Anda di halaman 1dari 28

Rumah Tradisional Jawa Timur

Rumah adat Jawa Timur Joglo dikenal dengan bentuk limas dengan atap yang sangat megah.
Sebutan Joglo adalah dimaksudkan untuk atapnya yang besar dengan mengambil stilasi model sebuah
gunung.
Joglo memiliki dasar filosofi yang tidak jauh beda dengan rumah adat Joglo di Jawa Tengah.
Filosofinya berupa makna pengaruh Agama Islam, Hindu dan Budha yang menjadi satu dan mengakar pada
bangunan tersebut.

Rumah Joglo Sebagai Rumah Adat Jawa Timur

Joglo pada tempo sebelumnya dibangun untuk menunjukkan strata atau status sosial tertentu dalam
masyarakat. Mayoritas Rumah Joglo dimiliki oleh para bangsawan dengan salah satu tujuan untuk menerima
tamu dengan jumlah yang besar. Namun, setelah mengalami perkembangan zaman, Joglo diidentitaskan
sebagai rumah adat yang boleh dimiliki semua orang.
Rumah adat Jawa Timur Joglo memiliki keunikan tersendiri yang membedakan dengan rumah adat
lainnya. Salah satu keunikannya adalah bahan pembuatan rumah yang dominan terbuat dari kayu jati.

Filosofi Rumah Joglo


Rumah joglo Jawa Timur umumnya berbentuk limasan atau dara gepak. Umumnya bangunan rumah
dibuat dari kayu jati. Nama joglo mewakili model atapnya yang merupakan perlambang sebuah gunung.
Gunung memiliki kedudukan tinggi dan sakral dalam kehidupan masyarakat Jawa. Gunung diyakini
sebagai tempat tinggal para dewa. Sehingga bentuk gunung dituangkan ke dalam simbol berupa atap rumah
yang diberi nama Tajug.
Berbeda dengan rumah adat Jawa Barat jolopong yang berbentuk pelana, atap joglo untuk rumah
tinggal berupa dua tajug. Maka disebut tajug loro yang disingkat menjadi juglo, lambat laun menjadi joglo.
Arsitektur rumah joglo sarat dengan pesan kehidupan manusia akan kebutuhan papan. Rumah
bukan hanya sebagai tempat tinggal. Melainkan juga perwujudan dari diri manusia yang berbaur dengan
alam sekitarnya.

Jenis Rumah Joglo

Rumah Joglo memiliki jenis yang bermacam-macam. Masing-masing jenis Joglo tersebut memiliki
kekhasan tersendiri yang berbeda satu sama lain.
1. Joglo Sinom

Joglo Sinom berciri khas memiliki 36 pilar dan 4 saka guru. Konsep bangunan ini merupakan
perkembangan dari saka Joglo yang menggunakan teras keliling. Masing-masing puncak dari keempat sisi
didesain secara tinggi dan bertingkat.
2. Joglo Pangrawit
Joglo Pangrawit memiliki ciri khas yang lebih detail dari Joglo Sinom. Halaman rumah lebih luas
dengan jumlah pilar yang lebih banyak. Rumah Joglo Pangrawit memiliki atap yang menjulang dan
mengerucut dengan setiap sudutnya yang memiliki pilar.
3. Joglo Hageng

Joglo Hageng memiliki konsep yang lebih rumit dari Joglo Pangrawit, dimana jumlah pilarnya lebih
banyak dan halaman yang lebih luas. Ukuran ruangannya lebih pendek dengan atap yang tumpul. Rumah
ini biasa dimiliki oleh keluarga yang berpenghasilan lebih mencukupi.

Struktur Rumah Adat Jawa Timur

Desain Soko Guru dan Tumpangsari

Struktur rumah joglo terdiri dari kerangka (pilar) yang membentuk rumah dan disebut Soko Guru.
Joglo sendiri sebenarnya struktur rumah tradisional dalam bentuk 4 pilar utama atau tiang dan tumpang sari.
Tumpang sari adalah susunan balok, yang didukung oleh Soko Guru. Joglo di zaman kuno digunakan
sebagai simbol atau identitas yang menunjukkan status sosial kelas sosial tertentu.
Hal ini cukup beralasan mengingat masyarakat yang adil pertama dengan tingkat ekonomi yang
berlebihan yang mampu memiliki rumah Joglo. Bahan untuk membuat rumah Joglo kayu umumnya
didominasi. Joglo pertama mayoritas dimiliki hanya oleh kaum bangsawan pernah digunakan untuk
menerima tamu kehormatan dari luar daerah yang membutuhkan area yang luas.

Keunikan Rumah Adat Jawa Timur Dilihat Dari Pembagian Ruangannya


1. Pendopo Yang Megah
Pendopo adalah bagian khas depan dari
rumah adat Jawa Timur dengan halaman yang
sangat luas. Pada bagian pendopo ini sering
dilakukan pertemuan dengan warga dalam rangka
musyawarah dan berdiskusi.
Pendopo juga digunakan untuk membahas acara
adat atau hajatan-hajatan tertentu. Dengan ini,
pendopo memiliki banyak fungsi sebagai wujud
terdepan rumah adat Jawa Timur.
Ciri khas dari pendopo ini adalah bangunannya yang sangat megah dengan ruangan yang sangat luas tanpa
sekat. Terdapat pilar-pilar penyangga di setiap sisi dan sudutnya.
Empat pilar utama penyangga yang ada di tengah dinamakan saka guru dan mewakili keempat arah mata
angin. Bentuk pendopo ini adalah bujur sangkar dengan bahan-bahan berkualitas tinggi yang digunakan
pada bagian atap.
2. Pringgitan Sebagai Lorong Masuk
Pringgitan terletak di antara pendopo dan omah
jero (rumah dalam) dan difungsikan sebagai jalan masuk
pada rumah bagian dalam. Wujud pringgitan terlihat seperti
serambi berbentuk tiga persegi.
Serambi-serambi tersebut menghadap ke arah pendopo
dan menjadi komponen tersendiri yang dapat menarik tamu
yang sedang berkunjung. Lorong ini juga kerap digunakan
sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.

