Anda di halaman 1dari 27

RUMAH ADAT SULAWESI TENGGARA

KELOMPOK 1
MUHAMMAD ICHSAN (150701112)
ZIKRUL KHALIS (150701098)
RUMAH ADAT BUTON
LATAR BELAKANG

Banua tada merupakan rumah tempat tinggal suku Wolio atau orang
Buton di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kata banua dalam bahasa
setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku. Jadi, banua
tada dapat diartikan sebagai rumah siku. Berdasarkan status sosial
penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan menjadi tiga yaitu:

kamali
banua tada tare pata pale,
dan banua tada tare talu pale.

Kamali atau lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau
istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya.
Banua tada tare pata pale yang berarti rumah siku bertiang empat
adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana.
Sementara itu, banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku
bertiang tiga adalah rumah tempat tinggal orang biasa.
(Berthyn Lakebo, 1986 ).
Fasad rumah suku wolio
Denah rumah suku wolio

Kamali atau lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau
istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya.Rumah
tempat tinggal raja atau sultan memiliki tiang samping 8 buah , dan
terdiri dari 4 tingkat.
Susunan Ruangan kamali/malige (istana)

1. Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan.


2. Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi
sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri.
3. Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi.
4. Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran.
Fasad rumah banua tada Denah rumah banua tada

Banua tada tare pata pale yang berarti rumah siku bertiang
empat adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai
istana. rumah pejabat sultan mempunyai tiang samping 6
buah.
Fasad rumah penduduk Denah rumah penduduk

banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku bertiang tiga
adalah rumah tempat tinggal orang biasa. Sementara itu,
jumlah tiang samping pada rumah orang biasa hanya 4
buah,hanya satu tingkat.
KONSTRUKSI RUMAH BUTON

konstruksi ketiga jenis bangunan tersebut pada dasarnya adalah sama, karena berasal
dari satu konstruksi yang sama, yaitu rumah yang memiliki siku atau dalam istilah
setempat disebut dengan banua tada (rumah siku). Meskipun demikian, ketiga jenis
bangunan tersebut tetap memiliki perbedaan. Perbedaan ini muncul karena adanya
perbedaan status sosial orang yang menghuninya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
jumla h tiangyang digunakan,bentuk susunan rumah, dan posisi lantairumah.
Material Rumah Buton
1. Kayu
2. Bambu
3. Daun rumbia

Kayu, digunakan untuk membuat tiang, dinding, pasak, gelegar, tangga,


maupun bahan untuk membuat kerangka atap rumah. Jenis jenis kayu
yang dianggap berkualitas untuk dijadikan bahan bangunan di
antaranya adalah kayu pohon nangka, jati, dan bayem.

Bambu, Bambu pada umumnya digunakan sebagai lantai rumah. Jenis


bambu yang dipilih adalah bambu yang sudah tua dan kemudian
diawetkan dengan cara direndam di dalam air laut selama beberapa
waktu sebelum dipasang agar dapat bertahan hingga ratusan tahun.

Daun rumbia atau nipa. Daun ini digunakan untuk membuat atap rumah.
Fungsi dan cara pembuatan beberapa
bagian rumah adat orang Buton

Sandi (sendi), yaitu fondasi tiang rumah yang terbuat dari batu kali
(sungai) atau batu gunung yang berbentuk pipih. Sandi ini hanya
diletakkan begitu saja di tanah tanpa harus ditanam atau diberi
perekat. Antara sandi dan tiang diberi papan alas yang terbuat dari
kayu keras dan ukurannya disesuaikan dengan diameter sandi dan
tiang. Bagian ini berfungsi untuk mengatur keseimbangan bangunan
secara keseluruhan.

Garaga, yaitu belahanbelahan bambu yang dipasang secara melintang


di atas galaga. Garaga ini hanya digunakan jika lantai sebuah rumah
terbuat dari bambu. Jika lantai rumah menggunakan papan kayu seperti
pada bangunan malige, maka cukup digunakan galaga saja.
Tiang yaitu bagian rumah yang berfungsi umtuk menompang bagian
bagian rumah lainnya .tiang ini memiliki peranan yang sama seperti
fondasi pada rumah modern, oleh karena itu harus menggunakan kayu
yang kuat ,kemuadian di buat 4 persegi.
Kayi atau balok penyambung, yaitu bagian rumah yang berbentuk balok
pipih dengan ukuran tebal sekitar 67 cm dan lebar 1215 cm. Panjang
balok pipih ini disesuikan dengan panjang rumah. Kayi berfungsi
sebagai penghubung antara satu tiang dengan tiang yang lain. Kayi
dibuat dengan cara menghaluskan kayu yang telah dibentuk menjadi
balok pipih.

Tumbu tada, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi untuk mengikat
atau menyambung deretan tiang yang berjejer ke samping. Tumbu tada
berukuran tebal sekitar 6 cm, lebar 12 cm, dan panjangnya disesuaikan
dengan lebar rumah. Cara membuatnya sama seperti cara pembuatan
kayi.

