-
manis ni lungid ing mata sarasija kengg utan halis. Huwus wruh i manis nira n kasarik ing
lituhayu subhagêng swayěmbara. Ya kārana nirâharep marěka pangkun uwat-uwataneng sěpah
sarik” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 308).

Terjemahan:
“Sang putri pucat ketika melihat betapa tampan Pangeran Aja. Tiba-tiba ia menggigil lemas.
Sang putri tertenung mata manis tajam serupa padma serta alis menukik sang pangeran. Ketika
melihat betapa manis sang pangeran, sang putri menjadi tak berdaya, disebabkan tampanan lelaki
itu yang sudah tidak asing lagi bagi khalayak di swayambara. Itu sebabnya sang putri ingin
mendekatinya dan dipangkunya agar bisa disembuhkan dengan tapal bertuah” (Worsley, P., dan
S. Supomo, 2014: 309).

Setelah kutukan Harinī berakhir, dia kembali ke surga. Di surga dia bertemu lagi dengan Aja,
suaminya:

Kutipan:

“Parameśwarī haji sir â ngdadi dewasutā. Surarājya Nandanawanākhya katĕmwan ira. Pinĕkul
pinangkwakĕn aweh pipi wet ning unĕng. Asalin sarira pada mārdawa rūpa nira” (Worsley, P.,
dan S. Supomo, 2014: 482).

Terjemahan:

“Sang permaisuri telah menjadi putri dewata. Raja dan permaisuri bertemu di kerajaan kayangan
yang disebut hutan Nandana. Sang raja memeluk dan memangkulnya, sang permaisuri memberi
pipi karena rindu. Berganti raga, mereka berupa badan halus” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 483).

Dari sini, kita dapat mengambil pelajarna berharga bahwa segala sesuatu memiliki nilai positif.
Jika kita selalu memandang nilai positif itu, kita akan mendapat timbal balik yang seimbang
yaitu sebuah kebahagiaan, dalam kasus Harinī.

1. Nilai Pendidikan Religius

Nilai pendidikan religius adalah menanamkan sikap pada manusia untuk tunduk dan taat kepada
Tuhan. Penanaman nilai religius yang tinggi mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong,
dan tidak angkuh kepada sesama. Manusia akan saling mencintai dan menyayangi. Dengan kata
lain, manusia akan mampu menjalin hubungan baik antara manusia dengan Tuhan. Salah satu
nilai pendidikan religius adalah nilai pendidikan yang dapat memberikan contoh atau pelajaran
tentang sikap atau akhlak kita terhadap Tuhan.
Adapun nilai-nilai pendidikan religius dalam Kakawin Sumanasāntaka yang dapat kita ambil
adalah sebagai berikut:

1. Meminta izin kepada Tuhan untuk melakukan sesuatu

Dalam melakukan sesuatu, kita harus meminta izin kepada Tuhan agar kegiatan tersebut berjalan
lancar dan tanpa hambatan. Tindakan meminta izin kepada Tuhan juga diberlakukan untuk
memulai sesuatu. Kita harus meminta izin kepada Tuhan karena Dialah yang paling berkuasa
penuh atas berhasil atau tidaknya tindakan yang kita lakukan. Oleh karena itu, memita izin
kepada Tuhan sangatlah penting.

Tindakan meminta izin kepada Tuhan untuk melakukan sesuatu tercemin dari penyair, yaitu Mpu
Mogaguna, yang membacakan narasi pada bagian awal kakawin:

Kutipan:

“Sambandhanya kangarcanê pada nirahyun ajar-ajara milwa ring kawi. Yeki kārana ni nghulun
pranata bhakti ri sira magawe namaskrti. Lunggah ning kalangon sapunggĕl asĕkar kakawin
inuparĕnggan ing lango. Puspāñjalya ri jong nira n Sumanasantaka ceritakĕnastu sanmatan”
(Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 48).

Terjemahan:

“Hamba memuja di kakinya karena bercita-cita menjadi taruna dalam persaudaraan penyair. Itu
sebabnya hamba haturkan sembah bakti. Semoga setangkai puisi, yang berbunga kakawin dan
berhias keindahan. Menjadi sesaji kembang yang hamba persembahkan di kakinya karena
hendak memulai cerita Sumanasāntaka. Moga-moga puisi ini direstuinya”

(Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 49).

