Anda di halaman 1dari 22

1

Kaitan antara Demografi Penduduk dengan Masyarakat Adat Laut: Studi


Kasus Kriminalisasi Masyarakat Adat Bajo

A. Latar Belakang

Sebagai wujud otorisasi pengelolaan sumber daya alam, Pasal 33 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
secara eksplisit bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Spirit konstitusi yang tertuang dalam pasal tersebut mencoba
menggambarkan secara jelas betapa Founding Fathers terdahulu menginginkan
negara dalam melakukan pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumber daya
alam yang ada harus diakomodasi oleh prinsip keadilan kolektif.1 Dengan kata
lain, pola penguasaan negara terhadap kekayaan sumber daya alam yang
berkeadilan dan berkelanjutan harus didasari oleh semangat altruistik yang
berasaskan ekonomi kerakyatan. Tanpa dilandasi oleh semangat demikian,
Pengelolaan sumber daya alam hanya berorientasi pada prinsip komoditas yang
semata-mata dikuras untuk kemakmuran perorangan atau kelompok
Penulis sepakat bahwa kemakmuran rakyat dapat tercapai apabila cabang-
cabang produksi yang berkenaan dengan sumber daya alam dapat dikelola secara
arif dan bijaksana. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan keterlibatan
antar- aktor (stakesholder) dalam negara yang saling berperan secara sinergis
dalam mengelola maupun memanfaatkan sumberdaya alam yakni pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha2 Sinergitas yang dibangun oleh ketiga aktor tersebut
diharapkan mampu berjalan harmonis guna menciptakan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan merata.
Menyadari besarnya fungsi dan manfaat sumber daya alam dalam rangka
memenuhi hajat hidup dan penghidupan orang banyak, cabang-cabang produksi
yang bersentuhan langsung dengan sektor sumber daya alam harus sejalan dengan
arus pembangunan nasional. Dalam hal ini, sektor maritim dinilai memiliki

1
Marhaeni Ria Siombo, Dasar-Dasar Hukum Lingkungan dan Kearifan Lokal Masyarakat,
Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2015, hlm. 25
2
Bagian Hukum dan Pembangunan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
Perkembangan Hukum Lingkungan Kini dan Masa Depan: Prosiding Seminar Nasional dan
Kongres Pembina Hukum Lingkungan se-Indonesia, Bandung: Logoz Publishing, 2013, hlm. 50

2
peranan penting bagi kemajuan perekenomian nasional. Pada paparan sederhana
yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, selaku Ketua Harian
Dewan Kelautan Indonesia, sektor maritim mampu menyumbang sejumlah 872,38
Ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 3,27 miliar per tahun 2015.3 Angka
sebesar itu berpotensi memuncak seiring dengan kebutuhan manusia yang selalu
meningkat, baik dikarenakan peningkatan jumlah penduduk, permintaan pasar
yang ekspansif ataupun dampak modernisasi. Selain itu, penguasaan dan
pemanfaatan potensi maritim yang berwawasan pembangunan nasional perlu
mempertimbangkan kelestarian fungsi ekologi dan sosial-budaya yang sangat erat
kaitannya dengan keberlangsungan hidup manusia.
Akan tetapi, harus diakui bahwa pembangunan nasional menjadi hal yang
sulit dipenuhi oleh negara saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan
pembangunan yang didominasi negara yang bercorak sentralistik, berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi sehingga pada akhirnya menimbulkan korban-korban
pembangunan (victims of development)4. Korban Pembangunan yang terlibat
didalamnya dapat beragam jenisnya. namun, dalam artikel ini, penulis
memfokuskan diri kepada masyarakat Hukum Adat yang menghabiskan aktivitas
kesehariannya di wilayah maritim.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di negara Indonesia karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah,
sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat
di wilayah adatnya.5 Indikasi kuat yang menujukkan kerawanan masyarakat
Hukum Adat menjadi korban dari aktivitas pembangunan ialah hubungan yang
kuat antara kehidupan masyarakat Hukum Adat terhadap maritim sebagai objek

3
Sentot Bangun Widoyono, et.all, Perkembangan Poros Ekonomi Maritim di Indonesia, Laporan
Perekonomian Indonesia 2016, 2016, hlm. 71
4
John Bodley, Victims of Progress, California: Mayfield Publishing Company, 1982, dalam
Bagian Hukum dan Pembangunan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Op.Cit,
hlm. 50
5
Definisi tersebut digunakan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat adat. Definisi demikian pada akhirnya menimbulkan diskursus
terkait penggunaan term “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat adat” hingga saat ini. dalam
R. Yando Zakaria, Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya terhadap
Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: Studi Kasus
Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Jurnal Wacana ISSN 1410-1298 Nomor 33, Tahun
XVI, 2014, hlm. 105

3
sumberdaya alam sehingga berpotensi memicu konflik kepentingan didalamnya.
Pencerminan hubungan yang kuat itu terlihat dari wilayah petuanan (ulayat) laut
yang dimiliki masyarakat tersebut. Konsekuensi yang lahir dari adanya wilayah
tersebut yakni timbulnya hak dan kewajiban untuk mengelola dan mengatur
wilayah tersebut.
Secara konseptual, hak ulayat laut memiliki arti seperangkat wewenang
dan kewajiban suatu masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah
yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat merupakan pendukung utama
penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.6
Oleh karena keberadaanya sangat berimplikasi bagi penghidupan masyarakat
hukum adat Pesisir, baik secara ekologi, ekonomi dan sosial-budaya, negara
mengakui urgensi hak ulayat laut secara konstitusional melalui Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Keberagaman dan kemajemukan budaya serta kearifan lokal merupakan
kondisi nyata yang masih melekat di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat
yang lahir dan terus mempertahankan eksistensinya sebagai suatu komuniti.
Koentjaraningrat mengusulkan agar istilah ‘komuniti’ menunjuk pada satuan
hidup masyarakat setempat yang khas, dengan suatu identitas dan solidaritas yang
telah terbentuk dari dalam dan berkembang dalam waktu yang lama. 7 Memahami
kearifan lokal secara fungsional, masyarakat Hukum Adat Bajo dalam konteks
common sense memiliki karakter yang khas serta unik dalam melakukan
pengelolaan dan pelestarian lingkungan laut.
Bagi masyarakat Hukum Adat Bajo yang hidup dan bertempat tinggal di
provinsi Gorontalo, Kabupaten Boalemo, praktik-praktik bernuansa sosial-
lingkungan yang terjadi di wilayah ulayatnya memberikan suatu pertanda bahwa
adanya ikatan relasi yang tertanam kuat antara manusia dengan kesatuan alam.

