Anda di halaman 1dari 19

TUGAS BESAR

ARSITEKTUR VERNAKULAR KAWASAN PESISIR DAN


PERBUKITAN

Mahasiswa / NIM

Elyseba Marshanda Mudeng / 20021102054

Dosen Pengampu

Ir. Vicky Henrie Makarau M. Si

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR

PRODI ARSITEKTUR

Manado 2021
DATARAN TINGGI

1. Rumah Bolon, Batak Karo

Pada bangunan rumah Bolon Simalungun ada jenis tiang yang dikenal, yaitu tiang utama dan
tiang sokong/tongkat. Tiang utama adalah tiang yang menyangga kerangka bangunan, mulai dari
bawah hingga ke atas (atap). Sedangkan tiang sokong atau tongkat hanya menopang ke lantai
saja. Tiang utama di rumah Bolon Simalungun bulat (Batang kayu besar). tangga hanya berada
pada pintu depan bangunan dan sebagai tangga satu-satunya untuk masuk ke dalam rumah
Bolon. Tangga rumah Bolon Simalungun memiliki pegangan tangan yang terbuat dari rotan,
yang digantungkan di tengah-tengah tangga. Simalungun diberi 3 warna, yaitu merah, putih dan
hitam, yang memiliki symbol yaitu:
• Warna merah melambangkan kuasa duniawi yang penuh perjuangan manusia, disinilah
pertarungan kejahatan dan kebaikan, kebohongan dan kejujuran. Dunia adalah area
perjuangan yang disebut dengan “nagori tongah”, dan disebut juga sebagai simbol
keberanian dan kegagahan.
• Warna putih diartikan sebagai lambang kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang disebut
“nagori atas” sebagai simbol kesucian dan roh.
• Warna hitam melambangkan kuasa iblis, disebut “nagori taroh” atau simbol kematian.
2. Rumah Adat Sumba Barat

Rumah Adat ini terletak di Kampung Prai Ijing, Desa Tebara, Kabupaten Sumba Barat.
Rumah adat ini dinamakan Uma Bokulo. Kampung Pira Ijing ini terletak pada dataran tinggi
sehingga selain kita dapat melihat rumah adat ini, kita juga dapat menikmati keindahan
pemandangan dari ketinggian. Kampong ini dibangun dari kepercayaan masyarakat Sumba, yaitu
Marapu yang memiliki arti jiwa yang sudah pergi. Oleh karena kepercayaan inilah pada bagian
depan rumah adat Sumba ini terdapat kubur batu tempat bersemayamnya anggota keluarga yang
sudah meninggal.
Setiap bagian dari rumah adat ini memiliki filosofinya sendiri. Rumah ini dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu menara rumah, bangunan utama, dan bagian bawah rumah. Menara rumah
merupakan bagian tertinggi rumah ayng digunakan sebagai symbol bagi para arwah yang
memiliki kedudukan tertinggi. Menara juga merupakan satu bagian yang mendapat perlakuan
khusus, karena masyarakat percaya bahwa Marapu mengawasi masyarakat dari menara tersebut.
Bangunan utama atau bagian tengah rumah merupakan tempat tinggalnya pemilik rumah. Dan
pada bagian bawah rumah dijadikan tempat penyimpanan hewan ternak dan symbol roh jahat.
Untuk bagian depan rumah digantungkan tulang babi dan tanduk kerbau sebagai penanda status
social dari pemilik rumah. Masyarakat NTT percayah bahwa semakin banyak pemotongan
hewan ternak dilakukan, maka semakin tinggi status sosial keluarga tersebut.