3. Emperan Sebagai Teras Untuk Bersantai


Emperan merupakan sebuah teras di depan pendopo yang digunakan untuk bersantai-santai. Selain
itu, emperan juga difungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu dan kegiatannya lainnya. Biasanya
dalam emperan terdapat sepasang kursi kayu dan meja. Lebar emperan hanya sekitar 2 meter saja.
4. Omah Njero Yang Privatif
Omah njero atau dikatakan sebagai “rumah dalam”
adalah bagian ruangan khusus di bagian dalam sebagai
tempat untuk bersantai bagi keluarga. Sebutan selain omah
njero adalah omah mburi, dalam ageng, atau omah saja.
Karena sifatnya yang privatif, tidak semua tamu dibolehkan
masuk pada ruangan ini.
Omah njero juga dilengkapi dengan penyekat atau pembatas
antar ruangan berupa papan kayu, dan bukan terbuat dari
dinding. Penampilannya sangat unik karena ada banyak kursi
dan atribut-atribut lain yang menghiasi pada ruangan ini. Omah njero juga merupakan akses jalan masuk
menuju senthong (kamar khusus).
5. Senthong Kiwa Sebagai Wilayah Ruangan Sebelah Kiri
Nama senthong dapat diartikan lain sebagai kamar.
Sehingga demikian, senthong kiwa merupakan sebutan lain dari
wilayah beberapa ruangan yang berada di sebelah kiwa (kiri).
Senthong kiwa terdiri dari berbagai macam ruangan yang dapat
difungsikan sebagai kamar tidur, gudang, atau tempat
menyimpan persediaan makanan. Desain ruangan-ruangan
senthong kiwa lebih menarik, karena kebanyakan dibuat sebagai
kamar pribadi.

6. Senthong Tengah Sebagai Wilayah Sakral


Senthong tengah merupakan wilayah ruangan yang
terletak di tengah bagian dalam. Sebutan senthong tengah
juga dapat diartikan lain sebagai pedaringan, krobongan,
atau boma.
Letak ruangan ini berada jauh di dalam rumah dan berjarak
sangat jauh dari pringgitan. Senthong tengah digunakan
untuk menyimpan benda-benda berharga seperti keris,
emas, dan harta-harta berharga lainnya
Banyak orang yang menyebut senthong sebagai wilayah
sakral karena erat digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang pusaka. Ruangan yang dianggap
sakral ini biasanya diberi penerangan yang baik di siang hari maupun malam hari. Selain itu, juga diberi
bantal, kasur, cermin, serta sisir rambut yang dibuat dari bahan berupa tanduk.
7. Senthong Tengen Sebagai Wilayah Ruangan Sebelah Kanan
Sama halnya dengan senthong kiri, senthong kanan
juga merupakan wilayah ruangan yang terdiri atas berbagai
ruangan, namun terletak di sebelah kanan. Kamar-kamar di
senthong kanan juga dapat difungsikan sebagai kamar tidur,
gudang, atau tempat menyimpan persediaan makanan.
Selayaknya dengan senthong kiri, senthong kanan juga
didesain dengan sangat indah, karena juga banyak
difungsikan sebagai tempat istirahat.

8. Gandhok Sebagai Gudang


Gandhok dalam bahasa modernnya adalah gudang.
Ruangan ini terdiri dari dua bagian, yakni Gandok kiwo (kiri)
dan Gandok tengen (kanan) yang tersebar di belakang
rumah.
Gudang ini juga didesain dengan unsur Jawa yang sangat
melekat pada tiang dan atapnya. Gandhok pada umumnya
difungsikan sebagai gudang tempat menyimpan barang atau
lumbung tempat menyimpan bahan makanan.
Itulah keunikan rumah adat Jawa Timur Joglo sebagai rumah adat yang cukup terkenal. Hal-hal yang
menjadikan Rumah Joglo unik adalah bentuk bangunannya, bahan pembuatnya serta bagian-bagian rumah
yang sangat melekat unsur Kebudayaan Jawanya.
Rumah adat Jawa Timur Joglo memiliki nilai filosofis yang sudah sangat melekat dalam bangunannya. Selain
itu, Rumah Joglo juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kebudayaan Indonesia yang diwariskan secara
turun-temurun.
keterangan :
1. lawang pintu
2. pendopo
3. peringgitan
4. emperan
5. dalem
6. senthong
7. gandok
8. dapur
Rumah Tradisional Jawa Tengah

Sejarah Rumah Adat Jawa Tengah


Arsitektur dari bangunan Joglo biasanya khas sekali dengan arsitektur Jawa. Namun, sebenarnya
arsitektur rumah adat ini banyak dipengaruhi oleh budaya agama hindu. Apalagi hindu kuno dulu memiliki
banyak pengikut di Jawa Tengah.Ajaran keagamaan yang dianut masyarakat turut mempengaruhi kondisi
sosial masyarakat. Ternyata tidak hanya terbatas kondisi sosial. Namun juga, kondisi arsitektur bangunan
yang ada. Ini dapat anda amati dari bangunan yang ada.
Kebanyakan bangunan rumah adat yang masih asli hampir dapat disamakan dengan pura umat
Hindu yang berasal dari India. Tak heran mengingat berkembangnya agama hindu pada masa itu. Lambat-
laun ini mempengaruhi kondisi lingkungan.
Pengaruh ini terlihat tidak hanya dari paparan budaya yang menjadi ‘tradisi’ warga sekitar. Namun,
juga bisa dilihat dari bentuk rumah adat tersebut. Bentuknya yang seperti pura di India adalah warisan dari
penganut Hindu di masa terdahulu.
Semakin berjalannya waktu, ada banyak ‘aliran’ rumah adat yang berbeda satu sama lain. Ini
dianggap sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap perubahan. Jadi tidak perlu heran ketika
menemukan rumah Joglo yang berbeda dari yang lain.
Jenis Rumah Adat

1. Rumah Adat Joglo

Rumah adat Joglo dianggap sebagai salah satu rumah yang paling familiar dibanding tipe-tipe rumah
adat lainnya. Saat ini di Jawa Tengah juga masih dapat anda temui berbagai rumah adat Joglo yang masih
dirawat dengan baik.