6
Rosalina, Eksistensi Hak Ulayat Laut di Indonesia, Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli -
September 2010, hlm. 47
7
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI-Press, 1990, hlm. 135.

4
Selain menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian utama, 8 masyarakat
Hukum Adat Bajo meyakini adanya tuntutan menjaga filosofi kearifan lingkungan
mamia kadialo dalam rangka menjaga kedaulatan dan keseimbangan lingkungan
dan penciptaNya.9 Adapun kecerdasan ekologis yang terkandung dalam kearifan
mamia kadialo berupa larangan membuang limbah10 yang berpotensi
menimbulkan pencemaran laut yang berakhir pada terganggunya kehidupan
ekosistem biota laut seperti ikan, ketam, siput kerang dan tripang. Tidak hanya itu,
budaya laut mamia kadialo mengikat persatuan masyarakat dengan melaut secara
berkelompok ketika berdasarkan jangka waktu dan perahu yang digunakan.11
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan masyarakat
Hukum Adat dalam pemanfaatan potensi maritim begitu lemah sehingga
menimbulkan pengakuan semu terhadap hak ulayat laut. Pemikiran tersebut
tercermin dari kasus kriminalisasi dan kekerasan yang dilakukan oleh PT.
Kencana Group terhadap masyarakat Hukum Adat Bajo. Sejak masuknya PT.
KG kedalam wilayah kawasan petuanan (ulayat) laut di Teluk Tomini,
penghuni pertama di pesisir tersebut harus rela tersingkir dari ruang hidup
mereka akibat konversi mangrove untuk operasional perusahaan dan lahan

8
Mata pencaharian yang dikotomis dalam masyarakat Hukum Adat Bajo mengenal dua tipologi ;
(i). Pakkaja, yang berarti orang yang memusatkan kegiatan “segala usaha penangkapan budi daya
ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya, sedangkan (ii). pappalele, yang berarti orang
yang memusatkan kegiatan pencaharian hidupnya pada usaha distribusi atau penyalur hasil
produksi ikan laut melalui proses perdagangan atau transakasi jual beli ikan. Dalam Dalam
Djajeng Poedjowibowo, Permukiman Suku Bajo Di Desa Tumbak Kecamatan Posumaen
Kabupaten Minahasa Tenggara, Jurnal Daseng November 2016, hlm. 59-60
9
Pola hubungan harmonis yang senantiasa dijaga oleh masyarakat Hukum Adat Bajo sejalan
dengan karakteristik masyarakat hukum adat dan pola pikir participerend cosmisch. Pola pikir ini
bertumpu pada pandangan bahwa alam semesta dengan segala isinya merupakan satu kesatuan
yang harus senantiasa dijaga keutuhan dan keseimbangannya. Oleh karena itu setiap gangguan
terhadap keseimbangan alam semesta perlu dipulihkan seperti sediakala. Dalam Lastuti Abubakar,
Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia,
Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013, hlm. 321. Lihat pula. Imamulhadi, Hukum
Lingkungan Alternatif ; Hukum Lingkungan Adat, Hukum Lingkungan Islam, Yogyakarta : K-
Media, 2016, hlm. 46
10
larangan yang terkandung dalam cara pandang dan filosofi mamia kadialo yakni membuang
limbah seperti abu dapur, abu rokok, air cabe, air jahe, air cucian wajan dan alat memasak
mengandung arang dan jelaga serta bahan material lain yang berpotensi memicu kerusakan
lingkungan yang destruktif dan kontinyu sehingga menghambat keberlanjutan ekologi dan
pelestarian potensi maritim yang terkandung didalamnya
11
Suku Bajo sering disebut sea nomad atau lebih dikenal sebagai “orang laut” yang mata
pencahariannya menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Konsep ‘piddi tikkolo’na
lamong ‘nggai makale le goya’ (kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan gemuruh ombak)
yang senantiasa terpelihara kuat dalam tatanan sistem sosial masyarakat Hukum Adat Bajo. Dalam
Djajeng Poedjowibowo, Loc.Cit

5
tambak baru12. Lebih dari itu semua, hilangnya akses masyarakat Hukum Adat
Bajo terhadap wilayahnya turut disebabkan oleh konflik laten antar-etnik
pendatang yang kemudian mengakibatkan hilangnya sumber-sumber ekonomi
yang dimanfaatkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya.13
tertutupnya akses wilayah ulayat laut masyarakat Hukum Adat Bajo tersebut
menandai babak baru kesewenangan pemerintah dalam memberikan akses
sumberdaya laut dan pesisir kepada korporasi.

Berpijak pada persoalan yang terjadi diatas, salah satu problematika


hukum yang sering dihadapi dalam sektor kelautan dan maritim ialah kemunculan
anasir doktrin common property dalam setiap proses kebijakan pemerintah dalam
pengelolaan sumberdaya laut, baik dalam level sistem administrasi, hukum dan
kelembagaan. Dengan begitu, potensi laut dan maritim dapat dimanfaatkan secara
terus menerus, tanpa usaha pengendalian dan pengontrolan. Konsekuensinya
adalah laut beserta sumberdaya perikanan dinilai sebagai harta tak bertuan (open
access14), dan setiap orang leluasa melakukan eksploitasi tanpa batas, sehingga
mengakibatkan overfishing.15 Dalam kajian agraria, persoalan seperti ini memicu
timbulnya tragedy of commons dimana ketidakjelasan hak-hak penguasaan
sumberdaya yang kemudian menyebabkan kerusakan sumber daya.
Di sisi lain, persoalan dislokasi kedudukan masyarakat Hukum Adat Bajo
dalam praktik pengelolaan potensi maritim disebabkan oleh tertutupnya akses

