Anda di halaman 1dari 9

Memahami Regulasi, Tantangan, dan Implikasi penggunaan Sumber Daya Air

Muhammad Reza Pradipta_E0021293


rezapradipta1705@student.uns.ac.id

Abstrak
Saat ini, regulasi terkait Sumber Daya Air diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air ("UU SDA"), yang telah mengalami perubahan melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja ("UU Cipta Kerja"). Kehadiran Sumber Daya
Air dianggap sebagai hak dasar konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Hak ini
seharusnya diberikan kepada semua lapisan masyarakat Indonesia sesuai dengan jaminan
konstitusional dalam UUD 1945. Oleh karena itu, kontrol atas air seharusnya berada di tangan
Negara, dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) menegaskan bahwa paradigma pengelolaan Sumber Daya Air, seperti yang diatur oleh UU
SDA dan UU Cipta Karya beserta peraturan turunannya, harus menekankan pada tanggung jawab
negara (State control) yang mengutamakan kepentingan nasional. Namun, peraturan-peraturan
tersebut belum secara rinci mengatur kebutuhan sosial (kebutuhan hidup masyarakat) dan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, perlindungan, serta pembiayaan manfaat irigasi. Selain
itu, penggunaan air untuk kepentingan industri lain juga belum diatur dengan rinci.
Kata kunci: Regulasi, sumber daya air, dan privatisasi

Pendahuluan
Air merupakan sumber daya yang dapat diperbarui, dinamis dalam mengikuti siklus
hidrologi alami, yang terus berpindah-pindah dan mengalami perubahan bentuk serta sifat. Tidak
dapat disangkal bahwa air merupakan kebutuhan dasar bagi semua bentuk kehidupan, termasuk
manusia, binatang, dan tumbuhan, yang tidak dapat digantikan oleh substansi lain. Oleh karena
itu, hak kepemilikan air seharusnya menjadi milik negara untuk menjamin kelangsungan hidup.
Air, sebagai bagian dari sumber daya alam, menjadi hak dasar untuk memenuhi kebutuhan
manusia, menjadikannya suatu kekayaan yang perlu dijaga keberadaannya. Kehadiran sumber
daya air, yang seharusnya menjadi hak konstitusional bagi setiap warga Indonesia, memiliki nilai
yang sangat signifikan. Namun, pada kenyataannya, air seringkali dimanfaatkan untuk
kepentingan individu tertentu, bukan untuk kepentingan umum yang seharusnya mendukung
kesejahteraan rakyat, sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi. Hal ini
seharusnya tidak terjadi di negeri yang kaya akan sumber daya air.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur memiliki kewajiban untuk
melindungi hak warga negaranya, terkhusus dalam hal sumber daya air. Pasal 33 dalam Undang-
Undang Dasar 1945 merupakan ketentuan yang secara spesifik menjadi dasar bagi ideologi politik,
ekonomi, dan lingkungan di Indonesia. Khususnya, ayat (3) dari Pasal 33 UUD 1945 menyatakan:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Pasal tersebut mencerminkan bentuk kontrol oleh negara yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, dengan memperhatikan aspek keadilan sosial di dalamnya. Apabila melihat
data yang dikeluarkan oleh ASPADIN, total potensi air Indonesia mencapai 2.783,2 Miliar
m3/tahun. Total potensi air ini harus dioptimalkan untuk terwujudnya kemanfaatan sumber daya
air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan
Pasal 33 UUD 1945. Namun dari data tersebut juga terdapat beberapa celah yang cukup besar dari
tata kelola sumber daya air terhadap privatisasi air yang terjadi di Indonesia, dikarenakan peraturan
yang dianggap terlalu berorientasi pada pendapatan dibanding hak rakyat.1
Undang-Undang Cipta Kerja dianggap sebagai terobosan hukum di Indonesia, memberikan
alat untuk yang dianggap dapat melakukan deregulasi dan debirokratisasi, terutama menghadapi
banyaknya peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini. Meskipun UU Cipta Kerja menimbulkan
sejumlah tantangan, pertanyaan muncul mengenai kesesuaiannya dengan Pasal 33 UUD 1945
terkait pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA). Pengaturan dan struktur
kelembagaan dalam bidang SDA menjadi penentu untuk menjaga keseimbangan dalam
pengelolaan SDA, dengan menekankan koordinasi dalam tindakan perencanaan SDA yang
seharusnya bertujuan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kehadiran peluang hak guna
usaha air, terutama dalam ranah ekonomi, harus diperlakukan dengan pengawasan dan perhatian
yang sungguh-sungguh. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencegah agar air tidak dijadikan
sebagai sumber ekonomi yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Prinsip yang
terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi dasar pengelolaan dan pemanfaatan Sumber

