Rumah adat Jawa Timur Joglo dikenal dengan bentuk limas dengan atap yang sangat megah.
Sebutan Joglo adalah dimaksudkan untuk atapnya yang besar dengan mengambil stilasi model sebuah
gunung.
Joglo memiliki dasar filosofi yang tidak jauh beda dengan rumah adat Joglo di Jawa Tengah.
Filosofinya berupa makna pengaruh Agama Islam, Hindu dan Budha yang menjadi satu dan mengakar pada
bangunan tersebut.
Joglo pada tempo sebelumnya dibangun untuk menunjukkan strata atau status sosial tertentu dalam
masyarakat. Mayoritas Rumah Joglo dimiliki oleh para bangsawan dengan salah satu tujuan untuk menerima
tamu dengan jumlah yang besar. Namun, setelah mengalami perkembangan zaman, Joglo diidentitaskan
sebagai rumah adat yang boleh dimiliki semua orang.
Rumah adat Jawa Timur Joglo memiliki keunikan tersendiri yang membedakan dengan rumah adat
lainnya. Salah satu keunikannya adalah bahan pembuatan rumah yang dominan terbuat dari kayu jati.
Rumah Joglo memiliki jenis yang bermacam-macam. Masing-masing jenis Joglo tersebut memiliki
kekhasan tersendiri yang berbeda satu sama lain.
1. Joglo Sinom
Joglo Sinom berciri khas memiliki 36 pilar dan 4 saka guru. Konsep bangunan ini merupakan
perkembangan dari saka Joglo yang menggunakan teras keliling. Masing-masing puncak dari keempat sisi
didesain secara tinggi dan bertingkat.
2. Joglo Pangrawit
Joglo Pangrawit memiliki ciri khas yang lebih detail dari Joglo Sinom. Halaman rumah lebih luas
dengan jumlah pilar yang lebih banyak. Rumah Joglo Pangrawit memiliki atap yang menjulang dan
mengerucut dengan setiap sudutnya yang memiliki pilar.
3. Joglo Hageng
Joglo Hageng memiliki konsep yang lebih rumit dari Joglo Pangrawit, dimana jumlah pilarnya lebih
banyak dan halaman yang lebih luas. Ukuran ruangannya lebih pendek dengan atap yang tumpul. Rumah
ini biasa dimiliki oleh keluarga yang berpenghasilan lebih mencukupi.
Struktur rumah joglo terdiri dari kerangka (pilar) yang membentuk rumah dan disebut Soko Guru.
Joglo sendiri sebenarnya struktur rumah tradisional dalam bentuk 4 pilar utama atau tiang dan tumpang sari.
Tumpang sari adalah susunan balok, yang didukung oleh Soko Guru. Joglo di zaman kuno digunakan
sebagai simbol atau identitas yang menunjukkan status sosial kelas sosial tertentu.
Hal ini cukup beralasan mengingat masyarakat yang adil pertama dengan tingkat ekonomi yang
berlebihan yang mampu memiliki rumah Joglo. Bahan untuk membuat rumah Joglo kayu umumnya
didominasi. Joglo pertama mayoritas dimiliki hanya oleh kaum bangsawan pernah digunakan untuk
menerima tamu kehormatan dari luar daerah yang membutuhkan area yang luas.
Rumah adat Joglo dianggap sebagai salah satu rumah yang paling familiar dibanding tipe-tipe rumah
adat lainnya. Saat ini di Jawa Tengah juga masih dapat anda temui berbagai rumah adat Joglo yang masih
dirawat dengan baik.
Memang rumah Joglo terkenal dengan lambang kekayaan pemilik. Tak heran jika pemilik rumah Joglo bukan
sembarang orang. Teras yang luas serta tak bersekat menjadi ciri khas rumah ini. Selain itu ditengah ruangan
rumah Joglo juga disokong oleh empat tiang.