Dalam kutipan di atas, terlihat pengarang buku Kakawin Sumanasāntaka meminta izin kepada
Tuhan untuk memulai puisinya. Sang pengarang, Mpu Mogaguna, melakukan itu dengan
menyajikan kembang yang dipersembahkan di kakinya untuk meminta restu.

Dari kutipan ini, kita dapat mengambil pelajaran religius bahwa kita harus meminta izin kepada
Tuhan sebelum memulai sesuatu karena pada hakikatnya, hanya Dia yang berkuasa penuh atas
segala tindakan kita di dunia ini. Dia mengendalikan semua tindakan kita dan takdir kita. Dia
juga yang menentukan berhasil atau tidak perbuatan kita. Oleh karena itu, berdoa atau meminta
izin kepada Tuhan untuk memulai sesuatu adalah penting.

2. Tidak boleh tergoda oleh hawa nafsu

Hawa nafsu sering kali menggoda kita dengan bentuk-bentuk apapun. Kita kadang tergoda dan
terasuki oleh hawa nafsu sehingga kita jauh dari Tuhan. Padahal, hawa nafsu merupakan sumber
segala dosa yang ada dunia. Hawa nafsu bermacam-macam mulai dari uang, makanan, dan
perempuan bagi laki-laki dan pria bagi wanita.

Seseorang harus tidak boleh tergoda oleh hawa nafsu kepada perempuan yang bukan miliknya.
Sikap ini dapat kita lihat pada diri Tranawindu:

Kutipan:

“āścarya buddhi bhagawān Trnawindu denya. Ndātan hana hyun ira mātra sumonga ring twas.
Kewalya susthira manah nira tan prapañca. Maswāgatâmanis ujar nira sārjawâwang” (Worsley,
P., dan S. Supomo, 2014: 66).

Terjemahan:

“Begawan Trnawindu kagum pada perempuan itu. Namun tiada secercah pun hasrat di hatinya.
Dia tetap tegar dan berpikiran jernih. Tutur-katanya manis, menyambut perempuan itu dengan
tulus dan hormat” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 67).

Dari kutipan di atas, Trnawindu bertemu dengan seorang gadis yang datang entah dari mana.
Rupa gadis tersebut sangat cantik, tapi sang pertapa tetap berpikir jernih dan tegar. Dia tidak
tergoda oleh hawa nafsu. Dia bahkan menyambut perempuan itu.

Dari kutipan di atas, ktia dapat mengambil pelajaran bahwa kita tidak boleh dikuasai oleh hawa
hafsu. Kita harus dapat berfikir secara sehat dan kuat untuk menghadapi hawa nafsu tersebut.

1. Nilai Pendidikan Sosial

Nilai pendidikan sosial berhubungan dengan masyarakat atau sistem sosial. Tata nilai sosial
tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang bisa direnungkan. Nilai sosial ini dapat
berbentuk:
 

1. Jika bertamu harus hormat kepada tuan rumah

Tamu adalah raja. Akan tetapi, tamu juga harus menjaga sopan santunnya kepada tuan rumah.
Tamu yang baik adalah tamu yang menghormati tuan rumahnya. Orang yang memiliki nilai
sosial, pasti akan menghormati tuan rumahnya. Hal ini tercermin pada tokoh Harinī:

Kutipan:

“Marěk sira sulaksanâdara mangaksama kaměna nira n palungguha. Katon upaśamâtalangkup


angagěm kayu kanaka supattralepana. Tamuy nira masewa dharma pakatonan i manah ika bhakti
kewala. Prasiddha guru śisya rupa nira kalih i papupul irêrikang bukur” (Worsley, P., dan S.
Supomo, 2014: 62).

Terjemahan:

“Dia menghampiri perempuan itu baik-baik dan, sebelum duduk, meminta maaf dengan sopan.
Penampilannya tetap kalem ketika ia dengan takzim menangkupkan tangannya, yang membawa
kayu cendana, dedaunan dan boreh yang harum baunya. Tamunya menghormat khidmat.
Penampilan perempuan itu mengisyaratkan tak ada yang mengisi benaknya selain rasa hormat
yang amat mendalam. Sesungguhnya mereka berdua tampak seperti guru dan siswa duduk
bersama di balai” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 63).

Dalam kutipan di atas, sosok Harinī saat bertamu digambarkan dengan sosok perempuan yang
kalem dengna takzim menangkupkan tangannya. Dia juga digambarkan seperti murid dari
pertapa yang bernama Trnawindu.