12
Hancurnya kawasan mangrove akibat ekspansi usaha tambak sangat menyakitkan masyarakat
Bajo. Akibatnya, Konflik etnis antar masyarakat Bajo dengan pemilik tambak etnis Bugis tidak
dapat dihindari. Masyarakat Bajo yang memahami fungsi mangrove sebagai tempat bertelur ikan,
melemparkan kekesalannya kepada pemilik tambak, setiap kali hasil tangkapannya tidak
memuaskan. Dalam. Muhammad Obie, et.all, Konflik Etnis di Pesisir Teluk Tomini, Jurnal Al-
tahrir, Vol 14, No. 2 Mei 2014, hlm. 328
13
Kawasan mangrove yang menjadi kebanggaan Suku Bajo karena alasan nilai budaya dan tradisi
secara turun temurun telah diambil alih oleh para pemilik tambak garam sehingga tidak dapat lagi
diakses oleh masyarakat Bajo. Ketika kerusakan mangrove makin meluas akibat maraknya alih
fungsi tambak garam menjadi tambak udang dan ikan bandeng, disertai pembukaan lahan tambak
baru, konflik antara masyarakat Bajo versus etnis Bugis pemilik tambak udang dan ikan bandeng
tidak dapat dihindari, dimana pada akhirnya bermuara pada hilangnya sumber ekonomi
masyarakat Bajo. Dalam. Ibid, hlm. 328
14
Menurut ahli rencana perikanan pada badan pangan dunia (FAO), Francis T. Kristy, kebijakan
perikanan yang bersifat open access akan mengakibatkan empat dampak buruk yaitu: (1)
pemborosan potensi maritim secara fisik, (2) inefisiensi secara ekonomi, (3) kemiskinan
masyarakat, dan (4) konflik antar pengguna sumberdaya. Dalam Husain Latuconsina, Eksistensi
Sasi Laut Dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Berbasis Komunitas Lokal Di Maluku,
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 1, April 2009, hlm. 64
15
Arif Satria, Politik Kelautan dan Perikanan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015,
hlm.12

6
pada lahan ulayat potensial sehingga mengakibatkan masyarakat yang
bersangkutan tidak memiliki kapabilitas yang cukup baik untuk menangkap ikan
ataupun sekadar menambatkan perahunya di pantai. Sasaran tembak lainnya dari
kegiatan tersebut turut mengakibatkan masyarakat hukum adat harus menghadapi
ketidakadilan agraria berupa tragedy of enclosure dimana (masyarakat Hukum
Adat Bajo) hanya sekedar tamu di (wilayah ulayat) lautnya sendiri.16
Menindaklanjuti kedua permasalahan diatas, semua polemik yang muncul
di sektor kelautan dan maritim itu hampir semua bermuara pada persoalan dimensi
waktu dimana sumber daya alam dan segala aktor yang terlibat didalamnya
terbawa pada suatu suasana bernama Rezim Pengabaian Politik (Political
Ignorance Regime). Adanya rezim ini menggambarkan bahwa dalam proses
pembangunan hukum nasional, hukum diorientasikan untuk eksploitasi sumber
daya alam yang pada akhirnya menimbulkan kerugian, baik dari segi ekologi yang
destruksi, degradasi ekonomi maupun perusakkan secara total kehidupan sosial-
budaya masyarakat.17 Pokok persoalan ini menghendaki adanya suatu pemecahan
masalah dalam level peraturan perundang-undangan yang selama ini disinyalir
telah menabrak sistem kearifan lokal dan hak ulayat yang dimiliki oleh seluruh
aliansi masyarakat adat se-antero nusantara sehingga berdampak pada minimnya
pengakuan terhadap kedudukan masyarakat Hukum Adat.
Berangkat dari kekhawatiran diatas, penulis mencoba mengangkat dua
permasalahan utama, yakni ; (i). Bagaimana kedudukan masyarakat Hukum Adat
Pasca diberlakukannya izin lokasi dan izin pengelolaan kepada perusahaan
dikaitkan dengan produk perundang-undangan yang berlaku? (ii). Apakah Co-
management berbasis Socio-Ecological Approval (SEA) mampu mengembalikan
citra diri masyarakat Hukum Adat beserta hak ulayat lautnya yang selama ini telah
tergerus akibat produk perundang-undangan yang ambivalentif ?

B. Demografi dan Masyarakat Hukum Adat

16
Dalam kajian agraria, tertutupnya akses masyarakat ini disebabkan oleh adanya pencaplokan
pesisir (coastal grabbing) yang dilakukan oleh stakesholder yang terlibat, baik masyarakat asing,
perusahaan ataupun pemerintah. Ibid, hlm. 25
17
I Nyoman Nurjaya, Masyarakat Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan, Makalah
pada Seminar Nasional Eksistensi Masyarakat Hukum Adat : Antara Realita Harapan dalam
Konstitusi Sosial, Universitas Brawijaya, Malang, 10 Oktober 2016, hlm. 9

7
Sebelum makna tentang Ilmu Kependudukan dapat dipahami, akan diawali
dengan berbagai konsep yang terkait dengan hal tersebut. Pertama dijelaskan
tentang konsep dan definisi demografi. Kata Demografi berasal dari Bahasa
Yunani yang dapat dilihat dari asal katanya yaitu demos dan graphein. Demos
dapat diartikan sebagai penduduk, dan graphein berarti menulis. Dengan
menggabungkan kedua makna dari kata-kata tersebut maka dapat diartikan kata
demografi berarti tulisan-tulisan atau karangan-karangan tentang penduduk suatu
negara atau suatu daerah. Jika diperhatikan makna kata demografi tersebut, maka
makna atau definisi tersebut belum jelas arahnya mengingat ilmu-ilmu sosial
lainnya seperti ilmu sosiologi, antropologi sosial juga berbicara tentang penduduk
atau berorientasi tentang penduduk atau manusia. Menyadari hal tersebut, maka
beberapa ilmuwan atau ahli memberikan definisi tentang demografi agar dapat
dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ahli-ahli tersebut antara lain Achille
Guillard, G.W Barclay, dan P. Hauser & D. Duncan, dan juga para ahli yang
lainnya.

Untuk menjawab mengapa/apa yang menjadi penyebab suatu kondisi


terjadi diperlukan suatu ilmu lain yang disebut Ilmu Kependudukan. Ilmu
kependudukan ini merupakan penghubung antara penduduk dengan sistem sosial,
dengan harapan dapat memecahkan pertanyaan dasar: bagaimana menambah
pengertian atau pemahaman terhadap masyarakat melalui proses analisis
kependudukan. Methorst & Sirks membagi ilmu tersebut menjadi secara
kuantitatif yaitu demografi, sedangkan secara kualitatif dibahas tentang penduduk
dari segi genetis dan biologis. Pandangan ini tidak mendapat dukungan karena
formal demografi tidak hanya berhubungan dengan angka, namun angka-angka
tersebut tetap harus diinterpretasikan, untuk dapat mengetahui makna yang lebih
mendalam dibalik angka-angka tersebut.

