Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


“Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun
abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang
disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia” (Tirta kusumah (1994) dalam
Fadlan (2011)). “Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove dilakukan
oleh aktivitas manusia dalam pendayagunaan sumber daya alam wilayah pantai
yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, seperti: penebangan untuk
keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan
pertambangan” (Permenhut (2004) dalam Riandani, (2007)).
Akhbar (2003) menyatakan dari hasil identifikasi menunjukkan bahwa hutan
mangrove di Sulawesi Tengah telah mengalami penurunan populasi yang sangat
drastis hingga mencapai angka 51,42% atau 23.685 Ha dari area mangroveseluas
46.000 Ha tahun 1989 (sesuai SK. Gubernur Sulawesi Tengah tahun 1989). Artinya
daerah pesisir pantai Sulawesi Tengah yang masih bervegetasi mangrove hanya
tersisa seluas 22.377 Ha atau 48,58%. Data tersebut menunjukkan bahwa dalam
10 tahun terakhir Provinsi Sulawesi Tengah kehilangan ekosistem hutan mangrove
seluas 2.368,5 Ha/tahun.
Ekosistem mangrove sebagian besar sudah mengalami kerusakan akibat dari
pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.
Pengalihfungsian hutan mangrove sebagai tempat budidaya tambak serta
penebangan hutan mangrove untuk berbagai keperluan masyarakat.
Kondisi tersebut, telah terjadi pula pada hutan mangrove yang terdapat di
Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tersisa sekitar
39,62Ha dari 3.056.26 Ha dari luas keseluruhan hutan mangrove di Kabupaten
Tolitoli menurut data Dinas Kehutanan Kabupaten Tolitoli. Hal itu disebabkan oleh
dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem
hutanmangrove disebabkan oleh faktor manusia berupa aktivitas ekonomi
penduduk yang memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalam ekosistem

1
hutan mangrove tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang menyebabkan
kerusakanekosistem hutan mangrove, yaitu pengalihfungsian kawasan ekosistem
hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, dan pemukiman. Selain itu, pohon
mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bakar (kayu bakar, arang), bahan
bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak, dan badan kapal).
Ekosistem hutan mangrove yang sudah dieksploitasi oleh aktivitas ekonomi
penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan biasanya tidak dilakukan
konservasi ulang sehingga ekosistem hutan mangrove akan terus-menerus
mengalami kerusakan dan terancam punah. Untuk ekosistem hutan mangrove yang
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi penduduk perlu
dilakukan upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove oleh pemerintah
dan masyarakat dengan konservasi, reboisasi, dan rehabilitasi hutan mangrove.
Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove yang dilakukan oleh
pemerintah biasanya dilakukan oleh Departemen Kehutanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat kemudian
dibantu oleh masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam menjaga
kelestarianlingkungan alam.
Terkait dengan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang kondisi dan perubahan kawasan hutan
mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan selama 5 (lima) tahun
terakhir dengan judul “Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah maka yang menjadi masalah adalah :
1.2.1. Bagaimanakah gambaran kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove
di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-
2012?
1.2.2. Jenis aktivitas sosial-ekonomi penduduk apa sajakah yang paling
berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa
Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012?

2
1.2.3. Bagaimanakah upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas
sosial-ekonomi penduduk di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan
Kabupaten Tolitoli?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk:
1.3.1 Menggambarkan kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa
Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012
(berdasarkan analisis peta penggunaan lahan tahun 2007 dan 2012 serta
peta perubahan penggunaan lahan 2007 dan 2012);
1.3.2 Menggambarkan jenis-jenis aktivitas sosial-ekonomi penduduk yang
berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa
Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012;
1.3.3 Merumuskan berbagai upaya pemulihan dan pelestarian kerusakan
ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas sosial-ekonomi penduduk di Desa
Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli;

3
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


Fadlan, (2011).”Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Kerusakan Ekosistem
Hutan mangrovedi Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan”. Hasil
penelitian dengan data sekunder yang bersumber dari Kantor Kelurahan Bagan Deli
untuk mengetahui tentang kerusakan ekosistem hutan mangrove di Kelurahan
Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan dapat diketahui bahwa luas keseluruhan
kawasan ekosistem hutan mangrove di daerah penelitian sebesar 125 Ha (54,35%)
dari luas wilayah administrasi Kelurahan Bagan Deli 230 Ha (Kantor Kelurahan
Bagan Deli, 2011) yang dimana luas lahan kawasan ekosistem hutan mangrove
terbagi menjadi tiga tingkatan menurut kondisinya berdasarkan pada kriteria
ekosistem hutan mangrove menurut tingkat Kondisi di Kelurahan Bagan Deli 2011.
Kondisi ekositem hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli terdapat tiga
tingkatan yaitu (1) kondisi baik sekitar 12 Ha (9,60%) yang dimana persentasi
penutupan vegetasi hutan mangrove di lahan kawasan ekosistem hutan mangrove
≥ 75% dan kerapatan pohon mangrove ≥ 1500 Pohon/Ha; (2) kondisi sedang sekitar
19 Ha (15,20%) yang dimana persentasi penutupan vegetasi hutan mangrove di
lahan kawasan ekosistem hutan mangrove≥ 50% - < 75% dan kerapatan pohon
mangrove ≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha; dan (3) kondisi rusak sekitar 94 Ha (75,20%)
yang dimana persentasi penutupan vegetasi hutan mangrove di lahan kawasan
ekosistem hutan mangrove < 50% dan kerapatan pohon mangrove < 1000
Pohon/Ha. Untuk luas lahan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan kondisi
rusak di Kelurahan Bagan Deli sekitar 94 Ha (75,20%) dengan tingkat
kerusakanyang berbeda.
Chatarina Muryani, (2011). “Model Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengelolaan dan Pelestarian Hutan mangrovedi Pantai Pasuruan Jawa Timur”.
Hasil penelitia bahwa perubahan tutupan lahan di pantai Pasuruan yang paling
besar adalah hutan mangrove menjadi tambak (tahun 1981-1994 seluas 347,14
ha, tahun 1994-2008 seluas 85,95 ha) dan hutan mangrove menjadi laut ( tahun