1
Pradhyksa, D. P. (2021). Pengaturan Pendayagunaan Sumber Daya Air dalam Undang-Undang Cipta
Kerja dan Korelasinya dengan Pasal 33 UUD 1945. Ascarya: Journal of Islamic Science, Culture, and
Social Studies, 1(2), 70-92.
Daya Alam (SDA) dan wajib diaplikasikan secara menyeluruh dalam setiap regulasi hukum,
terutama yang berkaitan dengan SDA.
Mendapatkan akses kepada sumber air yang aman untuk dikonsumsi, bersama dengan
sanitasi yang bersih dan memadai, menjadi landasan penting bagi kesehatan dan kesejahteraan
manusia. Air tidak hanya diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga esensial untuk
produksi pangan, energi, dan kegiatan industri. Meskipun penggunaan air dalam industri tidak
dapat dihindari, kegiatan industri juga menghasilkan limbah air yang, tanpa pengelolaan yang
memadai, berpotensi menyebabkan polusi. Kehadiran air juga merupakan kebutuhan untuk
menjamin kesehatan ekosistem. Dengan ekosistem yang sehat, kualitas dan jumlah air tawar dapat
meningkat, sehingga secara menyeluruh dapat mendukung perubahan lingkungan yang sedang
terjadi. Sejalan dengan meningkatnya permintaan akan air untuk keperluan rumah tangga, air
kemasan, dan peningkatan jumlah konter pengisian air galon, kecenderungan privatisasi dan
kapitalisasi sumber daya air terus bertambah dan memiliki potensi untuk melibatkan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia atas air. Laju penurunan ketersediaan air untuk keperluan pertanian
akan berlangsung lebih cepat daripada laju penurunan ketersediaan lahan. Di kawasan pertanian
dengan sumber air berkualitas tinggi seperti di Tabanan, pemanfaatan air cenderung menciptakan
ketidaksetaraan, baik antar sektor, antara wilayah hulu dan hilir, bahkan di antara kelompok
masyarakat. Fokus pembangunan sektor pariwisata mempercepat penggunaan sumber daya air dan
melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan berbagai ideologi yang bersaing untuk
mengakses sumber daya ini. Pelayanan dasar berupa akses kepada sanitasi dan air minum yang
aman merupakan hak asasi bagi setiap warga negara, karena memiliki dampak yang signifikan
terhadap tingkat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (KOMINFO, 2020).
Menurut data dari United States Agency for International Development (USAID) dan Indonesia
Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH), Indonesia menempati peringkat terendah di
antara negara-negara ASEAN dalam masalah akses air dan sanitasi perkotaan. Oleh karena itu,
akses sanitasi yang memenuhi standar kesehatan, ditunjang oleh perilaku hidup bersih dan sehat,
menjadi kunci utama dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum yang bersifat normatif atau yuridis normatif.
Metode penelitian hukum normatif merupakan suatu pendekatan penelitian yang berfokus pada
analisis norma atau peraturan hukum yang ada. Metode ini mencakup analisis terhadap berbagai
undang-undang, putusan pengadilan, dokumen hukum, dan literatur hukum untuk
mengembangkan pemahaman mendalam tentang isu hukum tertentu. Penelitian hukum normatif
sering kali melibatkan pendekatan deduktif, di mana peneliti menggunakan norma hukum sebagai
dasar untuk mengembangkan argumen atau konsep hukum.

Pembahasan
Hak warga negara atas sumber daya air
Salah satu prinsip yang perlu diwujudkan dalam kerangka regulasi di sektor pengelolaan
Sumber Daya Alam (SDA) adalah prinsip keadilan. Dengan demikian, proses pembuatan hukum
(law making) seharusnya mempertimbangkan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan demokratisasi.
Ini termasuk melakukan rekonstruksi jika terdapat penyimpangan dalam penegakan hukum
tersebut. Prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam (termasuk air) ditegaskan pada Pasal 4
Tap MPR No. IX Tahun 2001, bahwa: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam
harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi
hukum;
d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi
rakyat;
f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
daya dukung lingkungan; h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
h. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah
dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
i. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman
budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
j. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
k. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat.
Dengan begitu maka negara memiliki peran penting dalam menjalankan perannya sebagai pihak
yang berhak untuk menguasai SDA.
Penataan struktur kelembagaan menjadi krusial dalam menghadapi kompleksitas
pengelolaan sektor air bersih. Ini diperlukan agar dapat meningkatkan akses air bersih baik dari
segi kuantitas maupun kualitas dengan lebih cepat. Dalam menjalankan fungsinya, pihak
berwenang harus memperhatikan keunikan sistem penyediaan air minum di mana aliran air dari
hulu ke hilir dapat melibatkan berbagai wilayah administratif, bahkan provinsi. Regulasi terkait
air minum disederhanakan, dan birokrasi dalam proses penyediaan air minum difokuskan pada
pencapaian hasil utama, yaitu peningkatan layanan akses air bersih untuk kebutuhan air minum,
bukan hanya terkait kepemilikan PDAM, kepemilikan sumber air, atau aspek lain yang bersifat
input-output semata.2