Perkembangan selanjutnya Adolphe Laundry di Paris tahun 1937 dalam


kongres kependudukan, membuktikan adanya hubungan matematik antara
komponen-komponen demografi seperti fertilitas, mortalitas, sex/gender. Beliau
mengusulkan istilah yang berbeda satu dengan yang lainnya yaitu istilah pure
demografi untuk cabang demografi yang bersifat analitik matematis yang
menghasilkan angka-angka tertentu. Pure demography/formal demography,

8
menghasilkan teknik-teknik untuk menghitung data kependudukan. Formal
demography hanya berhubungan dengan pertanyaan tentang: apa, berapa, kapan,
dan dimana angka-angka atau kondisi tersebut terjadi. Namun demikian Pure
demography/formal demography tidak dapat menjawab pertanyaan tentang
mengapa angka-angka tersebut terjadi. Apa fenomena atau penyebab angka-angka
yang telah dihitung secara matematik tersebut terjadi dapat dikatakan bukanlah
bidang dari Pure demography/formal demography tersebut, tetapi bidang ilmu
lainnya yaitu Social Demography/Studi Kependudukan. Dengan demikian dapat
disimpulkan Social Demography/Studi Kependudukan akan dapat menjawab
mengapa angka-angka tersebut terjadi. Secara lebih rinci dapat dikatakan ilmu
demografi yang sempit berkaitan dengan teknik menghitung angka-angka tentang
kondisi penduduk, ilmu demografi dalam arti yang lebih luas membicarakan
angka-angka termasuk karakteristik penduduk seperti karakteristik sosial,
ekonomi, termasuk etnik. Karakteristik sosial antara lain meliputi status
perkawinan penduduk, tingkat pendidikan, derajat kesehatan dan sebagainya.

Secara lebih rinci ruang lingkup Ilmu Kependudukan dapat dibedakan


menjadi 2 kelompok yaitu Analisis demografi/Analisis Kependudukan/Demografi
Formal lebih menekankan pada perubahan dan variasi penduduk dengan
menggunakan teknik demografi tertentu. Di sisi lain jika berbicara tentang Studi
kependudukan/Ilmu Kependudukan, tidak saja berhubungan komponen/variabel
penduduk tetapi juga berbicara tentang hubungan antara perubahan penduduk
dengan variabel lain seperti perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya,
psikhologi, dan geografi. Dalam Analisis demografi/Analisis
Kependudukan/Demografi Formal, variabel yang mempengaruhi (variabel
independen) atau variabel pengaruh adalah variabel demografis, demikian pula
variabel yang dipengaruhi (variabel dependen) atau variabel terpengaruh juga
merupakan variabel demografis.

Demografi memiliki hubungan parallel dengan kebudayaan dan adat. Hal


ini dikarenakan ilmu kependudukan yang membicarakan mengenai demografi
membicarakan hubungan antara perubahan pendudukan dengan perubahan
kondisi, sosial, ekonomi, politik, dan fakto-faktor lainnya. INilah yang salah
satunya menjadi fokus penulis untuk dapat meneliti mengenai demografi dalam

9
kaitannya dengan masayrakat hukum adat berserta kriminalisasinya, untuk
menunjukkan pertentangan hukum dalam hal perubahan sosial di antara keduanya.

Kesejahteraan Masyarakat Adat sudah menjadi perhatian serius dalam


pembangunan di Indonesia, tercermin dari fakta bahwa Masyarakat Adat sudah
menjadi prioritas pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pemerintah Indonesia mempunyai basis
hukum yang kuat untuk merealisasikan perlindungan sosial terhadap Masyarakat
Adat. Hal ini mengafirmasi bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara. Pasal 18 B ayat (2) UUD
1945 yang dikutip di atas menjamin semua Masyarakat Adat di Indonesia.
Sementara itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945,
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.” 18

Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan ketetapan resmi yang


memperlihatkan bahwa tidak satupun kelompok Masyarakat Adat yang dilupakan
atau boleh tertinggal dalam proses pembangunan. Berkenaan dengan hal tersebut,
Indonesia terikat pada komitmen internasional tentang pengakuan hak-hak
Masyarakat Adat. Pada 13 September 2007 Pemerintah Indonesia ikut
menandatangani deklarasi United Nation Declaration on The Rights of Indigenous
Peoples (UNDRIP) yang mengamanatkan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak
yang sama terkait penghidupan, pendidikan, mempertahankan identitas, dan bebas
dari segala bentuk diskriminasi. Terpenuhinya kebutuhan dasar, aksesibilitas dan
pelayanan sosial dasar bagi warga Masyarakat Adat adalah beberapa prioritas
dalam RPJMN 2014-2019. Peningkatan kesejahteraan Masyarakat Adat juga
sesuai dengan arah kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Fokus
percepatan pembangunan daerah tertinggal ini berupa pengembangan
perekonomian lokal melalui peningkatan kapasitas, produktivitas, dan
industrialisasi berbasis komoditas unggulan lokal. Program ini didukung oleh
sarana–prasarana yang disesuaikan dengan karakteristik ketertinggalan suatu
daerah secara berkesinambungan.

18
Kementerian Perancangan Pembangunan Nasional, “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju
Perlindungan Sosial yang Inkklusif”, 2013, hlm. 45.

