Anda di halaman 1dari 17

BUDAYA LAHAN KERING KEPULAUAN DAN PARIWISATA

SISTEM LINGKUNGAN, TATA RUANG DAN ARSITEKTUR DI WILAYAH NTT

OLEH :

KELOMPOK 7

KEFIN E. TAHUN 1609010027

NOVIE H. MANONGGA 1609010032

GRACELA U. ARA 1609010039

MARIA M. OVERA 1609010042

AGATHA SADA UA 1609010043

JUAN B. A. ALLE 1609010047

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
DAFTAR ISI

Halaman depan (Cover)

Daftar Isi

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Sistem Lingkungan, Tata Ruang Dan Arsitektur Serta Hubungannya Dengan
Ilmu Kedokteran Hewan Di Wilayah Alor

2.1.1 Hubungan Antara Arsitektur Dengan Ilmu Kedokteran Hewan

2.2 Sistem Lingkungan, Tata Ruang Dan Arsitektur Serta Hubungannya Dengan
Ilmu Kedokteran Hewan Di Wilayah Manggarai

2.2.1 Fungsi Rumah Adat Manggarai

2.2.2 Hubungan Dengan Kedokteran Hewan

BAB III. PENUTUP

3.1 Simpulan
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sistem lingkungan dibedakan menjadi 2, yaitu lingkungan hidup dan lingkungan social.
Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan berhubungan timbal
balik sedangkan lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
seseorang atau kelompok untuk dapat melakukan sesuatu tindakan serta perubahan-
perubahan perilaku setiap individu. Kemudian lingkungan adalah seluruh faktor luar yang
mempengaruhi suatu organism, faktor-faktor ini dapat berupa organism hidup atau variabel-
variabel yang tidak hidup. Keputusan layout adalah keputusan membuat desain atau tata letak
dari fasilitas-fasilitas produksi yang mencakup mesin-mesin, bahan baku, dan peralatan
pdroduksi lainnya dalam satu tempat.

Arsitektur merupakan seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan,
jembatan, dan sebagainya. Arsitektur juga diartikan sebagai metode dan gaya rancangan
suatu konstruksi bangunan. Arsitektur nusantara merupakan sebagian hasil karya leluhur
yang menjadi warisan budaya yang memiliki makna dan pola pikir yang tanggap terhadap
alam dan kondisi sekitarnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
berkembang mengakibatkan pudarnya tata nilai arsitektur tradisional nusantara Arsitektur
nusantara sebagai kearifan lokal perlu dilestarikan. Kearifan lokal yang terdapat dalam
bentuk arsitektur seperti itu erat kaitannya dengan lingkungan baik hewan ataupun tumbuhan
mulai dari arsitektur rumah hingga ornamen yang dibuat. Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai sistem lingkungan, tata ruang dan arsitektur serta hubungannya
dengan ilmu kedokteran hewan di wilayah Alor dan Manggarai.

1.2 TUJUAN

Untuk melihat sistem lingkungan, tata ruang dan arsitektur serta hubungannya dengan
ilmu kedokteran hewan di wilayah Alor dan Manggarai.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Lingkungan, Tata Ruang Dan Arsitektur Serta Hubungannya Dengan Ilmu
Kedokteran Hewan Di Wilayah Alor

Pada masyarakat suku Abui dikampung tradisional Takpala terdapat sepasang rumah adat
yang disebut Kolwat dan kanuarwat. Rumah adat ini merupakan pusat segala kegiatan suku,
terutama urusan adat yang pegaturannya dilakukan oleh kepala suku. Untuk memudahkan
pembahasan dan mengingat adanya perbedaan antara kedua rumah adat ini, maka
pembahasannya dapat dipisahkan sebagai berikut :