Galaga (gelegar), yaitu balok pipih yang diletakkan di antara tumbu tada.
Ukuran tebal dan lebarnya sama dengan ukuran tumbu tada sedangkan
panjangnya disesuaikan dengan panjang masingmasing ruang. Galaga
berfungsi sebagai landasan atau penyangga papan lantai. Cara
membuatnya sama seperti membuat kayi dan tumbu tada.
Lantai, yaitu bagian bawah atau alas (dasar) suatu ruangan atau
bangunan yang berfungsi sebagai tempat melakukan segala kegiatan di
dalam rumah. Lantai rumah tempat tinggal raja biasanya terbuat dari
kayu jati, yang melambangkan status sosial sang sultan. Maknanya
adalah bahwa sultan merupakan seorang bangsawan dan pribadi yang
selalu tenang menghadapi persoalan. Sementara itu, lantai rumah
tempat tinggal orang biasa terbuat dari kayu bambu yang sudah tua.
Agar awet, bambu tersebut terlebih dahulu direndam di air laut selama
berharihari. Setelah itu, bambu tersebut dipotong potong sesuai dengan
panjang kamar di dalam rumah, lalu dibelah dan diraut hingga halus.
Selanjutnya, belahan belahan bambu halus tersebut dijalin menjadi satu
kesatuan dengan tali penjalin yang disebut woli sehingga tampak lebih
indah.
Rindi atau dinding, yaitu bagian tengah rumah yang berfungsi sebagai
penutup semua kerangka bagian tengah bangunan (badan) rumah.
Dinding rumah adat Buton umumnya terbuat dari papan kayu. Dinding
ini dibuat dengan cara memasang papan kayu bakal dinding pada
tuorana rindi (rangka dinding) yang telah disiapkan sebelumnya.

Kerangka atap, yaitu bagian atas rumah yang berfungsi sebagai tempat
untuk melekatkan atap rumah yang terbuat dari daun rumbia atau
nipah. Kerangka atap ini terdiri dari beberapa bagian yang dirangkai
menjadi satu kesatuan sehingga membentuk piramida. Bagianbagian
kerangka tersebut adalah tutumbu (tiang bubung), kasolaki, panapana,
kumboho (bubungan), lelea, tadana tutumbu atau sule ngalu, dan
toratora. Jika bangunan rumah terdiri 4 tingkat seperti bangunan malige,
maka bangunan tersebut juga membutuhkan 4 set kerangka atap.
Motif motif dirumah adat buton
Motif flora
Nanasi, yaitu hiasan yang berbentuk buah nenas. Motif yang biasanya
ditempatkan pada ujung atap rumah bagian depan dan belakang ini
melambangkan keuletan dan kesejahteraan.

Bosubosu atau buah pohon butun (baringtonia asiatica), yaitu sejenis buah
yang menyerupai buah delima. Motif yang biasa ditempatkan pada
tengkebala atau bate (yaitu bagian atap rumah yang berada di bawah
cucuran atap) merupakan simbol keselamatan, keteguhan.

Ake, yaitu motif yang bentuknya seperti patra (daun). Motif ini
melambangkan kesempurnaan. Motif ini juga terdapat pada bangunan
malige sebagai lambang bersatunya Sultan (sebagai manusia) dengan Khalik
(Tuhan). Makna simbol ini berasal dari ajaran tasawuf Wahdatul Wujud.

Kambang, yaitu sejenis kembang berbentuk kelopak teratai atau matahari


yang melambangkan kesucian. Karena bentuknya seperti matahari, maka
orang Buton menyebutnya lambang Suryanullah (cahaya Allah), yang
menggambarkan kemajuan atau pengembangan dari zaman Majapahit ke
zaman Islam.
Motif fauna

Motif fauna yang paling menonjol pada bangunan rumah adat Buton
adalah motif naga. Motif ini biasanya ditempatkan pada bubungan atap
rumah karena mayarakat beranggapan bahwa naga itu tinggal di langit.
Motif ini melambangkan kekuasaan dan pemerintahan.

Motif flora dan fauna rumah adat buton/wolio


Kampung Nelayan Bajo Mantigola
SEJARAH
Suku Bajo/Bajau merupakan suku laut, yang menggantungkan hidupnya
dari laut dan memiliki kehidupan yang tak pernah jauh dari laut. Banyak
orang yang mengatakan bahwa Suku Bajo selalu identik dengan perahu,
dan permukiman di atas air laut sebab dahulu mereka hanya tinggal
diatas perahu dan berkelana/hidup berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat yang lainnya (seanomedic). Lalu kebiasaan hidup berpindah
kemudian tergantikan dengan budaya bermukim menetap dengan
membangun rumah diatas laut dangkal.