Pada bagian dalam rumah terdapat rak yang terbuat dari rotan dan kayu yang digunakan
sebagai altar persembahan. Di dalam rumah terdapat juga 4 pilar utama (dapa koko pongga) yang
masing-masingnya memiliki filosofi sendiri. Untuk pilar pertama dinamakan Rato, pilar ini
merupakan tempat imam animism melakukan ramalan untuk melihat masa depan dari
masyarakatnya. Pilar kedua yang berada pada bagian depan melambangkan nenek moyang
perempuan. Sedangkan dua pilar yang berada di bagian belakang melambangkan nenek moyang
laki-laki dan perempuan serta roh kesuburan. Keempat pilar ini dihiasi dengan ukiran yang sama
dengan ukiran yang terdapat pada monument batu yang terletak di sekitar desa.
Nama lain dari rumah adat ini yaitu Uma Mbatangu yang memiliki arti rumah menara.
Rumah adat ini memiliki ketinggian mencapai 30 meter. Tidak ada ketentuan arah mata angina
untuk membangun rumah ini. Namun, rumah ini memiliki ketentuan untuk dibangun
mengelilingi kubur batu peninggalan zaman megalitikum. Setiap rumah dibagi menjadi 3 yang
telah dijelaskan diatas. Adapun 3 buah pembagian tingkatan di rumah adat ini. Tingkatan
pertama yaitu tingkatan yang paling bawah yang disebut Sari Kabungah, bagian ini dimanfaatkan
untuk menyimpan hewan ternak. Tingkatan kedua yaitu bagian tengah rumah yang digunakan
sebagai tempat tinggal. Bagian ini juga dibuatkan perapian pada bagian tengahnya. Tingkatan
ketiga yaitu menara rumah yang disebut juga dengan Madalo. Bagian ini dimanfaatkan sebagai
tempat penyimpanan bahan makanan dan pusaka. Selain itu pada bagian yang paling tinggi dari
menara ini digunakan sebagai sembol pemujaan kepada Tuhan. Terdapat juga dua buah tanduk di
bagian atasnya yang merupakan symbol dari laki-laki dan perempuan.

Untuk konstruksi detail rumah ini sebagai berikut:


 Struktur atap pada rumah ini memiliki 7 lapisan gording sebagai symbol 7 lapisan langit
yang melambangkan keterbukaan terhadap Tuhan. Untuk balok utama menggunakan
balok kayu kelapa, sedangkan untuk jurai dan balok-balok pembagi menggunakan
bamboo utuh. Rangka atap menara berdiri diatas 4 nuah kolom utama. Sedangkan rangka
atap jurai berhubungan dengan konstruksi menara yang pada pengakhirannya ditopang
oleh kolom-kolom dari kayu dolken
 Kolom-kolom yang menopang jurai terbuat dari pokok kayu utuh yang sekaligus
berfungsi sebagai pondasi. Kolom utama terbuat dari pokok kayu kadiambil. Kolom-
kolom penopang lainnya terbuat dari kayu biasa selain kayu kadiambil. Kolom-kolom itu
berdiri langsung diatas tanah atau hanya ditanam sedalam 50 cm ke dalam tanah,
kemudian diurung batu kadas. Pada konstruksi dinding umumnya terbuat dari bambu
utuh yang disusun mendatar. Hubungan antara dinding dan pasak dilubangi melalui
sebuah bamboo dengan jarak interval ± 150 cm.
 Pembalokan lantai rumah adat ini terdiri dari balok anak dan balok induk yang
menggunakan material kayu yang bagian atasnya ditutupi dengan bambu yang berfungsi
sebagai penutup lantai. Ketinggian untuk teras rumah ± 100 cm dari permukaan tanah.
Sedangkan ketinggian teras kedalam rumah ± 30 cm. kolom dan balok lantai terbuat dari
kayu dolken.

