Anda di halaman 1dari 25

http://parammpa.blogspot.co.id/2015/01/seni-rupa-bataktoba_5.

html

RUMAH BATAK TOBA

Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah
perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan
rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal,
sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan
padi. Disebut Rumah Bolon karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka
yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah Tuhan. Rumah dan sopo
dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Ada
beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah adat
dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu. Batara Guru.
Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang.
Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut
Jabu Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi
hak anak bungsu. Penataan lumban berbentuk lebih menyerupai sebuah benteng dari pada
sebuah desa.
Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah
tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos
yang terbagi alas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk
kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk
atap rumah.
Pada penataan bangunan yang terdiri dari beberapa ruma dan sopo sangat
menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan rumah dan mengacu pada

poros utara selatan. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang
didominasi oleh bertani, dengan padi sebagai sumber kehidupan yang sangat
dihargainya. Di dalam lumban, terdapat beberapa rumah dan sopo yang tertata secara
linear. Beberapa ruma tersebut menunjukkan bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan
extended family dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.
BAGIAN-BAGIAN RUMAH BATAK
Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek,
pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur
membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).
4. Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah
adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan
benda-benda keramat (ugasan homitan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920
berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis,
ketiga benua itu adalah :
1.

Banua toru (bawah)

2.

Banua tonga (tengah)

3.

Banua ginjang (atas)

ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang
melengkung menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang
kencang.
Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku
batak menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan
pusaka mereka.
BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia
tengah, dunia tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur,
bersenda gurau. Bagian badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak
bala.

PONDASI
1.
Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu
sebagai tumpuan dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.
2.
Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang
fleksibel, sehingga tahan terhadap gempa
3.
Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan
kekokohanMengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih
banyaknya batu ojahan dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum
ditemukannya alat perekat seperti semen
DINDING
Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk Tali-tali pengikat
dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini
membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang,
maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak
belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan
saling menghormati.
PINTU MASUK BANGUNAN
Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi
dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Proses Mendirikan Rumah:
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang
diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan mangarade. Bahan-bahan yang
diinginkan antara lain:
tiang, tustus(pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, tureture, sijongjongi, sitinda
ngi, songsongboltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung
dan sebagainya yang diperlukan. Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan
tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba dikenal
sebagai marsirumpa suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya
diserahkan kepada pande (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang)
untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan
keinginan si pemilik rumah apakah bentuk Ruma atau Sopo.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan
bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok
oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut mamingning.

Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang Jabu bona. Dan
kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang jabu soding yang seterusnya secara berturut
dipergunakan untuk tiang jabu suhat dan si tampar piring.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah marsitiktik. Yang
pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan Tais pe
banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah
penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah
tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan hot
di ojahanna dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di
mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang
yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari pandingdingan
yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan Ndang tartea sahalak
sada pandingdingansebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam
memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan parhongkom dengan menggunakan hansinghansing sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan Hot di
batuna jala ransang di ransang-ransangna dan hansing di hansing-hansingna, yang
berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga
dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu
rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut bungkulan ditopang oleh tiang
ninggor. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh sitindangi, dan penopang
yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai sijongjongi. Bagi orang Batak, tiang
ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak
lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan
sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut arop-arop. Ini merupakan simbol dari
adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan
pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang
Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan
Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebutSi tompa hasiangan jala
Sigomgom parluhutan.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan
menahan atap supaya tetap kokoh ada songsong boltok. Maknanya, seandainya ada
tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan
kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan
Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan
disimpan dalam hati.

Ombis-ombis terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke
depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi
sebagai pemersatu kekuatan bagi urur yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga
tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat
menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput
dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari
sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebutPangombisi do ibana
di angka ulaon ni dongan yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi
sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak
disebut papan. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai
(halang papan) yang disebut dengan gulang-gulang. Dapat juga berfungsi untuk
memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan Hot do jabu i
hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku
tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan talaga. Semua yang kotor seperti
debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah
yang mengatakan Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan yang dapat
mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat
membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan
ruangan tersebut dinamai sebagai songkor. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah
ruangan tersebut digunakan sebagai tempat pargonsi (penabuh gendang Batak) dan ada
juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul
setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan
berbentuk panggung yang disebut pangabang, dipergunakan untuk tempat menyimpan
padi, biasanya dimasukkan dalam bahul-bahul. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar
disebut dengan ompon. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat
kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai Parbahul-bahul na bolon. Dan ada juga falsafah
yang mengatakan Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma

pangomoan, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian
menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah dibangun para-para sebagai tempat ijuk yang
kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat parlabian
digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan
lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan Ijuk di para-para, hotang di
parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan yang artinya
kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum
lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan tangga yang berada di sebelah
depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk
Ruma dulu kala berada di tampunak. Karena itu ada falsafah yang berbunyi
bahwa Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi
jala tangkas ma sipairing-iringan.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila
tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang.
Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering
dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan Tangga
rege-rege.
Gorga
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang,
mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak,
kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan
ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja.
Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta
kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di
anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit
perbedaan dengan rumah adat yang asli didaerahnya.
Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang
rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi
ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang
pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di
Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur,
alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa
contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan
sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat
dan sebagainya.
NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK

Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan
berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai
filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat
tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam
tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya
sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya,
agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap
budayanya.
- Diambil dari segala SUMBER !!! -

injauan

Rumah adat ini disebut sebagai Si Baganding Tua oleh suku Batak, yaitu makhluk seperti
ular yang panjangnya sekira dua jengkal. Dahulu nenek moyang orang Batak percaya
bahwa nasib mujur dan rezeki yang melimpah dibawa Si Banganding Tua.
Ruma gorga atau sering disebut ruma bolon atau Si Baganding Tua adalah rumah adat
suku Batak yang sekaligus menjadi simbol status sosial masyarakat yang tinggal di Tapanuli,
Sumatera Utara. Mereka yang dikategorikan sebagai suku Batak itu meliputi 6 puak, yaitu:
Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing.

Rumah adat Batak terdiri atas 2 bangunan utama yaitu ruma (tempat tinggal) dan sopo
(lumbung padi). Letak keduanya saling berhadapan dipisahkan pelataran luas yang berfungsi
sebagai ruang kegiatan warganya. Rumah adat ini berbentuk empat persegi panjang dengan
denah dalamnya merupakan ruangan terbuka tanpa kamar atau pun sekat pemisah. Dahulu,
sebuah rumah adat Batak berukuran besar (rumah bolon) dihuni 2 hingga 6 keluarga.
Sapukan pandangan Anda pada rumah adat ini yang atapnya berbentuk segitiga dan
bertingkat tiga. Amati bagaimana di setiap puncak dan segitiganya terdapat kepala kerbau
yang melambangkan kesejahteraan bagi penghuni rumahnya. Ciri utama bagian atap yang
berbentuk segitiga tersebut berbahan anyaman bambu (lambe-lambe). Biasanya lambe-lambe
menjadi personifikasi sifat pemilik rumah tersebut yang ditandai dengan warna merah, putih
dan hitam.
Perhatikan juga lekukan ketelitian dari ukiran tradisional di dinding rumah adat ini. Bagian
luar dan depan rumah memuat ukiran yang dicat tiga warna yaitu merah-hitam-putih. Ukiran
tersebut nyatanya penuh makna simbolik yang menampilkan pandangan kosmologis dan
filosofis budaya Batak. Di sebelah kiri dan kanan tiang rumah ada ukiran yang
menggambarkan payudara sebagai lambang kesuburan (odap-odap). Ada juga ukiran cicak
sebagai lambang penjaga dan pelindung rumah (boraspati).
Rumah adat Batak dihiasi ukiran khas Batak yang disebut gorga. Gorga bagi suku Batak
adalah ornamen yang mengandung unsur mistis penolak bala. Biasanya ukiran gorga
ditempatkan di dinding rumah bagian luar.
Keunikan desain ruma bolon adalah hiasan pada kusen pintu masuknya berupa ukiran telur
dan panah. Tali-tali pengikat dinding miring (tali ret-ret) terbuat dari ijuk atau rotan yang
membentuk pola seperti cicak berkepala 2 saling bertolak belakang. Cicak itu dikiaskan
sebagai penjaga rumah dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan penghuni
rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.

Pada konsep tradisional, nyatanya memang rumah-rumah tradisional di Nusantara tidak


hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian tetapi juga sekaligus melalui
unsur-unsur bentuk tertentu. Posisi ruma bolon juga menunjukan tentang kepercayaan suku
ini yaitu banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah/bumi), dan banua toru (dunia
bawah atau dunia makhluk halus).
Penataan perkampungan suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar dua saling berhadapan
berporos ke arah utara selatan dan membentuk perkampungan yang disebut lumban atau
huta. Perkampungan tersebut memiliki 2 pintu gerbang (bahal) di sisi utara dan selatannya.
Sekeliling lingkungan dipagari tembok setinggi 2 meter (parik) berbahan tanah liat dan batu.
Selain itu, di setiap sudutnya dibuat menara pengawas karena dahulu mereka masih sering
berperang. Tidak berlebihan apabila bentuk asli perkampungan suku Batak dulunya
menyerupai benteng.

