PENDAHULUAN
1
hutan mangrove tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang menyebabkan
kerusakanekosistem hutan mangrove, yaitu pengalihfungsian kawasan ekosistem
hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, dan pemukiman. Selain itu, pohon
mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bakar (kayu bakar, arang), bahan
bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak, dan badan kapal).
Ekosistem hutan mangrove yang sudah dieksploitasi oleh aktivitas ekonomi
penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan biasanya tidak dilakukan
konservasi ulang sehingga ekosistem hutan mangrove akan terus-menerus
mengalami kerusakan dan terancam punah. Untuk ekosistem hutan mangrove yang
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi penduduk perlu
dilakukan upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove oleh pemerintah
dan masyarakat dengan konservasi, reboisasi, dan rehabilitasi hutan mangrove.
Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove yang dilakukan oleh
pemerintah biasanya dilakukan oleh Departemen Kehutanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat kemudian
dibantu oleh masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam menjaga
kelestarianlingkungan alam.
Terkait dengan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang kondisi dan perubahan kawasan hutan
mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan selama 5 (lima) tahun
terakhir dengan judul “Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012”.
2
1.2.3. Bagaimanakah upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas
sosial-ekonomi penduduk di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan
Kabupaten Tolitoli?
3
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
4
1981-1994 seluas 217,21 ha, tahun 1994-2008 seluas 2,05 ha). Hal ini
membuktikan bahwa telah terjadi kerusakan hutan mangrove sangat serius di
daerah penelitian yang terutama disebabkan penebangan oleh masyarakat.
Konversi dan hilangnya hutan mangrove tampaknya bukan merupakan
sesuatu yang baru terjadi pada dekade terakhir ini saja. Jauh sebelumnya, lebih dari
75 tahun yang lalu, Meindersma telah melaporkan bahwa sangat sulit untuk
menemukan hutan mangrove yang alami dan tidak terganggu di Pulau Jawa,
kecuali di Segara Anakan dan Teluk Pangong (dekat Selat Bali) (Noor dkk., (1999)
dalam Muryani, (2011)). Kegiatan pembangunan utama yang memberikan
sumbangan terbesar terhadap menurunnya luas areal hutan mangrove di Indonesia
adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersiil serta peralihan peruntukan
untuk tambak dan areal pertanian. Akibat yang terlihat nyata adalah pada saat
penelitian diadakan sudah tidak dapat ditemukan lagi vegetasi mangrove yang
diameternya di atas 10 cm. dan kerapatan vegetasi yang bernilai komersial
(Bruguiera, Ceriops, Rhizophora) juga semakin rendah. Hal ini merupakan indikasi
terjadinya degradasi hutan mangrove.
5
bahwa “hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di
daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air
laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Rhizhophor, Bruguiera,
Sonneratia, Nypa, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Aegiceras, Xylocarpus
dan Scyphyphora”.
6
bagi kehidupan manusia terutama penduduk setempat yang berdomisili di
dekat ekosistem hutan mangrove, misalnya sebagai sumber penghasilan
tambahan atau sebagai sumber mata pekerjaan sampingan penduduk
setempat. (Anwar dan Gunawan, (2003),dalam Fadlan, (2011)).
7
pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Menurut Dahuri
(2003), ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air tawar dan
salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat.
“Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik
biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh
lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia”
(Tirtakusumah, (1994), dalam Riandani, (2007)). “Pada umumnya kerusakan
ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam
pendayagunaan sumber daya alam wilayah pantai tidak memperhatikan
kelestarian, seperti; penebangan untuk keperluan kayu bakar yang
berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan” (Permenhut,
2004). kerusakan ekosistem hutan mangrovedikarenakan adanya fakta
bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan
mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih
fungsi lahan ekosistem hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman,
industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk
berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan
mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan
rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Khomsin, 2005, dalam (Fadlan, 2010). menyatakan bahwa: Kerusakan
alamiah ekosistem hutan mangrove timbul karena peristiwa alam seperti
adanya gelombang besar pada musim angin timur dan musim kemarau yang
berkepanjangan sehingga dapat menyebabkan akumulasi garam dalam
tanaman. Selain itu, gelombang besar dapat menyebabkan tercabutnya
tanaman muda atau tumbangnya pohon, serta menyebabkan erosi tanah
tempat bakau tumbuh. Kekeringan yang berkepanjangan bisa menyebabkan
kematian pada vegetasi mangrove dan menghambat pertumbuhannya.
“Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan
pertanian atau tambak ikan/ udang, sehingga menyebabkan penurunan
produktivitas ekosistem tersebut”. Menurut Irwanto (2008) bahwa “banyak
8
kegiatan manusia di sekitar kawasan ekosistem hutan mangroveyang
berakibat perubahan karakteristik fisik dan kimiawi di sekitar habitat hutan
mangrove sehingga tempat tersebut tidak lagi sesuai bagi kehidupan dan
perkembangan flora dan fauna di dalam ekosistem hutan mangrove”.
Menurut Soesanto (1994) bahwa “dalam usaha pengembangan ekonomi
kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi,
pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian
pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan
daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir”.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk
mendayagunakan sumber daya mangrove terus meningkat. Berdasarkan
pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004
tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan mangrove, maka
kondisi ekosistem hutan mangrove dibagi menjadi tiga kriteria dapat dilihat
pada Tabel 2.2
9
ekosistem hutan mangrove tergolong sedang apabila jumlah vegetasi hutan
mangrove yang menutupi lahan ≥ 50% - < 75% dan kerapatan pohon yang
tumbuh di lahan hutan mangrove≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha; dan (3) kondisi
ekosistem hutan mangrove tergolong rusak apabila jumlah vegetasi hutan
mangrove yang menutupi lahan < 50% dan kerapatan pohon yang tumbuh di
lahan hutan mangrove< 1000 Pohon/Ha. Selain itu, Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 menyatakan bahwa
“ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Kerusakan Ringan
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong ringan apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan
mangrovekurang dari 50% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang
dari 1.000 pohon/Ha. Untuk kerusakan ringan ekosistem hutan mangrove
hanya berpengaruh kecil terhadap kelangsungan hidup fauna yang ada
disana maupun aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di daerah
tersebut.
Kerusakan Sedang
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong sedang
apabila jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan
mangrovekurang dari 30% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang
dari 600 pohon/Ha. Untuk kerusakan sedang ekosistem hutan mangrove
dapat mengakibatkan sebagian besar fauna kehilangan sumber makanan
dan tempat tinggal, serta sebagian besar aktivitas ekonomi penduduk
dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan berkurang.
Kerusakan Berat
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong berat apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan
mangrove kurang dari 10% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang
dari 200 pohon/Ha. Untuk kerusakan berat ekosistem hutan mangrove
10
dapat mengakibatkan kehidupan fauna yang berhabitat disana terancam
bahaya bahkan kepunahan dan aktivitas ekonomi penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan terhenti, selain itu
daerah tersebut akan terancam dari bencana alam tsunami, gelombang
laut besar dan abrasi yang membahayakan kehidupan manusia.
11
mangrove yang semula dilakukan secara tradisional berubah menjadi secara
komersial; (3). Ekosistem hutan mangrove peka terhadap perubahan dan
tekanan dari luar yang melampaui kemampuan dan daya dukungnya,
misalnya pencemaran lingkungan berupa limbah industri dan sampah di
dalam ekosistem hutan mangrove; (4). Semakin meningkatnya jumlah
penduduk mengakibatkan kawasan ekosistem hutan mangrove diubah
menjadi perumahan, permukiman, perkantoran, industri, pelabuhan, tempat
rekreasi (objek wisata), dan lain-lain; serta (5). Kawasan ekosistem hutan
mangrove menjadi berkurang karena adanya perubahan pemanfaatan lahan
hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, baik tambak ikan maupun
tambak udang.
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan
hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat
rusaknya hutan, antara lain: (1). Keinginan untuk membuat pertambakan
dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan,
karena mudah dan murah; (2). Kebutuhan kayu bakar yang sangat
mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya
yang bisa ditebang; dan (3). Rendahnya pengetahuan masyarakat akan
berbagai fungsi hutan mangrove, adanya kesenjangan sosial antara petani
tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi
proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional (Perum Perhutani 1994).
