Anda di halaman 1dari 3

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gedung Pancasila


3.1.1 Sejarah Berdirinya Gedung Pancasila
Gedung Pancasila di kompleks Gedung Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
di Jalan Pejambon mempunyai sejarah panjang dan penting bagi terwujudnya kemerdekaan
Republik Indonesia. Gedung Pancasila dirancang oleh arsitek J.Tromp pada tahun 1830.
Awalnya, tujuan pembangunan gedung tersebut adalah untuk dijadikan tinggal komandan
tentara Kerajaan Belanda.
Sebelum Gedung Pancasila atau Gedung Volksraad ini dibangun, komandan tentara
kerajaan Belanda tersebut tinggal di tempat yang sekarang menjadi gereja Katredal. Namun,
pada 5 Desember 1828 rumah tersebut dijual ke yayasan gereja Katolik dengan harga 20.000
gulden. Setelah terjual, rumah itu akhirnya dibongkar oleh pihak gereja dan dibangunlah
sebuah gereja yang megah. Namun, karena sebab yang belum diketahui, pada 9 April 1880
gedung tersebut roboh. Akhirnya, dibangunlah gereja katredal untuk menggantikan gereja
yang roboh tersebut. Sepuluh tahun kemudian, gereja ini diresmikan. Dijualnya rumah
tersebut membuat sang komandan membutuhkan rumah baru. Dengan alasan tersebut,
maka diputuskanlah untuk mendirikan sebuah rumah untuknya di atas taman yang dikenal
dengan nama Taman Hertog. Nama taman tersebut diambil dari nama seorang Panglima
Belanda periode 1848-1851 yang bernama Hertog van Saksen Weimar. Taman tersebut
nantinya akan kembali berganti nama menjadi taman Pejambon.
Gedung ini menjadi tempat kediaman komandan Belanda sebelum dirinya dipindah
tugaskan ke Bandung pada tahun 1916. Karena dinilai cukup memadai maka gedung ini pada
akhirnya dialih fungsikan menjadi gedung sidang bagi Dewan Rakyat Belanda ( Volksraad).
Akhirnya, pada Mei tahun 1918 Gedung Volksraad ini diresmikan oleh Gubernur Jendral
Limburg Stirum. Apabila kita melihat dalam katalog pameran acara peringatan hari ulang
tahun ke -300 Batavia maka akan ditemukan sebuah catatan bahwa Volksraad ini juga pernah
dijadikan sebagai tempat pertemuan anggota Dewan Hindia-Belanda (Raad van Indie).
Selanjutnya, pemerintah Hindia-Belanda juga membangun gedung baru untuk Raad van Indie
yang terletak tepat di sebelah barat gedung Volksraad yaitu di jalan Pejambon no. 2.
Setiap tahunnya, di gedung ini selalu diadakan dua kali sidang. Sidang pertama selalu
berlangsung pada 15 Mei sedangkan sidang keduanya dilakukan pada hari Selasa di minggu
ketiga bulan Oktober. Untuk waktu yang dibutuhkan bagi sidang tersebut untuk berjalan
adalah empat setengah bulan. Dalam jangka waktu 14 tahun sejak dibuatnya tahun 1927,
Volksraad hanya bisa mengajukan 6 rancangan, dan hanya ada 3 rancangan yang akan
diterima oleh pemerintah Belanda kala itu. Menurut tiga anggota Volksraad sepanjang
berdirinya Volksraad tersebut hampir tidak ada hasil yang mereka bisa capai.
Sejarah berdirinya Gedung Pancasila memasuki babak baru ketika Cho Sang-in dibuat
sebagai badan yang bertugas untuk memberikan masukan-masukan serta pertimbangan
kepada para pemerintah. Selain itu, mereka juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh pemerintah terkait dengan soal politik. Total jumlah anggota dari badan
ini adalah 43 orang, 23 orang diantaranya adalah orang pilihan, sedangkan 18 lagi adalah
utusan dari setiap keresidenan dan Batavia serta ada 2 orang lain yang merupakan utusan dari
Yogyakarta dan Surakarta.
Kembali dipergunakannya gedung tersebut yang dijadikan sebagai tempat sidang bagi
badan pertimbangan yang dibuat oleh Jepang membuat nama gedung tersebut lebih dikenal
sebagai Gedung Cho Sangi In. Pada tanggal 16 hingga 20 Oktoer 1943, dibentuklah 4 Komisi
yang bertugas untuk menjawab pertanyaan dari Saikou Shikikan untuk memenangkan perang
Pasifik.
Babak akhir sejarah berdirinya gedung Pancasila terjadi ketika Jepang mengalami
kekalahan dalam perang Pasifik. Kekalahan tersebut memaksa mereka akhirnya harus
membentuk Dokuritsu Junbi Chosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia atau BPUPKI). Sidang-sidang yang dilakukan oleh BPUPKI ini sering berlangsung di
Gedung Volksraad. Pada tanggal 1 Juni 1945, kinerja dari BPUPKI ini menuai kritikan dari
Soekarno. Ia menganggap BPUKI tidak ada niatan untuk merancang kemerdekaan Indonesia.
Sedang mendapatkan kritikan tersebut, barulah BPUPKI mulai bekerja kerasa dan pada
akhirnya mereka melakukan sidang mengenai dasar Negera Indonesia. Karena dalam rapat
tersebut menghasilkan bentuk awal dari Pancasila, maka gedung tersebut berubah menjadi
Gedung Pancasila.
Gedung dengan delapan pilar penyangga di muka beranda itu berdiri anggun
menghadap Jalan Pejambon, Jakarta Pusat. Warna dindingnya putih bersih. Sebuah patung
garuda berwarna emas terpatri di atapnya, menegaskan nama gedung tersebut: Gedung
Pancasila.
Bukan tanpa alasan gedung yang kini menjadi bagian Kementerian Luar Negeri ini
diberi nama Gedung Pancasila. Persis 72 tahun lalu, 1 Juni 1945, di dalam salah satu ruangan
gedung inilah Soekarno berpidato menawarkan gagasan mengenai dasar negara Indonesia
merdeka. Di hadapan sekitar 65 anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia saat itu, untuk kali pertama Soekarno menawarkan istilah
Pancasila sebagai dasar negara.