Dahulu sebuah perkampungan suku Batak dibuat dengan menggali tanah membentuk parit
mengelilinginya juga ditanami bambu setinggi 3 meter. Bentuk perkampungan itu jadinya
lebih menyerupai sebuah benteng untuk melindungi warganya dari serangan suku lain.
Sebutan untuk rumah Batak disesuaikan dengan hiasannya. Rumah adat dengan beragam
hiasan yang indah yang rumit dinamakan disebut ruma gorgasarimunggu atau jabu.
Sementara rumah adat yang tidak memiliki ukiran dinamakan jabu ereng atau jabu batara
siang.
Untuk ruma gorga yang berukuran besar dinamakan ruma bolon. Selain sebagai tempat
tinggal dahulu ruma bolon juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat
religius. Sementara itu, ruma gorga yang berukuran kecil disebut jabu parbale-balean. Selain
keduanya ada juga ruma parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi hak seorang anak
bungsu.
Ruma bolon kini tidak lagi dibangun oleh masyarakat Batak mengingat semakin sedikitnya
orang yang mampu membangunnya (pande). Selain itu, bahan pembuat bangunannya sulit
didapat serta harganya akan jauh lebih mahal dari rumah modern.
Akan tetapi, Anda masih dapat melihat langsung rangkaian utuh rumah adat kaya nilai
budaya Batak ini di beberapa tempat seperti di Kabupaten Tapanuli Utara di Desa Tomok,
Desa Ambarita, Desa Silaen, dan Desa Lumban Nabolon Parbagasan. Desa-desa tersebut
hingga kini terus menjadi daya tarik wisata budaya dan banyak dikunjungi wisatawan.
Nenek moyang orang suku Batak sendiri berasal dari Tamil India dimana mereka datang
abad ke-10 untuk berdagang rempah-rempah ke Pulau Sumatera melalui pelabuhan Barus.
Pada abad ke-18 permukiman kuno warga Tamil India ditemukan di Lobu Tua, Barus,
diperkirakan perkampunga tersebut sudah berusia lebih dari dua abad. Ada dua prasasti
berbahasa Tamil ditemukan di kawasan itu yang menyatakan bahwa tahun 1088 sebanyak
1.500 warga Tamil datang ke Barus untuk berdagang kapur barus dan kemeyan.Kata batak
sendiri berasal dari kata mamatak hoda yang bermakna si penunggang kuda, apakah ini
ada kaitan dengan pendatang dari Tamil tersebut?

. Kebudayaan Batak
Orang Batak dewasa ini untuk bagian terbesar mendiami wilayah Sumatra Utara. Mulai
dari perbatasan daerah istimewa Aceh di utara sampai perbatasan dengan Riau dan Sumatra
barat di sebelah Selatan. Selain daripada itu, orang Batak juga mendiami tanah datar yang
berada diantara pegunungan dengan pantai timur Sumatra utara dan pantai barat Sumatra
utara. Dengan demikian maka orang batak ini mendiami dataran Tinggi karo,Langkat hulu,
Deli hulu, Serdang hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, dan
Mandailing dan kabupaten tapanuli Tengah.
Pada umumnya daerah ini terkenal iklim musim tanah di datar di antara daerah
pegunungan dan pantai merupakan daerah subur untuk pertanian, sedangkan daerah
pegunungan terdiri dari padang rumput. Daerah pegunungan itu, masih dapat memberikan
hidup kepada penghuninya berkat penggunaan teknik irigasi dan penggunaan pupuk. Teknik
pengolahanya dengan sistim tegalan dan sawah. Daerah sawah sehabis panen padi lalu di
tanam palawija yang merupakan barang ekspor utama dari daerah itu. Ditempat yang
penanaman padinya kurang menguntungkan maka di tanam seperti bawang kacang, buahbuahan dan nilam disamping hasil hutan lainya.