4
1981-1994 seluas 217,21 ha, tahun 1994-2008 seluas 2,05 ha). Hal ini
membuktikan bahwa telah terjadi kerusakan hutan mangrove sangat serius di
daerah penelitian yang terutama disebabkan penebangan oleh masyarakat.
Konversi dan hilangnya hutan mangrove tampaknya bukan merupakan
sesuatu yang baru terjadi pada dekade terakhir ini saja. Jauh sebelumnya, lebih dari
75 tahun yang lalu, Meindersma telah melaporkan bahwa sangat sulit untuk
menemukan hutan mangrove yang alami dan tidak terganggu di Pulau Jawa,
kecuali di Segara Anakan dan Teluk Pangong (dekat Selat Bali) (Noor dkk., (1999)
dalam Muryani, (2011)). Kegiatan pembangunan utama yang memberikan
sumbangan terbesar terhadap menurunnya luas areal hutan mangrove di Indonesia
adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersiil serta peralihan peruntukan
untuk tambak dan areal pertanian. Akibat yang terlihat nyata adalah pada saat
penelitian diadakan sudah tidak dapat ditemukan lagi vegetasi mangrove yang
diameternya di atas 10 cm. dan kerapatan vegetasi yang bernilai komersial
(Bruguiera, Ceriops, Rhizophora) juga semakin rendah. Hal ini merupakan indikasi
terjadinya degradasi hutan mangrove.

2.2. Landasan Teoritis


2.2.1. Pengertian Hutan MANGROVE
Secara asal kata (etimologi), kata “mangrove” berasal berasal dari kata
“Mangue” (Bahasa Prancis) dan kata “at Grove” (Bahasa Inggris) yang
artinya komunitas tanaman yang tumbuh di daerah berlumpur dan pada
umumnya ditumbuhi oleh sejenis pohon bakau (Rhizophera sp) (Davis,
(1940), dalam Fadlan, (2011)). Hutan mangrove merupakan hutan yang
terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut
dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim
sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen
Kehutanan, (1994), dalam Santoso, (2000)). Sedangkan (Noor dkk, (1999),
dalam Riandani, (2007)). memberikan batasan tentang hutan mangrove

5
bahwa “hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di
daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air
laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Rhizhophor, Bruguiera,
Sonneratia, Nypa, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Aegiceras, Xylocarpus
dan Scyphyphora”.

2.2.2. Nilai Strategis Hutan Mangrove


Menurut Saenger, 1983, dalam Fadlan,(2011). menyatakan bahwa
“fungsi ekosistem mangrove mencakup: (1) Fungsi fisik : menjaga garis
pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi
air laut, dan mengolah bahan limbah, (2) Fungsi biologis: tempat pembenihan
ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya
burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, dan (3) Fungsi ekonomi
sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat
pembuatan garam, dan bahan bangunan”. Saenger, (1983) juga merinci
hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove, antara lain: bahan bakar
(kayu bakar, arang dan alkohol), bahan bangunan (balok perancah,
bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan
atap rumah), pertanian (makanan ternak, pupuk dan sebagainya), perikanan
(tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan,
bahan penyamak jaring dan lantai), dan bahan baku industri (makanan,
minuman, obat-obatan, kertas, dan sebagainya).
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
(1995/1996) bahwa “potensi ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi dan
manfaat, yaitu (1). Membantu mencegah terjadinya abrasi laut; (2). Mengatur
keseimbangan antara ketersediaan garam dan air tawar dalam memelihara
ekosistem; (3). Akar pohon mangrove dapat menahan gerakan pasang surut
air laut; (4). Sebagai sumber makanan, tempat berlindung dan tempat
bereproduksi bagi hewan laut dan satwa liar darat; dan (5). Sebagai sumber
bahan bakar, bahan bangunan dan bahan baku industri kimia. Dilihat dari
segi ekonomi, ekosistem hutan mangrove sangat berfungsi dan bermanfaat

6
bagi kehidupan manusia terutama penduduk setempat yang berdomisili di
dekat ekosistem hutan mangrove, misalnya sebagai sumber penghasilan
tambahan atau sebagai sumber mata pekerjaan sampingan penduduk
setempat. (Anwar dan Gunawan, (2003),dalam Fadlan, (2011)).

