Anda di halaman 1dari 14

RUMAH ADAT BUTON / BANUA TADA

RUMAH ADAT BUTON

Banua tada adalah rumah adat suku Wolio atau orang Buton di Kabupaten Buton,
Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Rumah adat berbentuk panggung ini unik
karena dapat berdiri tegak tanpa menggunakan satu pun paku. Walaupun konstruksi
dasarnya tetap sama, rumah adat ini dibedakan menjadi tiga macam.

1.Asal-usul
Banua tada merupakan rumah tempat tinggal suku Wolio atau orang Buton di Pulau
Buton, Sulawesi Tenggara. Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan
kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat diartikan sebagai rumah siku.
Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan
menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale.
Kamali atau yang lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau istana, yaitu
tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya. Banua tada tare pata pale yang berarti
rumah siku bertiang empat adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai
istana. Sementara itu, banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku bertiang tiga
adalah rumah tempat tinggal orang biasa (Berthyn Lakebo, 1986:65)
Menurut La Ode Ali Ahmadi, seorang staf arkeologi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Tenggara, konstruksi ketiga jenis bangunan tersebut di atas pada
dasarnya adalah sama karena berasal dari satu konstruksi yang sama, yaitu rumah yang
memiliki siku atau dalam istilah setempat disebut dengan banua tada (rumah siku).
Meskipun demikian, ketiga jenis bangunan tersebut di atas tetap memiliki perbedaan.
Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan status sosial orang yang menghuninya.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada jumlah tiang yang digunakan, bentuk susunan
rumah, dan posisi lantai rumah.
Rumah tempat tinggal raja atau sultan memiliki tiang samping 8 buah sedangkan
rumah pejabat sultan mempunyai tiang samping 6 buah. Sementara itu, jumlah tiang
samping pada rumah orang biasa hanya 4 buah . Jika dilihat dari segi susunan
bangunan, rumah tempat tinggal raja terdiri dari 4 tingkat sedangkan rumah pejabat
sultan dan orang biasa hanya satu tingkat. Perbedaan juga terlihat pada susunan lantai
rumah. Lantai istana raja/sultan dibuat bertingkat-tingkat. Hal ini dimaksudkan untuk
menunjukkan kebesaran dan keagungan sultan sebagai seorang pemimpin agama
maupun sebagai pengayom dan pelindung rakyat . Sementara itu, susunan lantai rumah
orang biasa hanya dibuat rata atau tidak bertingkat.

Masyarakat luas lebih banyak mengenal malige sebagai rumah adat masyarakat Buton
daripada kedua jenis rumah adat Buton lainnya, yaitu Banua Tada Tare Pata Pale dan
Banua Tada Tare Talu Pale. Hal ini dikarenakan malige yang merupakan arsitektur
peninggalan Kesultanan Buton tersebut sarat dengan nilai-nilai dan kearifan budaya
serta peradaban masyarakat Buton di masa lampau. Nilai-nilai ini dapat dipelajari
melalui pemaknaan simbol dan ragam hias pada bangunan tersebut. Fungsi dan makna
simbolis pada bangunan malige banyak dipengaruhi oleh konsep dan ajaran tasawuf.
Masyarakat Buton pada masa itu menganggap bahwa pemilik malige—dalam hal ini
Sultan—adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang diwujudkan dalam bentuk
malige, baik secara konstruktif maupun dekoratif .

Bentuk rumah adat tradisional orang Buton diibaratkan tubuh manusia yang memiliki
kepala, badan, kaki, dan hati. Bagian kepala dianalogikan dengan atap rumah, badan
dianalogikan dengan badan rumah, kaki dianalogikan dengan bagian bawah atau kolong
rumah, dan hati dianalogikan dengan pusat rumah. Menurut keyakinan orang Buton,
hati merupakan titik sentral tubuh manusia. Dengan demikian, sebuah rumah juga
harus memiliki hati. Itulah sebabnya dalam masyarakat Buton terdapat sebuah tradisi
memberi lubang rahasia pada salah satu kayu terbaiknya yang kemudian digunakan
sebagai tempat untuk menyimpan emas. Lubang rahasia tersebut dianggap sebagai
simbol pusar yang merupakan titik sentral tubuh manusia sementara emas adalah
simbol hati rumah tersebut.