Privatisasi dan komersialisasi sumber daya air


Dalam Pasal 74 UU BUMN 2003 menjelaskan bahwa privatisasi yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta memperkuat peran serta masyarakat
dalam kepemilikan persero. Ketika merujuk pada privatisasi air, tujuan utamanya adalah agar
pelayanan air dapat berlangsung secara berkelanjutan dan efisien. Privatisasi dijalankan karena
adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh negara untuk mengelola layanan air bagi
seluruh masyarakat, dengan harapan bahwa pelaksanaan privatisasi dapat memberikan dampak
positif pada kesejahteraan sosial. Meskipun demikian, kebijakan privatisasi air mengalami
kegagalan dalam implementasinya, sehingga banyak pihak, terutama masyarakat DKI Jakarta,

2
Febriawati, L., Mellaty, R., & Widowati, T. (2021). Analisis Aksesibilitas Air Bersih dalam Rangka
Peningkatan Ketahanan Keluarga di DKI Jakarta. Jurnal Lemhannas RI, 9(2), 24-39.
menuntut Pemerintah untuk segera mencabut kebijakan privatisasi air tersebut karena dianggap
melanggar hak asasi manusia terkait akses terhadap air bersih. Di Indonesia, konsep partisipasi
sektor swasta atau yang sering disebut sebagai privatisasi telah ada sejak zaman Orde Lama.
Menurut WALHI, gagasan privatisasi di Indonesia muncul setelah World Bank
merekomendasikan bahwa untuk mengatasi keterbatasan air, diperlukan pendekatan
komersialisasi dan privatisasi. Melalui strategi ini, penggunaan air yang tak terbatas dapat diatur
dengan mengelola hak atas air.3 Privatisasi sektor air dipicu oleh peningkatan kebutuhan akan
pasokan dan distribusi air bersih yang tidak dapat diatasi sepenuhnya oleh pemerintah sebagai
penyedia layanan publik. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kerjasama antara perusahaan
swasta dan pemerintah/negara sebagai pemegang hak atas sumber daya air dapat terwujud. Melalui
kolaborasi yang efisien dan efektif dengan sektor swasta, bukan hanya kuantitas pasokan air bersih
yang dapat ditingkatkan, tetapi juga kualitas air bersih untuk kepentingan masyarakat dapat
diperbaiki. Pasal 7 Undang-Undang RI No. 17 tahun 2019 tentang SDA secara terang benderang
melarang privatisasi air, “Sumber daya air tidak dapat dimiliki dan atau dikuasai oleh
perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha.” Terdapat keyakinan dalam benak
pengusaha bahwa menyertakan elemen kebajikan bagi masyarakat memberinya peluang untuk
melakukan privatisasi dan komersialisasi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di lahan miliknya.
Pengusaha meyakini bahwa semakin banyak tindakan kebajikan yang diusungnya, akan membuat
para pembuat kebijakan merasa tergerak untuk memberikan izin. Oleh karena itu, ia berusaha
mencantumkan sebanyak mungkin kebajikan yang nantinya akan dilaksanakannya, hingga
jumlahnya mencapai sepuluh kebajikan.4
Penyusunan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air meletakkan landasan hukum
privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Privitasi kepemilikan air diberikan melalui pasal 7
ayat 1 yang menyatakan bahwa hak guna air dapat berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha
air. Selanjutnya, pasal 9 ayat 1 menyatakan “hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan
atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya”. Dengan demikian, perorangan atau badan usaha dapat memperoleh hak untuk