Tiang-tiang inilah yang biasanya disebut sebagai Soko Guru. Tak hanya menjadi tempat tinggal, namun
rumah Joglo juga dianggap sebagai lambang kekayaan. Karena memang rumah Joglo hanya mampu dimiliki
oleh orang-orang yang berlebihan finansial.
Struktur Rumah Adat
Joglo merupakan rumah tradisional Jawa khususnya Jawa Tengah, yang umumnya terbuat dari kayu
Jati. Istilah Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada mulanya
filosfis bentuk gunung tersebut diberi nama atap Tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap Joglo atau
Juglo (Tajug Loro = Dua Tajug ~ penggabungan dua Tajug). Dalam kehidupan manusia Jawa -gunung sering
dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang
berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau
tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.
Konstruksi atap Joglo ditopang oleh Soko Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah. Jumlah ini adalah
merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa
disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata
angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut
sebagai Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat.
denah
Potongan melintang
Potonan memanjang
1. Rumah Joglo memiliki struktur utama berupa struktur Rongrongan, yang terdiri dari :
1. Umpak
2. Soko Guru
3. Sunduk
4. Sunduk Kili
5. Pengeret
6. Blandar
Istilah Guru digunakan untuk menunjukan bagian utama (inti) dari sebuah konstruksi Joglo. Soko
Guru menopang sebuah konfigurasi balok yang terdiri dari Blandar dan Pengeret yang disebut sebagai
Pamidhangan atau Midhangan.
Tiang atau Saka
Menurut naskah Kawruh Kalang, konfigurasi Blandar-Pengeret inilah yang menjadi patokan, acuan, rujukan
bagi perhitungan struktur keseluruhan Joglo. Semua ukuran dan dimensi struktur serta bangunan mengacu
pada ukuran dan dimensi Blandar-Pengeret tersebut, berdasarkan standar perhitungan tertentu yang disebut
sebagai petungan. Karena sifat keutamaan itulah maka konfigurasi Blandar-Pengeret diistilahkan sebagai
Guru. Sedangkan 4 buah tiang penopangnya disebut sebagai Soko Guru atau Sakaning Guru (tiang yang
menyangga Guru). Hal-hal tersebut di atas mencerminkan manusia Jawa yang dapat digolongkan sebagai
golongan masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya.
Yang meyakini kehidupan ini dipengaruhi kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (Jagad Alit atau
Mikrokosmos) dan kekuatan yang muncul dari luar dirinya atau alam sekitarnya (Jagad Gede atau
Makrokosmos). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk Rumah Joglo merupakan refleksi dari lingkungan
alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric , yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri
sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya.
Tumpangsari merupakan pengakhiran dari struktur Rongrongan ditopang oleh Beladar dan Pengeret.
Tumpangsari merupakan susunan balok menyerupai piramida, dan bisanya dihiasi oleh ukiran yang sangat
indah dan berfungsi menopang bagian langit-langit Joglo (pamindhangan).
Struktur Rongrongan Joglo
Elen
• Berada diposisi lingkar dalam konfigurasi Blandar-Pengeret;
• Berfungsi sebagai langit-langit struktur Rongrongan dan menopang papan penutup langit-langit
(Pamindhangan);
• Berjumlah ganjil yaitu 5 (lima), 7 (tujuh), atau 9 (sembilan).
Tumpangsari pada bangunan Joglo terbagi menjadi 2 grid persegi empat yang sama dan simetris, yang
dipisahkan dan ditopang tepat ditengah-tengah oleh balok Dadapeksi. Hubungan antara Soko Guru - Sunduk
-Sunduk Kili menggunakan sistim Purus. Sedangkan antara Soko Guru - Pengeret & Blandar menggunakan
sistim Cathokan.
Sistim persendian antara Umpak dan Soko Guru dapat berfungsi untuk mengurangi getaran pada saat
bencana gempa bumi. Sedangkan sistem Purus & Canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap
berlaku sebagai bandul yang menstabilkan bangunan saat menerima gaya gempa (berlaku seperti
pendulum).
