Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal

ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu

beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara kesatuan

republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil.

Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300

suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga

menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen

Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan .

Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara berkembang,

kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, asset khas

daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya.

Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya,

sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah sang

pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan.

Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah sebagai salah satu

kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan Tengah yangpada

mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat Kaharingan. Berbagaimacam

prosesi yang terjadi pada acara tersebut, diantaranya: Ngayau (penggalkepala), ritual

Tabuh (tidak tidur selama dua malam dengan diselingi minum.

Dari uraian di atas penulis tertarik untuk membuat makalah yang terkait lebih dengan

mengambil judul Kebudayaan Suku Dayak.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengacu pada judul yang ada,

rumusan masalah dalam penulisan makalah adalah ini sebagai berikut :

1. Bagaimana kearifan lokal yang terdapat dalam suku Dayak, Kalimantan ?

2. Bagaimana penerapan etnobotani yang terdaapat dalam suku Dayak, Kalimantan ?

C. Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai penambah informasi

pengetahuan mengenai kearifan lokal serta pemanfaatan tumbuhan lokal yang

dijadikan sebagai tanaman obat di suku Dayak, Kalimantan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kearifan Lokal Suku Dayak

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya untuk

mewujudkan dan meningkatkan peri kehidupan dan kualitas hidup makhluk hidup

secara alami dan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan hidup bagi individu atau

sekelompok masyarakat secara nasional berpegang pada peraturan yang telah

disepakati bersama. Peraturan tersebut dikemas dengan berbagai cara, melalui

undang-undang yang harus difahami dan ditaati bersama.

Menurut Siombo (2011), Pemerintah Indonesia telah menetapkan peraturan

tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam bentuk Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah secara nasional. Pelaksanaan Undang-Undang dan

Peraturan Pemerintah di lapangan didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif yang

bernuansa melindungi dan melestarikan lingkungan hidup yang dilakukan secara

individual atau kelompok masyarakat di daerah tertentu yang dikenal sebagai

kearifan lokal dan menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam UU No. 32

Tahun 2009 bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan

hukum dimana seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan beberapa hal diantaranya: (1)

keragaman karakter dan fungsi ekologis; (2) sebaran penduduk; (3) sebaran potensi
sumber daya alam; (4) kearifan lokal; (5) aspirasi masyarakat; dan (6) perubahan

iklim. Kearifan lokal yang terdapat di suku Dayak , antara lain sebagai berikut;

1. Arsitektur Rumah

Rumah tradisional dayak dikenal dengan sebutan Betang. Bentuk Bentang tiap suku
dayak umumnya
tidak jauh berbeda. Betang didirikan menghadap ke arah sungai, dengan bentuk
dasar bangunan
berupa empat persegi panjang, panjang bangunan 100200m dengan lebar 2025 m,
bentuk
atap pelana, bentuk bangunan rumah panggung dengan tinggi 4 m, akses untuk naik
ke atas
menggunakan tangga, yang dapat di naik-turunkan, fungsinya adalah untuk
menghindari serangan
musuh dan binatang buas.

Secara filosofis sebutan Betang juga dapat diartikan sebagai suatu perwujudan budaya
hidup bersama
dalam satu atap, kegotong royongan, saling pengertian dalam naungan hukum adat yang
jelas.
Ini adalah suatu gambaran yang nyata dan logis dari suatu peradaban tradisional dimana
pada waktu
itu keadaan lingkungan fisik yang masih ganas dan buas. Kebersamaan adalah suatu
perwujudan kekuatan
yang memungkinkan untuk pertahanan dan keberlangsungan.