2.2.3. Hutan Mangrove di Indonesia


Menurut Bengen (2000). “Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove
yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202
jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis
epifit”. Flora mangrove umumnya di dalam ekosistem hutan mangrove
tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman
daratan yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi,
zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung
pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan yang mencerminkan
tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan.
Menurut Chapman, 1984, dalam Riandani, (2007). menyatakan bahwa:
Flora yang terdapat dalam ekosistem hutan mangrove dapat dikelompokkan
ke dalam dua kategori, yaitu; (1). Flora mangrove inti, yakni flora mangrove
yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi hutan mangrove,
contoh: Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia,
Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphiphora, Smythea dan
Dolichandrone; dan (2). Flora mangrove peripheral (pinggiran), yaitu flora
mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi hutan mangrove,
tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lain, contoh:
Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera
littorelis, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.

2.2.4. Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove


Sumber daya alam ekosistem mangrove termasuk dalam golongan
wilayah pesisir yang bersifat alami dan dapat diperbaharui, yang harus dijaga
keutuhan fungsi dan kelestariannya, supaya dapat menunjang

7
pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Menurut Dahuri
(2003), ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air tawar dan
salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat.
“Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik
biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh
lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia”
(Tirtakusumah, (1994), dalam Riandani, (2007)). “Pada umumnya kerusakan
ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam
pendayagunaan sumber daya alam wilayah pantai tidak memperhatikan
kelestarian, seperti; penebangan untuk keperluan kayu bakar yang
berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan” (Permenhut,
2004). kerusakan ekosistem hutan mangrovedikarenakan adanya fakta
bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan
mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih
fungsi lahan ekosistem hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman,
industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk
berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan
mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan
rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Khomsin, 2005, dalam (Fadlan, 2010). menyatakan bahwa: Kerusakan
alamiah ekosistem hutan mangrove timbul karena peristiwa alam seperti
adanya gelombang besar pada musim angin timur dan musim kemarau yang
berkepanjangan sehingga dapat menyebabkan akumulasi garam dalam
tanaman. Selain itu, gelombang besar dapat menyebabkan tercabutnya
tanaman muda atau tumbangnya pohon, serta menyebabkan erosi tanah
tempat bakau tumbuh. Kekeringan yang berkepanjangan bisa menyebabkan
kematian pada vegetasi mangrove dan menghambat pertumbuhannya.
“Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan
pertanian atau tambak ikan/ udang, sehingga menyebabkan penurunan
produktivitas ekosistem tersebut”. Menurut Irwanto (2008) bahwa “banyak

8
kegiatan manusia di sekitar kawasan ekosistem hutan mangroveyang
berakibat perubahan karakteristik fisik dan kimiawi di sekitar habitat hutan
mangrove sehingga tempat tersebut tidak lagi sesuai bagi kehidupan dan
perkembangan flora dan fauna di dalam ekosistem hutan mangrove”.
Menurut Soesanto (1994) bahwa “dalam usaha pengembangan ekonomi
kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi,
pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian
pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan
daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir”.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk
mendayagunakan sumber daya mangrove terus meningkat. Berdasarkan
pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004
tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan mangrove, maka
kondisi ekosistem hutan mangrove dibagi menjadi tiga kriteria dapat dilihat
pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Kriteria Ekosistem Hutan Mangrove


Kerapatan
No Kriteria Penutupan
Pohon/ Ha

1. Baik ≥ 75% ≥ 1500 Pohon/Ha

2. Sedang ≥ 50%- < 75% ≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha

3. Rusak < 50% < 1000 Pohon/Ha

Sumber : Dahuri, 1996 (Fadlan, 2010)


Dilihat dari tabel 2.2 kriteria ekosistem hutan mangrove dapat diketahui
bahwa (1) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong baik apabila jumlah
vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan ≥ 75% dan kerapatan pohon
yang tumbuh di lahan hutan mangrove≥ 1500 Pohon/Ha; (2) kondisi

9
ekosistem hutan mangrove tergolong sedang apabila jumlah vegetasi hutan
mangrove yang menutupi lahan ≥ 50% - < 75% dan kerapatan pohon yang
tumbuh di lahan hutan mangrove≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha; dan (3) kondisi
ekosistem hutan mangrove tergolong rusak apabila jumlah vegetasi hutan
mangrove yang menutupi lahan < 50% dan kerapatan pohon yang tumbuh di
lahan hutan mangrove< 1000 Pohon/Ha. Selain itu, Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 menyatakan bahwa
“ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan, yaitu:
 Kerusakan Ringan
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong ringan apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan
mangrovekurang dari 50% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang
dari 1.000 pohon/Ha. Untuk kerusakan ringan ekosistem hutan mangrove
hanya berpengaruh kecil terhadap kelangsungan hidup fauna yang ada
disana maupun aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di daerah
tersebut.
 Kerusakan Sedang
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong sedang
apabila jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan
mangrovekurang dari 30% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang
dari 600 pohon/Ha. Untuk kerusakan sedang ekosistem hutan mangrove
dapat mengakibatkan sebagian besar fauna kehilangan sumber makanan
dan tempat tinggal, serta sebagian besar aktivitas ekonomi penduduk
dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan berkurang.