Memang rumah Joglo terkenal dengan lambang kekayaan pemilik. Tak heran jika pemilik rumah Joglo bukan
sembarang orang. Teras yang luas serta tak bersekat menjadi ciri khas rumah ini. Selain itu ditengah ruangan
rumah Joglo juga disokong oleh empat tiang.

Tiang-tiang inilah yang biasanya disebut sebagai Soko Guru. Tak hanya menjadi tempat tinggal, namun
rumah Joglo juga dianggap sebagai lambang kekayaan. Karena memang rumah Joglo hanya mampu dimiliki
oleh orang-orang yang berlebihan finansial.
Struktur Rumah Adat
Joglo merupakan rumah tradisional Jawa khususnya Jawa Tengah, yang umumnya terbuat dari kayu
Jati. Istilah Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada mulanya
filosfis bentuk gunung tersebut diberi nama atap Tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap Joglo atau
Juglo (Tajug Loro = Dua Tajug ~ penggabungan dua Tajug). Dalam kehidupan manusia Jawa -gunung sering
dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang
berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau
tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.

Konstruksi atap Joglo ditopang oleh Soko Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah. Jumlah ini adalah
merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa
disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata
angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut
sebagai Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat.
denah

Potongan melintang
Potonan memanjang

1. Rumah Joglo memiliki struktur utama berupa struktur Rongrongan, yang terdiri dari :
1. Umpak
2. Soko Guru
3. Sunduk
4. Sunduk Kili
5. Pengeret
6. Blandar

Struktur Soko Guru

Istilah Guru digunakan untuk menunjukan bagian utama (inti) dari sebuah konstruksi Joglo. Soko
Guru menopang sebuah konfigurasi balok yang terdiri dari Blandar dan Pengeret yang disebut sebagai
Pamidhangan atau Midhangan.
Tiang atau Saka

Analisis kolom pada soko guru

Menurut naskah Kawruh Kalang, konfigurasi Blandar-Pengeret inilah yang menjadi patokan, acuan, rujukan
bagi perhitungan struktur keseluruhan Joglo. Semua ukuran dan dimensi struktur serta bangunan mengacu
pada ukuran dan dimensi Blandar-Pengeret tersebut, berdasarkan standar perhitungan tertentu yang disebut
sebagai petungan. Karena sifat keutamaan itulah maka konfigurasi Blandar-Pengeret diistilahkan sebagai
Guru. Sedangkan 4 buah tiang penopangnya disebut sebagai Soko Guru atau Sakaning Guru (tiang yang
menyangga Guru). Hal-hal tersebut di atas mencerminkan manusia Jawa yang dapat digolongkan sebagai
golongan masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya.
Yang meyakini kehidupan ini dipengaruhi kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (Jagad Alit atau
Mikrokosmos) dan kekuatan yang muncul dari luar dirinya atau alam sekitarnya (Jagad Gede atau
Makrokosmos). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk Rumah Joglo merupakan refleksi dari lingkungan
alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric , yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri
sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya.
Tumpangsari merupakan pengakhiran dari struktur Rongrongan ditopang oleh Beladar dan Pengeret.
Tumpangsari merupakan susunan balok menyerupai piramida, dan bisanya dihiasi oleh ukiran yang sangat
indah dan berfungsi menopang bagian langit-langit Joglo (pamindhangan).
Struktur Rongrongan Joglo

Tumpangsari merupakan susunan balok bertingkat pada bangunan Joglo.


Secara struktural berfungsi sebagai penopang atap Joglo. Sedangkan fungsi arsitektural -merupakan bagian
dari langit-langit utama struktur Rongrongan (Umpak-Soko Guru-Sunduk-Belandar). Tumpangsari ditopang
langsung oleh balok Blandar dan Pengeret.
Biasanya Tumpangsari dipenuhi oleh ukiran yang sangat indah dan merupakan center pointbagi interior
bangunan Joglo.

Struktur Tumpangsari dalam

Struktur Tumpangsari Luar


Tumpangsari terbagi menjadi 2 bagian yaitu Elar dan Elen, dijabarkan sebagai berikut :
 Elar
• Berada diposisi lingkar luar konfigurasi Blandar-Pengeret ;
• Berfungsi sebagai penopang usuk dan struktur atap lainnya ;
• Berjumlah ganjil yaitu 3 (tiga) atau 5 (lima).

 Elen
• Berada diposisi lingkar dalam konfigurasi Blandar-Pengeret;
• Berfungsi sebagai langit-langit struktur Rongrongan dan menopang papan penutup langit-langit
(Pamindhangan);
• Berjumlah ganjil yaitu 5 (lima), 7 (tujuh), atau 9 (sembilan).

Tumpangsari pada bangunan Joglo terbagi menjadi 2 grid persegi empat yang sama dan simetris, yang
dipisahkan dan ditopang tepat ditengah-tengah oleh balok Dadapeksi. Hubungan antara Soko Guru - Sunduk
-Sunduk Kili menggunakan sistim Purus. Sedangkan antara Soko Guru - Pengeret & Blandar menggunakan
sistim Cathokan.