Suatu hal yang menguntungkan bagi orang batak ialah, sejak jaman kemerdekaan
jaringan jalan-jalan raya telah mencapai sampai keplosok-plosok. Dengan demikian prasarana
yang menghubungkan dan memperkenalkan orang batak dengan dunia luar telah tersedia.
Suku bangsa batak lebih khusus terdiri dari Sub suku-suku bangsa: (1) Karo yang
mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo langkat hulu, deli hulu,
serdang hulu dan sebagian dari dairi (menurut sensus 1930 mereka diperkirakan terdiri dari
120.000). (2) Simalungun yang mendiami daerah induk simalungun (50.000 orang menurut
sensus 1930;) (3) Pakpak yang mendiami daerah indukdairi (22.000 menurut sensus 1930);
(4) Toba yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi daerah tepi danau toba, pulau
samosir, dataran tinggi toba, daerah asahan, silindung, daerah antara barus dan sibulga dan
daerah pegunungan pahai dan habin saran(jumlah mereka terbesar diantara sub suku-suku
bangsa batak,ialah 40.000 menurut sensus 1930). (5) Angkola yang mendiami daerah induk
angkola dan sipirok sebagaian dari sibolga dan batang toru dan bagian utara dari padang
lawas ; (6) Mandailing yang mendiami daerah induk mandailing, ulu, pakatan dan bagian
selatan dari padang lawas (bersama-sama dengan orang angkola mereka diperkiran berjumlah
160.000 orang menurut sensus 1930). Menurut cerita-cerita suci (tarombo) orang batak ,
terutama dari orang batak toba.semua sub suku-suku bangsa Batak itu mempunyai nenek
moyang yang satu yaitu Si Raja Batak.
B. Unsur-unsur Kebudayaan Batak
1. Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa
logat, ialah: (1) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang dipakai
oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4) Logat Toba yang
dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing. Di antara keempat logat tersebut, dua
yang paling jauh jaraknya satu dengan lain adalah logat Karo dan Toba.
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang
diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan dua
jenis musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan
bercocok tanam.
Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga
menguasai konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar
mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan hidup
mereka sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya. Jenis
tumbuhan bambu misalnya dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air,

ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk membuat
lesung dan alu, yang kegunaannya untuk menumbuk padi.
Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang
dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari kulit kayu
biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat
dan ratapan. Kulit kayu (lak-lak) tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang
menggunakan lak-lak tersebut hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan
menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara efektif dan memanfaatkan
untuk acara tergambar pemakaman raja-raja. Upacara pemakaman itu hanya untuk raja-raja,
tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai kedudukan saja. Hal itu disebabkan pelaksanaan
upacara pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.
3. Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis keturunan
ayah.Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada masyarakat Batak, mereka
harus mampu menempatkan dirinya dalam struktur itu sehingga mereka selalu dapat mencari
kemungkinan hubungan kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur. Hubungan
antara satu marga dengan marga lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa kelompok
kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar, apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan sebutan
dongan-sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama). Garis keturunan laki-laki
diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang
dilahirkan. Sistem kekerabatan patrilineal ini yang menjadi tulang punggung masyarakat
Batak, yang terdiri atas turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya
saling dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk kelompok
kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan (affinal relationship),
karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala
dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau aniani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso
gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang
panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang
mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak. Rumah Batak biasanya didirikan
di atas tiang kayu yang banyak, berdinding miring, beratap ijuk. Letaknya memanjang kira

kira 10 20 meter dari timur ke barat. Pintunya ada di sisi barat dan timur pada rumah Karo
dan Simanuwun, atau pada salah satu ujung lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong).
Pada bagian puncaknya yang menjulang ke atas di sebelah barat dan timur dipasang tanduk
kerbau atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk setengah lingkaran
( kecuali rumah empat ayo pada Karo). Pada bagian depan (barat dan timur) rumah Karo
yang disebut ayo ada ornamentasi geometris dengan warna warna merah , putih , kuning dan
hitam. Pada sisi kanan kiri pada kedua mukanya rumah batak menggunakan lukisan (arca).
Kepala orang atau singa (Kalamakara). Dindingnya diikat dengan tali ijuk yang disusun
sedemikian rupa sehingga menyerupai gambar cecak ( Reret ).
Satu bagian yang merupakan keistimewaan dari rumah Karo dan yang tidak ada pada
rumah Batak yang lainadalah semacam teras dari bamboo yang disusun di serambi muka.
Teras ini disebut Ture yang pada malam harinya digunakan sebagai tempat pertemuan gadis
dan pemuda yang menemuinya. Satu rumah Batak itu biasanya dihuni oleh beberapa keluarga
batih yang satu dengan lain, terikat dengan hubungan kekerabatan secara patrilinear.
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi, tetapi masih banyak juga,
terutama diantara orang Karo, Simalungun dan Pakpak yang masih bercocok tanam di ladang.
Yang dibuka di hutan dengan cara di bakar dan menebang pohon.
Pada sistem bercocok tanam di ladang , Huta atau Kutalah yang memegang hak Ulaya
tanah. Sedangkan hanya warga Huta atau Kuta yang berhak untuk memakai wilayah itu.
Mereka menggarap tanah itu seperti menggarap tanahnya sendiri, tetapi tak dapat menjualnya
tanpa persetujuan dari Huta yang diputuskan dengan musyawarah. Tanah yang dimiliki
individu juga ada. Pada orang batak toba misalnya ada tanah panjaenan, tanah pauseang dan
tanah parbagian.
Didalam masyarakat orang Batak Karo dan Simalungun ada perbedaan antara
golongan yang merupakan keturunan dari para pendiri Huta, dengan golongan yang
merupakan keturunan dari penduduk Kuta yang datang kemudian. Golongan para pendiri
Kuta, ialah para Marga Taneh. Memiliki tanah yang paling luas sedangkan golongan lainnya
biasanya hanya memiliki tanah yang hanya sekedar hidup. Di daerah Dairi disamping
menanam padi , luas juga tanah yang di Tanami kopi. Dalam bercocok tanam baik di ladang
maupun di sawah , orang perempuan batak mengambil peranan yang amat penting, terutama
dalam tahap-tahap menanam.
Orang Batak juga mengenal system gotong royong kuno dalam hal bercocok tanam.
Dalam bahasa Karo activated itu disebut Raron , sedangkan dalam bahasa Toba hal itu
disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabatat dekat , bersama-sama
mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan suatu