Adapun pelajaran yang didapat dari sosok Harinī pada saat ini adalah kita harus bersikap sopan
kepada tuan rumah saat bertamu ke rumah orang lain, apalagi yang kita tidak kenal. Seorang
tamu yang baik pasti akan menjaga sikapnya sesempurna mungkin seperti Harinī. Selain
bersikap yang sopan, kita juga harus berpakaian yang rapi serta tidak bertingkah yang aneh-aneh
saat bertamu.

2. Tuan rumah harus ramah dengan tamu

Dalam bersosialisasi, selalu ada timbal balik antara tamu ke tuan rumah, dan tuan rumah ke
tamu. Semuanya berputar dan berotasi, di mana semua unsur itu harus bersikap yang patut untuk
ditiru. Salah satu sikap itu adalah ramah tamah. Ketika seseorang bertamu ke rumah kita, kita
harus melayani tamu dengan baik dan penuh penghormatan. Kita tidak boleh melantarkan tamu
begitu saja. Kita harus membuat mereka nyaman saat bertamu. Sikap ramah dengan tamu ini
tercermin pada para Brahmin, resi, pendeta Saiwa , dan pendeta Budha:

Kutipan:

“Dwijāti rsi śaiwa boddha śuci sojar ira managabhiwāda munggu ri harĕp. Yathākrama
padâdarâhalĕp agong i wĕtĕng ira lawan huwan ring atuha” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014:
136).

Terjemahan:

“Para Brahmin, resi, pendeta Saiwa , dan pendeta Budha berada di depan. Semua ucapan mereka
tiada cela ketika mereka menyampaikan salam hormat takzim” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 137).

Dari kutipan di atas, terlihat para Brahmin, resi, pendeta Saiwa , dan pendeta Budha menyambut
rombongan pangeran Aja yang datang dari tanah yang sangat jauh. Disebutkan juga di atas,
semua ucapan salam mereka tiada cela saat menyambu tamu tersebut. Hal ini menunjukkan
kesopanan dan keramahan tuan rumah saat tamu hadir di rumah mereka.

Pelajaran yang dapat kita petik dari para Brahmin, resi, pendeta Saiwa , dan pendeta Budha
adalah bahwa tamu adalah manusia yang harus dihormati. Kita sebagai tuan rumah harus
bersikap ramah kepada mereka agar mereka nyaman di rumah kita. Tuan rumah yang baik adalah
tuan rumah yang menyambut tamunya dengan salam ketika tamu tiba.

3. Akrab dengan siapa saja

Orang yang memiliki nilai sosial yang tinggi adalah orang yang akrab dengan siapa saja; tidak
memandang bulu, tidak peduli dia adalah pembantu, majikan, orang kaya, dan lain-lain. Kita,
sesama manusia, harus bersahabat dengan siapa saja, tidak boleh memilih-milih. Sikap akrab
dengan siapa saja, tercermin dalam tokoh Aja:

Kutipan:
“Smu harsa sire para samya. Kadi wanwa tekap nira n angling. Ubhaye panunasnya macatwa.
Pada mangdasamasa catunya” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 298).

Terjemahan:

“Pangeran tampak senang dengan para hulubalang rendah. Dia berbicara seakan akrab dengan
mereka. Menyetujui jatah perbekalan yang mereka minta, yang akan ia berikan setiap sepuluh
bulan” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 299).

Terlihat dalam kutipan di atas, Aja yang seorang pangeran dapat berbicara bahkan akrab dengan
para hulubalang rendah yang merupakan bawahannya. Dia bahkan menyetujui untuk menambah
jatah perbekalan mereka saat melakukan perjalanan.

Dari kutipan di atas, kita dapat memetik pelajarnan bahwa kita harus bersikap akrab kepada
siapapun, tanpa pandang bulu. Baik dari keluarga kaya, maupun dari keturunan hububalang, kita
harus memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi teman kita atau sebaliknya, kita yang
menjadi teman mereka. Kalau kita berfikir untuk hidup sendiri tanpa orang lain, hidup kita akan
susah, bahkan kacau. Oleh karena itu, kebutuhan akan teman sangat dibutuhkan. Kita tidak boleh
memilih-milih teman.

1. Nilai Pendidikan Budaya

Nilai budaya adalah nilai yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau
suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa
lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan
kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan
berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu
singkat. Nilai kebudayaan tidak dapat dijelaskan tetapi dapat kita lihat melalui kepribadian dan
perilaku orang tersebut.