 Kerusakan Berat
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong berat apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan
mangrove kurang dari 10% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang
dari 200 pohon/Ha. Untuk kerusakan berat ekosistem hutan mangrove

10
dapat mengakibatkan kehidupan fauna yang berhabitat disana terancam
bahaya bahkan kepunahan dan aktivitas ekonomi penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan terhenti, selain itu
daerah tersebut akan terancam dari bencana alam tsunami, gelombang
laut besar dan abrasi yang membahayakan kehidupan manusia.

2.2.5. Keterkaitan Aktivitas Ekonomi Penduduk Terhadap Kerusakan


Ekosistem Hutan Mangrove
Menurut Soesanto dan Sudomo, 1994, dalam Fadlan, (2011).
kerusakan ekosistem hutan mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal,
antara lain: (1). Kurang dipahami kegunaan ekosistem hutan mangrove; dan
(2). Meskipun hutan mangrove terus terancam kelestariannya, namun
berbagai aktivitas penyebab kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan
adakalanya dalam skala dan intensitas yang terus meningkat. “Perubahan
dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove
diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan,
pertanian maupun pembangunan” Rudianto, 2009, dalam Riandani, (2007).
Bengen, 2004, (Fadlan, 2011). menyatakan bahwa: Dengan
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di
pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll),
tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan
mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya
berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik
secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan)
maupun tak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan
pembangunan ).
Menurut Ibrahim, 2006, dalam Fadlan, (2011). bahwa “penyebab
ancaman dan kerusakan ekosistem hutan mangrove antara lain: (1).
Meningkatnya jumlah penduduk yang bermukim di lingkungan sekitar
ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan sumber daya alam hutan
mangrove semakin meningkat; (2). Pemanfaatan sumber daya alam hutan

11
mangrove yang semula dilakukan secara tradisional berubah menjadi secara
komersial; (3). Ekosistem hutan mangrove peka terhadap perubahan dan
tekanan dari luar yang melampaui kemampuan dan daya dukungnya,
misalnya pencemaran lingkungan berupa limbah industri dan sampah di
dalam ekosistem hutan mangrove; (4). Semakin meningkatnya jumlah
penduduk mengakibatkan kawasan ekosistem hutan mangrove diubah
menjadi perumahan, permukiman, perkantoran, industri, pelabuhan, tempat
rekreasi (objek wisata), dan lain-lain; serta (5). Kawasan ekosistem hutan
mangrove menjadi berkurang karena adanya perubahan pemanfaatan lahan
hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, baik tambak ikan maupun
tambak udang.
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan
hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat
rusaknya hutan, antara lain: (1). Keinginan untuk membuat pertambakan
dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan,
karena mudah dan murah; (2). Kebutuhan kayu bakar yang sangat
mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya
yang bisa ditebang; dan (3). Rendahnya pengetahuan masyarakat akan
berbagai fungsi hutan mangrove, adanya kesenjangan sosial antara petani
tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi
proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional (Perum Perhutani 1994).
Menurut Dahuri, (1996) “bahwa dampak potensial yang dapat timbul akibat
aktivitas ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove
yang dapat dilihat pada Tabel 2.3

12
Tabel 2.3 Beberapa Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Dampak Potensial
Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove

No Aktivitas penduduk Dampak potensial


Berubahnya komposisi tumbuhan,
pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies
1 Tebang Habis yang nilai komersialnya rendah dan
terjadinya penurunan fungsi sebagai
feeding,nursery dan spawning
ground.
Pengalihan aliran air tawar Terjadinya peningkatan salinitas
2 misalnya pada dan penurunan kesuburan
pembangunan irigasi mangrove.
Mengancam regenerasi stok ikan
dan udang diperairan lepas pantai,
Konversi menjadi lahan,
terjadi pencemaran laut oleh
pertanian, perikanan,
3 pencemar yang sebelumnya diikat
pemukiman
oleh substrat mengrove. Terjadi
pendangkalan pantai, abrasi dan
intrusi air laut.
Pembuangan sampah cair Penurunan kandungan oksigen,
4
munculnya gas H2S.
Memungkinkan tertutupnya
pneumatopor yang berakibat
Pembuangan sampah padat
5 kematian mangrove dan
perembesan bahan-bahan
pencemar dalam sampah padat.
minyak mengakibatkan kematian
6 Pencemaran tumpahan
mangrove.

13
Kerusakan total ekosistem
Penambangan dan ekstraksi mangrove sehingga
mineral, baik dalam hutan menghancurkan fungsi bioekologis
7 maupun daerah sekitar mangrovedan terjadinya
hutan pengendapan sedimen yang
berlebihan yang dapat mematikan
mangrove.
(Sumber: Fadlan, 2011).