Analisis Purus Pada Soko Guru

Sistim persendian antara Umpak dan Soko Guru dapat berfungsi untuk mengurangi getaran pada saat
bencana gempa bumi. Sedangkan sistem Purus & Canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap
berlaku sebagai bandul yang menstabilkan bangunan saat menerima gaya gempa (berlaku seperti
pendulum).
Analisis Sunduk Purus Pada Sunduk

Analisis Tumpang
Dudur

Posisi dan Penampang Usuk

Semua ini merupakan hasil karya manusia Jawa dalam mendesain bangunan Joglo melalui proses trial by
error mengingat letak geografis arsitektur bangunan Joglo yang berada di daerah Gempa III (gempa sedang).
Perluasan ruang dilakukan dengan penambahan struktur di sekeliling struktur Rongrongan tersebut -dengan
penambahan Soko Pengarak (tiang samping). Bangunan Joglo dapat berfungsi sebagai ruang pertemuan
(Pendopo) maupun rumah (Omah).
Pendopo merupakan bangunan yang bersifat publik sehingga bangunan Joglo hanya merupakan struktur
terbuka tanpa adanya dinding pelingkup. Sedangkan, Omah merupakan hunian yang memiliki ruang yang
bersekat-sekat. Biasanya Rumah Joglo memiliki dinding pelingkup konstruksi kayu, dan memiliki bukaan
berupa jendela dan pintu Gebyok.

2. Rumah Adat Panggang Pe


Rumah adat ini cukup terkenal di Jawa Tengah. Untuk
model rumah adat sendiri adalah rumah yang memiliki
empat hingga enam tiang. Pada bagian tiang yang sebelah
depan biasanya sengaja dibuat menjadi lebih pendek
dibanding tiang belakang. Sehingga dapat disebut jika
rumah adat ini cukup unik.
Umumnya rumah adat ini dimanfaatkan untuk mendirikan
kios maupun warung. Saat ini ada berbagai aliran dari
rumah adat Panggang Pe. Namun ada beberapa aliran
yang memiliki kesamaan.
Contoh rumah adat yang memiliki kesamaan adalah Cere Gancet, Empyak Satangkep, Gedhang Salirang,
serta Gedhang Setangkep. Keempat rumah adat ini sama-sama terdiri dari dua rumah Panggang Pe yang
sengaja disatukan.
3. Rumah Adat Tajug
Masing-masing rumah adat Jawa Tengah
memiliki filosofinya sendiri-sendiri. Bahkan dapat
dikatakan jika masing-masing memiliki fungsi
yang hampir selalu berbeda. Seperti rumah adat
Tajug yang satu ini.
Rumah adat tajug merupakan rumah adat yang
biasa digunakan untuk bangunan suci seperti
masjid serta bangunan-bangunan lain. Jika
penggunaannya untuk tujuan tempat tinggal tentu
tidak diperbolehkan.
Hal ini karena rumah adat Tajug dianggap sebagai tipe rumah yang disucikan. Jadi tidak sembarang
bangunan dapat menggunakan rumah adat jenis ini. Hanya bangunan-bangunan tertentu yang dinilai pas
dengan filosofinya.
Biasanya rumah adat ini memiliki atap yang berbentuk runcing. Bentuknya dapat dikatakan seperti bujur
sangkar. Untuk tipe sendiri tidak hanya ada satu tipe rumah adat Tajug. Sebaliknya total tipe rumah adat ini
mencapai hingga 13 tipe.
4. Rumah Adat Kampung
Memang dapat dikatakan jika rumah adat
Jawa Tengah umumnya menunjukkan strata sosial
pemiliknya. Hal ini seperti pada rumah adat Kampung.
Memang rumah adat yang satu ini hampir mirip rumah
Panggang Pe.
Tapi, jangan salah rumah adat ini memiliki cirinya
sendiri. Biasanya ciri yang dapat anda lihat adalah
pada bagian tiang. Ini karena tiang yang digunakan
biasanya adalah kelipatan empat. Lalu dimulai dari
angka delapan.
Masalah tiang itulah yang menjadi ciri khas dari rumah adat ini. Tentu berbeda dengan rumah adat Joglo
yang memiliki tiang berjumlah empat. Jadi ada pembeda yang jelas antara rumah adat Joglo dan Kampung
dari segi tiang penyangga.
Untuk rumah adat ini ada sekitar kurang lebih 13 tipe. Beberapa tipe yang ada seperti Pacul Gowang, Gajah
Ngombe, Kampung Pokok dan lain-lain. Rumah adat ini sendiri biasa dimiliki oleh kalangan orang biasa.
• Jenis- jenis Rumah Adat Kampung
 Kampung Pacul Gowang
Merupakan bentuk Bangunan Tradisional Jawa yang dikembangkan dari bangunan tradisional
model “Kampung pokok” dengan penggabungan bangunan lain yang berbentuk rumah panggangpe
atau rumah sederhana bentuk “emper”. Bagian tersebut disebut “serambi”. keseluruhan tiang atau
saka dapat berjumlah 6 buah,8 buah atau 12 buah serta kelipatannya. Bentuk bangunan ini
sederhana, tetapi dapat digunakan untuk bermacam-macam fungsi. Pada perkembangannya,
bentuk panggangpe ini dijadikan fungsi ruang Tamu, Teras santai atau dimodifikasi sebagai atap
garasi mobil yang sederhana dan hal lainnya. Semua bentuk tersebut berdasarkan pada prinsip
sederhana atapnya. Bentuk atap sederhana ini bertitik tolak terhadap iklim penghujan di daerah
tropis, khususnya pulau Jawa dan Pulau-pulau di daratan tropis lainnya. Emper ini dapat disekat
dengan dinding kayu atau sering disebut “gebyok” sehingga ruang didalam rumah menjadi lebih
luas.