Analisis Sunduk Purus Pada Sunduk
Analisis Tumpang
Dudur
Semua ini merupakan hasil karya manusia Jawa dalam mendesain bangunan Joglo melalui proses trial by
error mengingat letak geografis arsitektur bangunan Joglo yang berada di daerah Gempa III (gempa sedang).
Perluasan ruang dilakukan dengan penambahan struktur di sekeliling struktur Rongrongan tersebut -dengan
penambahan Soko Pengarak (tiang samping). Bangunan Joglo dapat berfungsi sebagai ruang pertemuan
(Pendopo) maupun rumah (Omah).
Pendopo merupakan bangunan yang bersifat publik sehingga bangunan Joglo hanya merupakan struktur
terbuka tanpa adanya dinding pelingkup. Sedangkan, Omah merupakan hunian yang memiliki ruang yang
bersekat-sekat. Biasanya Rumah Joglo memiliki dinding pelingkup konstruksi kayu, dan memiliki bukaan
berupa jendela dan pintu Gebyok.
Kampung Srotong
Merupakan rumah tradisional yang berasal dari Jawa Tengah dan sekitarnya. Rumah
tradisional ini adalah perkembangan dari rumah tradisional bentuk “kampung pokok”. “Rumah
kampung srotong” ini memiliki 2 buah “emper”. Jadi dapat dikatakan bahwa rumah ini terbentuk dari
2 buah bangunan bentuk rumah tradisional “panggangpe” yang disatukan sehingga mempunyai dua
buah sisi atap yang sama bentuknya atau simetris. Pada titik tengah atap terdapat satu bubungan
atau “wuwung” yang berfungsi untuk menyangga struktur utama atap dan sudut kemiringan atap
serta mempunyai dua buah tutup keong pada sisi penutup samping kiri dan kanan atapnya.
Keseluruhan konstruksi menggunakan bahan dasar kayu dengan struktur serat kuat seperti kayu
jati, kayu sono keling, kayu nangka dan jenis lainnya. Pondasi utama biasanya hanya menggunakan
batu yang sering disebut sebagai umpak. Struktur keseluruhan tiang tidak bersifat paten, tetapi dapat
bergerak, karena menggunakan sistim konstruksi purus sebagai pengunci struktur tiang yang masuk
kedalam umpak sebagai titik beban yang terpusatkan. Tiang saka pada bangunan ini
keseluruhannya dapat berjumlah 8 buah, 12 buah, 16 buah dan seterusnya. Gambar diatas adalah
bagunan kampung srotong yang menggunakan tiang saka sebanyak 12 buah.
Disebut rumah adat Limasan karena atapnya yang berbentuk Limas. Atap dari rumah adat ini memiliki
empat sisi. Rumah ini cukup sering ditemukan di Jawa.
Seperti rumah-rumah adat yang lain rumah adat ini juga memiliki banyak tipe. Mulai dari Gajah Mungkur,
Klabang Nyander, Lambang Sari dan masih banyak lagi. Setiap tipe memiliki bentuk yang agak berbeda
sesuai dengan tipe rumah adatnya.
Sama seperti rumah adat Kampung, rumah adat yang satu ini juga dimiliki oleh rakyat biasa. Cara mengenali
rumah adat ini juga bukan dari jumlah penyangga seperti pada rumah adat Kampung. Namun dari bentuk
atap rumah yang berbentuk limas.
Rumah Tradisional Jawa Barat
Jawa Barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang letaknya di bagian barat sendiri dari
pulau Jawa. Propinsi ini memiliki kebudayaan yang sangat unik jika dibandingkan dengan kebudayaan di
daerah lain. Salah satunya adalah bentuk rumah adat Jawa Barat.
Rumah adat di sini mengandung simbol kepribadian mereka. Selain itu tanah di daerah Jawa Barat
ini terkenal sangat indah, subur dan makmur. Masyarakat di daerah Jawa Barat ini lebih terkenal dengan
istilah Urang Sunda.