Pengaruh konsep tasawuf pada bangunan malige muncul sekitar pertengahan abad ke-
16 M, yaitu sejak raja buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu
Oleo, memeluk agama Islam dan dilantik menjadi Sultan Buton yang pertama dengan
gelar “Murhum Kaimuddin Khalifatul”. Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa
ulama yang mengislamkan dan melantik Raja Lakilaponto menjadi Sultan. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa Raja Lakilaponto diislamkan oleh seorang ulama ahli
ilmu tasawuf dari Negeri Johor yang bernama Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
Al-Fathani.Pendapat lain mengatakan, Raja Buton ke-6 tersebut diislamkan dan
dilantik menjadi Sultan oleh Imam Fathani, yaitu guru dari Syekh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman Al-Fathani. Pendapat yang terakhir ini lebih diyakini kebenarannya
karena Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman dua kali datang ke Buton, yaitu tahun
1526 M dan tahun 1541 M. Pada kedatangannya yang kedua, ia disertai oleh gurunya
yang bernama Imam Fathani. Menurut pendapat ini, Imam Fathani itulah yang
mengislamkan lingkungan Istana Buton sekaligus melantik Raja Lakilaponto sebagai
Sultan Buton pertama dengan gelar Murhum. Kata “Murhum” diambil dari nama
sebuah kampung di Patani yang bernama Kampung Parit Murhum .

Sultan Murhum Kaimuddin menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama untuk
mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan negara dan masyarakatnya. Beliau bersama
gurunya, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani, menerbitkan undang-
undang Martabat Tujuh yang sebagian berisi ajaran tentang penyucian akhlak sebagai
undang-undang tertinggi di negeri itu. Selanjutnya, nilai-nilai ajaran tasawuf yang
terkandung di dalam undang-undang tersebut diekspresikan baik dalam bentuk
manuskrip maupun melalui simbol-simbol yang dilekatkan pada artefak-artefak, seperti
pada Benteng Kesultanan (Benteng Wolio) maupun pada bangunan malige.
Hal lain yang melandasi penataan struktur bangunan rumah tradisional orang Buton
adalah konsep kosmologi. Konsep ini mengajarkan tentang perlunya keseimbangan di
antara seluruh unsur alam semesta. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan sebuah
rumah, keberadaan sebuah sistem pengetahuan tentang kondisi lingkungan sekitar
menjadi sangat penting. Dengan sistem pengetahuan yang dimiliki, masyarakat
setempat dapat memilih bahan bangunan yang baik, waktu dan lokasi mendirikan
rumah yang cocok, serta bentuk dan desain rumah yang tepat atau seimbang sehingga
sebuah bangunan rumah dapat selaras dengan alam sekitar.

2. Bahan-bahan, Peralatan, dan Pelaksana

a.Bahan-bahan
1. Kayu, digunakan untuk membuat tiang, dinding, pasak, gelegar, tangga, maupun
bahan untuk membuat kerangka atap rumah. Jenis-jenis kayu yang dianggap
berkualitas untuk dijadikan bahan bangunan di antaranya adalah kayu pohon nangka,
jati, dan bayem.

2. Bambu. Bambu pada umumnya digunakan sebagai lantai rumah. Jenis bambu yang
dipilih adalah bambu yang sudah tua dan kemudian diawetkan dengan cara direndam di
dalam air laut selama beberapa waktu sebelum dipasang agar dapat bertahan hingga
ratusan tahun.

3. Daun rumbia atau nipa. Daun ini digunakan untuk membuat atap rumah.

b.Peralatan
1. Kapak, bingku, dan golocinca (golok pelurus), digunakan untuk membersihkan atau
menguliti kayu.