Betang ini terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebagai indikator, yaitu :
1). Aspek Bangunan
Desain Arsitektur Bangunan yang mampu menyelamatkan / melindungi penghuni. Dalam hal
ini,
melalui desain ruang di dalam bangunan, akan mampu menampung aktivitas manusia secara
tepat
dan baik, serta dapat mengarahkan manusia untuk melakukan penyelamatan / perlindungan
jika
terjadi bahaya. Untuk itu, pemahaman desain keselamatan bangunan terjadi akibat adanya
hubungan
antar ruang bangunan (room to room). Adapun aspek bangunan nilai-nilai bangunan yang
memikirkan faktor keselamat adalah :
Pada awal mulanya pembangunan Rumah Betang atau Huma Hai dibangun untuk melindungi
diri (shelter) dari serangan musuh dan binatang buas, dan menampung keluarga banyak
hingga
100 KK lebih. Adapun ketinggian bangunan mencapai 4-7m, yang mana fungsinya adalah
berdasarkan
cerita rakyat dulu adalah rumah betang dibangun tidak terlalu tinggi tetapi karena masih
tidak aman, karena senjata tradisional musuh (sipet, lunju) masih bisa menjangkau lantai
bangunan, sehingga dipertinggi lagi untuk melindungi diri dari serangan musuh.
Desain ruang bangunan (room to room) Ruang dalam arsitektur memiliki sifat tergantung
pada
aktivitas didalamnya dan dapat diartikan secara fisik dan non fisik. Secara fisik dapat diartikan
sebagai volume yang terdiri dari atau dibatasi oleh bidang-bidang. Sedangkan non fisik ruang
dapat terjadi karena adanya hubungan antara objek dan manusia yang melihatnya, yang
menciumnya,
yang mendengarnya, maupun yang merabanya. Ruang dalam arsitektur tradisional,
keberadaan bentuk dan fungsi ruang bangunan tradisional merupakan simbol eksistensi
pemiliknya.
Bentuk dan fungsi ruang bangunan dipengaruhi oleh kepercayaan dan budaya masyarakat
setempat.
Keterangan:
Dapur
Ruang tidur sanak saudara / tamu / keluarga jauh yg
menginap
Ruang tidur Utama sipemilik Rumah
Ruang Luhing adat
Ruang Kuwu (tempat kamar anak perempuan bakuwu.
Bakuwu itu selama 2 tahun dan tidak boleh keluar
kamar)
Ruang tidur untuk anak laki-laki, dan selain kamar tidur
bisa juga dipergunakan sebagai tempat penyimpanan
peralatan barang anak laki-laki, seperti :pisau, lunju,
talawang-mandau.
Dapur / Karayan.
Gambar 5
Desain Susunan Ruang pada Rumah Betang
30
Volume 6 Nomor 1 Juli 2011 ISSN 1412 - 3388
Bahan bangunan yang berkualitas
Dalam desain bangunan, bahan bangunan yang terpilih selain memiliki nilai estetika, juga
memiliki kemampuan menahan beban (beban hidup dan beban mati), serta mampu bertahan
terhadap pengaruh alam.
Bangunan rumah Betang, dalam pemilihan bahan bangunan bahan yang terpilih adalah
bahan
yang berkualitas yaitu kayu Besi atau Ulin yang kuat-tahan lama, dan aman dari rasa takut
akan gangguan luar, ukuran tiang-tiang bangunan pun bervariasi dari tiang bakas (utama)
sampai tiang bungsu melalui proses ritual, berikut seperti gambar dibawah ini.
Gambar 6
Susunan Tiang-tiang pada Rumah Betang
(Sumber : Mandarin Guntur, 2007)
2). Aspek lingkungan bangunan
Di dalam aspek lingkungan beberapa faktor yang menggambarkan keadaan lingkungan
sekitarnya,
misalnya posisi tapak bangunan, faktor alam yang melingkupi bangunan (tanah, air, udara,
cahaya matahari, dll), maupun lingkungan disekitar bangunan yang ada yang dapat juga
terdiri
atas sejumlah bangunan yang terbangun.
Penentuan lokasi yang baik adalah tanah yang subur dan dekat dengan sumber air atau
sungai.
Keberadaan sungai menjadi hal yang sangat penting mengingat mereka beranggapan bahwa
sungai atau air adalah sumber kehidupan. Penentuan lokasi juga mempertimbangkan pada
faktor
religi atau kepercayaan bahwa selain manusia terdapat mahluk halus lain yang tinggal di
tempattempat
tertentu. Dihindari pemilihan lokasi yang telah ada penunggunya karena bisa berdampak