10
Data mengenai jumlah Masyarakat Adat saat ini masih beragam dan belum
ada kesepakatan secara pasti berapa jumlah keseluruhan Masyarakat Adat di
Indonesia. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, istilah dan definisi
yang dipakai untuk menentukan siapa itu Masyarakat Adat masih beragam.
Kedua, sampai hari ini belum ada survei yang serius dilakukan untuk menghitung
jumlah keseluruhan anggota Masyarakat Adat di seluruh Indonesia. Bukan berarti
bahwa data jumlah tersebut tidak ada. Data tersebut tersebar dan berada di
instansiinstansi, Kementerian dan Lembaga (K/L), baik di daerah maupun di
pusat, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa LSM
melakukan penghitungan populasi Masyarakat Adat. KKI Warsi di Jambi
misalnya, mencatat populasi Orang Rimba yang menghuni kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas sebanyak 1.500 jiwa, dan di kawasan penyangga Taman
Nasional Bukit Tigapuluh sebanyak 450 jiwa.19

Sedangkan Orang Rimba yang berada di sepanjang jalan lintas Sumatera


(Jalinsum) sebanyak 1.700 jiwa yang saat ini tanpa hutan dan sumber daya. Orang
Talang Mamak hidup di dataran rendah di penyangga dan di dalam TN Bukit
Tigapuluh. Total populasi Talang Mamak menurut sensus 2010 adalah 7.010 jiwa.
Orang Duano hidup di kawasan gambut, kawasan pantai dan muara sungai (Kuala
Sungai) di Kabupaten Indragiri Hilir Riau hingga ke Kabupaten Tanjung Jabung
Barat Jambi. Data Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir menyebutkan total
populasi suku ini adalah 6.569 jiwa yang tersebar luas di sepanjang pantai.

C. Kedudukan masyarakat Hukum Adat Pasca diberlakukannya Izin


Lokasi dan Izin Pengelolaan Kepada Perusahaan Dikaitkan dengan
Produk Perundang-Undangan yang Berlaku

Keanekaragaman sumber daya pesisir dan laut Teluk Tomini mengundang


para investor untuk berbondong-bondong menanamkan modalnya. Untuk
mengakomodir hal tersebut, Pada tanggal 15 Januari 2014, DPR RI mengesahkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (untuk selanjutnya disebut PWP3K). Latar belakang ide dari lahirnya UU

19
Ibid, hlm. 15.

11
PWP3K ialah sebagai sebuah terobosan untuk mengurai konflik peraturan
perundangan yang (sebelumnya) telah mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, termasuk menjembatani keinginan negara melindungi kepentingan keluarga
nelayan dan masyarakat adat. Asumsinya, dengan hadirnya undang-undang
tersebut, pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan ke
arah maksimal.

Pokok perkara yang timbul dalam UUPWP3K ini awalnya dimulai oleh
adanya regulasi mengenai Hak Pengusahaan Peairan pesisir (HP3) yakni
pememberian hak bagi masyarakat, individu, atau badan usaha untuk mengapling
zona pemanfaatan pada perairan teritorial bagi kegiatan usaha budidaya dan
wisata bahari.  Kewenangan pemegang HP3 untuk memanfaatkan perairan bagi
kegiatan usaha diberikan dalamjangka waktu 20 tahun, dapat
diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain, serta dijadikan agunan. Penentuan zona
pemanfaatan umum akan diatur oleh daerah melalui rencana zonasi perairan.
Bukan malah diterima, Undang-undang ini ternyata meraih kontroversi
dari kalangan masyarakat dalam hal ini masyarakat pesisir sendiri. Jantung
permasalahanya terletak di Pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3)
yang dianggap memicu pada persaingan bebas bebas antara swasta dan
masyarakat Hukum Adat dengan memakai keadilan kumulatif antara 2 subjek
yang sudah jelas-jelas sangat berbeda yang akan mengarah pada privatilisasi
pengelolaan wilayah pesisir oleh pihak swasta atau dengan kata lain Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 lebih menekankan pada aspek investasi dan lebih
pro-dunia usaha.
Menyadari siasat politik-hukum yang buruk dari pemerintah, hal tersebut tidak
dibiarkan begitu saja, pasca adanya gugatan dari berbagai kalangan termasuk
didalamnya asosiasi nelayan “KIARA” dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Mahkamah Konstitusi kemudian langsung bertindak cepat untuk
menggodog UUPWP3K yang baru, yang kemudian melahirkan suatu legislasi
baru dalam Revisi UUPWP3K yaitu Izin Pengelolaan dan Izin Lokasi. Namun,
apakah hadirnya dua izin tersebut menandakan babak akhir dari pengelolaan
wilayah pesisir yang berkeadilan?

12
Sekelumit Polemik Politik Perundang-Undangan
Berangkat pada tiap substansi yang terdapat dalam revisi UUPWP3K
tersebut, memang sejatinya telah banyak perubahan yang cukup signifikan
didalamnya. Sebagai contoh, Pasal 21 Ayat (1) Revisi UUPWP3K yang berbunyi
“Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat
menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat”. Akan tetapi, sejatinya
wilayah Masyarakat Hukum Adat yang merupakan Hak Ulayat hanya diakui
secara parsial dalam revisi UUPWP3k ini karena pada Pasal 21 Ayat (2) Revisi
UUPWP3K menegaskan bahwa Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”. adanya dalih “mempertimbangkan
kepentingan nasional” ini justru sangat mekhawatirkan tatkala kepentingan
nasional disinyalir dapat disalahartikan oleh negara sebagai upaya memperoleh
keuntungan ekonomi melalui kegiatan-kegiatan yang bertudungkan pembangunan
nasional. padahal, perlu diketahui bahwa objek hak ulayat ketentuan hukum adat
yang menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan
atau diasingkan secara tetap (selamanya). Akan tetapi, pada saat ini kenyataan
yang terjadi ialah banyak kegiatan pembangunan yang telah selesai, namun
wilayah penguasaan riil itu kembali kepada negara bukan kepada masyarakat
hukum adat setempat.20
Selain itu, perlu diketahui lebih dalam bahwa perubahan fundamental turut
terjadi pada pasal 22 ayat (2) UU PWP3K dimana didalamnya terdapat isyarat
pengecualian yakni ; kewajiban memiliki izin bagi masyarakat hukum adat
dikecualikan hanya jika pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tersebut
ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sifatnya sektoral.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada produk hukum daerah, baik yang berupa
produk perundang-undangan (regeling) ataupun keputusan pemerintah

20
Junaedah Hasan, Komentar atas RUU Perubahan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Undang-
Undang Pembaruan Agraria, Makalah pada konsultasi Publik Penyempurnaan/Amandemen UU
No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria), Bandung, 16 Maret 2006, hlm. 4-5, dalam
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Rajawali
Press, 2009, hlm. 69

13
(beschiking) yang menegaskan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat Hukum
Adat Bajo ataupun eksistensi hak ulayatnya. Padahal apabila mengacu pada
ketentuan yang tertuang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,
mekanisme menetapkan pengakuan dan perlindungan pertama dibentuk Panitia
Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota untuk melaksanakan tiga tahap yakni ;
(Gambar 1.1)