3.1.2 Gaya dan Elemen Arsitektur


Pada abad ke-19 khususnya di Batavia, sedang marak pembangunan dengan
gaya “Empire” (The Dutch Colonial Style) dan gaya Neo Klasik yang diadopsi dari gaya yang
berkembang di Eropa pada saat itu (Sachari, 2007).
Gaya Empire yang berkembang di Hindia Belanda tersebut diakibatkan karena
terisolirnya wilayah jajahan ini akibat ‘Tanam Paksa’ yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial, disamping jauhnya jarak benua Eropa dan wilayah Hindia Belanda. Gaya ini
disinyalir sebagai gaya ‘alternatif’ yang dikembangkan oleh Gubernur Jenderal H.W
Daendels (1808-1811), bekas jenderal angkatan Napoleon yang memegang pemerintahan
di Hindia Belanda, sehingga gaya arsitekturnya pun cenderung mengadopsi gaya
arsitektur yang berkembang di Perancis (Sachari, 2007).
Gedung Pancasila sebagai salah satu gedung yang dibangun pada tahun 1830an
menerapkan gaya Neo Klasik yang cukup popular dengan karakteristiknya yang megah
dan mewah. Hal tersebut dibuktikan dengan fisik bangunan yang cukup menonjol antara
lain (Handayani, 2010): bentuk atap datar berbahan beton tertutup oleh perpanjangan
dinding facade menutup hingga mencapai lisplang beton dengan garis horizontal di tepi
atas dan bawah yang menonjol; dinding tebal dengan ukuran lebar satu batu ± 30 cm;
bentuk kolom di teras depan bulat dengan pola garis-garis, menyangga lisplang dengan
ornamen kotak tipis di bawahnya; pintu masuk di bagian dalam setelah melewati teras
depan terbuat dari kayu jati kombinasi kaca bening untuk memasukkan cahaya, terdiri
atas dua buah pintu yang membuka ke teras; serta jendela di ruang samping ruang utama
terbuat dari kayu jati kombinasi krepyak miring, yang di atasnya terdapat teritis dan
lubang ventilasi.

Arsitektur neo klasik adalah gaya arsitektur yang dihasilkan oleh gerakan neo klasik yang dimulai
pada pertengahan abad ke 18. Gaya ini mengadopsi gaya dari arsitektur klasik kuno, prinsip -prinsip
Vitruvian, dan karya arsitek Italia Andrea Palladio. Di Eropa tengah dan timur, gaya ini biasanya
disebut sebagai Klasisisme (dalam Bahasa Jerman Klassizismus).

3.2 Peralihan Fungsi Bangunan dengan Prinsip Maintain Identity


3.3

Anda mungkin juga menyukai