pranata yang ke anggotaannya sangat suka rela dan lamanya berdiri tergantung kepada
perstujuan pesertanya walaupun minimal selama jumlah pesertanya satu hari.
Alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam adalah, cangkul, tongkat tugal. Bajak
biasanya ditarik oleh kerbau , atau oleh sapi. Orang Batak umumnya memotong padi dengan
sabit ( Sabi-sabi ) , atau dengan ani-ani. Selain itu peternakan juga suatu penghasilan yang
penting pada orang Batak umumnya. Mereka memelihara kerbau, sapi, babi, kambing, ayam,
bebek. Kerbau banyak di gunakan sebagai binatang penghela dan untuk upacara adat,
sedangkan babi dimakan dan untuk pemberian adat. Sapi, kambing, ayam di jual untuk
melayani kota-kota terutama Medan.
Di daerah tepi danau Toba dan di pulau Samosir menangkap ikan merupaka suatu
mata pencaharian yang penting. Penangkapan ikan dilakukan dengan amat intensif dalam
musim tertentu, misalnya dalam bulan Juli sampai Agustus. Pekerjaan dilakukan eksklusif
laki-laki dalam prahu lesung ( Solu ) dengan jala , pancing dan perangkap-perangkap ikan.
Ikan di jual di pasar-pasar untuk dibawa ke kota-kota seperti ke Baligo.
6. Sistem Religi
Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama, yaitu agama Islam dan Kristen
Protestan yang masuk sejak permulaan abad ke-19. Agama Islam masuk di Minangkabau
sejak tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar dari orang Batak selatan
(Mandailing dan Angkola). Sedangkan agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan
Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman sejak tahun 1863 dan ke daerah Karo
oleh organisasi Belanda pada masa yang sama. Di samping itu juga ada agama-agama lain
dan agama pribumi.
Walaupun sebagian besar orang Batak telah menganut agama Kristen atau Islam,
namun banyak konsep-konsep agama aslinya masih hidup terutama di pedesaan. Hal ini dapat
diketahui lewat buku-buku kuno (pustaha) yang berisi silsilah Batak dan dunia makhluk
halus.
Orang Batak punya konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya diciptakan oleh
Debata (Ompung) Mulajadi na Bolon. Dia berada di atas langit dan mempunyai nama-nama
lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia
tinggal di langit dan merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat
tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na Bolon (Toba) ,atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).
Sebagai penguasai dunia makhluk halus ia bernama Pane na Bolon. Selain daripada pencipta,
Debata Mulajadi na Bolon juga menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala alam,
seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane na Bolon mengatur setiap penjuru-mata angin.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep,yaitu Tondi,
sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu sendiri dan sekaligus juga

merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.Bedanya
dengan tondi ialah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya
juga berbeda-beda.Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang
biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala
itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala
menyebabkan seseorang kurang disegani, atau ke- datuannya menjadi hilang.
Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan
demikian pula sahala atau sumangat (Karo). Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan
yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang
akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan
sahala ,yang dapat berkurang atau bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila
tondi meninggalkan badan untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila
untuk seterusnya,orang itu mati. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena ada kekuatan
lain(sambaon) yang menawannya.
Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara
kebalikannya,yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan
begu pada malam hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan
kebutuhannya,begu di puja dengan sajian (pelean).
Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu(begu dari
1.
2.
3.
4.

nenek moyang). Di kalangan orang Batak Karo dikenal adanya beberapa macam begu, ialah:
Batara guru atau begu parkakun jabu
Bicara guru
Begu mate sada wari
Mate kayat-kayaten
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang batak toba juga percaya kepada kekuatan
sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal panaluandan kepada mantra-mantra yang
mengandung kekuatan sakti.Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang batk

toba(pustaha),berasal dari si Raja Batak.