3
Usman, S. F. (2022). Konstitusionalisme dan Pemenuhan Hak Atas Air Pada Negara Dengan Konstitusi
Bernuansa. Jurnal Ilmiah Mandala Education, 8(3).
4
Irawan, Y., & Hestiyana, H. (2022). Analisis Wacana Kritis Upaya Privatisasi dan Komersialisasi Mata
Air dalam Surat Permohonan Izin Pengusahaan Air. Aksara, 34(2), 167-180.
mengusahakan air (HGU air).5 Mahkamah menyatakan bahwa penerbitan Hak Guna Usaha (HGU)
air dan izin pengusahaan sumber daya air harus didasarkan pada kerangka pengelolaan sumber
daya air yang dirancang dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Kinerja
pengelolaan sumber daya air diawasi oleh berbagai pihak secara langsung, sehingga penerbitan
HGU air dan izin pengusahaan sumber daya air dapat dikontrol oleh pemerintah. Permintaan HGU
air dan izin pengusahaan sumber daya air dapat ditolak jika tidak sesuai dengan kerangka
pengelolaan sumber daya air yang telah ditetapkan. Mahkamah juga berpendapat bahwa Undang-
Undang No. 7/2004 tidak menyebabkan komersialisasi sumber daya air karena mengikuti prinsip
"penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan" sesuai
dengan jasa yang digunakan. Prinsip ini justru menetapkan bahwa air bukan objek yang dikenai
harga secara ekonomi karena tidak ada harga air sebagai unsur dalam menghitung jumlah
pembayaran yang harus dibayarkan oleh penerima manfaat.

Kesimpulan
Sumber Daya Air merupakan aset alam yang perlu dijaga dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
kepentingan kemakmuran rakyat. Saat ini, peraturan terkait sumber daya air diatur dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang telah mengalami perubahan
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 53 UU Cipta Kerja
mengubah beberapa ketentuan dalam UU SDA. Namun, kerjasama antara PDAM dan sektor
swasta masih belum optimal, terutama dalam hal pembagian risiko dan kompensasi. Kebijakan
privatisasi air juga tidak berhasil diimplementasikan. Regulasi terkait air minum perlu
disederhanakan, dan birokrasi dalam penyediaan air minum seharusnya lebih memfokuskan pada
pencapaian hasil utama, yaitu peningkatan layanan akses air bersih untuk kebutuhan minum.
Privatisasi dan komersialisasi air telah menyebabkan eksploitasi berlebihan, penurunan pasokan
air untuk pertanian, perubahan pola tanam, pengurangan luas lahan pertanian padi, ekspansi lahan
basah, dan konversi lahan pertanian, yang semuanya berdampak negatif pada produksi padi dan
pendapatan petani.

5
Tarigan, H., & Simatupang, P. (2014). Dampak undang-undang sumber daya air terhadap eksistensi
kelembagaan subak di Bali. Analisis Kebijakan Pertanian, 12(2), 103-117.
Dalam tahap interpretasi, terungkap bahwa upaya pengendalian terhadap mata air dilatarbelakangi
oleh keyakinan bahwa air di bawah tanah adalah hak kepemilikan pribadi dan dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya, termasuk untuk kegiatan bisnis. Pengusaha berwacana bahwa melalui berbagai
"kebajikan," ia dapat memperoleh izin untuk mengelola air. Dengan menekankan pentingnya air
bagi kehidupan manusia, ketentuan perlindungan hak atas air dalam konstitusi dapat menjadi dasar
untuk kebijakan pengelolaan dan penguasaan air yang bertujuan melindungi sumber daya air.
Meskipun kompleksitas dalam hal fiskal dan politik terkait pengelolaan dan penguasaan air,
penting untuk terus mempertimbangkan kebijakan yang menjadikan air sebagai barang publik. Ini
bertujuan agar air tidak hanya dianggap sebagai aset ekonomi untuk mencari keuntungan, tetapi
juga sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi kehidupan manusia.
Daftar Pustaka

Irawan, Y. &. (n.d.). Analisis Wacana Kritis Upaya Privatisasi dan Komersialisasi Mata Air
dalam Surat Permohonan Izin Pengusahaan Air. Aksara, 34.
LULU FEBRIAWATI, R. M. (n.d.). ANALISIS AKSESIBILITAS AIR BERSIH DALAM
RANGKA PENINGKATAN KETAHANAN KELUARGA DI DKI JAKARTA. Jurnal
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, 9.
Pradhyksa, D. P. (2021). PENGATURAN PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR
DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA DAN KORELASINYA DENGAN
PASAL 33 UUD 1945 (Regulation of Water Resources Utilization in The Job Creation
Law and Their Correlation with Article 33 Of The 1945 Constitution). ASCARYA, 1.
Simatupang, H. T. (2014). DAMPAK UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR
TERHADAP EKSISTENSI KELEMBAGAAN SUBAK DI BALI. Analisis Kebijakan
Pertanian, 12.
Usman, S. F. (2022, Agustus). Konstitusionalisme dan Pemenuhan Hak Atas Air Pada Negara
Dengan Konstitusi Bernuansa. urnal Ilmiah Mandala Education, 8.

Anda mungkin juga menyukai