 Kampung Srotong
Merupakan rumah tradisional yang berasal dari Jawa Tengah dan sekitarnya. Rumah
tradisional ini adalah perkembangan dari rumah tradisional bentuk “kampung pokok”. “Rumah
kampung srotong” ini memiliki 2 buah “emper”. Jadi dapat dikatakan bahwa rumah ini terbentuk dari
2 buah bangunan bentuk rumah tradisional “panggangpe” yang disatukan sehingga mempunyai dua
buah sisi atap yang sama bentuknya atau simetris. Pada titik tengah atap terdapat satu bubungan
atau “wuwung” yang berfungsi untuk menyangga struktur utama atap dan sudut kemiringan atap
serta mempunyai dua buah tutup keong pada sisi penutup samping kiri dan kanan atapnya.
Keseluruhan konstruksi menggunakan bahan dasar kayu dengan struktur serat kuat seperti kayu
jati, kayu sono keling, kayu nangka dan jenis lainnya. Pondasi utama biasanya hanya menggunakan
batu yang sering disebut sebagai umpak. Struktur keseluruhan tiang tidak bersifat paten, tetapi dapat
bergerak, karena menggunakan sistim konstruksi purus sebagai pengunci struktur tiang yang masuk
kedalam umpak sebagai titik beban yang terpusatkan. Tiang saka pada bangunan ini
keseluruhannya dapat berjumlah 8 buah, 12 buah, 16 buah dan seterusnya. Gambar diatas adalah
bagunan kampung srotong yang menggunakan tiang saka sebanyak 12 buah.

 Kampung Dara Gepak


Rumah Kampung Dara Gepak merupakan bangunan tradisional yang berasal dari Jawa Tengah
dan sekitarnya. Bentuk bangunan ini adalah varian dari bentuk dasar “Rumah Kampung Pokok”.
Rumah kampung ini memiliki ciri dan bentuk yang harmonis pada fasade dan struktur atapnya.
Disebut sebagai “Kampung dara gepak” karena penambahan struktur “emper” mengelilingi
bangunannya. Penambahan emper membuat rumah memiliki ukuran yang lebih besar dan dapat
dipergunakan untuk berbagai macam fungsi. Tiang atau saka yang dipergunakan mempunyai jumlah
16 buah, 20 buah, 24 buah dan seterusnya. Jumlah ini dapat ditambah sesuai dengan besaran ruang
yang diinginkan. Rumah kampung ini mempunyai dua buah tutup keong pada sisi kiri dan kanan
struktur atapnya. Keseluruhan struktur rangka pembentuk rumah terbuat dari kayu yang mempunyai
struktur serat kuat seperti kayu jati, kayu sonokeling, kayu nangka dan kayu jawa lainnya. Jenis
penutup atapnya biasanya menggunakan jerami kering, Ijuk atau “genteng kripik”, yaitu genteng
yang terbuat dari tanah liat tetapi sangat tipis. Terkadang struktur rangka usuk dan reng
menggunakan bamboo. Semua bahan konstruksi pada pembuatan rumah ini tergantung pada
tingkat perekonomian masyarakatnya sehingga bahan yang dipakai mempunyai ragam jenis. Emper
depan biasanya dipergunakan sebagai tempat duduk-duduk dan emper belakang untuk menaruh
barang-barang yang dipergunakan untuk bertani. Karena penambahan emper yang mengelilingi
keseluruhan bangunan pokok, maka struktur utama terletak di tengah dan lebih tinggi dari emper.
Hal ini membuat bangunan menjadi lebih tinggi pada posisi tengah dalam ruang sehingga sirkulasi
udara didalamnya menjadi lebih sehat dan hawa panas dapat keluar dari bukaan tutup keong sisi
kanan dan kiri atap.

 Kampung Klabang Nyander


Rumah tradisional ini merupakan varian dari bentuk bangunan Rumah Kampung Pokok yang
mempunyai dua buah tutup keong pada sisi kiri dan kanan atapnya. Mempunyai balok yang sering
disebut sebagai “pengeret” sebanyak 4 buah atau 6 buah. Terdapat dua atap pada kedua belah
sisinya, hal tersebut yang membuat rumah tradisional ini disebut sebagai klabang nyander.
Perubahan bentuk atap yang sederhana menjadi lebih tinggi dan berundak pada posisi wuwung
menghasilkan bentuk interior ruang tengahnya menjadi lebih maksimal geometri ketinggiannya.
Perubahan ini membuat sirkulasi penghawaan didalam ruang cukup baik. Penambahan bukaan
jendela mungkin dapat disesuaikan dengan ruang dan fungsinya. Keseluruhan konstruksi rumah ini
menggunakan kayu yang kuat seperti kayu jati, kayu nangka, kayu kelapa “glugu”, ataupun bambu.

 Kampung Gajah Njerum


Merupakan bangunan tradisional jawa varian dari model rumah tradisional kampung pokok. Rumah
tradisional ini seperti rumah yang terpotong jika dilihat dari penampilan bangunannya, sebab hanya
memiliki 3 buah emper sebagai ciri khas yang menarik perhatiannya. Dua buah emper terletak pada
bagian muka dan belakang rumah sedangkan satu buah emper terletak pada satu sisinya saja, jadi
terlihat ganjil secara structural geometri bentuk bangunan serta peruangan pada denah didalamnya.
Bangunan ini menggunakan 20 tiang saka atau 24 tiang saka dan seterusnya yang disesuaikan
dengan besaran ruang yang diinginkan. Terdapat dua buah “tutup keong” pada penutup samping
atapnya. Keganjilan bangunan ini mungkin akan indah jika ada bangunan yang sama disampingnya,
jadi metode konsep kopel pada pembangunan property dapat mengacu pada bentuk dasar
bangunan yang sederhana ini.

 Kampung Cere Gancet


Merupakan bangunan tradisional jawa yang berasal dari bentuk dasar rumah tradisional
kampung pokok. Bangunan ini adalah perkembangan dari rumah tradisional kampung jenis Pacul
Gowang. Yaitu dua buah bangunan bentuk kampung Pacul Gowang yang disatukan pada bagian
yang tidak mempunyai tambahan emper. Jadi pada bangunan jenis Kampung “Cere Gancet” ini
mempunyai dua buah wuwung yang sama ketinggiannya. Bangunan ini mempunyai 4 buah buah
“Tutup Keong” pada bagian atapnya dan memiliki talang air pada potongan tengah bangunan atap
gentengnya sebagai sirkulasi sanitasi air hujan. Bentuk bangunan ini cenderung besar dan berfungsi
untuk keluarga besar dengan status sosial memiliki perekonomian yang baik sebab memerlukan
bahan bangunan yang cukup banyak. Menggunakan 20,24 saka atau tiang dan seterusnya sesuai
dengan keperluan besaran ruang. Dibawah atap berunjung terdapat balok penanggap yang
berfungsi mengikat rigitifitas struktur agar kuat menahan beban dua buah wuwungan diatasnya serta
emper-nya. Penggunaan dua buah wuwung dan 4 buah tutup keong menjadikan rumah tradisional
ini terlihat gagah walaupun bentuknya sederhana jika dilihat dari sisi visual perspektif.