2. Hooti (pahat), boro, bassi (tali peluruh), digunakan untuk melubangi tiang.
3. Karakaji (gergaji), kapulu (parang), dan pisau, digunakan untuk memotong dan
meraut bambu yang akan dibuat menjadi lantai.

4. Parang, gergaji, bingku, dan serut, yaitu digunakan untuk meluruskan kusen pintu
dan kusen dinding rumah. Sementara itu, untuk menghaluskan kusen pintu dan kusen
dinding, digunakan alat hooti (pahat) dalam berbagai ukuran dan uwe-uwe (water pas).

c.Pelaksana
Jenis tenaga atau pelaksana yang diperlukan untuk membangun rumah adat suku Wolio
atau orang Buton terdiri dari tiga macam yaitu tenaga perancang, tukang ahli, dan
tenaga umum.

TenagaPerancang
Tenaga perancang yang diperlukan dalam membangun rumah adat Buton dibedakan
menjadi dua, yaitu tenaga perancang untuk Kamali atau malige dan tenaga perancang
untuk tempat tinggal pribadi. Tenaga peracang untuk malige adalah Mahkmah Syara
atau Syarana Wolio. Mereka ini bertugas untuk merencanakan bentuk dan tipologi
malige yang sesuai dengan idaman Sultan. Sementara itu, tenaga perancang untuk
rumah pribadi adalah calon pemilik rumah itu sendiri. Namun, biasanya masalah
perencanaan tersebut diserahkan kepada seorang pande (tukang) yang berasal dari
keluarga dekat calon pemilik rumah.

Saraginti dan pandeempu (tukang ahli)


Saraginti adalah para tukang ahli yang khusus bertanggung jawab dalam pembangunan
Kamali atau malige pada masa Kesultanan Buton masih berkuasa. Di kalangan
masyarakat umum atau di luar Kraton Buton, terdapat pula tukang ahli yang disebut
dengan pandeempu, yang berarti tukang betul. Orang ini disebut pandempuu karena,
selain ahli di bidang bangunan, ia juga ahli di bidang kemasyarakatan seperti ahli kutika
(ahli penentu waktu), peramal (meramalkan segala sesuatu berupa malapetaka yang
akan terjadi di masa datang), dan ahli kebatinan (mengusir musuh dengan ilmu
kebatinannya).
Ada satu lagi jenis nama tenaga yang berada di bawah pandeempuu. Nama jenis tenaga
ini adalah pande atau tukang. Pande ini terdiri dari beberapa golongan sesuai dengan
keahliannya seperti pande dinding (ahli dalam membuat dinding), pande pintu (ahli
khusus membuat pintu), pande ukir/hias (ahli khusus membuat ukiran-ukiran rumah)
dan lain sebagainya. Meski demikian, ada pula seorang pande yang memiliki seluruh
keahlian tersebut.

Tenaga umum
Tenaga umum adalah jenis tenaga yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga. Tenaga umum dibagi menjadi dua
macam, yaitu tenaga upahan dan tenaga pembantu.

Tenaga upahan, yaitu orang-orang yang dipekerjakan pada suatu bangunan rumah
dengan cara diupah atau digaji. Orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan ini disebut
sebagai pande hamba, yaitu para pembantu tukang ahli. Mereka merupakan satu
kesatuan yang teroganisasi di bawah pimpinan seorang tukang ahli dan digaji dengan
sistem gaji harian atau gaji borongan.

Tenaga pembantu, yaitu masyarakat atau keluarga yang bekerja secara sukarela untuk
membantu pembangunan sebuah rumah. Jika bangunan yang akan didirikan adalah
Kamali, Baruga (tempat musyawara), atau bangunan yang didirikan untuk kepentingan
umum, maka tenaga yang digunakan adalah tenaga masyarakat secara umum. Sistem
pengerahan tenaga semacam ini disebut dengan sistem kerja bakti atau gotong-royong.
Jenis-jenis perkerjaan yang mereka kerjakan di antaranya adalah mengumpulkan
bahan-bahan bangunan, membersihkan lokasi, mendirikan bangunan, dan memasang
atap. Jika bangunan dibangun untuk kepentingan pribadi, maka sistem pengerahan
tenaganya disebut dengan sistem tolong-menolong, yaitu mengundang keluarga dan
para tetangga terdekat untuk membantu membangun rumah. Jenis pekerjaan yang
mereka kerjakan sama seperti pada sistem gotong-royong.

