Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH HUKUM ADAT

“Susunan Tradisional Masyarakat Desa: Studi Kasus Rumah Adat


Masyarakat Suku Osing”

Disusun oleh:

Ananda Chelvin Nurdiyanto (202110110311476)

Fakultas Hukum

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Tahun Ajaran 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang
berlaku di suatu wilayah (siregar. 2018). Pada dasarnya, hukum adat merupakan
hukum kebiasaan komunal sekelompok masyarakat didaerah tertentu. Kebiasaan-
kebiasaan tersebut tertuang dalam berbagai keputusan yang diambil oleh para
pemangku adat dan kebiasaan atau adat tersebut sudah barang tentu telah merasuk
kepada tiap-tiap tindak tanduk anggota masyarakat adat, termasuk membangun
rumah.
Suku Osing adalah suku menempati daerah kabupaten banyuwangi. Suku
osing sendiri merupakan salah satu komunitas kesukuan sub-etnis jawa. Karena suku
osing merupakan suku turunan yang berasal dari suku jawa, maka secara tidak
langsung kehidupan sosial budaya, keadatan, hingga infrastruktur tidak akan jauh dari
suku jawa.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Fatahuddin Aziz Siregar (2018), hukum
adat memiliki bermacam-macam ciri, yaitu magis-religius, bercorak komunal,
bercorak demokrasi, dan bercorak konkrit dan kontan. Suku Osing, selaku sub-etnis
jawa, memiliki corak keadatan yang magis-religius sehingga tiap-tiap perilaku
masyarakat adat osing tak akan pernah lepas dari hal-hal yang bersifat mistik dan
religius, termasuk dalam membangun rumah.
Rumah memiliki peranan penting bagi kehidupan suku osing, karena penulis
merupakan bagian dari Suku Osing, yaitu rumah dijadikan sarana untuk
menyambungkan silaturahmi dengan Yang Maha Kuasa dan juga menjalin hubungan
silaturahmi dengan sesama makhluk.
Karena filosofi yang begitu kuat dan urgensi lain, yang mana akibat
pergeseran dunia yang mengakibatkan degradasi kebudayaan, penulis merasa tertarik
untuk mengambil tema ini karena penulis rasa hal ini sangat penting mengingat
kebudayaan Osing yang terancam punah.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konsep keruangan rumah adat osing?
1.2.2. Bagaimana rumah adat osing jika ditinjau dari aspek ekologi?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui konsep keruangan rumah adat osing;
1.3.2. Mengetahui rumah adat osing jika ditinjau dari aspek ekologi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Keruangan Rumah Adat Osing