Figure 1 Contoh Pondasi


3. Rumah Honai Papua

Honai merupakan rumah tradisional masyarakat suku di Papua yang tinggal di daerah
pegunungan. Rumah adat ini merupakan rumah adat dengan konstruksi dan arsitektur yang
sederhana. Honai dibuat sedemikian rupa oleh warga setempat yang tinggal di daerah
pegunungan untuk melindungi mereka dari udara dingin. Ini merupakan alasan utama kenapa
rumah ini dibuat. Suhu rata-rata di daerah tersebut sekitar 190°C dengan ketinggian 2500 meter
diatas permukaan air. Rumah Honai memiliki beberapa fungso antara lain sebaga tempat tinggal,
sebagai tempat penyimpanan alat perang, tempat mendidik anak-anak lelakiagar bisa menjadi
orang berguna, tempat untuk merencanakan dan mengatur strategi perang dan tempat
penyimpanan alat-alat atau symbol dari adat orang Dani yang sudah ditekuni sejak dulu.
Honai untuk pria dan wanita berbeda, untuk wanita umumnya berukuran lebih kecil.
Honai laki-laki merupakan tempat tinggal untuk kepala keluarga, kerabat dan keluuarga laki-laki,
serta anak laki-laki yang telah berumur lebih dari 5 tahun. Honai laki-laki berbentuk bulat dan
terdiri dari dua lantai, dengan sebuah perapian terletak ditengahnya. Rumah ini biasa ditinggali
oleh 5 sampai 10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3 bangunan terpisah. Satu
bangunan digunakan sebagi tempat beristirahat (tidur). Bangunan kedua untuk tempat makan
bersama dan bangunan ketiga untuk kandang ternak.
Honai wanita berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai, dengan sebuah perapian
ditengahnya. Lantai pertama digunakan untuk mendidik para anak-anak remaja agar dapat
mengerjakan tugas-tugas kewanitaan. Selain itu pada lantai satu digunakan sebagai tempat
bersantai dan mengobrol. Sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat beristirahat.
Bentuk Honai sebagai berikut, untuk bentuk rumah yaitu berbentuk bulat atau melingkat,
berukuran sempit sekitar diameter 4m-6m, ketinggiannya sekitaran 2.5 m-5 m dan terdiri dari
dua lantai, tidak memiliki jendela dan ketinggian pintu yang sangat rendah.
Honai berbentuk bulat melingkar diakibatkan oleh kepercayaan masyarakatnya dimana
kesatuan dan persatuan yang paling tinggi untuk mempertahankan budaya, suku yang telah
diberikan oleh nenek moyang mereka.
Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap yang terbuat dari jerami atau ilalang. Rumah
ini sengaja dibangun sempit untuk menahan dinginnya pegunungan Papua. Dinding rumah ini
terbuat dari bahan papan kayu kasar yang terdiri dari dua lapisan.
Tahapan konstruksinya sebagai berikut:
Pada tahapan pertama untuk pembuatan rumah Honai ini yaitu tahap pengukuran,
pembersihan dan perataan tanah. Penentuan diameter Honai didasarkan ukuran tinggi badan
anggota keluarga yang paling tinggi. Selanjutnya akan dilakukan pemasangan tiang-tiang utama
dan pembagian lantai. Tahap berikut pekerjaan rangka rumah. Selanjutnya penyelesaian akhir.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan rumah Honai ini yaitu kayu besi (oopir) yang
digunakan sebagai tiang tengah, kayu buah besar, kayu batu yang paling besar, kayu buah
sedang, jagat, tali, alang-alang, toran, papan yang dikupas, papan las dan lainnya. Bahan material
utama dalam pembuatan rumah ini yaitu kayu, rotan, alang-alang, dan kulit kayu cemara.
4. Rumah Ulu Sumatera Selatan

Rumah Ulu merupakan rumah tradisional yang berada di uluan Sumatera Selatan. Rumah
Ulu adalah rumah panggung dengan bentuk dasar segi empat dan kemiringan atap yang curam.
Rumah Ulu biasanya disebut juga dengan Rumah Ulu Ogan. Struktur formal dari rumah ini yaitu
bagian badan rumah yang berbentuk kotak yang bertumpu diatas tiang-tiang dan balok, posisi
badan rumah menjorok keluar, tidak sejajar dengan tiang-tiang panggung layaknya seperti
kantiliver. Bagian-bagina tiang-tiang bangunan inti rumah ini berasal dari batang kayu
berdiameter besar yang bertumpuk diatas batu. Tiang-tiang ini dihubungkan oleh balok dan
susunan balok lantai yang akan mendukung bangunan inti. Atap dari rumah ini berupa konstruksi
kayu, berbentuk pelana dengan kemiringan yang cukup curam.
Pada badian tengah dari rumah ini terbagi menjadi dua bagina yaitu sangkar bawa dan
sangkar atas. Pada rumah ini juga terdapat bagian seperti plafond tetapi hanya berada pada
sebagian rumah yang bernama pagu hantu. Pagu hantu ini digunakan sebagai tempat
penyimpanan barang dan bahan makanan.
Bahan dinding untuk rumah Ulu terbuat dari papan kayu dengan jendela yang ukurannya
kecil, begitu juga dengan pintunya. Bagian inti rumah terdiri dari satu ruang utama yang terbagi
menjadi dua berdasarkan perbedaan permukaan lantai yang lebih tinggi (luan) dan menempati
sepertiga ruangan inti. Fungsi ruangan ini yaitu sebagai tempat istirahat atau sebagai tempat
orang tua duduk pada saat upacara tertentu dilakukan. Permukaan lantai yang lebih rendah
(tumpuan) digunakan sebagai dapur dan ruang makan.
Pembangunan rumah Ulu harus menuruti aturan yang telah disepakati sebelumya oleh
masyarakat sekitar. Aturannya antara lain: pembangunan rumah harus menghadap ke bagian
depan garis aliran air sehingga rumah dapat terbebas dari banjir. Selain itu, pembangunan rumah
harus mengikuti system ulu-ulak (ilir), yaitu jika lahan yang dibanguna masih tersedia ruang luas
yang bisa dibangun rumah ulu selanjutnya maka pembangunannya harus dilakukan dari bagian
yang paling hulu.
DATARAN RENDAH