Menurut Dahuri, (1996) “bahwa dampak potensial yang dapat timbul akibat
aktivitas ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove
yang dapat dilihat pada Tabel 2.3
12
Tabel 2.3 Beberapa Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Dampak Potensial
Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
13
Kerusakan total ekosistem
Penambangan dan ekstraksi mangrove sehingga
mineral, baik dalam hutan menghancurkan fungsi bioekologis
7 maupun daerah sekitar mangrovedan terjadinya
hutan pengendapan sedimen yang
berlebihan yang dapat mematikan
mangrove.
(Sumber: Fadlan, 2011).
14
mangrove dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana rehabilitasi
harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau
tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan pohon
mangrove.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 43 tentang
kehutanan bahwa dalam kaitan kondisi hutan mangrove yang rusak pada
setiap orang yang memiliki, mengelola atau memanfaatkan hutan mangrove
wajib melaksanakan rehabilitas untuk tujuan perlindungan konservasi.
Rudianto (2007) menyatakan bahwa “salah satu cara melindungi hutan
mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove sebagai
kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai
dan tepi sungai”.
Menurut Sugandhy (1994) bahwa ada beberapa permasalahan yang
terdapat dalam kawasan ekosistem hutan mangrove yang dengan upaya
pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, yaitu; (1). Pemanfaatan
ganda yang tidak terkendali; (2). Permasalahan tanah timbul akibat
sedimentasi yang berkelanjutan; (3). Konversi kawasan hutan mangrove
menjadi kawasan lain; (4). Permasalahan sosial ekonomi; (5). Permasalahan
kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan; dan (6).
Permasalahan informasi kawasan pesisir. Menurut Anita, 2002, (Fadlan,
2011), bahwa usaha-usaha yang harus dikembangkan dalam upaya
pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, antara lain; (1).
Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi; (2).
Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk
memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat
langsungnya; dan (3). Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya
berdasarkan kriteria yang jelas dan pertimbangan yang rasional.
Sugiarto (1996) menyatakan bahwa kawasan ekosistem hutan
mangrove banyak dikonservasi dalam kawasan terpisah maupun kawasan
tergabung dalam cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional
berdasarkan pada empat strategi pokok konservasi, yaitu pelindung proses
15
ekologis dan penyangga kehidupan kawasan, pengawet keragaman
sumberdaya plasma nutfah, pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem,
serta tata guna dan tata ruang kawasan hutan mangrove.
Menurut Perum Perhutani (1994) “dalam pelaksanaan reboisasi
(penghijauan) kawasan ekosistem hutan mangrove yang mengalami
kerusakan dapat dilakukan dengan cara pengadaan bibit, seleksi bibit,
persemaian bibit, menggunakan media semai, pengangkutan bibit,
penanaman bibit, serta pemeliharaan dan perlindungan”.
16
BAB 3
PEMBAHASAN
17
3.2. Penyusutan Areal Hutan Mangrove (Perubahan Penggunaan Lahan Tahun
2007 dan 2012)
Penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara
permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan,
baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya(Malingreau,.J.P.
(1977) dalam Aziz Budianta (2008)).
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan
kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu.
Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik.
Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni
tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan
perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu (Time series data).
Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan
penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena
kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap.
Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah,
baik penutup lahan maupun lokasinya. Analisis penggunaan lahan kawasan hutan
mangrove di Desa Dongko, sehubungan dengan kerusakan kawasan hutan
mangrove, terkait perubahan penggunaan lahan di sajikan pada peta Lampiran 3.
Berdasarkan Lampiran 3 menunjukkan bahwa hasil Analisis perubahan
penggunaan lahan dapat diketahui dibeberapa kawasan yang mengalami
perubahan, kawasan ini terdiri dari kawasan hutan rakyat, perkebunan kelapa,
persawahan, pemukiman, lahan tidur, tambak dan hutan mangrove. Teknik Scoring
dan Overlay yang digunakan dalam penelitian ini, sehubungan dengan kerusakan
kawasan ekosistem hutan mangrove sistem pemetaan penggunaan lahan yang ada
di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012 maka diperoleh
beberapa perubahan penggunaan lahan yang tersaji dalam Tabel 5.18.
