Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS PENGELOLAAN LAHAN KRITIS DI DESA

BOHOL GUNUNGKIDUL DENGAN ADAT


KROMOJATI

Oleh : Muhammad Rikho Antasuri Arrizqy

Fakultas Ilmu Hukum

(18/426992/HK/21649)
BAB I

A. LATAR BELAKANG

Sumber daya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan manusia. Sumber daya
alam juga berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia,
sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia tersendiri tentang
penguasaan dan pengelolaan dari sumber daya alam. Secara umum tata kelola sumber daya
alam termasuk juga lahan kosong yang dilakukan oleh suatu komunitas adat mengenal
adanya beragam status penguasaan dan pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan
sumber daya alam dapat dibedakan menjadi empat kelompok : (1) milik umum (open access),
(2) milik bersama (komunal), (3) milik negara (state), (4) milik pribadi atau perorangan
(private). Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumber daya alam tersebut memiliki
karakteristik sendiri. Dalam kasus yang terjadi di Desa Bohol, Kecamatan Rongkop,
Gunungkidul ini, lahan kosong yang ada didalamya merupakan milik bersama, tetapi dengan
kesepakatan bersama lahan tersebut ditanami oleh bibit-bibit pohon jati yang berasal dari
perkawinan adat kromojati. Meskipun lahan kosong yang menjadi tempat ditanaminya pohon
jati tersebut adalah milik bersama, akan tetapi setiap pohon jati yang ditanam merupakan
milik pribadi.

Kromojati merupakan salah satu tradisi pernikahan yang ada di Desa Bohol. Nama Kromojati
sendiri merupakan gabungan dari 2 kata bahasa jawa yaitu Kromo dan Jati. Kromo berarti
pernikahan, sedangkan Jati sendiri berarti sejati atau pohon jati. Apabila kita menelaah lebih
dalam, maka makna dari Kromojati ini adalah pernikahan yang sejati yang diwujudkan
melalui aksi penanaman pohon jati itu sendiri, dimana harapannya adalah pasangan tersebut
memiliki kecukupan finansialdan pohon jati tersebut menjadi tabungan dari pasangan itu.
Adat ini mulai diterapkan di Desa Bohol sejak tahun 2007 dan setiap pasangan diwajibkan
untuk menanam 10 benih pohon jati di lahan kosong yang sedang dalam kondisi kritis. Di
Desa Bohol sendiri terdapat 8 dusun, dan 2 diantaranya merupakan lahan yang krisis. Dusun
tersebut adalah Dusun Wuru dan Gamping dengan total luas sebesar 123 hektar. Dari sinilah
awal mula terciptanya adat Kromojati yang dicetuskan oleh Kepala Desa saat itu, akhirnya
adat Kromojati ini dimuat dalam Surat Keputusan Desa Bohol No.13/KPTS/2007.
Dengan adanya adat Kromojati ini memberikan kesadaran terhadap masyarakat untuk
menjaga dan melestarikan lingkungan mereka. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber
daya alam, upaya pendekatan ini tidak hanya memperhitungkan dari aspek dan manfaat
ekonomi, tetapi juga berbagai aspek dan dimensi lain dipertimbangkan, salah satunya adalah
pemanfaatan lahan kosong yang dalam kondisi kritis tapi kemudian dikembangkan dan
dilestarikan.

Berangkat dari uraian diatas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana
proses dan manfaat pengelolaan lahan kosong yang ada melalui adat Kromojati ini. Dalam
kajian ini ada dua masalah pokok yang ingin digali, (1) bagaimana gambaran proses
pengelolaan lahan tersebut beserta kendala yang dialami, (2) apakah terdapat benturan hukum
antara hukum negara dengan hukum yang berlaku di masyarakat dimana masyarakat
mungkin lebih patuh pada hukum masyarakat yang berlaku dan mengabaikan ketentuan
hukum negara saat ini.

BAB II
A. METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk study kasus. Pendekatan ini
digunakan dengan tujuan untuk menggali informasi sebanyak mungkin, mampu memahami
dan mengidentifikasi gejala sosial yang terkait dengan pengelolaan lingkungan secara
periodik dan peristiwa fenomenal. Metode pengumpulan datanya dengan cara menggunakan
pengamatan berpartisipasi, study dokumentasi dan wawancara mendalam dengan narasumber
yang ada (deep interview).