7. Kesenian
Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni musik, seni tari, seni
bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan. Terdapat beberapa seni masyarakat Batak,
antara lain:
a. Margondang
Upacara margondang diadakan untuk menyambut kelahiran anak mereka dan sekaligus
mengumumkan kepada warga kampung bahwa dia sudah mempunyai anak. Kata
margondang merupakan bentukan dari kata dasar gondang (gendang) yang mendapat awalan
me- atau ber-. Margondang menyatakan kata kerja yakni bergendang atau memainkan alat
musik gendang. Margondang merupakan suatu kebiasaan masyarakat Batak yang dilakukan

dalam suatu upacara tertentu. Tujuan filosofinya adalah untuk mengukuhkan muatan religi
acara tersebut karena merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.
b. Seni Tari (Tor-tor)
Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang (gendang). Tortor pada
dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat sakral, bukan semata-mata seni. Tortor dan
gondang diadakan apabila upacara penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya
melaksanakan horja (kerja adat) antara lain: mengawinkan anak, martutuaek memandikan
atau memberi nama anak), memasuki rumah baru, mengadakan pesta saring-saring (upacara
menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon); upacara tahunan, dan pesta
edangedang (pesta sukaria).
c. Seni Patung
Dulu, biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam. Kehadiran patung pada suku
Batak diduga sudah ada sejak lama sekali. Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat
dari tumpukan tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan.
Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat sekali dengan
kepentingan kepercayaan masyarakat. Kemudian tumpukan batu itu berkembang terus dan
berubah menjadi sebuah bentuk patung. Sesuai dengan perkembangannya dari wujud sakral
beralih kepada bentuk yang simbolis memberi rupa wajah manusia atau binatang. Di Tomok,
Pulau Samosir, terdapat jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Bapak
Charles Sidabutar, salah satu keturunan raja yang kini menjaga makam, menjelaskan bahwa
sesuai kepercayaan setempat pada saat itu, jenazah tidak boleh dimakamkan di tanah,
melainkan harus di dalam batu.
d. Kerajinan Tangan (Ulos)
Ulos adalah kain tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil kerajinan seni budaya saja,
kain Ulos pun sarat dengan arti dan makna. Sebagian besar masyarakat Tapanuli menganggap
kain tenun Ulos adalah perlambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang
komunikasi dalam masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, kain tenun Ulos selalu digunakan
dalam setiap upacara, kegiatan dan berbagai acara dalam adat Suku Batak. Misalnya, untuk
perkawinan, kelahiran anak, punya rumah baru, sampai acara kematian.
Tiap-tiap kain tenun Ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna tersendiri, baik bagi
pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya. Misalnya saja Ulos Ragidup. Ulos ini adalah
kain tenun yang tertinggi derajatnya. Sebab, pembuatannya sangatlah sulit. Kain tenun ulos
jenis ini terdiri dari tiga bagian, yaitu 2 sisi yang ditenun sekaligus, dan 1 bagian tengah yang
ditenun sendiri dengan motif yang rumit. Motif Ulos Ragidup ini harus terlihat seperti benarbenar lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai ulos yang
melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan.

Ulos Ragihotang. Ulos ini derajatnya 1 tingkat di bawah ulos ragidup. Pembuatannya tidak
serumit Ulos Ragidup. Namun, Ulos Ragihotang punya arti dan keistimewaan yang
berhubungan dengan pekerjaan. Ulos ini pun sering dipakai dalam upacara adat kematian
sebagai pembungkus atau penutup jenazah yang akan dikebumikan. Ulos jenis ini
mengartikan bahwa pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.
Selain kedua jenis ulos tersebut, ada satu jenis ulos yang disebut Ulos Sibolang. Ulos ini
digunakan sebagai tanda jasa penghormatan. Biasanya dipakai oleh orangtua pengantin atau
diberikan oleh orangtua pengantin perempuan buat menantunya. Oleh karena itu, Ulos
Sibolang dijadikan sebagai lambang penyambutan anggota keluarga baru. Ulos Sibolang juga
diberikan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Ulos ini diberikan sebagai
tanda menghormati jasanya yang telah menjadi istri yang baik, sekaligus sebagai tanda bahwa
ia telah menjadi janda.

ulau Samosir: Orang Makan Orang, Payu Dara Besar


Fajar yang menjengah keesokan hari memberi laluan kepada satu lagi
pengalaman berharga buat saya dan keluarga saya. Kunjungan ke
perkampungan kaum Batak Toba - Ambarita dan Tomok - yang terkenal dengan
legenda tersendiri pasti tidak akan dilupakan. Di sinilah saya mengetahui dengan
mendalam
budaya
orang
Batak.
Pertamanya kami ke perkampungan Ambarita. Letaknya di Pulau Samosir. Dari
hotel kami di Parapat kami harus menyeberanginya dengan bot kira-kira 45
minit.