Suku osing adalah suku menempati daerah kabupaten banyuwangi. Suku osing
sendiri merupakan salah satu komunitas kesukuan sub-etnis jawa. Karena suku osing
merupakan suku turunan yang berasal dari suku jawa, maka secara tidak langsung
kehidupan sosial budaya, keadatan, hingga infrastruktur tidak akan jauh dari suku
jawa.
Infrastruktur rumah tidak pernah lepas dari kebutuhan aktivitas sosial dan
sekonomi penghuninya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Tjahjono (dalam Iwan
Suprijanto. 2002), yaitu ruangan dalam suatu rumah akan menunjukkan keadaan
masing-masing ruang yang berkaitan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau
posisi.
Sebagaimana rumah adat jawa, rumah adat osing memiliki sifat keadatan jawa
yang magis dan religius. Maka dari itu, rumah adat osing mempunyai filosofi yaitu
kesatuan manifestasi makrokosmos dan mikrokosmos. Koentjaraningrat (dalam
Iwan Suprijanto. 2002) menyebutkan ada 2 kategorisasi belawanan yang saling
melengkapi, yaitu kategori yang membagi rumah menjadi kanan-kiri, luar-dalam,
sakral-profan, publik-privat.
Menurut Putrowangi (dalam Wijaya dan Purwanto. 2017) Ada 4 macam
bentuk khas adat Rumah Banyuwangi, yakni crocogan, tikel/baresan, tikelbalung,
dan serangan. Bentuk bangunan rumah itu sendiri dibagi dalam tiga ruang, yakni
mbyale (balai/serambi) yang biasa digunakan untuk menjamu tamu dan ngobrol
santai dengan tetangga dekat, jerumah (ruang tengah + kamar) adalah bagian rumah
yang biasa digunakan sebagi tempat istirahat dan bercengkrama bersama keluarga,
dan pawon (dapur) yang biasa digunakan ibu-ibu untuk memasak.
Menurut Bapak Suhaimi, selaku Kepala Adat Suku Osing (dalam Wijaya dan
Purwanto. 2017) Struktur utama rumah adat ini yaitu dengan empat tiang utama
yang disebut saka guru, dengan menggunakan sistem tanding tanpa menggunakan
paku melainkan sasak pipih (paju). Berikut bagian-bagian konstruksi rumah adat ini;
 Saka Tepas Adalah empat tiang utama penyangga rumah yang terletak di
tengah bangunan. Empat tiang ini memiliki makna persatuan dua belah pihak
keluarga, seperti dua orang tua dan besannya. Dengan empat tiang ini bermakna
harapan akan kedamaian dan keharmonisan rumah tangga anak-anak mereka.
 Jait Cendek dan Dowo Merupakan pengikat saka tepas, berfungsi sebagai
pengikat struktur utama. jait cendek merupakan tiang pengikat yang berada di
samping kanan dan kiri saka tepas, sedangkan jait dowo mengikat bagian depan dan
belakang saka tepas.
 Ander dan Reng Ander adalah tiang penyangga dan kerangka atap. Reng
adalah tiang penyangga genteng yang disusun secara vertikal dan horizontal,
gabungan reng ini disebut sebagai Rab. Rab berasal dari kata Rabi yang berarti
menikah atau berumah tangga dalam Bahasa Osing. Susunan vertikal dan horizontal
dari reng dilambangkan sebagai dua orang suami istri yang saling bahu membahu.
 Doplak Adalah ukiran yang berada dibawah ander. Setiap rumah memiliki
doplak yang berbeda-beda. Ukiran khas Banyuwangi ini memiliki banyak motif,
diantaranya motif batik Gajah Oling.
 Ampik-ampik Adalah dinding kayu yang berada di depan ander. Ampik-
ampik berbentuk segitiga ini biasa dibuat dengan papan kayu yang kadang diberi
ukiran khusus bagi pemilik rumah yang ingin memberikan kesan berbeda untuk
rumahnya (sebagai dekorasi/hiasan).
 Lambyang dan Lambyang Pekul. Lambyang adalah kayu yang terletak
dibawah ampik-ampik yang berfungsi sebagai penguat konstruksi utama saka tepas
yang disatukan dengan glandar. Sedangkan Lambyang Pekul adalah kayu yang
terletak di tengah bangunan sebagai penguat njait dowo.
 Glandar Adalah kayu yang berfungsi sebagai penguat konstruksi utama,
disatukan dengan Lambyang.
 Ampog Adalah atap tambahan yang berada di samping rumah yang berfungsi
sebagai penghalang air hujan agar tidak mengenai dinding secara langsung.
 Hek. Hek yang berfungsi sebagai pembatas antara njerumah dengan amper,
beberapa rumah menggunakan hek sebagai pembatas antara Bale dengan Pendopo.
Hek biasanya berbentuk tiang-tiang yang memiliki tinggi sekitar satu meter. Tiang-
tiang ini biasanya terbuat dari kayu bendo, dan pada beberapa rumah ditemukan
ukiran-ukiran khusus berdasarkan pemilik rumah masing-masing.
 Gedheg Adalah dinding khas Rumah Adat Suku Osing yang terbuat dari
anyaman bambu dan diperkuat dengan tali tampar kedug yang terbuat dari serat kayu
pohon aren.
 Gebyug Adalah dinding yang memiliki ukiran dan terbuat dari kayu. Gebyug
dapat ditemukan di dalam maupun di sisi luar rumah sebagai dinding utama.
 Genteng Adalah atap yang terbuat dari tanah liat. Genteng berfungsi sebagai
penghalang air hujan dan sinar matahari ke dalam rumah.
 Bentur Adalah sebutan untuk halaman rumah (pekarangan) yang oleh
masyarakat Suku Osing biasa ditanami dengan tanaman-tanaman.

2.2. Aspek Ekologi Rumah Adat Osing

Dibandingkan dengan dampak bangunan tersebut terhadap alam sekitarnya,


bangunan buatan manusia lebih memperhatikan fungsi aktivitas manusia.
Pemahaman tentang alam harus mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang
kelangsungan hidup, sehingga semua aktivitas manusia harus didasarkan pada
lingkungan alam, termasuk desain arsitektur. Bangunan yang dekat dengan alam
memiliki bangunan yang selaras dengan alam, meliputi tipologi (tanah), air dan
udara. Bangunan yang mengedepankan ekologi tidak boleh membahayakan
lingkungan sekitar sebagai sumber daya yang ada.

Arsitektur vernakular merupakan konsep arsitektur yang menekankan dan


melestarikan potensi budaya, tradisi, dan sosial masyarakat sekitar. Akibatnya,
arsitektur vernakular cenderung memiliki bentuk yang sama dengan satu daerah di
sekitarnya, tetapi berbeda di daerah lain. Ketahanan dan keselarasan dengan alam
arsitektur ini telah teruji sejak lama. Pada zaman dahulu, manusia menciptakan
tempat tinggal sesuai dengan kondisi alamnya masing-masing, agar tempat tersebut
serasi dan tidak bertentangan dengan alam.