 Kolwat

Rumah adat kolwat letaknya berdampingan dengan rumah adat Kanurwat, dengan
arah bukaan pintunya kesisi sebelah kanan (barat) dari rumah adat kanurwat. Pada kondisi
kesehariannya rumah adat ini tidak berpengaruhi, kecuali pada saat penyelenggaraan
pesta-pesta (upacara adat), yang pada prinsipnya boleh dimasuki oleh siapa saja tanpa
kecuali pria dan wanita. Rumah adat kolwat memiliki bentuk sederhana berbentuk bujur
sangkar dengan ukuran kurang lebih 3,70 M x 3,70 M. Bentuk denah ini juga merupakan
cerminan ruang dalamnya yang sederhana yang terbagi menjadi dua oleh sirkulasi yang
letaknya ditengah ruangaan yang membujur dari timur ke barat. Disebelah utara terdapat
sebuah bale-bale bambu yang tingginya kurang lebih 0,65 m dari permukaan lantai. Bale-
bale ini biasanya dilakukan sebahgai tempat duduk pada waktu melaksanakan pesta-pesta
atau upacara adat. Sedangkan disebelah kanan terdapat bilik kecil yang dibatasi oleh
dinding yang terbuat dari anyaman bambu (gedek). Didalam bilik ini juga terdapat sebuah
bale-bale berukuran kecil yang tingginya kurang lebih 0,65 m dari permukaan lantai yang
terletak disebelah timur. Sementara disisi sebelah barat, terdapat sebuah tangga dari
bambu yang menghubungkan loteng diatasnya yang dihubungkan, yang digunakan
sebagai tempat penyimpanan perabot pada waktu upacara adat.
Gambar 1. Kolwat

 Kanuarwat

Seperti halnya rumah adat kolwat, rumah adat kanuarwat hanya dihuni dimasuki pada
waktu pesta-pesta/upacara-upacara adat, namun itupun tidak semua orang boleh masuk,
selain anak sulung laki-laki atau tetua adat ataupun pemimpin upacara. Didalam rumah
adat ini disimpan berbagai benda-benda pusaka seperti; Moko (gendang perunggu), Priuk,
tombak, dan perlengkapan upacara lainnya yang diwariskan secara turun-temurun dari
satu generasi ke generasi lainnya.

Bentuk denah sama denga bentuk rumah adat kolwat yaitu bujur sangkar dengan
ukuan kurang lebih 370x370cm (3,70x3,70m) tapi perbedaan terletak pada penempatan
tiang utama dan bukaan pintu. Jika pada rumah adat kolwat, tiang utamanya terletak
dibagian keempat sudut/pojok bagianluar bangunan, maka pada rumah adat kanuarwat,
tiang utamanya berada didalam ruang.

Demikian juga dengan bukaan atau pintunya, kalau pada rumah adat kolwat bukaanya
mengarah ke timur dan barat, maka pada rumah adat kanuarwat salah satu menghadap
kebarat atau ke rumah adat kolwat, seangkan satu pintunya menghadap ke utara atau ke
mesbah dan masang (pelataran terbuka).
Gambar 2. Kanuarwat

Perbedaan lainnya yang cukup mendasar adalah ragam hias yang ada pada rumah adat
kanuarwat, yang sama sekali tidak ditemui pada rumah adat kolwat. Semenratara itu
ruang dalamnya tidak ada pemisahan dengan dinding yang permanen, tetapi terbuka dan
ditengah-tengah terdapat bale-bale bambu yang tingginya kurang lebih 65 cm (0,65 m)
dari muka lantai. Tetapi diatas bale-bale tersebut terdapat sebuah para-para yang
digantungkan pada balok loteng yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-
benda pusaka dan benda-benda upacara serta barang-barang suci lainnya. Selain itu disisi
sebelah Barat tepat disamping tiang utama bagian belakang terdapat sebuah tangga
bambu yang digunakan sebagai tempat pengubung loteng diatasnya, yang memiliki fungsi
yang sama seperti para-para yakni sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka/suci
milik suku.

Gambar 3. Rumah adat Alor


 Fungsi rumah adat

Secara umum dapat dikatakan bahwa rumah adat dalam kehidupan masyarakat abui di
kampung tradisional Takpala setidaknya mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi sosial
dan fungsi religius.

1. Fungsi sosial

Rumah adat merupakan satu wadah kegiatan sosialisasi masyarakat untuk belajar
memahami dan menghayati kebudayaan dengan cara belajar sambil bekerja (pendidikan
informal). Aplikasinya adalah berupa upacara-upacara adat yang selalu dilakukan dalam
rumah adat tersebut. Disamping itu rumah adat juga merupaka tempat untuk menjamin
persatuan dan kesatuan seluruh warga pendukungnya (suku), karena rumah adat ini, selain di
bangunan oleh segenap warga suku pada waktu dan suasana tertentu, misalnya pada pesta-
pesta/upacara adat.