Nilai budaya yang ada dalam pribadi atau diri seseorang dapat dilihat dari bagaimana dia
menghargai dan menjaga keadaan lingkungan di sekitarnya. Selain itu, dapat kita lihat juga dari
sikap dia dalam menggunakan waktu yang baik yang belum tentu dimiliki oleh orang lain.

Adapun nilai-nilai pendidikan budaya dalam Kakawin Sumanasāntaka yang dapat kita ambil
adalah sebagai berikut:

1. Mengadakan sayembara
Ketika seorang gadis mencapai umur untuk menikah, ada baiknya gadis itu dinikahkan dengan
laki-laki yang cocok dengannya. Akan tetapi tidak mudah mencari seorang laki-laki yang baik,
apalagi perempuan yang ingin dinikahkannya itu sangat cantik, kaya, dan istimewa. Pasti banyak
laki-laki yang menginginkannya. Oleh karena itu, seorang wali dari perempuan itu mengadakan
sayembara untuk memilih siapa laki-laki yang pantas untuk perempuan yang dinikahkannya itu.
Pada zaman dahulu, sayembara merupakan cara yang paling ampuh untuk mencari jodoh.

Kehadiran sayembara dalam Kakawin Sumanasāntaka terdapat pada:

Kutipan:

“Rakryan janma ni janma ni nghulun adadyana ratu tumuntêng swayambara. Ndan rakryan ta
muwah swayambarakenamiliha ratu ri madhya ning sabha. Denya n tan kinasanmatanta palalun
sinalahasa ri tan sih ing Widhi. Ramya ngwang pinagantaken tulusan tan tulusa tuwi yayapuput
raras” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 260).

Terjemahan:

“’Putri, penjelmaan dari penjelmaanku akan menjadi raja yang akan ikut swayambara. Kau, yang
akan menikah dalam swayambara, akan memilih seorang raja dari kumpulan mulia ini. Karena
kau tidak sejalan denganku, aku akan menanggung kecewa sebab takdir tidak berbaik padaku.
Namun demikian, aku senang telah dipertimbangkan sebagai kemungkinan. Berhasil atau tidak,
pada akhirnya kau akan dipenuhi hasrat birahi” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 261).

Dari kutipan di atas, Raja Magadha berbicara kepada putri mengenai swayambara atau dalam
bahasa Indonesia disebut sayembara. Beliau menyarankan kepada putri, yaitu Indumatī
(renkarnasi dari Harinī), untuk menikah dari salah satu pria dalam sayembara.

Sayembara, pada zaman dahulu, dipakai untuk memilih jodoh yang tepat. Dalam prosesnya, sang
gadis dapat memilih siapa saja yang akan menjadi suaminya. Sayembara dilakukan bukan hanya
mencari pasangan yang cocok untuk sang gadis, melainkan juga untuk menggantikan posisi raja
yang memimpin pada waktu itu:

Kutipan:

“Mojar sang prabhu masku tan tugeta ning twastan inundang mami rakanta prihati n harep
mamituhe masku ndan eweh juga sang ratw asiha len sasambhawa muwah yeki pinet ni nghulun
kady amrat-mrati mas juga ngwang amagantaken purih ning dadi” (Worsley, P., dan S. Supomo,
2014: 112).

Terjemahan:

“Raja kemudian berkata, ‘sayangku jangan gusar kalau kau kami panggil ke sini. Aku prihatin
karena ingin bertindak sebagaimana semestinya seorang kakak, tetapi itu takkan mudah. Aku
mencari seorang raja yang tidak saja cocok, namun juga mencintai. Dengan kecermatan
penimbang emas, aku berusaha mengatur segala sesuatunya sebagaimana mestinya” (Worsley,
P., dan S. Supomo, 2014: 113).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diambil nilai budaya yaitu, jika seorang gadis baru beranjak
dewasa harus dinikahkan dengan segera untuk menggantikan raja yang sedang bertahtah waktu
itu (karena seorang gadis tidak boleh memimpin dalam kerajaan Jawa). Untuk mencari calon
suami dan raja yang tepat diadakan sayembara. Dengan begitu, akan ada calon suami yang
cocok, baik untuk menggantikan raja suatu hari nanti, maupun sebagai suami yang baik.