3. Pelaksanaan Pembangunan Rumah Adat Orang Buton


a.TahapPersiapan
Proses pembangunan rumah adat suku Wolio dimulai dengan diadakannya
musyawarah untuk mufakat. Dalam musyawarah tersebut, dibicarakan berbagai macam
hal seperti bentuk bangunan, tipologi dan ukuran rumah, cara pengambilan bahan,
pemilihan lokasi dan arah rumah, dan siapa pelaksananya. Jika Kamali yang akan
didirikan, maka seluruh pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Mahkamah Syarah
dengan dibantu oleh sio limbona dan para kadie sementara arsitek dan pelaksananya
adalah para saraginti dan pandeempu. Jika Banua yang akan dibangun, maka
pelaksanaannya menjadi tanggung jawab si pemilik. Si pemilik menentukan bentuk dan
lokasi rumah yang akan dibangun, jumlah biaya yang dibutuhkan, dan siapa arsiteknya
melalui musyawarah keluarga. Untuk arsiteknya, mereka biasanya menunjuk seorang
pande yang berasal dari keluarga terdekat.

Lokasi, arah, dan letak bangunan rumah suku Wolio pada umumnya dilakukan menurut
ketentuan yang sama. Lokasi yang dipilih harus aman dari sumber penyakit dan segala
gangguan dari luar.
Pola perkampungan masyarakat pada umumnya mengelompok dan berjejer mengikuti
jalan raya serta berada tidak jauh dari sumber-sumber air.
Sementara itu, arah rumah yang baik menurut masyarakat setempat adalah arah utara
atau selatan walaupun tetap diusahakan tidak harus tepat atau bisa bergeser sedikit dari
titik utara atau selatan. Menurut keyakinan mereka, arah rumah tidak boleh tepat pada
titik utara atau selatan karena, selain menghindari angin jahat, arah yang dipilih harus
memudahkan mereka dalam menentukan arah kiblat ketika akan melaksanakan shalat.

b. Tahap Pengadaan Bahan


Sistem pengetahuan masyarakat setempat memiliki peranan yang sangat penting dalam
tahap pengadaan bahan. Dengan sistem pengetahuan tersebut, orang Wolio dapat
memilih waktu yang tepat untuk mengambil kayu dan dapat mengetahui jenis-jenis
kayu yang berkualitas. Menurut mereka, waktu yang paling baik untuk mengambil
bahan bangunan di hutan adalah pada waktu siang hari, yaitu sekitar pukul 05.00 pagi
sampai pukul 11.00 siang. Bagi masyarakat pesisir, mereka menandai hal tersebut
dengan berpedoman pada kondisi air laut. Jika air laut sedang pasang, yaitu sekitar
pukul 09.00 pagi, maka pada saat itulah waktu yang paling tepat untuk mengambil
bahan bangunan di hutan. Saat-saat selain jam-jam tersebut dianggap sebagai waktu
yang tidak baik.
Adapun jenis kayu yang dianggap berkualitas untuk dibuat tiang rumah menurut
pengetahuan masyarakat Buton adalah kayu danga (kayu nangka). Selain kuat dan
kokoh, kayu ini mengandung nilai filosofis yang tinggi. Menurut mereka, kayu nangka
adalah pohon yang berdaun rimbun, berbuah lebat dan rasanya manis, yang bermakna
bahwa si pemilik rumah dapat tumbuh berkembang serasi dan berkesinambungan
dalam suasana bahagia, aman, dan sentosa serta banyak rezeki.