2.2.6. Upaya Pelestarian Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat


Aktivitas Ekonomi Penduduk
Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove di beberapa
daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah
dilakukan berkali-kali (Sumarhani, 1995). Upaya ini biasanya dilakukan oleh
pemerintah berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah
setempat, namun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan
tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah (Saparinto, 2007). Upaya
pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat yang ikut
berpertisipasi membantu pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan
hidup khususnya ekosistem hutan mangrove dengan metode, yaitu
konservasi, reboisasi dan rehabilitasi (Rahmawaty, 2006).
Kusmana (2005) menyatakan bahwa: Secara umum, semua habitat
pohon mangrove di dalam ekosistem hutan mangrove yang mengalami
kerusakan dapat memperbaiki kondisinya seperti semula secara alami dalam
waktu 15 – 20 tahun apabila (1). Kondisi normal hidrologi tidak terganggul;
dan (2). Ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau
terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji
pohon mangrove tidak dapat mendekati daerah rehabilitasi, maka dapat
direhabilitasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu, habitat pohon

14
mangrove dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana rehabilitasi
harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau
tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan pohon
mangrove.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 43 tentang
kehutanan bahwa dalam kaitan kondisi hutan mangrove yang rusak pada
setiap orang yang memiliki, mengelola atau memanfaatkan hutan mangrove
wajib melaksanakan rehabilitas untuk tujuan perlindungan konservasi.
Rudianto (2007) menyatakan bahwa “salah satu cara melindungi hutan
mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove sebagai
kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai
dan tepi sungai”.
Menurut Sugandhy (1994) bahwa ada beberapa permasalahan yang
terdapat dalam kawasan ekosistem hutan mangrove yang dengan upaya
pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, yaitu; (1). Pemanfaatan
ganda yang tidak terkendali; (2). Permasalahan tanah timbul akibat
sedimentasi yang berkelanjutan; (3). Konversi kawasan hutan mangrove
menjadi kawasan lain; (4). Permasalahan sosial ekonomi; (5). Permasalahan
kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan; dan (6).
Permasalahan informasi kawasan pesisir. Menurut Anita, 2002, (Fadlan,
2011), bahwa usaha-usaha yang harus dikembangkan dalam upaya
pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, antara lain; (1).
Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi; (2).
Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk
memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat
langsungnya; dan (3). Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya
berdasarkan kriteria yang jelas dan pertimbangan yang rasional.
Sugiarto (1996) menyatakan bahwa kawasan ekosistem hutan
mangrove banyak dikonservasi dalam kawasan terpisah maupun kawasan
tergabung dalam cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional
berdasarkan pada empat strategi pokok konservasi, yaitu pelindung proses

15
ekologis dan penyangga kehidupan kawasan, pengawet keragaman
sumberdaya plasma nutfah, pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem,
serta tata guna dan tata ruang kawasan hutan mangrove.
Menurut Perum Perhutani (1994) “dalam pelaksanaan reboisasi
(penghijauan) kawasan ekosistem hutan mangrove yang mengalami
kerusakan dapat dilakukan dengan cara pengadaan bibit, seleksi bibit,
persemaian bibit, menggunakan media semai, pengangkutan bibit,
penanaman bibit, serta pemeliharaan dan perlindungan”.

16
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1. Indikasi Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko Kecamatan


Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli Tahun 2007 – 2012
Kawasan pantai yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan seperti pepohonan
dikenal sebagai hutan mangrove. Kawasan mangrove mempunyai peranan yang
sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup didalamnya. Belum adanya
pengetahuan yang cukup akan pentingnya hutan mangrove membuat kawasan ini
terabaikan dan dialihfungsikan peruntukannya.
Menurut Ritohardoyo, (2013), “semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah
dan kebutuhan penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan tempat atau lahan
untuk tempat tinggal sertah tempat kegiatan kehidupan sosial ekonomi dan
budaya”. Seiring dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan penduduk di Desa
Dongko maka fungsi lingkungan pantai di daerah ini telah menurun atau rusak.
Indikasi kerusakan ekosistem hutan mangrove dan ancaman kepunahan spesies
mangrove di wilayah pesisir Desa Dongko semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Faktor penyebab kerusakan dan akar masalahnya cukup kompleks yang bersumber
dari penduduk Desa Dongko beserta perilakunya yang senang memanfaatkan
hutan mangrove baik berupa pemanfaatan hutan mangrove sebagai lahan
pertambakan, pemukiman maupun memanfaatkan langsung hutan mangrove
sebagai kayu bakar untuk memasak, serta dari alam hal ini diindikasikan oleh
adanya proses erosi/abrasi pantai, intrusi air Iaut, dan degradasi hasil perairan.
Sedangkan hasil pelitian Fadlan indikasi kerusakan ekosistem hutan mangrove
disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi
lahan pertambakan dan lahan pembangunan, sedangkan hasil penelitian Muryani
kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan penebangan oleh masyarakat
untuk dijual maupun untuk pemenuhan kebutuhan keluarga seperti kayu bakar,
bahan bangunan dan perbaikan perahu nelayan.