2. Fungsi Religius

Rumah adat merupakan tempat untuk dilakukannya upacara-upacara adat yang


bersifat religius, seperti upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, perkawinan,
menolak wabah, dan lain sebagainya. Selain itu, adanya barang-barang pusaka dan barang
suci lainnya, membuktikan bahwa rumah adat bukan saja sebagai wadah sosial masyarakat,
melainkan juga sebagai tempat suci dimana manusia bertemu dengan sang pencipta
(Lahatala) yang menyelangarakan hidup manusia.

 Ragam hias

Ragam hias terutama digunakan pada rumah adat Kanuarwat yang ditempatkan pada
tiang-tiang penunjang, balok, dan bingkai daun pintu bagian luar. Ragam hias dapat juga
ditemui pada Lik (podium/panggung), ragam hias tersebut umumnya berbentuk geometris
seperti: bela ketupat, segi tiga, lingkaran dan elips yang diberikan warna tertentu. Warna
dasar yang paling umum digunakan adalah hitam, putih, merah hati, dan kuning yang diambil
dari jenis tanah tenrtentu pula.Keempat warna ini hampir selalu merupakan satu komposisi
dalam satu ragam hias yang ditempatkan selang-seling.

Gelap dan terang warna juga nampaknya sangat diperhatiakan sehingga pada bagian
tertentu seperti pintu yang seolah-olah ada penekanan. Karena pada bagian ini jelas sekali
adanya warna yang menonjol atau lebih terang dibandingkan dengan bagian-bagian yang
lainnya.Bahkan untuk memperkuat kesan ini, maka pada sisi kiri dan kanan pintu dipasang
masing-masing dua batang kayu/ppan yang diberi warna putih.

 Fala

Fala’ merupakan rumah tinggal yang oleh masyarakat setempat menyebut sebagai
rumah gudang. Penamaan ini sejalan dengan sala satu fungsi lumbung tempat penyimpanan
hasil pertanian seperti padi dan jagung. Sementara sebutan Fala’ sendiri muncul karena
adanya Dulang (Fala’) sebagai penghalau hama tikus yang ditempatkan pada bagian ujung
atas tiang utama.

Gambar 4. Fala

1. Pembagian Ruang

Secara Vertikal Fala’ terdiri dari beberapa susunan ruang yang disesuaikan dengan
fungsinya natara lain sebagai berikut :

a. Siwo (kolong) digunakan sebagai tempat untuk binatang (hewan piaraan), terutama
ayam dan kambing.

b. Liktaha merupakan bale-bale terbuka (tidak berdinding) yang digunakan sebagai


tempat atau ruang untuk manusia, yang memiliki serambi tengah yang disebut likhomi
dan serambi yang lainnya disebut Likhabang biasanya digunakan untuk membersikan
hasil panen sebelum disimpan atau sebagai tempat pengolahan makanan sebelum
dimasak. Sedangkan likhabang digunakan sebagai tempat untuk duduk-duduk santai
oleh kaum laki-laki/pria dan sebagai tempat menerima dan menjamu tamu, bahkan
kadang-kadang digunakan sebagai tempat tidurnya tamu laki-laki.

c. Falah omi

Falah omi adalah sebagai tempat tinggal manusia (tidur, makan, kegiatan keluarga
lainnya) yang sekalugus sebagai dapur dan tempat menyimpan perabot rumah
tangga.Ruang ini secara keseluruan tertutup atap sehingga tidak diperlukan adanya
dinding.Inti dari ruangan ini tidak ada pembagian ruang secara permanen yang
membedakan antara area prifate (tidur) denga area yang bukan private
(duduk/makan), melainkan berwujud sebagai ruang terbuka yang berpusat pada
perapian yang terletak ditengah ruang.

d. Akui Taha

Akui Taha merupakan tempat penyimpanan hasil pertanian (panen) seperti padi dan
jagung ataupun hasil pertanian lainnya jadi Akui Taha dapat disejejerkan fungsinya
sebagai lumbung.

e. Akui Kiding (loteng kecil) merupakan tempat penyimpanan hasil pertanian


(panenan) bagi seorang pemuda atau remaja yang belum menikah (berkeluarga). Pada
ruangan ini dapat juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga
(moko dan gong) milik keluarga atupun tempat penyimpanan hasil panen yang tidak
muda dikeluarkan.