2. Membakar mayat

Ada banyak cara untuk mengurus orang yang telah meninggal dunia. Salah satu caranya adalah
dengan membakar mayat. Pembakaran mayat digunakan karena dipercaya dapat
mengembalikkan jiwa orang yang telah meninggal dunia ke tempat asalanya. Dalam kepercayaan
agama Hindu, lebih tepatnya di Bali, pembakaran mayat disebut dengan Ngaben. Makna upacara
Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke
tempat asalnya dengan cara dibakar.

Dalam Kakawin Sumanasāntaka upacara pembakaran mayat tercermin pada:

Kutipan:

“Sampun śawa śrindumatī bhinasmi. Murub silunglung nira ratnaceya. Mangkin prapañca nrăpati
wyamoha. Wwalung tahun kāla nira n katinggal” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 480).

Terjemahan:
“Jasad Sri Indumatī diperabukan. Balai kematiannya, sebuah altar pertama, berkobar-kobar. Raja
semakin bingung dan kalut. Dia ditinggal sendirian selama delapan tahun lagi.” (Worsley, P., dan
S. Supomo, 2014: 480).

Dalam kutipan di atas, jasad Sri Indumatī dibakar hingga menjadi abu. Hal ini sama dengan
upacara Ngaben di Bali. Tujuannya pun sama yaitu untuk mengembalikkan jiwa Sri Indumatī ke
tempat asalnya, yaitu surga.

Pelajaran tentang nilai budaya yang kita dapat dari kutipan ini adalah bahwa pembakaran mayat
perlu dilakukan untuk mengembalikan seseorang ke tempat asalnya. Konon, jika tidak dilakukan,
maka orang tersebut akan terus gentayangan di dunia.

3. Menukar kain

Dalam kidung, pasangan kekasih biasanya bertukar langsaran, sepotong pakaian atau hiasan
bekas sebagai tanda penghormatan istimewa. Pertukaran ini biasanya dilakukan oleh suami istri,
ada juga yang dilakukan oleh ibu dan anak. Pertukaran kain dalam Kakawin Sumanasāntaka
tercermin pada:

Kutipan:

“Wungsw amwīta bibinta matya tumute kapati sang ahulun nghulun tuhan. Lwambĕk māsku
sang apriheng bhuwana sĕmbahĕn ing amawa rat kitanaku. Ai putrindumatīngku māsku t ahurup
tapih alah ibu kenku kenakĕn songsongangkwa tapihta karwana lawan haji lĕpasa mamuksa-
muksana” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 96).

Terjemahan:

“’Upik, ibumu pamit hendak mengiringi Yang Mulia ke alam baka. Bersabarlah, manisku.
Kauharus mendarmabaktikan dirimu kepada dunia fana, dan para penguasa dunia pasti berlutut
di hadapanmu, anakku. Oh putriku, Indumatiku ayu, mari bertukar kain denganku! Ayo
sayangku, kenakan kainku. Kainmu akan menjadi keraiku. Aku akan berbagi kain itu dengan
raja, sehingga kami leluasa menikmati pesona keindahan.” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014:
97).

 
Dalam kutipan terlihat, ibu Indumati ingin pamit (dalam cerita ia akan membunuh dirinya
sendiri). Sebelum pergi dia berpesan kepada Indumati untuk mendarmabaktikan dirinya kepada
dunia fana, dan para penguasa dunia pasti berlutut di hadapannya. Kemudian, dia mengajak
Indumati untuk bertukar kain sebagai tanda penghormatan istimewa. Di sini, ibu dan anak
melakukan perturakan kain. Pakaian Indumati tampaknya hendak digunakan sebagai pelindung
dari panas tak tertahankan di suruwayan, suatu tempat di alam baka (Worsley, P., dan S.
Supomo, 2014: 509).

Dari kutipan di atas, dapat diambil nilai budaya yaitu pertukaran pakaian dapat terjadi antara
sepasang suami istri atau antara ibu dan anak sebagai tanda penghormatan istimewa. Orang yang
menukar kain pastilah orang sudah saling mencintai. Oleh karena itu, kita dapat menukarkan
kain untuk kekasih kita di kemudian hari untuk penghormatan istimewa.