17
3.2. Penyusutan Areal Hutan Mangrove (Perubahan Penggunaan Lahan Tahun
2007 dan 2012)
Penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara
permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan,
baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya(Malingreau,.J.P.
(1977) dalam Aziz Budianta (2008)).
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan
kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu.
Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik.
Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni
tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan
perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu (Time series data).
Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan
penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena
kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap.
Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah,
baik penutup lahan maupun lokasinya. Analisis penggunaan lahan kawasan hutan
mangrove di Desa Dongko, sehubungan dengan kerusakan kawasan hutan
mangrove, terkait perubahan penggunaan lahan di sajikan pada peta Lampiran 3.
Berdasarkan Lampiran 3 menunjukkan bahwa hasil Analisis perubahan
penggunaan lahan dapat diketahui dibeberapa kawasan yang mengalami
perubahan, kawasan ini terdiri dari kawasan hutan rakyat, perkebunan kelapa,
persawahan, pemukiman, lahan tidur, tambak dan hutan mangrove. Teknik Scoring
dan Overlay yang digunakan dalam penelitian ini, sehubungan dengan kerusakan
kawasan ekosistem hutan mangrove sistem pemetaan penggunaan lahan yang ada
di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012 maka diperoleh
beberapa perubahan penggunaan lahan yang tersaji dalam Tabel 5.18.

18
Tabel 5.18. Luas Perubahan Penggunaan Lahan (Ha) Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012

Hutan Hutan Perkebunan Lahan


No Tahun Persawahan Tambak Pemukiman
MANGROVE Rakyat Kelapa Tidur

1. 2007 79,83 1510,94 1831,63 1149,47 528,88 4,85 53,66

2. 2008 72,16 1509,31 2059,59 1157,98 321,52 18,76 60,65

3. 2009 58,63 1467,13 2155,42 1165,39 264,23 28,05 70,22

4. 2010 49,00 1466,97 2207,63 1179,03 188,82 29,77 78,72

5. 2011 45,70 1408,83 2307,87 1218,46 179,61 36,00 79,63

6. 2012 39,62 1408,83 2549,22 1408,83 137,44 38,00 80,28

Luas
Perubahan
40,21 102,11 717,59 259,36 391,44 33,15 26,62
Lahan Tahun
2007 – 2012

19
Tabel.5.18. menunjukkan hasil pemetaan perubahan penggunaan lahan di
Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007 – 2012,
pada tahun 2007 luas kawasan hutan mangrove 79,83 Ha, tahun 2008 luas
kawasan mangrove 72,16 Ha atau mengalami perubahan lahan sekitar 7,67 Ha,
tahun 2009 luas kawasan mangrove 58,63 Ha jadi luas perubahan lahan tahun
2008-2009 sekitar 13,53 Ha, tahun 2010 luas kawasan mangrove 49,00 Ha jadi luas
perubahan lahan 2009-2010 sekitar 9,63 Ha, tahun 2011 luas kawasan mangrove
45,70 Ha jadi luas perubahan lahan 2010-2011 sekitar 3,30 Ha, tahun 2012 luas
kawasan mangrove 39,62 Ha jadi luas perubahan lahan sekitar 6,08 Ha. Jadi luas
kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko selama 5 (lima)
tahun terakhir sekitar 40,21 Ha (50,36%). Sedangkan hasil penelitian Fadlan di
Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan luas kerusankan ekosistem
hutan mangrove 94 Ha (75,20%), dan hasil penelitian Muryani di pantai Pasuruan
Jawa Timur luas kerusakan ekosistem hutan mangrove selama 25 (dua puluh lima)
tahun terakhir 652,35 Ha.

3.3. Jenis-Jenis Pengalihfungsian Lahan Hutan Mangrove


3.3.1. Lahan Permukiman
Konversi hutan mangrove menjadi lahan permukiman di kawasan
Desa Dongko lebih dikarenakan oleh faktor penambahan jumlah penduduk
sehingga meningkatkan kebutuhan penduduk akan lahan semakin
meningkat. Berdasarkan data penduduk Desa Dongko, pertumbuhan
penduduk Desa Dongko tiap tahunnya mengalami peningkatan serta banyak
perkawinan usia muda, sehingga memerlukan suatu kawasan untuk
pemukiman baru untuk melangsungkan kehidupannya. Penggunaan lahan
yasan, menurut Setiawati, (2011), dalam Ritohardoyo, (2013), “ membuat
dengan cara menebang hutan sendiri”. Sehingga menyebabkan pembukaan
lahan baru untuk membangun rumah di sekitar kawasan mangrove.Serta
memanfaatkan kayu hutan mangrove untuk peralatan rumah dan bahan
bakar kayu arang untuk memasak. Sedangkan hasil penelitian Fadlan dan

20
Muriyani disebabkan karena semakin kurang lahan pemukiman sehingga
penduduk setempat membangun pemukiman di kawasan hutan mangrove.