Kedai-kedai di Ambarita

Di Ambarita kami melalui kedai-kedai yang menjual pelbagai pakaian, barangan


kraf tangan, ukiran kayu dan barang kenang-kenangan. Sentiasa peniagapeniaganya meminta kami singgah dan membeli barang-barang mereka. Kami
mendapat layanan istimewa. Tangan kami ditarik masuk ke kedai. Barangbarangnya dijual murah kalau pandai menawar. Nasihat saya tawarlah separuh
harga dari harga yang diletakkan. Tapi ada seorang Otai tu, dia ikat harga dan
tidak diberinya kami tawar. Mulutnya laser jugak. Bila kami tak mahu beli dan
beredar dari kedainya dia kata, "Jangan sombong ya." Kami dah kena dah.

Berdesup.

Rumat Adat orang Batak

Rumah Adat adalah kebanggaan orang Batak. Ia mempunyai tiga tingkat. Tingkat
atas sekali tempat letak makanan dan barang-barang. Tingkat tengahnya tempat
tinggal ahli keluarga manakala di bahagian bawah rumah (kolong) tempat
kurungan
ternakan
seperti
babi
atau
ayam.
Ada sebuah balai dibina di hadapan Rumah Adat. Balai ini tidak berdinding,
tetapi beratap, berlantai dan bertiang. Balai ini adalah tempat tidur anak-anak
lelaki Batak yang berumur 10 tahun. Pada siang hari balai ini didatangi oleh
anak-anak dara untuk menenun ulos iaitu kain selepang tradisional orang Batak
Toba.
Terdapat ukiran cicak dan empat butir payu dara diabadikan pada gelegar depan
balai. Cicak ini mempunyai makna dalam budaya orang Batak Toba. Cicak
melambangkan makhluk yang ada di mana-mana dan tempat tinggal cicak
kebiasaannya di rumah. Cicak itu merangkak menghala ke arah payu dara. Ini
bermakna walau seseorang anak Batak itu merantau jauh dia pasti pulang ke
pertiwinya. Pertiwi bermaksud ibu susu. Payu dara pula melambangkan
kesuburan wanita. Orang Batak amat mementingkan saiz payu dara yang besar.

Kubur orang Batak Toba pula diletakkan di halaman rumah dan tempatnya tinggi
di atas bukit, kerana mereka percaya bahawa simati lebih dekat dengan Dewa.

Perkampungan Batak

Sebuah Rumah Adat boleh dihuni sehingga 40 orang ahli keluarga atau 4-5 buah
keluarga. Walaupun ahli keluarga sudah berkahwin mereka tetap tinggal
serumah. Rumah adat tidak berbilik tetapi dibatasi dengan kain rentang. Atap
Rumah Adat berbentuk perahu. Pintunya kecil dan rendah kerana orang yang
masuk ke rumah adat ini harus memberi hormat kepada tuan rumah. Dengan
kerendahan pintunya maka sesiapa yang masuk pasti tunduk dan membongkok.

Rumah Raja Siallagan


Di Ambarita ini terdapat perkampungan orang Batak Toba. Raja yang terkenal
ialah Raja Siallagan. Perkampungan Raja Siallagan ini masih dipelihara dan
dikunjungi. Rumah Raja Siallagan memiliki set kerusi batu di halamannya. Batubatu megalitik yang berusia ratusan tahun ini adalah tempat persidangan,
mesyuarat dan tempat pengadilan. Orang yang bersalah dipasung di bawah
rumahnya kemudian dibawa ke pengadilan. Setalah dibicara, pesalah dibawa ke
set
batu
yang
terletak
di
bahagian
lain
kampung
ini.
Ada cerita mistik dan magis dalam kehidupan raja ini dan penduduk Ambarita.
Mereka mengamalkan ilmu hitam. Raja menunjukkan kekuasaannya dengan
mematikan ilmu hitam orang lain. Cara yang dilakukan agak kejam, iaitu dada
orang itu ditoreh, sekiranya tiada darah keluar bermakna ilmu hitam orang itu
lebih hebat, lalu raja akan mematikannya dengan bacaan-bacaan mentera.
Setelah darah orang itu tidak keluar lagi dengan bacaan mantera itu, leher orang
itu pun dipancung lalu darahnya disiramkan ke muka Raja dan diminum.
(Agaknya daging orang itu dibuat rendang atau sate). Di sinilah muncul kisah
orang
Batak
makan
orang.
Kesimpulannya, kekuasaan seorang raja Batak terletak pada kuasa ilmu
hitamnya. Sesiapa yang mempunyai ilmu hitam lebih hebat dari raja akan
dihapuskan. Kisah Raja Batak ini amat terkenal. Itu sebabnya nama tempat ini
Ambarita bermaksud berita terkenal.