4. Mengadakan ritual tawur

Upacara tawur mirip engan upacara tawur Bali modern, upacara ini dianggap sebagai sesaji caru
yang lebih besar. Sebagaimana yang diisyaratkan, tujuan upacara ini adalah untuk membersihkan
roh jahat dari lahan yang akan dipakai untuk menyelenggarakan upacara selanutnya. Dalam
kaitan ini, amat penting bahawa salah satu bagian terpenting dari urutan upacara pernikahan
tidak diganggu oleh bhuta-kala yang belum kebagian jatah dalam upacara pernikahan.

Upacara tawur tercermin dalam:

Kutipan:

“Tupaca ta para tabda n tan sthity âkuta-katikan. Pijĕr angarahakĕn wwang sing yogyângatĕr-
atĕra. Hana sira wiku wrddhācārī motus atawura. Amilihi śubhasangjñā mwang sang wruh-wruh
atawura” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 320).

Terjemahan:

“Perkenankan kami bertutur tentang para pejabat tanda yang bergegas kian-kemari, sibuk
mengatur siapa pun yang cocok menjadi pengawal. Seorang biarawi, seorang guru
berpengalaman, memipin upacara tawur. Memilih orang-orang yang harum namanya dan ahli
melaksanakan ritual” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 321).

Pelajaran yang diambil nilai budaya dari upacara ini digunakan untuk membersihkan roh jahat
dari lahan yang akan dipakai. Dalam Kakawin Sumanasāntaka, tawur dilaksanakan sebelum
menikah.
 

5. Mengadakan kraban kalasan

Kraban kalasan adalah upacara terakhir dalam rangkaian upacara pernikahan, tampaknya untuk
merayakan kemunculan pertama pengantin di muka umum sebagai pasangan suami-istri.
Upacara ini, dan perayaan yang menyusulnya, berlangsung sepanjang hari. Acara dimulai selepas
subuh, ketika ‘cahaya terang matahari bersinar’. Selesai pada penghujung petang, ketika
pasangan pengantin ‘kembali ke bilik mereka’.

Upacara kraban kalasan tercermin dalam:

Kutipan:

“Ring kraban kalasa mijil sira sumanggraha wali nira purna tan kurang. Sampun kewwan
iranadah sira penuh sama-marek i sira wwang uttama. Ramyatingkah atut palungguh ira sang
hwus agati wineh akarwana. Acari kalawan karandang ira mukhya pinituhu pada wruh ing
krama” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 352).

Terjemahan:

“Ketika tiba waktunya melakukan upacara kraban kalasa, pasangan pengantin keluar.
Persayaratan upacara telah siap, semuanya tertata sempurna tanda ada yang ketinggalan. Seusai
upacara, mereka berpesta bersama kerumunan besar orang terpandang. Penataannya
menyenangkan, dan pasangan pengantin, yang kini diakui sebagai suami-istri, duduk anteng
berdampingan di satu kursi yang disiapkan untuk mereka. Guru sang putri dan sesepuh
perempuan, yang tahu bagaimana mempersiapkan segala sesuatunya dengan benar, sangat
dipercaya menata acara” (Worsley, P., dan S. Supomo, 2014: 353).

Pelajaran yang diambil nilai budaya dari upacara ini digunakan untuk merayakan kemunculan
pertama pengantin di muka umum sebagai pasangan suami-istri. Dalam hal ini, pengantin
diperkenalkan di depan publik. Dalam Kakawin Sumanasāntaka, kraban kalasan merupakan
upacara terakhir dalam pernikahan.

Nilai pendidikan moral yang terkandung dalam Kakawin Sumanasāntaka adalah tampak tenang
pada saat tegang atau gelisah, hormat kepada siapa pun, memikirkan baik-baik apa yang disuruh
orang lain, perbuatan yang jahat pasti akan mendapat hukumannya, segala bakat pasti akan
mendapat hadiah, dan tidak boleh membunuh sesama manusia, memandang positif segala
sesuatu.
Nilai pendidikan religius dalam Kakawin Sumanasāntaka adalah meminta izin kepada Tuhan
untuk melakukan sesuatu dan tidak boleh tergoda oleh hawa nafsu.

Nilai pendidikan sosial dalam Kakawin Sumanasāntaka adalah jika bertamu harus hormat kepada
tuan rumah, tuan rumah harus ramah dengan tamu, dan akrab dengan siapa saja.

Nilai pendidikan budaya dalam Kakawin Sumanasāntaka adalah mengadakan sayembara,


membakar mayat, menukar kain, mengadakan ritual tawu, dan mengadakan kraban kalasan.

Anda mungkin juga menyukai