Masyarakat Buton juga dapat mengenali ciri-ciri kayu melalui tanda yang disebut
sebagai buku atau mata kayu (bekas cabang). Jenis-jenis kayu yang paling baik untuk
dijadikan bahan bangunan berdasarkan tanda tersebut adalah kayu yang tidak memiliki
buku. Sementara itu, jenis kayu yang tidak baik untuk bahan bangunan adalah kayu
yang memiliki buku mate, yaitu bekas dahan yang sudah lama patah atau sudah lapuk
namun tertutupi kulit hidup. Menurut keyakinan masyarakat setempat, kayu seperti ini
tidak baik dijadikan bahan bangunan karena selain cepat rusak juga dapat
menyebabkan hidup si penghuni rumah tersebut tidak tenang .

c. Tahap Pembuatan
Para siriganti, pandempuu, dan pande lainnya mulai membersihkan (menguliti) dan
meluruskan kayu dengan menggunakan kapak atau bingku setelah seluruh bahan yang
dibutuhkan terkumpul. Setelah dipilih dan dikelompokkan sesuai dengan fungsinya,
kayu-kayu tersebut dan bahan-bahan lainnya diramu menjadi bagian-bagian rumah.
Setiap bagian rumah memiliki fungsi dan cara pembuatannya masing-masing. Berikut
fungsi dan cara pembuatan beberapa bagian rumah adat orang Buton.
Sandi (sendi), yaitu fondasi tiang rumah yang terbuat dari batu kali (sungai) atau batu
gunung yang berbentuk pipih. Sandi ini hanya diletakkan begitu saja di tanah tanpa
harus ditanam atau diberi perekat. Antara sandi dan tiang diberi papan alas yang
terbuat dari kayu keras dan ukurannya disesuaikan dengan diameter sandi dan tiang.
Bagian ini berfungsi untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan.
Tiang, yaitu bagian rumah yang berfungsi untuk menopang bagian-bagian rumah
lainnya. Tiang ini memiliki peranan yang sama pentingnya dengan fondasi pada rumah
modern. Oleh karena itu harus dipilih kayu-kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu
nangka, teme, atau jati. Kayu yang telah dipilih kemudian dibentuk menjadi empat
persegi panjang untuk tiang malige dan bentuk bundar untuk tiang rumah orang biasa.
Tiang-tiang tersebut kemudian diberi lubang, dimulai dari tiang utama kemudian
disusul dengan tiang-tiang lainnya. Setelah itu, tiang-tiang tersebut dirangkai bersama
bagian-bagian rumah lainnya menjadi satu deret sehingga terbentuklah kerangka
rumah.
Kayi atau balok penyambung, yaitu bagian rumah yang berbentuk balok pipih dengan
ukuran tebal sekitar 6-7 cm dan lebar 12-15 cm. Panjang balok pipih ini disesuikan
dengan panjang rumah. Kayi berfungsi sebagai penghubung antara satu tiang dengan
tiang yang lain. Kayi dibuat dengan cara menghaluskan kayu yang telah dibentuk
menjadi balok pipih. Penghalusan ini dilakukan dengan menggunakan serut.

Tumbu tada, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi untuk mengikat atau
menyambung deretan tiang yang berjejer ke samping. Tumbu tada berukuran tebal
sekitar 6 cm, lebar 12 cm, dan panjangnya disesuaikan dengan lebar rumah. Cara
membuatnya sama seperti cara pembuatan kayi.

Galaga (gelegar), yaitu balok pipih yang diletakkan di antara tumbu tada. Ukuran tebal
dan lebarnya sama dengan ukuran tumbu tada sedangkan panjangnya disesuaikan
dengan panjang masing-masing ruang. Galaga berfungsi sebagai landasan atau
penyangga papan lantai. Cara membuatnya sama seperti membuat kayi dan tumbu
tada.
Garaga, yaitu belahan-belahan bambu yang dipasang secara melintang di atas galaga.
Garaga ini hanya digunakan jika lantai sebuah rumah terbuat dari bambu. Jika lantai
rumah menggunakan papan kayu seperti pada bangunan malige, maka cukup
digunakan galaga saja.