Pengamatan berpartisipasi dilakukan terutama berkenaan saat momen penting, seperti proses
penanaman bibit pohon jati yang dilakukan tiap musim panas. Study dokumentasi dilakukan
untuk mengkaji perundang undangan yang terkait masalah ini dengan peraturan desa yang
berlaku di masyarakat. Data yang terkumpul melalui berpartisipasi, study dokumentasi, dan
wawancara yang mendalam kemudian dikumpulkan dan diverifikasi, dan dianalisis secara
kualitatif dengan menggunakan metode sejarah sosiologis dan metode fenomologi husserl.
Penggunaan metode sejarah sosiologis digunakan untuk melihat dinamika lokal dan konflik
pengelolaan lahan yang terjadi dari waktu ke waktu, sedangkan metode fenomologi husserl
digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan pengertian yang benar yaitu menangkap realitas
yang seperti adanya, menangkap realitas dalam pengertian peneliti dan tiliti. Data yang
terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Analisis kualitatif
merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antara
berbagai kategori data, konsep dan fenomena untuk selanjutnya dilakukan dikontruksi secara
analistis dan teoritis.

B. PEMBAHASAN
1. Norma dan aturan-aturan yang dihasilkan sendiri dan digunakan dalam
interaksi masyarakat

Tingkat kerusakan lingkungan yang tinggi di Indonesia menyebabkan istilah lahan kritis,
dimana daerah tersebut kehilangan penutupan vegetasi dan beberapa fungsi daerah hijau
seperti penahan air dan pengendali erosi sehingga dapat mengakibatkan tanah di daerah
tersebut rusak. Data yang dimuat pada tahun 2018 menunjukkan bahwa negara Indonesia
memiliki sekitar 14,01 juta hektar lahan kritis.1 Salah satu tindakkan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi hal tersebut yaitu konservasi hutan.

Konservasi ini memiliki 3 tujuan utama, yaitu perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya di Desa Bohol, Kecamatan Rongkop,
Kabupaten Gunungkidul terdapat beberapa dusun yang mengalami lahan kritis. Dusun
tersebut ialah Dusun Wuru dan Dusun Gamping, dengan total lahan kritis sekitar 123 hektare.
Oleh karena itu, daerah tersebut memerlukan suatu solusi berupa model pelestarian
lingkungan hidup,

Berdasarkan masalah tersebut, terdapat inisiatif dari Kepala Desa Bohol saat itu yang
bernama Widodo untuk mengatasi lahan kritis yang ada di desa tersebut. Setelah berdiskusi
dengan tokoh desa lainnya, muncul suatu inisiasi, yaitu „Tradisi Kromojati‟. Kromojati
merupakan salah satu tradisi pernikahan yang terdapat di Desa Bohol. Istilah Kromojati
memiliki arti ikatan pernikahan yang sejati, yang diwujudkan dengan aksi penanaman pohon
jati itu sendiri, dimana pasangan yang melakukan pernikahan diharapkan memiliki
kecukupan finansial dan dapat menumbuhkan rasa cinta dalam pemanfaatan serta pelestarian
lingkungan mereka. Bagi pasangan yang akan melakukan pernikahan di Desa Bohol terdapat

1
Kementrian Lingkungan hidup dan Kehutanan, “KLHK Tingkatkan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Sepuluh Kali
Lipat di 2019” http//ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/1723, diakses 20 Mei 2021.
syarat yang diberikan, yaitu calon pengantin pria dan wanita harus menanam 10 benih pohon
jati, 5 benih pohon ditanam di tanah desa dan 5 benih pohon ditanam di tanah milik sendiri.
Pernikahan tersebut dapat dilakukan setelah pernikahan dilangsungkan. Namun, bagi
pasangan yang tidak memiliki tanah sendiri, maka 10 benih pohon jati tersebut dapat ditanam
di tanah desa.

Terkait substansi hukum, dapat dilihat dari realitas tatanan sosial kemasyarakatan yang
terjadi. Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa substansi hukum yang bisa dikaitkan dengan
pengelolaan lahan kritis menggunakan tradisi kromojati ini, yakni :

A. Pasal 1 angka 30 UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UUPPLH).

“Kearifan lokal memilki pengertian nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengolah lingkungan hidup secara
lestari.”

Penanaman bibit pohon jati yang ada di Desa Bohol adalah implementasi dari
kearifan lokal masyarakat yang bertujuan untuk menjaga dan mengelola lingkungan
mereka secara lestari. Melihat dari keterkaitan antara undang-undang tersebut dengan
adat kromojati ini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya adat kromojati ini secara
tidak langsung mengarahkah masyarakat agar tergerak untuk dapat memanfaatkan
melestarikan lingkungan yang ada di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat dari proses
adat kromojati yang dalam prosesnya membuat sebuah lahan yang awalnya dalam
kondisi kritis dan sulit untuk dimanfaatkan, menjadi sebuah lahan yang bermanfaat
dan menghasilkan.

B. Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian


Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan
Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan.

“Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk
mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya.”
Tradisi Kromojati yang dicetuskan sebagai solusi untuk memulihkan kembali lahan
yang sebelumnya dalam kondisi kritis adalah bentuk nyata dari implementasi
peraturan pemerintah tersebut. Dengan adanya kromojati ini membuat lahan kritis
dapat kembali pulih dan mengembalikan fungsi lahan yang sebelumnya hilang.

C. Surat Keputusan Kepala Desa Bohol No.13/KPTS/2007

“Setiap calon pasangan yang akan menikah di wilayah Bohol, wajib menanam pohon
jati sebanyak 10 batang.”

Dengan adanya surat keputusan dari kepala desa ini memperkuat substansi hukum
yang ada. Upaya pengaturan tradisi tersebut ke dalam surat keputusan kepala desa ini
terbukti efektif karena masyarakat tersadar akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan sekitar mereka, dan juga menandakan bahwa masyarakat dapate menerima
keputusan ini dengan sukarela tanpa paksaan, karena surat keputusan ini dibuat
berdasarkan keputusan bersama dari seluruh perangkat desa yang mewakili pendapat
masyarakat.

Semua substansi hukum yang telah kita bahas terkait dengan tradisi perkawinan kromojati di
Desa Bohol menegaskan bahwa adanya tradisi ini membuat masyarakat menjaga dan
melestarikan lingkungan mereka. Selain itu tradisi ini juga membantu pemerintah dalam
menjaga, mengelola, dan melestarikan lingkungan.

Warga Desa Bohol yang menjalankan tradisi Kromojati ini mecerminkan bahwa secara
sosiologis dalam masyarakat telah tercipta suatu keteraturan ddengan bermodalkan
kesadaran dari warga desa masing-masing untuk ikut melestarikan alam. Walaupun di dalam
Surat Keputusan Kepala Desa Bohol No.13/KPTS/2007 tidak disebutkan mengenai adanya
sanksi jika tidak melaksanakan tradisi tersebut, namun sejak munculnya ide tradisi
Kromojati,warga Desa Bohol terus menjalankannya hingga sekarang. Sehingga saat ini,
tradisi tersebut telah menjadi budaya yang selalu dilaksanakan di setiap adat perkawinan
warga Desa Bohol.

2. Bagaimana gambaran proses pengelolaan lahan tersebut beserta kendala yang


dialami
Pengaturan yang terjadi di Desa Bohol ini dilatarbelakangi dengan adanya lahan kritis di
Desa Tersebut, sehingga demi kepentingan keturunan berikutnya serta sebagai upaya dalam
rangka melestarikan hidup, maka oleh Kepala Desa Bohol dibentuklah Surat Keputusan
Kepala Desa Bohol No.13/KPTS/2007 sebagai pengaturan pelaksanaan hukum perkawinan
kromojati. Untuk pelaksanaannya sendiri, tradisi ini dilakukan bagi setiap pasangan yang
akan melangsungkan pernikahan, dan tiap pasangan diwajibkan untuk menanam sebanyak 10
pohon jati. 10 pohon jati tersebut 5 pohon ditanam di lahan milik desa, dan 5 pohon sisanya
ditanam di lahan milik pribadi. Apabila tidak memiliki lahan pribadi, maka diperbolehkan
juga menanam di lahan milik desa, dan kepemilikannya tetap menjadi milik pribadi.

Penanaman bibit-bibit pohon tersebut dilakukan setiap datangnya musim panas. Berdasarkan
wawancara dengan Kepala Desa saat ini yaitu Supardi, kendala yang sering terjadi adalah
adanya pergantian musim yang terkadang tidak sesuai expektasi. Seperti contoh saat musim
hujan yang datang lebih awal dari biasanya dan berlangsung lebih lama dari sebelumnya. Hal
ini membuat adanya keterlambatan dalam penanaman bibit pohon jati yang harus dilakukan
saat musim panas, menjadi tertunda dan akhirnya harus menunggu di tahun yang akan
datang. Tetapi diluar hal tersebut, masyarakat sangat menyambut dengan antusias dibuatnya
adat kromojati ini. Karena adanya kromojati ini selain sebagai simbol setiap pasangan yang
akan melakukan pernikahan, tetapi secara tidak langsung juga menumbuhkan rasa antusias
masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan milik mereka sendiri.