 Kampung Semar Pinondhong


Rumah tradisional ini mempunyai identitas yang berbeda dengan rumah model kampung
lainnya. Bangunan rumah ini hanya menggunakan saka yang berjajar di tengah menurut panjangnya
bangunan. Jumlah saka yang dipergunakan dapat berjumlah 4 buah, 6 buah atau 8 buah dan
seterusnya sesuai dengan panjang bangunan. Bangunan ini menggunakan dua buah sisi atap yang
ditopang oleh balok melintang sebagai penyangga usuk dan reng serta penutup atapnya.
Dipergunakan Konsol atau balok yang dipasang siku sebagai penyangga balok melintang agar
struktur atap dapat stabil dan seimbang. Bangunan ini mempunyai dua buah “tutup keong’ dan satu
buah wuwung. Jenis bangunan ini sering diterapkan sampai saat ini sebagai tempat berteduh di
taman-taman atau halte bis atau pelindung pintu gerbang utama rumah, tetapi bentuknya di
sesuaikan dengan besaran yang diperlukan. Keseluruhan konstruksi tetap menggunakan kayu keras
dan kuat sedangkan pada perkembangannya digunakan struktur dari konstruksi logam yang lebih
disederhanakan lagi bentukannya.

 Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu


Rumah tradisional ini merupakan varian dari “rumah kampung pokok”, mempunyai bentuk
bangunan yang menyerupai rumah tradisional model kampung lambang teplok, tetapi rumah ini
memiliki emper yang mengelilingi struktur utama sedangkan pada rumah kampung lambang teplok
hanya mempunyai 2 buah emper pada bagian depan dan belakang rumah saja. Rumah kampung
lambang teplok semar tinandhu ini juga menggunakan regangan pada atapnya yaitu bagian rangka
atap “brunjung” dan bagian atap bawah sebagai “penanggap”. Rumah kampung ini mempunyai dua
buah tutup keong pada sisi kanan dan kiri atap “brunjung”-nya. Regangan pada bagian atap
berfungsi memperbaiki sirkulasi penghawaan didalam ruang dan menambahkan pencahayaan pada
ruang dalamnya. Keseluruhan konstruksi tetap menggunakan bahan dasar kayu jawa yang keras
dan kuat seperti kayu jati (teak wood), kayu nangka, kayu sonokeling serta jenis kayu lainnya. Pada
bagian lantai masih menggunakan tanah yang dipadatkan dan sangat keras, tetapi pada
perkembangannya sudah menggunakan batu bata ekspos yang ditata rapi seperti keramik.
Bangunan ini tidak menggunakan pondasi batu kali atau pondasi rolag, jadi hanya pondasi setempat
saja pada tiang-tiang kolom. Pondasi hanya menggunakan umpak yang kuat dan dapat terbuat dari
kayu atau batu yang diukir dan diberi lobang sebagai dudukan purus tiang saka atau kolom kayu.
Tidak terdapat pengikat antar kolom pada bagian bawah pondasi didalam tanah seperti sloof yang
kebanyakan terdapat pada bangunan-bangunan model saat ini. Jika diamati, pengikat antar kolom
hanya menggunakan rangka dan dinding gebyok yang terbuat dari kayu saja sehingga bangunan
tersebut mempunyai rigitifitas yang baik secara gravitasi konstruksi.

 Rumah Kampung Lambang Teplok


Rumah Kampung yang memiliki renggangan atau perbedaan ketinggian antara atap Brunjung
dengan atap Penanggapnya. Biasanya digunakan untuk gudang genteng, rumah tobong genteng
atau kapur.

4. Rumah Adat Limasan

Disebut rumah adat Limasan karena atapnya yang berbentuk Limas. Atap dari rumah adat ini memiliki
empat sisi. Rumah ini cukup sering ditemukan di Jawa.
Seperti rumah-rumah adat yang lain rumah adat ini juga memiliki banyak tipe. Mulai dari Gajah Mungkur,
Klabang Nyander, Lambang Sari dan masih banyak lagi. Setiap tipe memiliki bentuk yang agak berbeda
sesuai dengan tipe rumah adatnya.
Sama seperti rumah adat Kampung, rumah adat yang satu ini juga dimiliki oleh rakyat biasa. Cara mengenali
rumah adat ini juga bukan dari jumlah penyangga seperti pada rumah adat Kampung. Namun dari bentuk
atap rumah yang berbentuk limas.
Rumah Tradisional Jawa Barat
Jawa Barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang letaknya di bagian barat sendiri dari
pulau Jawa. Propinsi ini memiliki kebudayaan yang sangat unik jika dibandingkan dengan kebudayaan di
daerah lain. Salah satunya adalah bentuk rumah adat Jawa Barat.
Rumah adat di sini mengandung simbol kepribadian mereka. Selain itu tanah di daerah Jawa Barat
ini terkenal sangat indah, subur dan makmur. Masyarakat di daerah Jawa Barat ini lebih terkenal dengan
istilah Urang Sunda.
Masyarakat Sunda terkenal sangat ramah, bersahaja, sopan serta bersifat optimis. Hal ini patut
untuk dijadikan contoh sebagai salah satu kebudayaan timur yang sangat bagus. Rumah adatnya sendiri
memiliki nilai filosofi yang tinggi terutama dalam segi desain dan perpaduan warnanya.