negatif pada penghuni rumah. Pemilihan lokasi juga mempertimbangkan pada keselamatan,
kesehatan dan kemudahan rejeki dari calon penghuni rumah. Tempat-tempat yang tertutup
hutan
lebat dengan pepohonan besar akan dihindari karena terlalu berat dalam pekerjaan
pembukaan
lahan disamping tidak baik untuk usaha pertanian atau kebun. Masyarakat Ngaju
mempercayai
bahwa arah matahari pagi adalah membawa kebaikan dan sebaliknya arah terbenamnya
matahari
membawa keburukan. Meskipun demikian pertimbangan menghadap arah sungai menjadi
prioritas
utama karena alasan kemudahan seperti yang diungkapkan Liuk Laga (demang adat) yang
mengatakan bahwa tidak harus sebuah rumah menghadap matahari terbit, yang penting
adalah
menghadap ke arah sungai agar kehidupan lebih mudah. Aliran sungai berasal dari hulu ke
muara
tidak terpengaruh ke arah mana air mengalir, bisa lurus ataupun berkelok-kelok seperti ular.
Ritual
tertentu dilakukan untuk meminta ijin dan ditunjukkan lokasi yang tepat.
31
Volume 6 Nomor 1 Juli 2011 ISSN 1412 - 3388
Faktor Kenyamanan
Masalah kenyamanan merupakan sesuatu yang relatif dapat dirasakan oleh setiap orang
dalam skala
yang tidak sama. Seseorang akan terbiasa dengan suatu kondisi, yang dalam beberapa
waktu dapat
menyesuaikannya. Akibat secara tidak langsung yang terasa oleh seseorang karena
kenyamanan ruang
yang dibawah standar tidak langsung terjadi. Kesadaran akan akibat tidak terpenuhinya
standar
kenyamanan hunian akan dirasakan beberapa waktu kemudian.
1). Faktor kenyamanan thermal
Bangunan rumah betang, merupakan bangunan yang nyaman karena ketinggian
bangunanannya
mencapai 4-7 meter menghasilkan suhu didalam ruangan yang nyaman dan sesuai
dengan kondisi iklim tropis dan kelembaban udara.
Ventilasi didalam ruangan, terdapat ventilasi silang, diatas dekat kontrusi atap terdapat
jendela
intip yang pada jaman dahulu difungsikan untuk mengintai musuh dan sekarang sangat
bermanfaat
untuk mengeluarkan suhu udara yang panas di dalam ruangan sehingga menjadi nyaman.
Bahan bangunan dinding pada bangunan rumah betang, rata-rata menggunakan bahan kayu
dan
kulit kayu sehingga mempengaruhi kondisi nyaman didalam ruangan yang tidak menimbulkan
radiasi panas dari matahari.
Faktor Kesehatan
Faktor kesehatan bangunan seringkali dikaitkan dengan kondisi iklim dan kondisi fisik
lingkungan sekitar.
Dalam mewujudkan suatu bangunan yang sehat diperlukan perhatian pada beberapa standar
dan
acuan dalam merancang bangunan gedung. Selanjutnya kesehatan dalam bangunan juga
akan mempengaruhi
kesehatan penghuni dan pengguna. Hal ini sangat penting dan akan berpengaruh pada
kinerja dan produktivitas manusia didalamnya.
Sistem penghawaan (ventilasi) dalam bangunan
Sistem penghawaan mencakup kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara yang harus
disediakan
pada bangunan gedung melalui bukaan dan ventilasi alami atau buatan. Sistem penghawaan
di
dalam bangunan, erat hubungannya dengan iklim ruangan dan iklim kerja yang maksimal
dalam
ruangan.
Sistem pencahayaan dalam bangunan
Di daerah tropis, perlindungan terhadap matahari sangat penting. Hal penting yang perlu
diperhatikan
adalah dengan memanfaatkan pencahayaan baik secara alami maupun buatan secara
optimal.
Penggunaan material dalam bangunan
Penggunaan bahan bangunan gedung harus aman bagi kesehatan pengguna bangunan
gedung
dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Kecocokan bahan bangunan
untuk
suatu negara tropis tidak hanya ditentukan oleh iklim, tetapi juga oleh karakter dari material itu
sendiri. Selain itu, warna, tekstur, sifat dan densiti (kerapatan) bahan serta penggunaan dalam
bangunan merupakan faktor-faktor perancangan yang tergantung pada kondisi iklim.