Masyarakat Sunda terkenal sangat ramah, bersahaja, sopan serta bersifat optimis. Hal ini patut
untuk dijadikan contoh sebagai salah satu kebudayaan timur yang sangat bagus. Rumah adatnya sendiri
memiliki nilai filosofi yang tinggi terutama dalam segi desain dan perpaduan warnanya.
Pondasi Tradisional
Lantai
Lantai rumah tradisional Jawa Barat terbuat dari pelupuh (bambu yang sudah dibelah). Alasan
pembuatan lantai dari pelupuh adalah seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu agar udara yang melewati
kolong rumah dapat masuk ke ruang – ruang, selain itu dengan mengunakan lantai bambu, tingkat
kelembaban di dalam rumah jugah akan berkurang, mengingat ketinggian lantai rumah tradisional Sunda
tidak seperti rumah tradisional lain pada umumnya yaitu berkisar antara 50 – 60 meter dari permukaan tanah.
Dinding, pintu, dan jendela memungkinkan udara dapat melewatinya. Dinding bangunan terbuat dari
anyaman bambu yang dapat dilewati udara, jendela yang selalu terbuka dan hanya ditutupi kisi-kisi bambu
maka udara dapat bebas masuk dalam ruangan, sehingga suhu didalam ruangan tidak panas.
Dinding yang ringan terbuat dari anyaman bambu yang dapat menyerap dan mencegah terjadinya panas
akibat radiasi matahari sore hari. Selain itu material dinding yang terbuat dari anyaman bambu
memungkinkan udara untuk masuk ke dalam rumah.
Selain itu, ada juga pintu dan jendela yang mempunyai daun pintu dan daun jendela tunggal.
Materialnya terbuat dari kisi – kisi bambu yang dapat ditembus oleh udara, hal ini membuat suasana di dalam
rumah tetap nyaman.
Plafon
Plafon selain sebagai penghias langit – langit rumah juga
berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan barang. Kerangka plafon
terbuat dari susunan bambu bulat, dan di atasnya diletakan pelupuh
sebagai bahan penutup plafon.
Atap
Atap sebagai mahkota dari sebuah bangunan mempunyai fungsi untuk melindungi penghuni yang
berada di dalamnya. Atap dari rumah tradisional Jawa Barat kebanyakan terbuat dari ijuk, alasan pemilihan
ijuk sebagai material atap karena ijuk merupakan material yang dapat menyerap panas dengan baik
sehingga tidak menimbulkan suasana gerah di dalam rumah. Tritisan pada sisi depan rumah mempunyai
panjang 2 meter. Hal ini membuat dinding bangunan tidak langsung terkena cahaya matahari sehingga
dinding sebagai penyekat tidak panas dan ruang di dalamnya tetap dingin. Selain itu ada juga sisi yang
disebut sebagai bidang atap terbuat dari anyaman bambu dan berfungsi sebagai ventilasi atap.
Bagian Atap
4. Imah Jolopong
Jenis rumah adat yang satu ini sangat populer
di Jawa Barat. Desain rumah inilah yang paling banyak
digunakan di masyarakat Jawa Barat dan sekitarnya.
Sesuai dengan namanya yang berarti “terkulai” .
Rumah adat Jawa Barat ini memiliki atap yang nampak
tergolek lurus. Bentuk rumah ini paling banyak diminati
karena desainnya lebih mudah dibuat dan tentu saja
lebih hemat material.
Bagian atap dari Imah Jolopong ini terdapat dua bagian
dimana kalau kedua ujungnya ditarik akan terbentuk
segitiga sama kaki. Desain dari rumah ini merupakan ciri
khusus rumah adat di sini dan lebih terkenal dengan istilah suhunan. Rumah adat Jolopong ini paling banyak
digunakan oleh masyarakat didaerah Garut.