TAHAP I TAHAP II TAHAP III


Identifikasi Masyarakat Verifikasi dan validasi Penetapan Masyarakat
Hukum Adat Masyarakat Hukum Adat Hukum Adat

Dalam tahap ini Bupati/Walikota Hasil identifikasi diserahkan Bupati/walikota melakukan


melalui Camat atau sebutan lain kepada panitia Masyarakat penetapan pengakuan dan
melakukan identifikasi dengan Hukum Adat kabupaten/kota perlindungan Masyarakat Hukum
melibatkan Masyarakat Hukum Adat untuk dilakukan verifikasi dan Adat berdasarkan rekomendasi
atau kelompok masyarakat dimana validasi lalu panitia Masyarakat Panitia Masyarakat Hukum Adat
identifikasi ini dilakukan dengan Hukum Adat kabupaten/kota dengan Keputusan Kepala
mencermati sejarah Masyarakat menyampaikan rekomendasi Daerah.
Hukum Adat, wilayah Adat, hukum kepada Bupati/Walikota
berdasarkan hasil verifikasi dan
Adat, dengan segala benda dan
validasi itu.
sistem didalamnya
1. Peraturan Daerah
(Regeling)

2. Keputusan Kepala Daerah


(Beschiking)

Dengan mekanisme yang termaktub dalam Permendagri No. 52 Tahun


2014 tersebut, maka pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dapat
dilaksanakan secara jelas dan terarah. Akan tetapi, Perlindungan dan Pengakuan
keberadaan masyarakat Hukum Adat Bajo beserta Hak ulayatnya masih hanya
sebatas pada pengakuan lisan yang semu lantaran kenihilan produk hukum daerah
yang mengatur hal tersebut. bahkan hingga saat ini Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Gorontalo belum memverifikasi terkait keberadaan masyarakat hukum
adat di wilayahnya. Padahal Sertifikasi21 berperan penting dalam memberikan
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sehingga tujuan untuk

21
Sertifikasi merupakan produk kebijakan pemerintah berupa keputusan atau ketetapan
(beschiking) yang dapat memberikan kepastian hukum terkait pembuktian legalitas hak ulayat
yang dimiliki oleh masyarakat Hukum Adat sehingga berbagai kemungkinan dan anasir terkait
ketidakjelasan aturan hukum yang coba dijadikan dalih secara politis oleh pemerintah dan dunia
usaha dapat dikurangi

14
mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat dalam
segala aspek dapat tercapai.

D. Co-Management Berbasis Socio-Ecological Approval (SEA): Mekanisme


Kolaboratif Berbasis Prinsip kearifan Masyarakat Hukum Adat dalam
Rangka mewujudkan Revolusi Politik-Hukum Biru

Berbagai instrumen perlindungan dan pengelolaan sumberdaya kelautan


dan maritim yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi
modern belum terakomodasi di dalam UUPWP3K. Berdasarkan pengalaman
bersama, pendekatan command and control yang memberi tempat sentral pada
peran pemerintah untuk mewajibkan dan mengawasi dunia usaha dan masyarakat
dirasa tidak memadai lagi. Berbagai perkembangan modern mengharuskan kita
untuk menggunakan pula pendekatan sukarela dalam melindungi dan mengelola
potensi dan kearifan lingkungan kita.22 Akan tetapi, perkembangan dunia modern
yang hadir dalam wujud pilar-pilar pembangunan diharapkan jangan sampai
menghancurkan kedaulatan lingkungan, terutama yang berakar pada kearifan
lingkungan serta cara pandang komunitas ekologis yang hidup di dalamnya.
Dalam hal ini masyarakat Hukum Adat yang hidup dan saling berinteraksi dalam
dimensi ruang ekologis tersebut.
Berangkat dari pemikiran diatas, Mekanisme Co-Management berbasis
Socio-eco Approval hadir dalam rangka menyeimbangkan praksis pembangunan
tanpa mengurangi aspek ekologis dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya kelautan dan maritim. Mekanisme ini mengacu pada prinsip dimana suatu
kumpulan yang saling bekerja bersama dalam usaha bersama yang mengutamakan
kepentingan umum, harta dan keahlian profesional dalam rangka mendukung
tujuan yang lebih luas dan hasil-hasil untuk kepentingan seluruh kelompok. 23
Hadirnya Mekanisme ini merupakan penjelmaan dari prinsip Collaborative
Partnership yang pada umumnya dilakukan dengan suatu inisiatif dimana entitas
kepentingan publik, perusahaan dan / masyarakat sipil berkumpul menjadi suatu
aliansi untuk memperoleh tujuan praktis bersama, berbagi resiko tanggungjawab,

22
Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 248
23
Margareth Pagel, Collaborative Partnership, diakses melalui https://8thlight.com/blog/margaret-
pagel/2012/05/31/collaborative-partnerships.html, pada tanggal 21 September 2016

15
sumberdaya, dana, manfaat dan lain-lain.24 Dengan demikian, sumberdaya alam
yang dikelola secara kolektif nantinya mampu menghasilkan output yang baik dan
berkualitas25 (Tabel 1.1)
Secara praktis, model co-management berusaha menempatkan masyarakat
lokal menjadi partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders
lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Dalam co-
management bentuk pengelolaan sumberdaya alam merupakan bentuk
penggabungan dari dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh
pemerintah (State-Based Management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat (Community-Based Management). Pada State-Centralized
Management, hirarki yang tertinggi hanya memberikan informasi kepada
masyarakat, dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pada
Community-Based Management, hirarki yang tertinggi adalah kontrol yang ketat
dari masyarakat dan koordinasi antar area yang dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri.26Bentuk co-management sendiri variatif dan dinamis tergantung kesiapan
sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya yang ada. (Gambar 1.3)
Bertautan dengan level kebijakan, co-management mampu menghindari
peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi.
Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya kelautan dan maritim dilaksanakan
dengan menyatukan lembaga-lembaga adat terkait terutama masyarakat dan
pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengambilan keputusan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan.27 Konsekuensi timbul dari penerapan
model ini ialah kerjasama dan koordinasi yang dimiliki pemerintah dan
masyarakat dapat terjalin dengan baik.