2. Pakaian Adat

3. Upacara Nyaki Tihi

Istilah Nyaki Tihi berasal dari dua kata yang secara subtansi
berbeda makna. "Nyaki" dapat disamakan dengan "mamalas"
yang secara literal berarti "mengoleskan", sedangkan "Tihi" adalah
"hamil" atau "mengandung". Jadi jika dideskripsikan, Nyaki Tihi
memiliki pengertian sebagai kegiatan atau tindakan "mernoles ibu
hamil" (Tjilik Riwut, 1979:346).

Upacara adat Nyaki Tihi memiliki latar belakang pelaksanaan


yang khas sebagaimanaupacara adat-istidat lainnya di kalangan Suku
Dayak secara umum. Di Desa Samba Danum Katingan, upacara itu
dilatarbelakangi oleh beberapa hal.
Pertama, keyakinan atau kepercayaal terhadap perlindungan
atau keselamatan ibu yang hamil, sehingga upacara adat Nyaki Tihi
merupakan semacam perlindungan terhadap ibu yang mengandung
bayi pertama (temei). Uniknya, upacara itu hanya dilakukan untuk

kandungan bayi pertama. Terhadap kandungan bayi kedua dan


seterusnya tidak lagi.
Kedua, kepercayaan bahwa seorang ibu yang hamil memiliki
masa lemah di bulan tertentu. Kepercayaan itu kemudian

memunculkan ritus atau upacara adat Nyaki Tihi yang dilakukan


ketika ibu hamil memasuki bulan kehrjuh dalam masa kandungannya.
Hal itu disebabkan keyakinan bahwa ibu hamil dalam bulan tersebut
mengalami kelemahan secara rohaniah. Menurut Tjilik Riwut (1979:
56):
Umumnya, apabila seorang wanita baru menikah atau sewaktu
ia sedang hamil dan djuga kalau ia baru rnelahirkan, maka
saat itulah daja-rohaniahnja sangat lemah dan gampang sekali
terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinja. Sebab itu
dalam keadaan demikian ia harus mentaati sjarat-sjarat tertentu
demi melindungi dirinja dari bahaja.
Ketiga, kepercayaan kepada "darah" sebagai media penenteram
atau media yang memiliki "kuasa" mengusirpengaruh roh-roh jahat.
Berdasarkan kepercayaan itu, sarana penting yang digunakan dalam
upacara adat Nyaki Tihi adalah darah sebagai alat manyaki atau
mamalas yang diambil dari binatang babi atau ayamkampung yang
dikorbankan dalam upacara tersebut. Darah sebagai sarana manyaki
atau mamalas di sini dipandang dapat meredam bahaya atau celaka
dan menjauhkan dari roh-roh yang jahat yang dapat mengganggu
kandungan yang akan dilahirkan.
Dalam pelaksanaan upacara adat Nyaki Tihi dengan bahan
atau materi lengkap, yang perlu disediakan adalah babi atau ayam
kampung sebagai korban untuk diambil darahnya. Darah dalam
upacara ini merupakan materi paling utama. Materi lain adalah
(Indu Renda, Indu Pengo, dan Bapa Rano, wawaricara 20 dan 2l
November 2008):
1. Sesajen ata:u darung sangiang (Dayak Ngaju), yang disiapkan di
ancakberupa ketupat, patung dari tepung sebagai alatmanyadiri
(gunanya sebagai pengganti diri ibu hamil agar sial, bahaya,
celaka, dan hal buruk lainnya dapat dipindahkan atau berpindah
kepada patung tersebut, sehingga ibu hamil aman sampai masa
melahirkan), dan patung berbentuk cecak, lambang penguasa
dari roh di dalam sungai. Ayam kampung direbus bulat dengan
kunyit, telor, dan aneka kue dari randang (tepung ketan) seperti
cucur dan kue yang dibuat bulat panjang lonjong-setelah
digulung-gulung, tengahnya ditekan dengan ibu jari secara
memanjang.
2. Basal dllkatkan di pinggang si ibu dan lilis dipergelangan tangan
atau uang logam yang dijadikan gelang dan dipakai ibu hamil
selama upacara serta tiga hari sesudahnya.
3. Panduduk, yaittt sangku, di dalamnya beras, telor, uang logam,
kulit luarnya dikupas dan diikat dengan
satu butir kelapa tua yang
benang putih yang diberi jarum, perlengkapan menginang dan
rokok, minyak kelapa dan minyak harum, serta alat tampung
tawar (aiq minyak harum, daun sambelum).
4. Dupa (trtarapen),pisau, atau ringgitluanglogam yang digigit saat
manyaki tihi.
5. Tikar dan bahalai sebagai alas ibu hamil saat upacara.
6. Daun sawang dan daun sambabelum (daunnya besar dan bulat)
serta daun sasahar.
7. Beras putih dan beras kuning untuk tatvur./