5. Imah Parahu Kumureb
Imah Parahu Kumureb merupakan rumah adat
Jawa Barat yang lebih dikenal dengan istilah perahu
tengkurep. Desain dari rumah adat ini terdiri dari empat
bagian utama dengan bagian belakang dan depan
berbentuk trapesium.
Sedangkan dua bagian disisi kiri kanan bentuknya
segitiga sama sisi. Di daerah Palembang rumah adat
seperti ini lebih terkenal dengan desain atap Limasan.
Sesuai sekali dengan namanya rumah adat yang satu
ini tampak seperti perahu yang terbalik. Desain atap dari rumah adat ini mudah sekali bocor. Hal ini
dikarenakan terlalu banyaknya sambungan pada bagian atapnya.
Sehingga masyarakat Sunda jarang yang memakai desain rumah adat ini. Namun di daerah Ciamis ada
beberapa masyarakat yang masih menggunakan desain atap ini.
6. Imah Capit Gunting
Merupakan satu nama susuhunan (bentuk atap)
yang ada pada rumah adat masyarakat Sunda jaman
dulu. Dalam bahasa lain istilah susuhunan ini sama
dengan undagi yang berarti tata arsitektur. Capit Gunting
sendiri tersusun dari dua kata yakni Capit Dan Gunting.
Dalam Bahasa Sunda Capit berarti mengambil sesuatu
barang dengan dijepitkan.Sedangkan Gunting sama
artinya dengan pisau yang menyilang.
Sedangkan bentuk rumah adat Jawa Barat yang satu ini
bangunan atapnya sangat berbeda dengan yang biasanya. Atap (suhunan) bagian ujung depan atas dan
belakang atasnya menggunakan bambu (kayu). Kayu ini bentuknya menyilang diatas sehingga lebih mirip
dengan sebuah gunting pakaian.
7. Rumah Adat Kasepuhan
Rumah adat Kasepuhan ini lebih terkenal dengan
Keraton Kasepuhan. Untuk rumah adat Jawa Barat
yang satu ini berbentuk keraton. Keraton ini didirikan
oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun 1529. Beliau ini
putra Prabu Siliwangi yang berasal dari Kerajaan
Padjajaran.
Keraton ini merupakan perluasan Keraton Pakungwati
yang sudah ada sebelumnya. Beberapa bagian yang
terdapat dalam Keraton Kasepuhan:
a. Pintu Gerbang Utama
Terdapat dua buah pintu gerbang yang
pertama letaknya di sebelah selatan sedangkan yang
kedua di sebelah utara kompleks. Yang sebelah
selatan dinamakan LawangSanga (pintu sembilan).
Sedangkan yang gerbang utara dinamakan Kreteg
Pangrawit (berupa jembatan).
b. Bangunan Pancaratna
Fungsi utama dari bangunan Pancaratna ini
adalah sebagai tempat seba (tempat menghadap)
pembesar desa atau kampung. Paseban ini nantinya
akan diterima oleh seorang Demang atau Wedana.
Letak bangunan ini disebelah kiri depan kompleks
dengan arah barat.
c. Bangunan Pangrawit
Bangunan Pangrawit letaknya di sebelah kiri depan kompleks dengan posisi menghadap kearah
utara. Sedangkan nama Pancaniti sendiri berasal dua kata yaitu panca yang berarti jalan dan niti
yang berarti raja (atasan).
Fungsi utama bangunan ini sebagai tempat istirahat, tempat perwira melatih prajurit, dan sebagai
tempat pengadilan.
Dari sekian macam bentuk rumah adat Jawa Barat yang telah dijelaskan diatas pasti memiliki
keunikan dan ciri khas tersendiri. Keunikan dan ciri khas tersebut merupakan simbol atau cerminan
dari kepribadian masyarakat daerah asal.
Hal ini menandakan kalau tanah air Indonesia kaya akan beragam jenis budaya dan kekayaan
nusantara. Kekayaan budaya ini hendaknya kita lestarikan dan merupakan alat pemersatu bangsa.