24
Utting P, Zammit A, United Nations-business partnerships: Good intentions and contradictory
agendas. Journal of Business Ethics, Vol. 90(1) 2009, p. 40
25
Pieter Glasbergen, Frank Biermann, Arthur P.J.Mol, Partnership, Governance, and Sustainable
Development, United States of America : Edward Elgar Publishing Limited, 2007, p. 4
26
Indah Susilowati, Menuju Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan yang Berbasis
pada Ekosistem: Studi Empiris di Karimun Jawa, Jawa Tengah, Laporan Penelitian Hibah
Kompetensi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm. 19
27
Arifin Rudiyanto, Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut,
Makalah pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, Jakarta 22 September 2004, hlm. 6

16
Secara normatif, Mekanisme co-management ini telah memperoleh
pengakuan dan perlindungan dari negara tidak hanya bersifat deklaratif melainkan
juga konstitutif sehingga pengakuan itu menimbulkan konsekuensi hukum. dalam
hal ini, UUPWP3K Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60
Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, memberikan penjelasan
secara implisit dan konstruktif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan pesisir yang didasari oleh kemitraan kolaboratif. Adapun konsepsi
kemitraan tersebut diatur dalam pasal 63, butir c yang berbunyi :
Dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab dalam kemitraan antara Masyarakat, dunia
usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah.

Dengan dilandasi oleh konsep demikian, negara dinilai telah memberikan proteksi
dan pengayoman yang kuat terhadap kemitraan pengelolaan potensi maritim
sehingga segala kecanggungan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum dapat direduksi semaksimal mungkin.
Masyarakat Hukum Adat Prismatik dalam level praktik seringkali harus
menghadapi kondisi dilema ketika sistem hukum kenegaraan, baik dalam bentuk
produk hukum maupun kebijakan tidak sama sekali memasukan sistem nilai serta
kearifan lokal yang dimilikinya sehingga cenderung mengalami antinomi yang
disinyalir meminggirkan eksistensinya. Untuk itu, penulis mencoba
mengintegrasikan mekanisme co-management ini dengan prinsip hukum adat,
yaitu persetujuan sosial (lingkungan) sebagai dasar kekuasaan umum. Prinsip ini
merupakan salah satu unsur demokrasi Indonesia asli yang tercermin dalam tata
kehidupan. Kekuasaan umum ini dijalankan oleh kepala adat atau disebut kepala
rakyat yang bertugas memelihara hidup aturan di dalam persekutuan, menjaga
supaya aturan dalam komunitas agar berjalan selayaknya.28 Keberadaan prinsip ini
memberikan suatu perlindungan terhadap aspek sosial-ekologis yang
mempengaruhi kehidupan persekutuan Hukum Adat.
Penerapan mekanisme ini dimulai dengan seorang kepala rakyat sebagai
pamog desa ketika menjalankan tugasnya tidak bertindak sendiri, tetapi selalu
bermusyawarah dengan anggota dalam pemerintahan desa, bahkan dalam banyak
28
R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2007, hlm. 66

17
hal kepala rakyat bermusyawarah dalam rapat desa dengan para warga desa dalam
soal-soal yang tertentu. Dengan demkian, pimpinan persekutuan selalu berjalan
dibawah pengawasan dan pengaruh langsung dari rakyat. Hal ini mencerminkan
nilai musyawarah sebagai perwujudan dari asas demokrasi.29 (Gambar 1.4)
Dalam praktiknya, mekanisme ini berfungsi sebagai sistem yang
memberikan proteksi penuh terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat
dalam sistem sosial-budaya masyarakat Hukum Adat. Dalam hal ini, penulis
menggunakan kearifan lokal masyarakat Hukum Adat Bajo sebagai proyek
penerapan mekanisme ini .(Tabel 1.2) Praktiknya, proses mekanisme yang
dijalankan memerlukan beberapa tahap konsultasi, dialog, tukar pikiran, serta
interaksi antara masyarakat hukum adat dengan pihak-pihak yang membutuhkan
persetujuan dan izin mereka dalam seluruh tahapan proyek mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Berdasarkan hal tersebut proses
mekanisme ini memastikan bahwa semua proses yang berkaitan dengan proyek
kelautan dan maritim mendapatkan partisipasi penuh dan efektif masyarakat
hukum adat. Berikut mekanisme Co-Management Berbasis Socio-Ecological
Approval yang telah diintrodusir dengan prinsip Kearifan Lokal masyarakat Bajo
1. Negosiasi (negotiating)
Berawal dari permintaan perusahaan yang hendak melakukan kegiatan
usaha di wilayah pesisir menyampaikan permintaannya kepada pemerintah.
Selanjutnya pemerintah menjadi fasilitator dari dialog konstruktif antara
perusahaan dengan masyarakat Hukum Adat Bajo. Sebagai pihak yang telah lama
bertempat tinggal di wilayah pesisir, masyarakat Bajo menyampaikan informasi
berupa : (i). status kepemilikan tanah, (ii). kondisi ekologi, ekonomi dan sosial-
budaya serta (iii). Kearifan lokal dan hukum adat yang berlaku diwilayahnya
Informasi yang diberikan kepada perusahaan yang bersangkutan merupakan hasil
penyelenggaraan hukum melalui musyawarah yang dilakukan oleh kepala adat
kepada masyarakat Hukum Adat Bajo.
2. Persetujuan Tindakan (Inclusive Consent to Take Action)
Perusahaan menyampaikan visi misi, strategi serta cara pelaksanan
kegiatan kepada masyarakat yang dipertemukan dalam suatu forum musyawarah.
29
Anti Mayastuti, Pola Mediasi dalam Perspektif Hukum Adat, Jurnal Parental, Vol.1 N0.1, 2013,
hlm. 5