3.3.2. Lahan Tambak/ Empang


Konversi hutan mangrove menjadi tambak/empang di kawasan Desa
Dongko pertama kali terjadi pada tahun 1990 untuk mengembangkan
budidaya pertambakan Ikan Bandeng dan Udang yang kemudian tidak terlalu
berhasil karena masih dikerjakan secara tradisional yang mengakibatkan
banyak tanggul tambak yang jebol akibat air pasang. Tahun 2008 alat berat
(escavator) mulai masuk sehingga mengakibatkan pembukaan lahan tambak
terjadi secara besar-besaran/ intensif sampai dengan saat ini. Meskipun
pembukaan lahan pertambakan di Desa Dongko sudah dikerjakan dengan
alat modern namun hasil yang didapat petani tambak tidak sesuai dengan
pengeluaran yang dilakukan karena masih minimnya pengetahuan petani
tambak tentang budidaya perairan. Hasil penelitian Fadlan di kawasan
Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan konversi hutan mangrove
menjadi lahan pertambakan seperti tambak ikan, udang dan kepiting, dan
hasil penelitian Mulyani konversi hutan mangrove menjadi tambak di
kawasan pantai Pasuruan Jawa Timur pertama kali tahun 1981.

3.3.3. Lahan Fasilitas Umum


Sama halnya dengan konversi hutan mangrove menjadi lahan
permukiman, konversi hutan mangrove di Desa Dongko menjadi fasilitas
umum juga dikarenakan oleh faktor jumlah penduduk yang mempengaruhi
kebutuhan prasarana dan sarana penunjang. Pembangunan fasilitas umum
sangat terkait dengan upaya pelengkap sarana kelayakan pemukiman
penduduk contohnya masjid merupakan fasilitas umum sangat penting bagi
penduduk Desa Dongko yang semuanya beragama Islam. Sedangkan hasil
penelitian Fadlan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan
pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi fasilitas
umum seperti sekolah, dan pelabuhan.

21
3.3.4. Aktivitas Penduduk yang Menyebabkan Kerusakan Hutan Mangrove
Berdasarkan pengamatan yang di lakukan di lapangan aktivitas
penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan yaitu berupa pengalihfungsian kawasan hutan
mangrove menjadi area pemukiman dan pertambakan. Dari kedua jenis
konversi lahan yang paling banyak menyebabkan kerusakan hutan
mangrove adalah konvensi lahan menjadi pertambakan yang luasnya sekitar
34 Ha sedangkan konvensi lahan pemukiman hanya sekitar 5 Ha.
Selain dari pembukaan pertambakan dan pemukiman yang di lakukan
oleh penduduk di Desa Dongko masih ada aktivitas lain yang dilakukan
penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove seperti
pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu bakar untuk memasak, sebagai tiang
rumah digunakan untuk membangun rumah Panggung, membuat kandang
ternak seperti Sapi dan Kambing, dan peralatan untuk perahu nelayan.
Sedangkan bagian daun mangrove jenis nipa-nipa digunakan untuk
membuat atap rumah dan atap kandang ternak. Salah satu contoh gambaran
aktivitas pemanfaatan kayu mangrove yang dilakukan penduduk
sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.8

22
Gambar 5.8 Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh Penduduk sebagai Kayu Bakar

3.3.5. Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekosistem hutan
mangrove di Desa Dongko berdasarkan jawaban responden, sebanyak
65,40% menjawab dalam keadaan rusak. Hal tersebut sesuai dengan
pengamatan yang telah dilakukan di lapangan berdasarkan kriteria kondisi
ekosistem hutan mangrove. Kondisi ekosistem hutan mangrove dalam
keadaan baik ≥ 1500 Pohon/Ha, kondisi sedang ≥1000 ≤1500 Pohon/Ha,
kondisi rusak <1000 pohon/Ha, sedangkan di Desa Dongko kondisi
ekosistem hutan mangrove <1000 Pohon/Ha atau dalam keadaan rusak.
Berdasarkan hasil penilitian Fadlan kondisi ekosistem hutan mangrove di
Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan sekitar 75,20% dalam
keadaan rusak dan tingkat kerapan <1000 Pohon/Ha.

23
3.3.6. Upaya Pengelolaan dan Pendidikan Masyarakat terkait Konservasi dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan mangrove berbasis masyarakat termasuk pada program
penanggulangan kerusakan mangrove yang telah terjadi pada kawasan
pantai melalui langkah terpadu yang tepat dilakukan adalah pengelolaan
hutan mangrove berbasis masyarakat dengan konsep pemberdayaan
masyarakat. Tujuan utama langkah ini adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove. Dalam hal ini Syukur
dkk, 2007 menyatakan bahwa ada lima yang harus diperhatikan dalam
kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembinaan usaha
pertambakan dengan menggunakan teknik silvofishery yaitu melakukan
penanam mangrove di dalam tambak dan di tepi pematang tambak yang
secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi rama lingkungan;
2. Memberikan akses kepada masyarakat berupa informasi, akses terhadap
pasar, pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum serta
prasarana dan sarana pendukung lainnya;
3. Menumbuh dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti dan
nilai sumberdaya ekosistem sehingga membutuhkan pelestaraian;
4. Menumbuh dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menjaga,
mengelola dan melestarikan ekosistem;
5. Menumbuh dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola
dan melestarikan sumberdaya ekosistem.