18
Tabel 5.18. Luas Perubahan Penggunaan Lahan (Ha) Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012
Luas
Perubahan
40,21 102,11 717,59 259,36 391,44 33,15 26,62
Lahan Tahun
2007 – 2012
19
Tabel.5.18. menunjukkan hasil pemetaan perubahan penggunaan lahan di
Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007 – 2012,
pada tahun 2007 luas kawasan hutan mangrove 79,83 Ha, tahun 2008 luas
kawasan mangrove 72,16 Ha atau mengalami perubahan lahan sekitar 7,67 Ha,
tahun 2009 luas kawasan mangrove 58,63 Ha jadi luas perubahan lahan tahun
2008-2009 sekitar 13,53 Ha, tahun 2010 luas kawasan mangrove 49,00 Ha jadi luas
perubahan lahan 2009-2010 sekitar 9,63 Ha, tahun 2011 luas kawasan mangrove
45,70 Ha jadi luas perubahan lahan 2010-2011 sekitar 3,30 Ha, tahun 2012 luas
kawasan mangrove 39,62 Ha jadi luas perubahan lahan sekitar 6,08 Ha. Jadi luas
kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko selama 5 (lima)
tahun terakhir sekitar 40,21 Ha (50,36%). Sedangkan hasil penelitian Fadlan di
Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan luas kerusankan ekosistem
hutan mangrove 94 Ha (75,20%), dan hasil penelitian Muryani di pantai Pasuruan
Jawa Timur luas kerusakan ekosistem hutan mangrove selama 25 (dua puluh lima)
tahun terakhir 652,35 Ha.
20
Muriyani disebabkan karena semakin kurang lahan pemukiman sehingga
penduduk setempat membangun pemukiman di kawasan hutan mangrove.
21
3.3.4. Aktivitas Penduduk yang Menyebabkan Kerusakan Hutan Mangrove
Berdasarkan pengamatan yang di lakukan di lapangan aktivitas
penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan yaitu berupa pengalihfungsian kawasan hutan
mangrove menjadi area pemukiman dan pertambakan. Dari kedua jenis
konversi lahan yang paling banyak menyebabkan kerusakan hutan
mangrove adalah konvensi lahan menjadi pertambakan yang luasnya sekitar
34 Ha sedangkan konvensi lahan pemukiman hanya sekitar 5 Ha.
Selain dari pembukaan pertambakan dan pemukiman yang di lakukan
oleh penduduk di Desa Dongko masih ada aktivitas lain yang dilakukan
penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove seperti
pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu bakar untuk memasak, sebagai tiang
rumah digunakan untuk membangun rumah Panggung, membuat kandang
ternak seperti Sapi dan Kambing, dan peralatan untuk perahu nelayan.
Sedangkan bagian daun mangrove jenis nipa-nipa digunakan untuk
membuat atap rumah dan atap kandang ternak. Salah satu contoh gambaran
aktivitas pemanfaatan kayu mangrove yang dilakukan penduduk
sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.8
22
Gambar 5.8 Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh Penduduk sebagai Kayu Bakar
23
3.3.6. Upaya Pengelolaan dan Pendidikan Masyarakat terkait Konservasi dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan mangrove berbasis masyarakat termasuk pada program
penanggulangan kerusakan mangrove yang telah terjadi pada kawasan
pantai melalui langkah terpadu yang tepat dilakukan adalah pengelolaan
hutan mangrove berbasis masyarakat dengan konsep pemberdayaan
masyarakat. Tujuan utama langkah ini adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove. Dalam hal ini Syukur
dkk, 2007 menyatakan bahwa ada lima yang harus diperhatikan dalam
kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembinaan usaha
pertambakan dengan menggunakan teknik silvofishery yaitu melakukan
penanam mangrove di dalam tambak dan di tepi pematang tambak yang
secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi rama lingkungan;
2. Memberikan akses kepada masyarakat berupa informasi, akses terhadap
pasar, pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum serta
prasarana dan sarana pendukung lainnya;
3. Menumbuh dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti dan
nilai sumberdaya ekosistem sehingga membutuhkan pelestaraian;
4. Menumbuh dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menjaga,
mengelola dan melestarikan ekosistem;
5. Menumbuh dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola
dan melestarikan sumberdaya ekosistem.