Lantai, yaitu bagian bawah atau alas (dasar) suatu ruangan atau bangunan yang
berfungsi sebagai tempat melakukan segala kegiatan di dalam rumah. Lantai rumah
tempat tinggal raja biasanya terbuat dari kayu jati, yang melambangkan status sosial
sang sultan. Maknanya adalah bahwa sultan merupakan seorang bangsawan dan
pribadi yang selalu tenang menghadapi persoalan. Sementara itu, lantai rumah tempat
tinggal orang biasa terbuat dari kayu bambu yang sudah tua. Agar awet, bambu tersebut
terlebih dahulu direndam di air laut selama berhari-hari. Setelah itu, bambu tersebut
dipotong-potong sesuai dengan panjang kamar di dalam rumah, lalu dibelah dan diraut
hingga halus. Selanjutnya, belahan-belahan bambu halus tersebut dijalin menjadi satu
kesatuan dengan tali penjalin yang disebut woli sehingga tampak lebih indah.
Rindi atau dinding, yaitu bagian tengah rumah yang berfungsi sebagai penutup semua
kerangka bagian tengah bangunan (badan) rumah. Dinding rumah adat Buton
umumnya terbuat dari papan kayu. Dinding ini dibuat dengan cara memasnag papan
kayu bakal dinding pada tuorana rindi (rangka dinding) yang telah disiapkan
sebelumnya.
Kerangka atap, yaitu bagian atas rumah yang berfungsi sebagai tempat untuk
melekatkan atap rumah yang terbuat dari daun rumbia atau nipah. Kerangka atap ini
terdiri dari beberapa bagian yang dirangkai menjadi satu kesatuan sehingga
membentuk piramida. Bagian-bagian kerangka tersebut adalah tutumbu (tiang
bubung), kasolaki, pana-pana, kumboho (bubungan), lelea, tadana tutumbu atau sule
ngalu, dan tora-tora. Jika bangunan rumah terdiri 4 tingkat seperti bangunan malige,
maka bangunan tersebut juga membutuhkan 4 set kerangka atap. Susunan kerangka
atap dan istilah-istilah yang digunakan dapat dipahami dengan melihat gambar berikut.

d. Tahap Pendirian Rumah Adat Buton


Mendirikan tiang atau kerangka rumah
Lokasi rumah dibersihkan dan diratakan terlebih dahulu sebelum tiang didirikan,
kemudian sandi-sandi disiapkan di tempat tiang-tiang tersebut akan dipasang. Sandi ini
hanya diletakkan begitu saja di tanah tanpa harus ditanam atau diberi perekat.
Antara sandi dan tiang diberi papan alas yang terbuat dari kayu keras dan ukurannya
disesuaikan dengan diameter sandi dan tiang. Bagian ini berfungsi untuk mengatur
keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Setelah itu, pendirian kerangka rumah
dapat segera dimulai.
Pendirian kerangka rumah dimulai dari pendirian deretan tiang di mana terdapat tiang
utama dan kemudian disusul dengan deretan-deretan tiang lainnya. Setelah itu, galaga
dipasang di antara tumbu tada dalam posisi sejajar.
Memasang kerangka atap dan atap rumah
Susunan atau tahap-tahap pendirian rumah modern biasanya dimulai dari bagian
bawah, tengah, dan atas. Namun, urutan tahap-tahap pendirian rumah adat Buton tidak
demikian. Lantai yang merupakan bagian rumah paling bawah justru dipasang setelah
bagian atas atau rumah selesai. Jadi, setelah kerangka rumah berdiri, proses
dilanjutkan dengan pemasangan kerangka atap, lalu disusul dengan pemasangan atap
rumah yang terbuat dari daun rumbia atau nipa.