Suku Bajo sebuah permukiman yang masih tradisional terdapat di Desa


Bangko, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Permukiman di Desa Bangko dibangun diatas laut, yang berjarak kurang
lebih 600 meter dari mainland (pulau Muna), sehingga nampak seolah-
olah sebagai permukiman terapung. Desa Bangko merupakan salah satu
desa Suku Bajo yang masih tetap mempertahankan tradisi bermukim
diatas laut hingga saat ini, sementara permukiman Suku Bajo lainnya
pada umumnya telah tinggal menetap di tepi pantai atau sudah
membangun rumah diatas daratan.
Desa Bangko dihuni oleh Suku Bajo, yang telah mengalami pernikahan
antar suku dengan Suku Muna dan Suku Bugis, tetapi masih tetap
mempertahankan tatanan tradisional Suku Bajo sebagai suku yang
dominan. Mata pencaharian utama penduduk Desa Bangko adalah
sebagai nelayan dan sebagian kecil lainnya bekerja diluar sektor
perikanan yaitu sebagai buruh, pedagang dan tukang kayu, namun
sesekali mereka juga melaut untuk mencari ikan.
Untuk menuju ke Desa Bangko, pertama-tama pengunjung harus
bertolak dari Kota Raha (ibu kota Kabupaten Muna), menuju Desa Pajala
di Kecamatan Maginti. Perjalanan akan menempuh jarak kurang lebih
sekitar 70 kilometer, dengan perkiraan waktu tempuh selama 2,5 jam
3 jam. Lama waktu tempuh ini dipengaruhi oleh kondisi beberapa ruas
jalan yang masih dalam kondisi rusak.
setiap rumahnya hanya dihubungkan oleh jembatan kayu titian.
Jembatan kayu ini memiliki luas hingga 1,5 meter, yang terbuat dari kayu
ulin atau kayu besi. Jembatan titian ini tidak dilengkapi oleh pagar,
namun cukup aman untuk dilewati. Sementara untuk untuk masuk ke
rumah atau halaman rumah penduduk, beberapa diantaranya hanya
menyediakan sebatang papan kayu sepanjang 2 meter hingga lebih
sebagai jembatan, yang cukup kuat untuk dipijaki, namun butuh
keberanian untuk mampu melewatinya.

Pada malam hari, sepanjang jalan ini tidak dilengkapi oleh lampu
penerangan. Lampu penerangan hanya dipasang di persimpangan jalan,
dan pencahayaan juga mengandalkan cahaya lampu dari rumah-rumah
di sekitarnya. Tidak ada kendaraan yang digunakan dalam perumahan
ini, baik itu motor maupun sepeda. Mobilitas masyarakat dan
pengunjung hanya dengan berjalan kaki.
Semua rumah penduduk di Desa Bangko merupakan rumah tradisional
non-permanen, dengan dinding rumah terbuat dari kayu atau daun
rumbia dan atap rumah terbuat dari bahan seng atau daun rumbia.
Lantai rumah penduduk Suku Bajo seluruhnya terbuat dari bahan papan
kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh untuk dipijak.
Penduduk Suku Bajo Desa Bangko mendirikan permukiman di atas
papan-papan kayu yang ditopang oleh ribuan tiang yang menancap ke
dalam dasar laut.
Tiang penopang yang tersebut berada pada ketinggian 4 meter (tinggi
tiang penopang dari dasar laut hingga ke lantai rumah). Ketinggian air
laut pada saat air laut pasang adalah kurang lebih 3,5 meter.
Ketinggian tiang rumah penduduk didasarkan pada kesepakatan
bersama, dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat, budaya, serta
keamanan dan kenyamanan.
Jika rumah dibangun dengan ketinggian yang lebih rendah dari 4 meter
dirasa sebagai ketinggian yang tidak aman dari air laut, jika terjadi air
laut pasang atau terjadi cuaca ekstrim, yang memungkinkan air laut bisa
mencapai lantai rumah mereka.
Aktifitas masyarakat Desa Bangko sangat unik dan menarik. Dari cara
mendirikan rumah, cara bersosialisasi, aktivitas sehari-hari dan cara
pemanfaatan ruang yang terbatas di atas laut menjadi daya tarik utama bagi
para pengunjung, terutama bagi yang menaruh ketertarikan pada
kebudayaan.
PERTANYAAN

1) Bagaimana cara pemasangan pondasi rumah suku bajo?


2) Bagaimana ketahanan pondasi kayu terhadap air?
3) Apakah ada pengaruh budaya dalam peletakan ruang pada rumah
suku wolio/buton?

JAWABAN

1) Pemasangan pondasi pada rumah suku bajo dengan cara tiang


langsung ditancapkan kedalam tanah sedalam 1-2 meter.
2) Kayu yang digunakan pada pondasi rumah suku bajo adalah kayu
jati,karena daya tahan kayu jati terhadap air sangat baik,semakin
lama kayu jati terkena air semakin awet.
3) Ada,karena dibedakan dari status sosial antara raja dengan rakyat
biasa..
THANKS YOU

Anda mungkin juga menyukai