Bagian-Bagian Rumah Adat Jawa Barat


 Pondasi
Bentuk pondasi rumah tradisional Jawa Barat
mirip dengan pondasi umpak yang dipakai untuk rumah
– rumah tradisional jaman sekarang. Perbedaan yang
dapat dilihat dari pondasi rumah tradisional Jawa Barat
dengan pondasi umpak yang sering dipakai sekarang
adalah bentuk pondas yang unik yaitu kolom bangunan
hanya diletakan di atas sebuah batu datar yang sudah
terbentuk di alam. Tujuan pembuatan pondasi seperti ini
adalah untuk menghindari keretakan atau pada kolom
bangunan pada saat terjadi gempa, sedangkan bentuk
lantai panggung bertujuan untuk memungkinkan
sirkulasi udara dari bawah lantai dapat berjalan baik,
sehingga kemungkinan terjadi kelembaban pada lantai
bangunan dapat dihindari.

Pondasi Tradisional
 Lantai
Lantai rumah tradisional Jawa Barat terbuat dari pelupuh (bambu yang sudah dibelah). Alasan
pembuatan lantai dari pelupuh adalah seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu agar udara yang melewati
kolong rumah dapat masuk ke ruang – ruang, selain itu dengan mengunakan lantai bambu, tingkat
kelembaban di dalam rumah jugah akan berkurang, mengingat ketinggian lantai rumah tradisional Sunda
tidak seperti rumah tradisional lain pada umumnya yaitu berkisar antara 50 – 60 meter dari permukaan tanah.

Struktur Lantai Penahan Lantai

Tinggi Lantai dari Muka Tanah


Detail Struktur Lantai

 Dinding, Pintu dan Jendela

Dinding, pintu, dan jendela memungkinkan udara dapat melewatinya. Dinding bangunan terbuat dari
anyaman bambu yang dapat dilewati udara, jendela yang selalu terbuka dan hanya ditutupi kisi-kisi bambu
maka udara dapat bebas masuk dalam ruangan, sehingga suhu didalam ruangan tidak panas.
Dinding yang ringan terbuat dari anyaman bambu yang dapat menyerap dan mencegah terjadinya panas
akibat radiasi matahari sore hari. Selain itu material dinding yang terbuat dari anyaman bambu
memungkinkan udara untuk masuk ke dalam rumah.

Material Dinding Detail Konstruksi Dinding

Selain itu, ada juga pintu dan jendela yang mempunyai daun pintu dan daun jendela tunggal.
Materialnya terbuat dari kisi – kisi bambu yang dapat ditembus oleh udara, hal ini membuat suasana di dalam
rumah tetap nyaman.

Jendela dan Pintu

 Plafon
Plafon selain sebagai penghias langit – langit rumah juga
berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan barang. Kerangka plafon
terbuat dari susunan bambu bulat, dan di atasnya diletakan pelupuh
sebagai bahan penutup plafon.
 Atap
Atap sebagai mahkota dari sebuah bangunan mempunyai fungsi untuk melindungi penghuni yang
berada di dalamnya. Atap dari rumah tradisional Jawa Barat kebanyakan terbuat dari ijuk, alasan pemilihan
ijuk sebagai material atap karena ijuk merupakan material yang dapat menyerap panas dengan baik
sehingga tidak menimbulkan suasana gerah di dalam rumah. Tritisan pada sisi depan rumah mempunyai
panjang 2 meter. Hal ini membuat dinding bangunan tidak langsung terkena cahaya matahari sehingga
dinding sebagai penyekat tidak panas dan ruang di dalamnya tetap dingin. Selain itu ada juga sisi yang
disebut sebagai bidang atap terbuat dari anyaman bambu dan berfungsi sebagai ventilasi atap.

Bagian Atap

 Letak dan Orientasi


Rumah tradisional sunda mempunyai tata letak yang sangat rapi hal ini merupakan pengaruh dari
kepercayaan masyarakat bahhwa rumah tidak boleh menghadap ke bumi (rumah) adat, dengan demikian
orientasi dari rumah tradisional sunda selau mengarah ke timur dan barat.
Pola Kampung Tradisional
Keterangan Denah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo :
1. Rumah Kuncen
2. Rumah Adat
3. Rumah Adat
4. Rumah Adat
5. Rumah Adat
6. Rumah Adat
7. Mesjid Kampung Pulo
Jenis-Jenis Rumah

1. Imah Badak Heuay


Rumah adat Jawa Barat yang satu ini memiliki
arti/makna badak yang sedang menguap. Ciri khusus dari
rumah adat ini terletak pada bagian atapnya. Sedangkan
desainnya, hampir mirip dengan rumah Tagog Anjing. Pada
bagian atap belakangnya melewati tepian, sehingga kalau
diperhatikan dengan sungguh-sungguh rumah ini mirip
sekali dengan badak yang menguap.
Rumah adat Badak Heuay ini masih banyak dijumpai
didaerah masyarakat Sukabumi. Bahkan sampai sekarang
rumah dengan desain ini masih dipakai sebagai rumah
hunian masyarakat sini. Jika anda berkunjung ke daerah Sukabumi terutama didaerah pedesaan rumah adat
ini akan banyak dijumpai.
2. Rumah Togog Anjing
Rumah Togog Anjing mempunyai arti sebagai
anjing yang sedang duduk. Desain rumah adat Jawa Barat
yang satu ini menyerupai bentuk anjing pada saat duduk.
Atapnya terdiri dari dua atap yang menyatu dengan bentuk
segitiga.
Sedangkan bagian atap yang satunya lagi menyambung jadi
satu pada bagian depan. Atap yang bentuknya
menyambung tersebut dikenal dengan istilah soronday.
Fungsi dari atap ini umumnya sebagai peneduh bagian teras depan sehingga memberi kesan yang sejuk.
Desain rumah seperti ini merupakan ciri khas rumah masyarakat Garut.
Desain atap dari rumah Togog Anjing ini memberi kesan klasik dan sederhana sekali. Ada beberapa jenis
bungalow, hotel dan tempat-tempat istirahat disekitar puncak yang juga memakai desain atap rumah ini.
3. Imah Julang Ngapak
Dalam bahasa Indonesia Imah Julang Ngapak mempunyai
makna sebagai burung yang lagi mengepakkan sayapnya.
Rumah adat Jawa Barat yang satu ini desain atapnya
tampak agak melebar disetiap sisinya.
Selain itu atap rumah ini memiliki kemiripan layaknya seekor
burung yang lagi mengepakkan sayapnya. Sebagai
pelengkap biasanya ada cagak gunting (capit hurang) pada
bagian bubungannya.
Atap rumah Julang Ngapak ini terbuat dari ijuk, bahan rumbia atau alang-alang yang diikat jadi satu dengan
kerangka atap bambu. Meskipun berbahan dasar rumbia dan ijuk atap ini kelihatan sangat bagus dan tidak
bocor.