Bentuk denah dari rumah Gudang (Fala’) umunya adalah bujur sangkar yang
berfariasi dalam ukurannya dan sangat tergantung kepada kemampuan satu keluarga .luas
lantai bangunan untuk lantai paling bawah (liktaha) berkisar antara 28m 2 sampai 32 m2,
namun demikian secara umum tampilan rumah Gudang fala’) ini dapat dikatakan sama.

2.1.1 Hubungan Antara Arsitektur Dengan Ilmu Kedokteran Hewan

Berdasarkan penjelasan dan uraian mengenai arsitektur rumah adat di Alor menjelaskan
bahwa terdapat pemisahan antara hewan peliharaan dengan manusia. Hewan ternak di ikat di
kolong gudang (Fala’).
Menurut ilmu kedokteran hewan, pemeliharaan ternak yang baik adalah tidak berdekatan
dengan pemukiman tempat tinggal manusia. Hal ini untuk meminimalisir adanya penularan
bahaya penyakit menular (zoonosis) daru hewan ke manusia. Walaupun terdapat pemisahan
dengan manusia, akan tetapi Fala’ (gudang) tersebut digunakan juga sebagai tempat untuk
memasak. Tentunya kotoran hewan dibawah kolong mengundang lalat sehingga dapat
mencemari makanan yang dimasak atau diproses.

2.2 Sistem Lingkungan, Tata Ruang Dan Arsitektur Serta Hubungannya Dengan Ilmu
Kedokteran Hewan Di Wilayah Manggarai

Mbaru niang adalah salah satu rumah tradisional di Wae Rebo manggarai. Rumah adat
ini berbentuk kerucut dan memiliki 5 lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Wae rebo
memiliki 7 rumah utama atau mbaru niang.Rumah ini tidak bisa ditambah ataupun di kurangi.
Masyarakat bisa membangun rumah disekeliling kampung namun tidak boleh sama dengan
mbaru niang.

 Lokasi

Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di kecamatan satarmese


barat, desa satar lenda.Desa ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian.

Gambar 5. Desa Wae Rebo

 Tatanan rumah mbaru niang

Rumah mbaru niang sendri berfungsi sebagai tempat keluarga, yang


diperuntukkan bagi 6-8 keluarga yang membagi ruang pribadinya dalam sekat kamar
di satu lantai. Mbaru niang terdiri dari 5 lantai, yaitu:
1. Pada tingkat pertama yang disebut lutur/tenda digunakan sebagai tempat tinggal
dan berkumpul dengan keluarga. Juga sebagai tempat menyambut tamu dan aktivitas
sehari-hari.

Gambar 6. Tingkat pertama

Gambar 7. Tingkat pertama

2. Tingkat kedua, berupa loteng atau disebut lobo berarti loteng yang berfungsi
untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari.
Gambar 8. Tingkat kedua

3. Tingkat ketiga disebut lentar (lentar berarti jagung) untuk menyimpan benih-benih
tanaman pangan seperti benih-benih tanaman jagung, padi, dan kacang-kacangan.

4. Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan cadangan bahan
pangan yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat karena gagal panen.

5. Tingkat kelima atau paling atas yang disebut hekang kode digunakan untuk
melakukan upacara adat ancam bobong atau menempatkan sesaji buat leluhur.

 Struktur rumah mbaru niang

Rumah adat wae rebo berbentuk kerucut dengan atap yang menjuntai hampir
menyantuh tanah yang terbuat dari daun lontar, dan struktur lantai yang menggunakan
struktur panggung. Konstruksi rumah adat ini menggunakan sistim pasak dan pen yang
kemudian diikat menggunakan rotan sebagai tali.Bahan yang digunakan adalah kayu
worok dan bambu, dan penutup atap menggunakan daun lontar yang kering/alang-
alang.

Membangun rumah adat ini membutuhkan waktu selama 1 tahun, karena


keseluruhan bahan bangunan diambil secara biaksana dari hutan disekitar kampung wae
rebo. Kayu yang dipasang ditengah rumah adat (siri bongkok) setinggi 15 meter.
Pondasi dari rumah niang terdiri dari beberapa bilah batang kayu yang ditanam ke tanah
sedalam 2 meter.