Satu lagi perkara, barang-barang orang Batak ini jangan dicuri, kalau dicuri,
alamatnya sipencuri tak jumpa jalan balik - hanya kerana ilmu hitam yang hebat.
Pencuri itu akan ditangkap dengan mudah kerana pencuri itu masih berlegarlegar di kawasan rumah tuan punya barang. Teringat saya pada kisah orangorang alim kita, hanya dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Quran seperti Ayat Qursi
mereka
boleh
tangkap
sipencuri
dengan
cara
begini.
Iktibar dari kisah ini, jangan amalkan ilmu hitam. Itu syirik. Tapi mohonlah
pertolongan daripada Allah. Bacalah ayat-ayat suci Al-Quran dan amalkan. Di
sini saya ingin kongsi sebuah hadis:
Daripada Abu Hurairah R.A, Nabi Sallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Jauhilah
tujuh dosa besar." Mereka (sahabat) bertanya, "Apakah dosa-dosa besar itu ya
Rasulullah?" Baginda menjawab, "(Iaitu) Mensyirikkan Allah, (melakukan) sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan berhak, memakan riba, makan
harta anak yatim, berpaling pada hari peperangan, menuduh perempuan yang
suci dan baik (dengan tuduhan berzina)."

Suasana di jeti Tomok

Kami menuju pula ke Tomok di Pulau Samosir. Tomok tidak berjauhan dari
Ambarita. Kami naik bot lagi. Di Tomok saya menyaksikan suku Batak Toba
berniaga ikan air tawar kering, kraf tangan, pakaian dan cenderamata. Tomok
ertinya gemuk. (Tapi penyanyi Tomok "One In a Million" tu tak gemuk pun. Pasal
apa
nama
glamour
dia
Tomok?).

Kedai-kedai cenderamata di Tomok


Tentang harga barang di Tomok, usah risau kerana ia pasti berbaloi. Anak bujang
saya pun sudah pandai menawar kerana harga yang diingini diterima. Dengan
bertegas membeli dengan harga yang dikehendaki, peniaga-peniaga di sini
menggamit semula anak bujang saya kembali ke kedainya sekiranya dia
melangkah
keluar.

Gambar kiri/atas ialah rumah adat. Gambar di atas (kanan), itulah kerandakeranda keluarga Raja Ompu Sidabutar. Yang di hujung sekali (terlindung) ialah
keranda Ompu Sidabutar. Gambar kiri/bawah ialah kubur keluarga diraja Batak.
Gambar kanan/bawah ialah bunga kecubung
Perkampungan Tomok juga mempunyai cerita yang hampir sama dengan cerita
raja Batak di Ambarita. Perkuburan Raja Ompu Sidabutar yang disimpan sebagai
bahan sejarah masih dipelihara di Tomok. Peniggalan sejarahnya tidak bisa diusir.
Ketika kami memasuki kawasan perkuburan Raja Ompu Sidabutar ini kami
disuruh menyelepangkan kain ulos di bahu dan harus mengucapkam "horas" di
situ,
sebagai
tanda
kami
diterima
di
situ.
Kami duduk mendengar cerita Raja Ompu Sidabutar dari Pak Rahmat. Saya dah
lupa cerita kepercayaan karut marut ni. Kalau tak silap saya, Ompu ni masuk
Kristian. Apabila mati, cara pengkebumiannya masih ikut adat orang Batak.
Mayatnya kena simpan dalam keranda batu. Gambar di atas (kanan), itulah
keranda-keranda keluarga Raja Ompu Sidabutar. Yang di hujung sekali
(terlindung) ialah keranda Ompu Sidabutar. Setelah mayat reput, tulangtulangnya dibasuh dan dipindahkan ke dalam kubur yang berbentuk Rumah
Adat, seperti dalam gambar di atas. Rasanya Raja Ompu ini hendak berkahwin
dengan seorang perempuan tapi tak jadi. Pasal apa dia tak jadi kawin ek?
Entah...lupa. Tapi cerita yang ini saya tak lupa sebab kelakar...menurut Pak
Rahmat orang Batak berpegang kepada kepercayaan ini, "Kalau mencari isteri
jangan cari yang cantik, carilah yang teteknya besar, kerana tetek yang besar

banyak

anak."

Setelah selesai mendengar cerita ringkas ini, kami kena pulangkan ulos itu
kepada tuan yang empunyanya, tetapi tuan empunya itu meminta duit sebelum
pulangkan ulos tu...ada ke? Sebelum ni tak cakappun. Jadi bagi le sikit dengan
terpaksa. Pandai orang Batak ni cari duit.

Kalendar orang Batak


Kalendar orang Batak ini saya beli dan bawa pulang untuk kenang-kenangan. Ia
dibuat daripada kayu dan buluh. Pada bilahan buluh itu ada torehan-torehan
menunjukkan bilangan hari. Inilah antara sejarah peninggalan Samosir yang
tidak

Anda mungkin juga menyukai