1. Rumoh Aceh

Rumoh Aceh atau Rumah Jacelyn merupakan rumah adat dari suku Aceh. Rumah ini
merupakan rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama
yaitu: seuramoë keuë atau serambi depan, seuramoë teungoh atau serambi tengah, dan seuramoë
likôt atau serambi belakang. Dan untuk 1 bagian tambahan disebut rumoh dapu atai rumah dapur.
Adapun fungsi-fingsi dari ketiga bagian ini yaitu: serambi depan berfungsi sebagai ruang untuk
menerima tamu laki-laki dan terletak dibagian depan rumah. Ruang ini juga dapat digunakan
sebagai tempat tidur dan makan tamu laki-laki. Serambi tengah merupakan bagian yang lebih
tinggi daripada bagian lainnya, bagian tengah ini biasanya juga disebut sebagai Rumoh Inong,
bagian ini memiliki satu atau dua kamar yang khusus diperuntukan untuk anak perempuan. Pada
bagian tengah ini terdapat plafon yang disebut sebagai para. Parah berfungsi sebagai plafon juga
sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang jarang digunakan. Sedangkan pada serambi
belakang merupakan tempat untuk menerima tamu perempuan. Serambi belakang ini juga bisa
sekaligus menjadi tempat tidur dan makan tamu perempuan.
Ukuran dan status kepemilikan dari Rumoh Aceh ini basanya ditentukan dari jumlah
reweueng (bagian antar kolom). Rumah 3 reweueng memiliki 12 kolom dengan status
kepemilikan masyarakat biasa. Untuk rumah empat dan lima reweueng memiliki 15-18 kolom
dengan status masyarakat kaya. Untuk rumah yang memiliki 21 kolom statusnya ulee balang.
Dan untuk rumah 24 kolom memiliki status raja.
Untuk material konstruksinya menggunakan bahan-bahan berikut ini: kayu atau kayee dari
pohom sentang, pohon bayur, pohon durian dan lainnya. Selanjutnya papan atau papeun untuk
dinding dan lantai, Bambu atau trieng untuk membuat reng, enau atau temor untuk membuat
lantai dan dinding, daun rumbia atau oen meuria untuk penutup atap, pelepah rumbia atau
peuleupeuk meuria untuk membuat dinding rumah, rak-rak, dan sanding, tali pengikat atau taloe
meu-iket biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru. Dalam tradisi, jika orang ingin
membangun rumah maka ia harus menanam kembali pohon yang telah ia gunakan.
Untuk pengerjaan bangunan rumah ini yaitu sebagai berikut:
Pondasi yang digunakan untuk rumah ini yaitu pondasi umpak yang berasal dari material
batu. Kolom-kolom atau tameh penyangga rumah terbuat dari kayu yang lalu diletakkan diatas
pondasi umpak. Kolom ini berdiameter 35-40 cm, tinggi untuk tiang bagian depan yaitu ±4
meter, bagian tengah ±6 meter. Untuk pemasangan lantai terlebih dahulu dipasangkan balok
berjumla 9 buah diatas balok toi pada setiap ruangan. Diatas balok kemudian dipasangkan
belahan bamboo atau pohon pinang sebagai lantainya. Bahan unutk dinding yang paling
sederhana yaitu pelepa rumbiah yang dirakit memberi tulang bamboo di tiga tempat. Untuk
bagian atap pada bagian depan dan belakang bertumpuh pada balokyang berada pada setiap
ujung-ujung deretan depan dan belakang yang disebut para. Untuk bagian tengah bertumpuh
pada balok bagian tengah ruang.
2. Rumah Betang (Radakng)

Masyarakat Dayak yang terdapat di desa Saham tinggal secara komunal di rumah Betang.
Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga bisa sebagai pusat segala kegiatan
tradisional masyarakat. Bangunan rumah betang ini masih sangat sederhana, yaitu rumah
panggung berbentuk linear memanjang dengan pola simetris dan didukung konstruksi
sambungan kayu teknik kuno, yaitu tanpa menggunakan paku. Untuk atapnya berbentuk pelana
dengan menggunakan struktur kolom. Bentuk yang sederhana ini mengikuti budaya masyarakat
sekitarnya yaitu semakin sederhana dan teratur suatu bentuk maka memudahkan untuk diterima
dan dimengerti.
Jika kita melihat rumah Radakng ini, dapat dibagi menjadi 4 bagian sesuai jenis gunanya,
yaitu: tangga, teras atau pante, serambi atau sami, ruang inti atau bilik dan dapur.