18
Masyarakat diberi kewenangan penuh, bebas tanpa paksaan untuk menolak atau
menyetujui permintaan perusahaan dalam pengelolaan wilayah pesisir.
masyarakat Bajo dapat menolak apabila pengelolaan wilayah pesisir dinilai tidak
mampu memenuhi kriteria informasi yang telah diberikan sebelumnya.
Sebaliknya, bilamana perusahaan memperoleh persetujuan tindakan dari
masyarakat Bajo, perusahaan dapat mulai menetapkan rencana kerja pengelolaan
pesisir serta implementasi yang akan dilakukan didalam wilayah ulayat laut
mereka.
3. Pelaksanaan dan Kontrol (Implementation and Controlling)
Segenap masyarakat Bajo atau pula dapat diwakili oleh korps adat (apabila
ada) melakukan pemantauan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan kegiatan
yang dilakukan perusahaan. Tidak hanya itu, pemerintah harus pula berperan
dengan stakesholder terkait dalam melakukan koordinasi antar area yang
bertujuan guna mencegah penyimpangan tindakan kegiatan serta mengurangi
kemungkinan kondisi buruk selama kegiatan berlangsung.
4. Evaluasi dan Timbal Balik (Feedback)
Hasil pemantauan yang diperoleh selama pelaksanaan kegiatan kemudian
dievaluasi melalui suatu laporan kerja yang kemudian dilaporkan secara jelas dan
terarah kepada masyarakat Hukum Adat Bajo. Apabila diperoleh suatu hasil yang
buruk, pemerintah harus mengambil langkah aksi (action plan) baik melalui jalur
keperdataan maupun pemulihan melalui program pemerintah.
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, Proses tahapan proyek yang dilalui
nantinya akan mengintroduksir nilai-nilai keragaman dan kearifan yang dimiliki
oleh masyarakat Hukum Adat bajo berupa larangan, nasihat petatah-petitih serta
syair yang menjadi kebiasaan yang dikumandangkan oleh masyarakat yang
bersangkutan sehingga nilai-nilai tersebut meresap dan berakar dalam kehidupan
setiap anggotanya.

3. KESIMPULAN DAN SARAN

19
1. Kesimpulan
- Demografi memiliki keterkaitan dengan adat dan budaya, dimana salah satunya
adalah berkenaan dengan masyarakat hukum adat. Hal ini dikarenakan dalam
demografi memiliki hubungan yang erat dengan perubahan sosial, ekonomi,
politik, dan lainnya dalam kependudukan.
- Berdasarkan studi yang dilakukan oleh penulis, penulis menarik suatu
kesimpulan yaitu hak ulayat laut yang dimiliki masyarakat Hukum Adat Bajo
telah direduksi eksistensi serta kedudukannya secara konstitusional dalam level
peraturan perundang-undangan. Hal ini disinyalir oleh anasir politik hukum
bermuka dua atau ambivalentif yang disebabkan oleh ketiadaan produk hukum
sektoral baik berwujud keputusan maupun peraturan daerah yang mengatur hak
ulayat laut ataupun masyarakat Hukum Adat Bajo sendiri
- Co-Management terintegrasi dengan prinsip Hukum Adat yang bersentuhan
langsung dengan kearifan lokal masyarakat Hukum Adat Bajo diyakini mampu
merubah citra masyarakat Hukum Adat beserta hak ulayat laut yang hidup
didalamnya, yang selama ini telah terpinggirkan

2. Saran
- Negara perlu memberikan pengakuan secara konstitusi kepada masyarakat
Hukum Adat Bajo baik dalam pemberian registrasi kepada BRWA maupun
penetapan secara konstitutif dalam peraturan perundang-undangan sektoral
maupun keputusan kepala daerah.
- Meskipun pada akhirnya pemerintah membuat penetapan konstitutif, penulis
menyadari bahwa pengakuan sebatas mulut dan tulisan tidak mampu
mengakomodir kelemahan yang selama ini terjadi. Hal ini disebabkan oleh
mekanisme hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sama
sekali terlihat hanya sebatas teks tertulis saja. oleh karena itu mekanisme Co-
Management berbasis socio-ecological approval diyakini mampu
mengakomodir sekaligus menindih mekanisme lama yang telah usang dan
sejatinya hanya sebatas tulisan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

20
DAFTAR PUSTAKA
Anti Mayastuti, Pola Mediasi dalam Perspektif Hukum Adat, Jurnal Parental,
Vol.1 N0.1, 2013.
Arif Satria, Politik Kelautan dan Perikanan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015.
Arifin Rudiyanto, Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Laut, Makalah pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, Jakarta 22
September 2004.
Bagian Hukum dan Pembangunan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, Perkembangan Hukum Lingkungan Kini dan Masa Depan:
Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Pembina Hukum Lingkungan se-
Indonesia, Bandung: Logoz Publishing, 2013.
Husain Latuconsina, Eksistensi Sasi Laut Dalam Pengelolaan Perikanan
Berkelanjutan Berbasis Komunitas Lokal Di Maluku, Jurnal TRITON
Volume 5, Nomor 1, April 2009.
I Nyoman Nurjaya, Masyarakat Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-
Undangan, Makalah pada Seminar Nasional Eksistensi Masyarakat Hukum
Adat : Antara Realita Harapan dalam Konstitusi Sosial, Universitas
Brawijaya, Malang, 10 Oktober 2016.
Indah Susilowati, Menuju Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan
yang Berbasis pada Ekosistem: Studi Empiris di Karimun Jawa, Jawa
Tengah, Laporan Penelitian Hibah Kompetensi, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2012.
Junaedah Hasan, Komentar atas RUU Perubahan UU No.5 Tahun 1960 Tentang
Undang-Undang Pembaruan Agraria, Makalah pada konsultasi Publik
Penyempurnaan/Amandemen UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang
Pokok Agraria), Bandung, 16 Maret 2006, hlm. 4-5, dalam Ida Nurlinda,
Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, Jakarta: PT.
Rajawali Press, 2009.
Kementerian Perancangan Pembangunan Nasional, “Masyarakat Adat di
Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inkklusif”, 2013.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI-Press, 1990.
Marhaeni Ria Siombo, Dasar-Dasar Hukum Lingkungan dan Kearifan Lokal
Masyarakat, Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2015.
Pieter Glasbergen, Frank Biermann, Arthur P.J.Mol, Partnership, Governance,
and Sustainable Development, United States of America : Edward Elgar
Publishing Limited, 2007.
R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2007.
Rosalina, Eksistensi Hak Ulayat Laut di Indonesia, Jurnal Sasi Vol.16. No.3
Bulan Juli - September 2010.
Sentot Bangun Widoyono, et.all, Perkembangan Poros Ekonomi Maritim di
Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2016, 2016.
Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.
Utting P, Zammit A, United Nations-business partnerships: Good intentions and
contradictory agendas. Journal of Business Ethics, Vol. 90(1) 2009.

21
22

Anda mungkin juga menyukai