4. Imah Jolopong
Jenis rumah adat yang satu ini sangat populer
di Jawa Barat. Desain rumah inilah yang paling banyak
digunakan di masyarakat Jawa Barat dan sekitarnya.
Sesuai dengan namanya yang berarti “terkulai” .
Rumah adat Jawa Barat ini memiliki atap yang nampak
tergolek lurus. Bentuk rumah ini paling banyak diminati
karena desainnya lebih mudah dibuat dan tentu saja
lebih hemat material.
Bagian atap dari Imah Jolopong ini terdapat dua bagian
dimana kalau kedua ujungnya ditarik akan terbentuk
segitiga sama kaki. Desain dari rumah ini merupakan ciri
khusus rumah adat di sini dan lebih terkenal dengan istilah suhunan. Rumah adat Jolopong ini paling banyak
digunakan oleh masyarakat didaerah Garut.
5. Imah Parahu Kumureb
Imah Parahu Kumureb merupakan rumah adat
Jawa Barat yang lebih dikenal dengan istilah perahu
tengkurep. Desain dari rumah adat ini terdiri dari empat
bagian utama dengan bagian belakang dan depan
berbentuk trapesium.
Sedangkan dua bagian disisi kiri kanan bentuknya
segitiga sama sisi. Di daerah Palembang rumah adat
seperti ini lebih terkenal dengan desain atap Limasan.
Sesuai sekali dengan namanya rumah adat yang satu
ini tampak seperti perahu yang terbalik. Desain atap dari rumah adat ini mudah sekali bocor. Hal ini
dikarenakan terlalu banyaknya sambungan pada bagian atapnya.
Sehingga masyarakat Sunda jarang yang memakai desain rumah adat ini. Namun di daerah Ciamis ada
beberapa masyarakat yang masih menggunakan desain atap ini.
6. Imah Capit Gunting
Merupakan satu nama susuhunan (bentuk atap)
yang ada pada rumah adat masyarakat Sunda jaman
dulu. Dalam bahasa lain istilah susuhunan ini sama
dengan undagi yang berarti tata arsitektur. Capit Gunting
sendiri tersusun dari dua kata yakni Capit Dan Gunting.
Dalam Bahasa Sunda Capit berarti mengambil sesuatu
barang dengan dijepitkan.Sedangkan Gunting sama
artinya dengan pisau yang menyilang.
Sedangkan bentuk rumah adat Jawa Barat yang satu ini
bangunan atapnya sangat berbeda dengan yang biasanya. Atap (suhunan) bagian ujung depan atas dan
belakang atasnya menggunakan bambu (kayu). Kayu ini bentuknya menyilang diatas sehingga lebih mirip
dengan sebuah gunting pakaian.
7. Rumah Adat Kasepuhan
Rumah adat Kasepuhan ini lebih terkenal dengan
Keraton Kasepuhan. Untuk rumah adat Jawa Barat
yang satu ini berbentuk keraton. Keraton ini didirikan
oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun 1529. Beliau ini
putra Prabu Siliwangi yang berasal dari Kerajaan
Padjajaran.
Keraton ini merupakan perluasan Keraton Pakungwati
yang sudah ada sebelumnya. Beberapa bagian yang
terdapat dalam Keraton Kasepuhan:
a. Pintu Gerbang Utama
Terdapat dua buah pintu gerbang yang
pertama letaknya di sebelah selatan sedangkan yang
kedua di sebelah utara kompleks. Yang sebelah
selatan dinamakan LawangSanga (pintu sembilan).
Sedangkan yang gerbang utara dinamakan Kreteg
Pangrawit (berupa jembatan).
b. Bangunan Pancaratna
Fungsi utama dari bangunan Pancaratna ini
adalah sebagai tempat seba (tempat menghadap)
pembesar desa atau kampung. Paseban ini nantinya
akan diterima oleh seorang Demang atau Wedana.
Letak bangunan ini disebelah kiri depan kompleks
dengan arah barat.
c. Bangunan Pangrawit
Bangunan Pangrawit letaknya di sebelah kiri depan kompleks dengan posisi menghadap kearah
utara. Sedangkan nama Pancaniti sendiri berasal dua kata yaitu panca yang berarti jalan dan niti
yang berarti raja (atasan).
Fungsi utama bangunan ini sebagai tempat istirahat, tempat perwira melatih prajurit, dan sebagai
tempat pengadilan.
Dari sekian macam bentuk rumah adat Jawa Barat yang telah dijelaskan diatas pasti memiliki
keunikan dan ciri khas tersendiri. Keunikan dan ciri khas tersebut merupakan simbol atau cerminan
dari kepribadian masyarakat daerah asal.
Hal ini menandakan kalau tanah air Indonesia kaya akan beragam jenis budaya dan kekayaan
nusantara. Kekayaan budaya ini hendaknya kita lestarikan dan merupakan alat pemersatu bangsa.

Anda mungkin juga menyukai