Dengan penanganan desain arsitektur yang sesuai dengan kondisi dan


kondisi setempat, maka desain arsitektur ekologis dapat terwujud. Pemilihan bahan
dianggap sebagai bahan bangunan, bahan menjadi sumber daya alam, pengolahan
(daur ulang), penghematan energi dan penerapannya dalam konstruksi perlu
dipertimbangkan.
Menurut Heinz Frick (dalam Wijaya dan Purwanto. 2017) Prinsip-prinsip
konstruksi ekologis, seperti beradaptasi dengan lingkungan alam setempat,
menghemat energi alam yang tidak terbarukan dan menghemat energi, melindungi
sumber daya lingkungan (udara, tanah dan air), memelihara dan meningkatkan siklus
alam, dan mengurangi ketergantungan pada sistem energi pusat. (listrik dan air) dan
limbah (air limbah dan sampah), warga dapat memproduksi sendiri kebutuhan
sehari-hari. Pemanfaatan sumber daya alam di sekitar kawasan yang direncanakan
untuk sistem bangunan, termasuk bahan bangunan dan utilitas bangunan (energi dan
air).

Bangunan yang berperan sebagai pelindung kemanusiaan harus membuat


penghuninya nyaman dan selaras dengan perilaku alam. Desain ekologi arsitektur
bertujuan untuk menjaga keselarasan antara arsitektur dan alam untuk waktu yang
lama. Keharmonisan yang dicapai terkait dan menyatu dengan kondisi alam, ruang,
waktu, dan aktivitas manusia.

Iklim memiliki pengaruh pada perancangan arsitektur ekologis. Menurut


Hakim (dalam Wijaya dan Purwanto. 2017), Tergantung pada penempatan bangunan
yang benar dari matahari dan angin, serta denah dan bentuk bangunan dan pemilihan
bahan yang sesuai, suhu ruangan dapat diturunkan beberapa derajat tanpa bantuan
peralatan mekanis. Panas puncak dicapai kira-kira 2 jam setelah tengah hari,
sehingga perolehan panas terbesar ada pada fasad barat bangunan. Di daerah tropis,
fasad timur dan barat paling rentan terhadap radiasi matahari. Hubungan bahan
bangunan dengan radiasi matahari, penyerapan panas dan refleksi berkontribusi
terhadap perbedaan perbedaan suhu dalam ruangan. Ruangan yang hanya digunakan
pada siang hari menahan sebanyak mungkin dingin yang diserap oleh dinding dan
atap pada malam hari. Bahan padat dan berat menyerap dengan baik dan bertahan
cukup lama. Sebuah penghalang udara yang sangat baik adalah aliran udara dingin
antara permukaan.

Konstruksi ringan dan terbuka ini sangat direkomendasikan di daerah tropis


yang lembab. Di daerah tropis yang lembab, suhu malam hari turun sangat sedikit,
membuat pendinginan hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, preferensi diberikan
pada penggunaan konstruksi ringan dan bahan konstruksi. Menerima panas radiasi
melalui naungan dan permukaan reflektif harus dihindari. Di daerah tropis,
perlindungan terhadap sinar matahari sangat penting. Solusi yang baik adalah
menempatkan bangunan sedekat mungkin sehingga saling membayangi. Selain
mengatur massa antar bangunan, metode shading juga dapat digunakan untuk
melindungi dari panas matahari (Hakim, dalam Wijaya dan Purwanto. 2017).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.2.1. Ada 4 macam bentuk khas adat Rumah Banyuwangi, yakni crocogan,
tikel/baresan, tikelbalung, dan serangan. Bentuk bangunan rumah itu
sendiri dibagi dalam tiga ruang, yakni mbyale (balai/serambi), jerumah
(ruang tengah + kamar), dan pawon (dapur).
3.2.2. Bangunan yang dekat dengan alam memiliki bangunan yang selaras dengan
alam, meliputi tipologi (tanah), air dan udara. Bangunan yang
mengedepankan ekologi tidak boleh membahayakan lingkungan sekitar
sebagai sumber daya yang ada.

3.2. Saran
3.2.1. Untuk para pembaca disarankan untuk mengaplikasikan dari ilmu yang
didapatkan demi pelestarian kebudayaan, terkhusus kebudayaan Jawa
Timur.
3.2.2. Disarankan untuk para pembaca untuk selalu memperhatikan lingkungan
dalam setiap proses pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA

Hariastuti, R. M. 2018. Kajian Konsep-Konsep Geometris Dalam Rumah Adat Using


Banyuwangi Sebagai Dasar Pengembangan Pembelajaran Kontekstual Berbasis
Etnomatematika. AKSIOMA Jurnal Pendidikan Matematika. 7 (1). 13-21.

Siregar, F. A. 2018. Ciri Hukum Adat Dan Karaktristiknya. Jurnal Al-Maqasid. 4 (2). 1-14.

Suprijanto, I. 2002. Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang Dan Bentuk. Dimensi Teknik
Arsitektur 30 (1). 10-20.

Wijaya, P. Y. dan S. A. Purwanto. 2017. Studi Rumah Adat Suku Osing Banyuwangi Jawa
Timur. Simposium Nasional RAPI XVI. 117-123.

Anda mungkin juga menyukai