24
terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan
Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli berupa sosialisasi dengan penduduk
Desa Dongko tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan mangrove, serta
baru sebatas janji akan melakukan penanaman mangrove pada kawasan
yang telah mengalami kerusakan. Sedangkan hasil penelitian Fadlan upaya
yang dilakukan pemerintah daerah yaitu melakukan penaman kembali pada
kawasan ekosistem hutan mangrove pada kawasan yang telah mengalami
kerusakan.
25
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan penulis di Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli, maka penulis menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal
Selatan tahun 2007-2012 (5 tahun terakhir) terjadi di Dusun 1 Dongko dan Dusun
3 Silumba dengan luas kerusakan 40,21 Ha (50,36%). Kerusakan ekosistem
hutan mangrove di Desa Dongko melibatkan 1021 populasi atau 465 KK yang
terdiri dari 30 penduduk yang berprofesi sebagai pemilik usaha tambak dan 24KK
yang bermukim di kawasan ekosistem hutan mangrove, serta penduduk yang
bermukim di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove yang memanfaatkan
hutan mangrove.
2. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal
Selatan disebabkan oleh aktivitas sosial dan ekonomi penduduk seperti
pengalihfungsian lahan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, dan
permukiman. Luas konversi hutan mangrove menjadi pertambakan di Desa
Dongko sekitar 34 Ha dan pemukiman 5 Ha. Dampak yang diakibatkan dari
kerusakan ekosistem hutan mangrove yaitu berupa banjir dan intrusi air laut ke
daratan sampai mengakibatkan sawah penduduk menjadi rusak sehingga
tanaman Padi menjadi mati.
3. Upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah daerah terhadap kerusakan
ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko melalui Dinas Kehutanan yaitu
berupa sosialisasi dengan penduduk tentang pentingnya menjaga ekosistem
hutan mangrove, serta sebatas janji akan melakukan penamanmangrove secara
bersama-sama. Berdasarkan hasil analis SWOT perlu dilakukan pengembangan
kawasan hutan mangrove di Desa Dongko sebagai hutan lindung yang
berpedoman pada kebijakan pemerintah Kabupaten Tolitoli terkait pengelohaan
mangrove, meningkatkan prasarana dan sarana guna menunjang pembangunan
26
penanggulangan kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove, meningkatkan
sumber daya manusia, mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah,
merumuskan kebijakan pengelolaan dan pembangunan di sekitar mangrove
serta melakukan penaman kembali terhadap ekosistem hutan mangrove yang
rusak.
27
DAFTAR PUSTAKA
Akhbar, 2003. Potensi Degradasi dan Program Rehabilitasi Hutan Mangrove di Sulawesi
Tengah. Palu: Yayasan Perhutanan Sosial Bumi Tadulako (YPST) Sulawesi Tengah.
Anonim, 2003. Kepmen LH No. 201 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan MANGROVE. Jakarta : Sekretariat Negara RI.
Arikunto, Suharsimi. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Aziz Budianta, 2008. Kumpulan Istilah Lingkungan Hidup. Palu : Tadulako University
Press.
Aziz Budianta, 2008a. Konsep dan Metode Analisis SWOT. Bahan Bacaan 2008.
Harahab, Nuddin. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya
dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta : Graha Ilmu.
28
Irwanto, 2008. Hutan Mangrove dan Manfaatnya,
http://www.irwantoshut.com/penelitian/hutan_Mangrove/. (Online), Diakses Tanggal 7
September 2012 Jam 20.00 WITA.
Kusmana, 2005. Habitat Hutan Mangrove di dalam Ekosistem Hutan Mangrove, Bogor :
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
29