Tangga di rumah ini dibuat menggunakan batang pohon kayu yang masih berbentuk kayu
bulat, kemudian dibentuk seperti anak tangga , jumlah lekukan anak tangga selalu ganjil. Angka
ganjil ini berbeda di setiap bilik rumah sesuai dengan maknanya bagi sang pemilik rumah. Teras
atau pante merupakan bagian terbuka yang terdapat dibagian paling depan. Pante ini terbuat dari
papan kayu. Papan itu berbentuk kecil lalu disusun dengan rapi. Bagian ini juga sering
dimanfaatkan untuk menjemur hasil panen. Sami atau serambi merupakan ruang tengah yang
memanjang dan tanpa sekat. Ruang serambi yang memanjang digunakan untuk tempat acara
adat. Bilik atau ruang intu merupakan ruang pribadi bagi masing-masing kepala keluarga. Bilik
hanya diperuntukan oleh keluarga inti dan pemisah bagi keluarga satu dengan yang lainnya.
Dapur atau jungkar merupakan ruang paling belakang.

Semua bahan yang digunakan untuk membuat rumah ini didapatkan dari alam seperti atap
yang terbiat dari batang kayu yang diiris tipis maupun tiang rumah yang terbuat dari kayu.

3. Bale Meten
Bale Maten berasal Kata Bale merupakan bahasa Bali yang bisa mempunyai dua arti yakni
bale bisa berarti bangungan dan bale juga bisa berarti tempat tidur atau tempat duduk (Gelebet,
1985). Nama sakaulu berasal dari kata Saka = tiang atau kolom bangunan bali, dan kata ulu
berasal dari kata wolu yang berarti delapan. Bangunan bale meten sakaulu sering juga disebut
sebagai bale daja karena letaknya disisi kaja, kaja yang berasal dari kata ‘keadya‟ yang artinya
mengarah ke gunung.
Pola rumah tradisional di desa Gunaksa adalah seperti pada umumnya rumah tradisional di
Bali selatan. Mempunyai dua oriantasi yang akan memberi nilai utama dan nista pada tata letak,
maupun tata nilai ruang secara detail. Orientasi tersebut adalah orientasi ke gunung atau utara
(kaja) dan ke laut atau selatan (kelod). Dalam hal ini gunung akan diberikan nilai utama,
sedangkan ke laut dinyatakan nista. Orientasi lainnya adalah orientasi matahari terbit yaitu timur
(kangin) dan barat (kauh). Arah matahari terbit (timur), diberikan nilai utama, dan arah matahari
terbenam (barat) adalah nista. Tata letak bale meten di desa Gunaksa adalah menempati zona
utama yakni di bagian utara (kaja). Dilihat dari denah, bentuk bale meten sakaulu berbentuk
segi empat panjang, Dari bale meten sakaulu sampel nomor 1 (S1) mempunyai ukuran luar
dengan panjang 5.580mm dan lebar 3.580mm sedangkan dari sampel nomor 2 (S2) ukuran luar
panjang 5.570mm dan lebar 3.560mm.

Pondasi bale meten sakaulu ini, pada prinsipnya adalah sama dengan bangunan tradisional
Bali lainnya yakni menggunakan pondasi setempat (Siwalatri, 2012). Pondasi setempat yang
disebut dengan istilah “jongkok asu” terdapat pada setiap tiang bangunan. Bentuk pondasi
setempat ini cenderung dibuat tegak berbentuk segi empat dengan lebar permukaan atas berkisar
500mm. Material yang digunakan untuk membuat jongkok asu adalah bisa bervariasi bisa batu,
cadas, batu bata, atau tanah cetak, atau menggunakan material campuran, dengan spesi tanah liat.

Konstruksi dinding bale meten sakaulu pada bagian bawah, yaitu area yang sering kena
percikan air hujan dan sekaligus berfungsi dinding penahan tanah, dibuat dengan menggunakan
pasangan batu kali dengan spesi tanah liat. Dinding pada arsitektur tradisional Bali selalu dibuat
dengan tebal dua lapis lebar material. Misalnya seperti pasangan batu bata adalah setara dengan
pasangan satu batu. Dinding yang diatasnya pada bagian luar dibuat dengan tatal (tanah yang
dicetak dengan kepalan tangan yang kemudian dikeringkan) tetap menggunakan spesi tanah liat.
Dinding yang terbuat dari tatal ini difinising dengan plesteran tanah liat. Sisi dinding bagian
dalam ruangan dibuat dengan pasangan citak dengan spesi tahah liat. Citak adalah tanah cetak
batu bata yang belum dibakar. Dinding bagian depan sisi luar dari variasi pasangan batu bata
ekspose dan cadas.

Anda mungkin juga menyukai