Pengelolaan hutan mangrove menjadi lokasi wisata cenderung akan


memberikan dampak posistif terhadap perekonomian penduduk di Desa
Dongko, seperti terbukanya lapangan usaha dan perekrutan tenaga kerja.
Hal utama dari program ini, pola penduduk sebagai perambah hutan
mangrove terhenti dan berganti dengan pola penyelamatan mangrove
sebagai kawasan yang diminati pengunjung wisata. Bentuk upaya yang
dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Tolitoli melalui Dinas kehutanan

24
terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan
Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli berupa sosialisasi dengan penduduk
Desa Dongko tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan mangrove, serta
baru sebatas janji akan melakukan penanaman mangrove pada kawasan
yang telah mengalami kerusakan. Sedangkan hasil penelitian Fadlan upaya
yang dilakukan pemerintah daerah yaitu melakukan penaman kembali pada
kawasan ekosistem hutan mangrove pada kawasan yang telah mengalami
kerusakan.

25
BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan penulis di Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli, maka penulis menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal
Selatan tahun 2007-2012 (5 tahun terakhir) terjadi di Dusun 1 Dongko dan Dusun
3 Silumba dengan luas kerusakan 40,21 Ha (50,36%). Kerusakan ekosistem
hutan mangrove di Desa Dongko melibatkan 1021 populasi atau 465 KK yang
terdiri dari 30 penduduk yang berprofesi sebagai pemilik usaha tambak dan 24KK
yang bermukim di kawasan ekosistem hutan mangrove, serta penduduk yang
bermukim di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove yang memanfaatkan
hutan mangrove.
2. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal
Selatan disebabkan oleh aktivitas sosial dan ekonomi penduduk seperti
pengalihfungsian lahan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, dan
permukiman. Luas konversi hutan mangrove menjadi pertambakan di Desa
Dongko sekitar 34 Ha dan pemukiman 5 Ha. Dampak yang diakibatkan dari
kerusakan ekosistem hutan mangrove yaitu berupa banjir dan intrusi air laut ke
daratan sampai mengakibatkan sawah penduduk menjadi rusak sehingga
tanaman Padi menjadi mati.
3. Upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah daerah terhadap kerusakan
ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko melalui Dinas Kehutanan yaitu
berupa sosialisasi dengan penduduk tentang pentingnya menjaga ekosistem
hutan mangrove, serta sebatas janji akan melakukan penamanmangrove secara
bersama-sama. Berdasarkan hasil analis SWOT perlu dilakukan pengembangan
kawasan hutan mangrove di Desa Dongko sebagai hutan lindung yang
berpedoman pada kebijakan pemerintah Kabupaten Tolitoli terkait pengelohaan
mangrove, meningkatkan prasarana dan sarana guna menunjang pembangunan

26
penanggulangan kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove, meningkatkan
sumber daya manusia, mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah,
merumuskan kebijakan pengelolaan dan pembangunan di sekitar mangrove
serta melakukan penaman kembali terhadap ekosistem hutan mangrove yang
rusak.

27
DAFTAR PUSTAKA

Akhbar, 2003. Potensi Degradasi dan Program Rehabilitasi Hutan Mangrove di Sulawesi
Tengah. Palu: Yayasan Perhutanan Sosial Bumi Tadulako (YPST) Sulawesi Tengah.

Anonim, 2003. Kepmen LH No. 201 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan MANGROVE. Jakarta : Sekretariat Negara RI.

_______, 2012a. Pengertian kepala keluarga. http://id.answers.yahoo.com


/question/index?qid=20100114122438AAtkSNX diakses 21 Januari 2013 jam 20.00
WITA.

Arief, 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta : Kanisius.

Arikunto, Suharsimi. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.

Aronoff, 1989. Pengertian Peta dan Pemetaan Sistem Informasi Geografi


http://dwigunauncp.blogspot.com/2012/10/pengertian-peta-dan-pemetaan-dan-sig.html.
(Online), Diakses 2 Oktober 2013 Jam 15.45 WITA.

Aziz Budianta, 2008. Kumpulan Istilah Lingkungan Hidup. Palu : Tadulako University
Press.

Aziz Budianta, 2008a. Konsep dan Metode Analisis SWOT. Bahan Bacaan 2008.

Bengen, 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem mangrove. Bogor : PKSL-IPB.

Fadlan, Mohammad. 2011. Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Kerusakan Ekosistem


Hutan MANGROVE di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Medan :
Universitas Sumatera Utara.

Harahab, Nuddin. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya
dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta : Graha Ilmu.

28
Irwanto, 2008. Hutan Mangrove dan Manfaatnya,
http://www.irwantoshut.com/penelitian/hutan_Mangrove/. (Online), Diakses Tanggal 7
September 2012 Jam 20.00 WITA.

Kusmana, 2005. Habitat Hutan Mangrove di dalam Ekosistem Hutan Mangrove, Bogor :
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Rahman. 2013. Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desadongko Kecamatan


Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2007- 2012. Universitas Tadulako.

29

Anda mungkin juga menyukai