Kemampuan dalam menghasilkan hukum adat Kromojati yang dibantu dengan penguatan
dari perangkat desa yang berwenang dalam melakukan legislasi memiliki pengaruh besar
terhadap pelaksanaan dan hasil yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari bukti nyata bahwa
belum pernah ada yang melanggar hukum adat tersebut dengan alasan keuntungan yang akan
diperoleh di masa depan, baik demi pelestarian lingkungan dan perbaikan ekonomi keluarga.
Selain itu, menurut data di Desa Bohol, pada tahun 2005, desa tersebut memiliki lahan kritis
seluas 123 hektar. Setelah diadakan hukum perkawinan Kromojati sejak tahun 2007, data
yang diperoleh pada tahun 2011 menunjukkan bahwa lahan kritis berkurang menjadi 23
hektar. Sehingga, pelaksanaan tradisi tersebut berlaku efektif didasarkan pada hasil
ketercapaianya.

Masyarakat di Desa Bohol, dalam hal ini terkait pembentukkan hukum yang mewajikan
setiap pasangan yang baru menikh untuk menanam pohon, dapat dikatakan merupakan
sebuah pementukan hukum yang partisipatif karena didasarkan pada kehendak serta
kesadaran masyarakat tersebut untuk membuat dan mematuhi hukum yang mereka buat demi
kepentingan desa dan masyarakat. Jika dikaitkan dengan aspek-aspek lain, maka ketentuan
hukum Desa Bohol terkait penanaman pohon pada akhirnya akan memberikan banyak
pengaruh seperti peningkatan perekonomian menjadi lebih baik karena ketersedian jumlah air
yang dapat mendukung panen masyarakat, serta meningkatnya kesadaran masyarakat Desa
Bohol untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya.

3. Apakah terdapat benturan hukum antara hukum negara dengan hukum yang
berlaku di masyarakat.

Berdasarkan kasus yang diatas, substansi hukum yang terkait dengan pengelolaan lahan kritis
di Desa Bohol melalui tradisi Kromojati, tidak berbenturan dengan hukum negara yang ada,
melainkan memiliki kesamaan. Tradisi Kromojati menjadi solusi dan jawaban atas krisisnya
lahan yang ada di Desa Bohol, dan membuat lahan itu kembali menunjukkan kemanfaatannya
untuk masyarakat. Hal ini diketahui berdasarkan :

 Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindunan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), kearifan lokal memilik nilai luhur yang
bertujuan untuk melindungi, dan mengolah lingkngan hidup, tingkat kepatuhan
masyarakat menjadi tinggi. Karena dengan adanya adat Kromojati ini kearifan lkal
yang terjadi dalam masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan mereka
menjadi sangat meningkat. Dalam kasus ini, pemerintah memiliki hak untuk mengatur
kearifan lokal mana yang memiliki nilai luhur untuk melindunngi, dan mengolah
lingkungan. Dan penanaman bibit ini adala salah satu kearifan lokal yang sangat
membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan mengolah lingkungan. Ini
menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat dan kesinambungan yang berjalan
bersamaan antara hukum negara dan hukum adat masyarakat yang berlaku.

Pebuatan masyarakat Desa Bohol ini menunjukkan bahwa dengan adanya tradisi Kromojati
ini tidak serta merta membuat mereka lalai terhadap peraturan dan norma negara, tetapi
malah menigkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat dalam pentingnya menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup di sekitar mereka.

Terkait dengan tinggi rendahnya tingkat kepatuhan terhadap norma negara, menurut
Soerjono Soekanto, kesadaran hukum sebenarnya adalah kesadaran atau nilai-nilaidi dalam
diri manusia berkenaan dengan hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebenarnya menurut Soekanto hal yang ditekankan ada pada nilai-nilai tentang fungsi
hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-keadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.2

Taraf kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto didasarkan pada pengetahuan tentang
pengaturan, sikap terhadap peraturan, dan perikelakuan yang sesuai dengan peraturan.3
Dikaitkan dengan keadaan kasus a quo. Masyarakat Desa Bohol menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki pengetahuan tentang norma negara, sikap yang telah mematuhi norma
negara, dan perilaku yang sesuai dengan norma negara yang berlaku. Sehingga adanya
peraturan yang berlaku dalam Desa Bohol tersebut tidak menjadikan masyarakat abai akan
norma negara.