terdiri atas empat bagian, yaitu persiapan,


pembukaan, acara utama, dan penufup.
l. Persiapan.
Persiapan awal dalam pelaksanaan upacara ini adalah
menentukan hari baik, yakni pada bulan ketujuh kehamilan
anak pertama. Persiapan untuk upacara adalah menyediakan
bahan-bahan, terutama hewan yang akan dipotong saat upacara,
dan sesaji, panduduk, dan perlengkapan lainnya (Indu Renda,
wawancara 21 November 2008). Tidak ada ritual khusus sebelum
pelaksanaan upacara. Artinya, untuk melaksanakan upacara,
yang menjadi pertimbangan hanya kesiapan dana dan waktu
penyelenggaraan.
50
J.
Makna Upacara N.vaki Tihi ...
Pembukaan.
Tidak ada urutan khusus dalam pembukaan upacara adat
Nyaki Tihi. Upacara dimulai dengan memotong hewan korban
yang darahnya diambil sebagai sarana manyaki (Bapa Rano,
wawancara 2l November 2008). Rina Teriasi (1997: 22)
mengatakan:
"setiap upa cara adat danritus agamayang mempersembahkan
korban, darahnya tidak dibuang tetapi digunakan untuk
pemercikkan dan pemolesan. Misalnya untuk "manyaki atau
mamalas". Pada saat pemotongan hewan korban tersebut
sebagian dari darahnya ditampung di dalam bokor kecil
(sangku) oleh basir/damang/pisur/tetua kampung.
Setelah itu objek disiapkan dengan didudukkan di atas
bahalai. Di kedua pergelangan tangannya, diikatkan gelang
uang logam atalu manas atau lilis, gnanya sebagai pangaras
(Nirwana, wawancara 20 November 2008).
Acara Utama.
Dalam upacara utama, yaitu pemolesan darah yang disebut
manyaki, ibu hamil duduk di atas gong. Pelaksanaan manyaki
dilakukan pertama oleh suami dari ibu hamil, diikuti orangtua,
selanjutnya orang yang dituak an, dan pisur atau damang sebagai
penutup (Indu Moches, wawancara 20 November 2008). Darah
binatang yang telah disediakan bagi upacara itu dioleskan di
perut, naik ke dada, lalu ke kening si ibu hamil dengan jari
telunj uk. Darah di gunakan pula untuk menj alin hubungan dengan
para ilah atau roh leluhur. Jadi kegiatan memoleskan darah
itulah yang disebttmanyaki dan ibu hamil disebut manyaki tihi.
Selanjutnya pisur menaburkan beras putih dan beras kuning ke
berbagai penjuru sambil menucapkan kata-kata dalam bahasa
Sangiang (Indu Moches, wawancara 20 November 2008).
Penutup.
Menutup kegiatan, dilaksanakanlah acara tampung tawar.
Ac ara itu s eb agian menggunakan bahasa S ang iang. Car a t afi tp un g
tawar mulai dari jari telunjuk kaki, lutut, perut, kedua telapak
tangan, bahu, dan atas kepala diperciki minyak (rninyak kelapa
atau minyak sayur). Sebagaimana sifatnya yang melumasi atau
licin, guna minyak agar jalan lahir bayi licin sehingga proses
4.
51
K0NIII$TUAIITA Vol. 26 N0.2. Desember 2009
kelahiran mudah (Indu Renda, wawancara 21 November 2008).
Setelah semua ritual dijalankan, sesaji dibawa ke sungai untuk
dihanyutkan diiringi ucapan "inilah yang dipersembahkan
untuk penghuni muara sungai". Dengan demikian penghuninya
tidak mengganggu si ibu hamil. Sementara itu, beras putih dan
beras kuning juga ditaburkan sebagai pengantar

4. Tradisi Pawehan dan Mamapas Lewu

Budaya pamali Sunda, Banjar Kalimantan Aturan-aturan adat yang


Selatan (disebut kapamalian) memberikan batasan terhadap
penggunaan air dan sumberdaya
alam lainnya yang berdampak
pada lestarinya sumber sumber
mata air
5.

B. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Suku Dayak

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diangkat yaitu

masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan tersebut
dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka

sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka

itulah yang wajib dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan

maka aka nada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar

mereka .

B. Saran

Adapun saran yang penulis sampaikan melalui makalah ini yaitu:

1. Hendakya suku dayak lebih di perkenalkan dan di perluas wawasannya supaya

masyarakat umum yang tinggal di Kalimantan dapat mengerti kebudayaan

Kalimantan.

2. Di dalam pelaksanaan pendidikan hendaknya suku dayak di perkenalkan kepada

siswa siswi sekolah (SD, SMP, SMA) agar banyak peminat untuk tetap

melestarikan dan menjaganya. Karena suku dayak ini adalah ciri khas Kalimantan.

3. Dalam penyajiannya, hendaknya penyampaian materi lebih singkat tapi jelas dan

tidak menghilangkan pokok-pokok penting dalam pembahasan, agar masyarakat

dan siswa mudah mengerti dan tanggap.

DAFTAR PUSTAKA

Siombo, M.R. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum. 18(3):428-

443.

Wilson K0NIIKSTUAIIIA Vol. 26 No. 2. Desember 2009 MAKNA UPACARA NYAKI TIHI
ADAT DAYAK
NGAJU DI DESA SAMBA DANT]M KATINGAN,
KALIMANTAN TENGAH

Anda mungkin juga menyukai