Gambar 9. Struktur rumah Mbaru Niang

1. Lantai pertama mbaru niang.

Lantai pertama ini berdiameter 11 meter, dan merupakan lantai utama, dimana
disinilah kehidupan sosial masyarakat berlangsung.Lantai pertama ini dibuat segera
setelah pondasi selesai dibangun. Diatas lantai pertama inilah didirikan tiang utama
hingga kepucuk mbaru niang yang dilengkapi dengan tangga bambu untuk menaiki
setiap tingkat.

Gambar 10. Lantai pertama Mbaru Niang

2. Tiang utama/bongkok

Tiang utama berdiri diatas lantai pertama.Untuk menyangga tiang utama ini,
ditahan dengan tali rotan yang diikatkan pada 3 hingga 4 pasak. Tiang utama ini akan
menjadi penyangga dari keseluruhan aktivitas pembangunan rumah.
3. Penyangga dinding dan atap

Penyangga dinding sekaligus berfungsi sebagai atap ii adalah kumpulan rotan


dalam satu ikatan, ukurannya sangat besar dan panangnya disesuaikan dengan keliling
lingkaran, jadi yang paling panjang ada dilantai 1, sepanjang 34,54 m (keliling
lingkaran= 2 phi r) dan semakin atas semakin pendek. Selain kumpulan rotan besar
sebagai penyangga utama, ada juga bambu-bambu yang berfungsi sebagai reng atau
penyangga yang mengikat sekumpulan ijuk atau alang-alang yang disusun bergantian.

Gambar 11. Penyangga dinding dan atap

4. Pekerja lanjutan

Setelah lantai pertama dan tiang utama berdiri, pembangunan lantai


keberikutnya akan menyesuaikan, dibangun secara simultan dari lantai terbawah
hingga keatas. Setelah keseluruhan struktur utama selesai , hingga bambu pengikat
atap siap barulah pemasangan ijuk dan alang-alang dilakukan untuk menutupi
keseluruhan rumah.

Pada puncak rumah adat akan diletakkan tanduk kerbau yang sebelumya sudah
didoakan dalam upacara paki kaba congko lokap.
2.2.1 Fungsi Rumah Adat Manggarai

 Sebagai tempat tinggal dari tua golo, tua teno, dan tua panga yang memiliki
kedudukan tertinggi didalam adat manggarai serta garis keturunannya.

 Sebagai tempat musyawarah dalam melakukan kegiatan musyawarah atau pun yang
sering disebut reje leleng bantang cama.

 Sebagai tempat dilaksanakanya upacara penti ataupun upacara adat lainnya.

2.2.2 Hubungan Dengan Kedokteran Hewan

Pemanfaatan lobo yang digunakan untuk menyimpan bahan pangan seperti daging
dapat menyebabkan faktor penyebaran penyakit. Daging yang telah terkontamiasi agen
penyakit dapat menyebar ke manusia apabila penyimpanan tidak memperhatikan aspek
higiene.
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Rumah arsitektur ini meliputi rumah adat Alor dan Manggarai. Rumah adat Alor
terbagi menjadi 2, yaitu Kolwat dan Kanuarwat. Rumah adat kolwat memiliki bentuk
sederhana berbentuk bujur sangkar dengan ukuran kurang lebih 3,70 M x 3,70 M. Sedangkan
Kanuarwat memiliki bentuk denah sama denga bentuk rumah adat kolwat yaitu bujur sangkar
dengan ukuan kurang lebih 370x370cm (3,70x3,70m) tapi perbedaan terletak pada
penempatan tiang utama dan bukaan pintu.

Sedangkan rumah adat Manggarai dikenal juga dengan Mbaru Niang. Mbaru niang
adalah salah satu rumah tradisional di Wae Rebo manggarai. Rumah adat ini berbentuk
kerucut dan memiliki 5 lantai dengan tinggi sekitar 15 meter.
DAFTAR PUSTAKA

http://derosaryebed.blogspot.com/2011/12/arsitektur-rumah-tradisional-alor.html

http://www.academia.edu/8451876/
arsitektur_mbaru_niang_NTT_peninggalan_arsitektur_tradisional_cerdas.

Louis, Monica. 2015. Fungsi dan Makna Ruang pada Rumah Adat Mbaru Niang Wae Rebo.
Jurnal INTRA Vol. 3 No.2. Universitas Kristen Petra: Program Studi Desain
Interior.

Anda mungkin juga menyukai