4. Analisis Kajian

Pada tahun 1963, Stanley Milgram melakukan beberapa experimen psikologi yang kemudian
disebut dengan percobaan Milgram atau Percobaan Kepatuhan yang sangat terkenal pada
abad 20. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa kepatuhan muncul bukan
dikarenakan keinginan masyarakat (pelaksana perintah) untuk menyesuaikan diri, tapi
didasarkan pada kebutuhan para individu untuk menjadi apa yang lingkungannya harapkan
atau didasarkan pada reaksi yang akan timbul untuk merespon tuntutan lingkungan sosial
yang ada. Menurut Milgram timbulnya kepatuhan masyarakatkepada norma didasarkan pada
tuntutan lingkungan sosial sekitarnya untuk menjadi orang yang tidak melanggar norma,
bukan karena ingin menyesuaikan diri terhadap norma yang ada.4 Dalam hasil penelitian
tersebut, Milgram juga mengemukakan ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan
atau ketaatan terhadap otoritas atau norma, yaitu : pengawasan, kekuasaan & ideologi, dan
2
Soerjono Soekanto 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm.182.
3
Soerjono Soekanto, “Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum”. Jurnal Hukum dan Pembangunan ,Vol 7.
No.6, Desember 1977, hlm 462.
4
Stanley Milgram “Behavioral Study of Obedience”, The journal of Abnormal and Social Psychology, 67(4),
1963, hlm 371.
daya pengaruh situasi. Dari ketiga faktor tersebut jika dikaitkan dengan kasus a quo yang ada,
dapat dilihat jika kepatuhan masyarakat Desa Bohol untuk melakukan tradisi Kromojati
disebabkan terpenuhinya 3 faktor tersebut. Adanya pengawasan dari perangkat desa, adanya
kekuasaan dari pemeritah desa untuk memberlakukan aturan tersebut, dan adanya situasi
lahan kritis di Desa Bohol yang menjadi daya pengaruh situasi, terpenuhinya 3 faktor tersebut
yang akhirnya menimbulkan kepatuhan dari warga Desa Bohol.

Setelah melakukan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan


antara berbagai kategori data, konsep dan fenomenanya, maka disimpulkan hasil dari analisis
kualitatif ini adalah bahwa untuk menggerakkan masyarakat agar mau melindungi dan
melestarikan lingkungannya adalah dengan membuat sesuatu yang menjadikan itu sebagai
kebutuhan masyarakat, sehingga mereka akan tergerak sendirinya tanpa harus diingatkan,
karena sebagaimana kebutuhan pribadi pasti mereka akan mendahulukan kebutuhan
pribadinya dibanding yang lain.

BAB III
 KESIMPULAN

Terciptanya tradisi Kromojati adalah jawaban atas permasalahan yang dialami masyarakat
Desa Bohol saat itu, yaitu lahan kritis seluas 123 hektar. Selain sebagai simbol para pasangan
yang melangsungkan pernikahan, tradisi Kromojati juga mewajibkan para pasangan untuk
menanam 10 pohon jati di lahan krisis tersebut. Karena hal inilah secara tidak langsung
mendorong masyarakat untuk mulai memanfaatkan lahan kritis ini, sehingga dari sinilah
permulaan lahan yang awalnya krisis, saat ini telah kembali mendapatkan manfaatnya dan
berguna bagi masyarakat Desa Bohol. Tradisi in tidak hanya memberi manfaat dalam segi
limgkungan saja, tetapi dalam aspek ekonomi juga memberikan manfaatnya, karena setiap
pohon jati yang ditanam tersebut nantinya dapat berguna sebagai tabungan masa depan bagi
keturunan-keturunan setelah mereka.

Dari segi kepatuhan masyarakat terhadap norma negara pun tidak terganggu, dan bahkan
dapat berjalan bersama antara norma negara dengan norma masyarakat yang ada. Karena saat
ini tradisi Kromojati telah menjadi budaya yang sangat melekat bagi masyarakat Desa Bohol,
sehingga membuat kepatuhan masyarakat terhadap tradisi ini sangatlah tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku

 Soekanto, Soerjono, 1082, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,


Rajawali, Jakarta
Jurnal

 Eva, Yusnita, “Perspektif dan Kajian Hukum dari Beberapa Tokoh dalam
Bidang Antropologi Hukum”, Mimbar Hukum, Vol 22, No. 1, Februari
2010.
 Milgram, Stanley, “Behavioral Study of Obedience”, The Journal pf
Abnormal and Social Psychology, 67(4), 1963.
 Soekanto, Soerjono, “Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol 7, No.6, Desember 1977.

Peraturan Perundang Undangan

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindugan dan
pengelolaan lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia)
 Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan
Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan
Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan.

Internet

 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan “KLK Tingkatkan


Rehabilitasi Hutan dan Lahan Sepuluh Kali Lipat di 2019”,
http://ppid.menlhk.go.id./siaran_pers/browse/1723, diakses 20 Juni 2021

Anda mungkin juga menyukai