3). Memasang bagian tengah rumah (lantai, dinding, pintu, dan tangga)
Pemasangan bagian-bagian tengah rumah dilakukan setelah pemasangan atap selesai.
Bagian tengah rumah yang pertama-tama dipasang adalah lantai yang terbuat dari
papan kayu atau jalinan bambu. Setelah itu, tuorana rindi (rangka dinding rumah)
dipasang dan dilanjutkan dengan pemasangan dinding, pintu, dan jendela rumah.
Tahap terakhir adalah pemasangan oda atau tangga rumah. Setelah semua bagian
rumah induk selesai dipasang, maka pekerjaan selanjutnya adalah membuat bangunan
rumah tambahan seperti dapur dan kamar mandi.

Urutan tahap-tahap pendirian rumah tersebut di atas berlaku pada semua bangunan
rumah adat Buton. Hanya saja, pendirian bangunan malige lebih kompleks karena
ruangannya lebih banyak daripada kedua jenis rumah adat Buton lainnya.

4. Ragam Hias
Ragam hias pada rumah adat suku Wolio atau orang Buton secara garis besar terdiri
dari dua macam, yaitu ragam hias dalam bentuk seni pahat (tiga dimensi) dan ragam
hias dalam bentuk seni ukir (dua dimensi) (Lakebo, 1986:116). Ragam hias dalam
bentuk seni pahat dan seni ukir tersebut biasanya ditempatkan pada bingkai-bingkai
pintu atau jendela, pada dinding, dan ujung depan atau belakang bubungan atap rumah.
Dari segi motif, ragam hias yang paling menonjol pada rumah orang Buton adalah motif
flora dan dan fauna. Tiap-tiap motif memiliki makna simbolis dan nilai falsafah hidup
yang tinggi. Kedua jenis motif tersebut adalah sebagai berikut.

a. Motif Flora

1. Nanasi, yaitu hiasan yang berbentuk buah nenas. Motif yang biasanya ditempatkan
pada ujung atap rumah bagian depan dan belakang ini melambangkan keuletan dan
kesejahteraan. Tanaman nenas menurut mereka merupakan tanaman yang mudah
tumbuh dan tidak mudah layu walaupun ditanam di tanah yang kering. Simbol nenas
ini menyiratkan bahwa di mana pun orang Buton berada atau mencari nafkah, dia harus
ulet dalam menghadapi segala tantangan alam.

2. Bosu-bosu atau buah pohon butun (baringtonia asiatica), yaitu sejenis buah yang
menyerupai buah delima. Motif yang biasa ditempatkan pada tengkebala atau bate
(yaitu bagian atap rumah yang berada di bawah cucuran atap) merupakan simbol
keselamatan, keteguhan, dan kebahagiaan.

3. Ake, yaitu motif yang bentuknya seperti patra (daun). Motif ini melambangkan
kesempurnaan. Motif ini juga terdapat pada bangunan malige sebagai lambang
bersatunya Sultan (sebagai manusia) dengan Khalik (Tuhan). Makna simbol ini berasal
dari ajaran tasawuf Wahdatul Wujud.

4. Kambang, yaitu sejenis kembang berbentuk kelopak teratai atau matahari yang
melambangkan kesucian. Karena bentuknya seperti matahari, maka orang Buton
menyebutnya lambang Suryanullah (cahaya Allah), yang menggambarkan kemajuan
atau pengembangan dari zaman Majapahit ke zaman Islam

b). Motif Fauna

Motif fauna yang paling menonjol pada bangunan rumah adat Buton adalah motif naga.
Motif ini biasanya ditempatkan pada bubungan atap rumah karena mayarakat
beranggapan bahwa naga itu tinggal di langit. Motif ini melambangkan kekuasaan dan
pemerintahan. Selain pada bubungan atap rumah, motif ini juga biasa dipasang pada
pintu depan dan belakang, dengan maksud agar si penghuni rumah terhindar dari
segala macam bahaya, terutama angin jahat (Lakebo, 1986:118).

5. Nilai-nilai

Rumah adat suku Wolio atau orang Buton, terutama pada bangunan malige, sangat
kaya dengan nilai-nilai dan kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut di antaranya kedekatan
dengan alam, nilai keyakinan, nilai sosial, dan nilai estetika.

a. Nilai Kedekatan dengan Alam

Nilai kesatuan dengan alam yang tercermin pada rumah adat orang Buton terlihat pada
bahan-bahan bangunan yang digunakan. Semua bahan bangunan tersebut terbuat dari
bahan-bahan alami yang banyak tersedia di alam sekitar tempat tinggal suku Wolio.
Nilai kesatuan dengan alam ini semakin jelas terlihat ketika mereka menganggap
penggunaan kayu sebagai bahan untuk tiang rumah dapat memberikan kesejahteraan
pada penghuninya. Hal ini juga terlihat pada makna simbol-simbol yang terkandung
dalam ragam hias yang terdapat pada rumah adat ini. Motif-motif yang digunakan
sebagian besar berasal dari alam.

b. Nilai Keyakinan

Struktur bangunan rumah adat Buton secara umum dipengaruhi oleh ajaran tasawuf.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan dan keyakinan yang mereka miliki,
masyarakat Buton – dalam hal ini Sultan Murhum Kaimuddin – mampu
mengekspresikan nilai-nilai keyakinannya (ajaran tasawuf) melalui bentuk bangunan
sehingga terciptalah bangunan yang indah dan artistik bernama malige sebagai tempat
tinggal. Struktur bangunan rumah tersebut secara umum juga mempengaruhi struktur
bangunan rumah masyarakat Buton.

c. Nilai Sosial
Nilai sosial pada rumah adat Buton dapat dilihat dalam proses pembangunannya.
Meskipun sebagian tenaga yang digunakan adalah tenaga upahan, namun sebagian
pekerjaan pembuatan rumah adat tersebut juga dilakukan secara bergotong-royong,
terutama dalam proses pembangunan malige. Dalam pembangunan malige, seluruh
tenaga kerja yang terlibat merupakan suatu kesatuan teroganisir mulai dari Mahkamah
Syarah, Sio Lombo, Saraginti, hingga Pandempuu. Mereka selalu bekerja sama untuk
membangun rumah tempat tinggal raja mereka. Nilai sosial pada proses pembangunan
rumah orang biasa juga dapat dilihat ketika para keluarga maupun tetangga terdekat
secara bersama-sama membantu si calon pemilik rumah mencari bahan-bahan
bangunan di hutan, membersihkan lokasi, mendirikan bangunan, dan memasang atap.
Melalui kerjasama tersebut sifat solidaritas antarsesama masyarakat Wolio akan terjalin
dengan baik.
d. Nilai Estetika

Nilai estetika merupakan salah satu nilai yang paling menonjol pada bangunan orang
Buton. Nilai-nilai keindahannya terlihat sangat jelas mulai dari struktur dan bentuk
bangunan hingga ragam hiasnya yang sarat seni rupa maupun seni ukir. Ukiran-ukiran
motif flora dan fauna tampak sangat indah pada hampir semua bagian rumah adat
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton pada masa lampau telah
memiliki jiwa seni dan daya kreasi yang tinggi.
6. Penutup

Keberadaan rumah adat Banua Tada ini merupakan salah satu bukti bahwa orang Buton
telah menunjukkan eksistensi mereka sebagai salah satu suku yang memiliki sistem
pengetahuan, keyakinan, dan adat-istiadat atau yang disebut dengan kebudayaan.
Terlepas dari apa dan bagaimana bentuk kebudayaan tersebut, hasil kreasi masyarakat
Buton ini sangat patut untuk dihargai dan dilestarikan. Dalam hal ini, tentu saja peran
pemerintah dan masyarakat Buton serta seluruh masyarakat pada umumnya sangat
diperlukan untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur tradisional orang Buton
agar tidak lekang dimakan zaman.

Anda mungkin juga menyukai