Anda di halaman 1dari 3

PANDANGAN DAN SIKAP

SERIKAT PETANI INDONESIA TENTANG


RANCANGAN UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) berupaya untuk menuntaskan


pembahasan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) agar dapat disahkan
pada masa akhir persidangan DPR-RI pada periode 2014 – 2019. Sebelumnya, pengaturan
mengenai air di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (UU SDA). Hanya saja, diberlakukannya UU SDA justru mengakibatkan privatisasi
air oleh pihak swasta dan semakin berkurangnya peran negara dalam upaya memenuhi,
menjamin atau melindungi hak dasar penduduk Indonesia sebagaimana tercantum dalam
amanat konstitusi Indonesia.

Konstitusi Indonesia, yakni di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang
menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2). Hal ini kembali ditegaskan
di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yakni bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari amanat Pasal 33 UUD 1945 tersebut jelas dilihat bahwa keterlibatan negara dalam
pengelolaan air merupakan hal yang mutlak, karena air merupakan hal yang vital dan
menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tidak sesuainya isi dari UU No.7 Tahun 2004 dengan amanat dari konstitusi Indonesia
kemudian mendorong organisasi tani dan elemen masyarakat sipil di Indonesia untuk
melakukan judicial review terhadap undang-undang tersebut. Pada tahun 2014, MK
mengeluarkan putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, yang membatalkan UU No.7 Tahun 2004.

SPI memandang pembahasan RUU SDA merupakan suatu niat yang baik dan maju dalam
menyikapi kewajiban negara untuk memenuhi hajat hidup orang banyak di Indonesia. Bahwa
selama ini pembahasan tentang air yang merupakan kebutuhan paling dasar manusia belum
menemukan kepastian hukum penjaminan hak-hak masyarakat Indonesia sesuai dengan amanat
konstitusi. SPI memandang bahwa air sebagai sumber kehidupan juga berfungsi sosial,
pelestarian lingkungan hidup dan mempunyai nilai ekonomi. Dengan alasan-alasan tersebut,
penyebutan RUU SDA akan lebih tepat apabila diberi penamaan yang dapat melingkupi semua
aspek kepentingan dasar manusia Indonesia dan pengembangannya. SPI mengusulkan
perubahan nama RUU dari Sumber Daya Air menjadi RUU Air, karena didalam RUU ini
menjelaskan tentang air dan bagaimana pengelolaannya.

Terkait hal tersebut, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan pandangan dan sikapnya atas
RUU SDA (RUU a quo). Dari draf RUU SDA yang ada saat ini, terdapat beberapa poin yang
menjadi perhatian dari SPI, yakni:

1. UUPA 1960. Dalam RUU a quo, tidak ada mencantumkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai
bagian menimbang dari RUU a quo. Padahal Pasal 2 UUPA 1960 adalah dasar
argumentasi mengenai tidak dikenalnya hak kepemilikan perdata atas air dan mengenai
penguasaan negara atas sumber-sumber agraria, termasuk air. UUPA 1960 akan
menjadi dasar pengelolaan air di Indonesia yang memperhatikan hajat hidup orang
banyak, termasuk kepentingan petani terhadap air untuk pertanian;

2. Pembatasan Pengelolaan dan Pengusahaan Atas Air. SPI memandang perlunya ada
pembatasan-pembatasan terhadap pengelolaan dan pengusahaan atas air antara lain;
tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air.
Negara harus memenuhi hak rakyat atas air terutama akses terhadap air sebagai salah
satu hak asasi tersendiri. Pemerintah dalam hal ini harus berpegang pada putusan MK
mengenai 6 (enam) prinsip pengelolaan air di Indonesia, yakni: (1) setiap pengusahaan
atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat
atas air; (2) negara harus memenuhi hak rakyat atas air, karena akses terhadap air adalah
salah satu hak asasi tersendiri; (3) untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup sebagai
salah satu hak asasi manusia; (4) air merupakan cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara; (5) air merupakan
sesuatu yang sangat mengusai hajat hidup orang banyak, maka prioritas utama yang
diberikan penguasaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah; (6) apabila setelah semua pembatasan tersebut sudah terpenuhi dan
ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk
memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan
syarat-syarat tertentu dan ketat;

3. Affirmative Action RUU A Quo. SPI menyetujui affirmative action dalam RUU a quo,
yakni negara melalui hukum memberikan keistimewaan kepada kelompok atau
golongan tertentu agar setara dengan kelompok atau golongan yang lain dalam
memenuhi hak atas air. Hal ini tidak terlepas dari fungsi air yang dapat dibedakan ke
dalam tiga bentuk: yakni fungsi sosial, pelestarian lingkungan hidup dan ekonomi.
Fungsi sosial adalah untuk keperluan sehari-hari, tanah pertanian, dll demi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat;

4. Kewajiban Negara Dalam Penyediaan Air. Pasal 15 huruf h, di dalam RUU a quo,
disebutkan bahwa pemerintah mengupayakan penyediaan air untuk pemenuhan
pertanian rakyat, kegiatan bukan usaha dan/atau kegiatan usaha pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/kota. SPI berpandangan pemerintah seharusnya lebih tegas
menyebutkan ‘kewajiban’ bukan ‘mengupayakan’ terkait penyediaan air dalam pasal
tersebut. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yang memerintahkan negara harus
memenuhi hak rakyat atas air.

5. Deklarasi PBB Tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di
Pedesaan. Kewajiban pemerintah untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak atas
air warga negaranya juga diatur di dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan atau UNDROP,
yang baru disahkan pada 17 Desember 2018 lalu. UNDROP dalam hal ini mengatur
mengenai kewajiban pemerintah dalam melindungi hak-hak petani dan orang-orang
yang bekerja di pedesaan terkait hak air minum. Pada Pasal 21 UNDROP, disebutkan
bahwa: ‘petani dan orang yang bekerja di pedesaan memiliki hak asasi manusia atas
air minum yang aman dan bersih dan atas sanitasi, yang sangat penting untuk
dinikmatinya kehidupan dan semua hak asasi manusia serta martabat manusia. Hak-
hak ini termasuk sistem pasokan air dan fasilitas sanitasi yang berkualitas baik,
terjangkau dan dapat diakses secara fisik, serta tidak diskriminatif dan dapat diterima
dalam hal budaya maupun gender’.

SPI pada dasarnya sepakat mengenai adanya peraturan perundang-undangan yang memperkuat
peran dari negara dalam hal penguasaan dan pengelolaan air di Indonesia. Terkait hal tersebut,
SPI mendorong agar RUU a quo yang tengah dibahas berpegang teguh pada putusan MK
Nomor 85/PUU-XI/2013, dimana penekanan bahwa vitalnya peran negara dalam penguasaan
dan pengelolaan air untuk hajat hidup orang banyak. Secara khusus, bagi SPI terjaminnya akses
terhadap air bagi petani selaras dengan upaya untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan di
Indonesia.

Demikian pandangan dan sikap SPI ini dibuat untuk menjadi perhatian dan pertimbangan
Pemerintah dan DPR-RI dalam memenuhi tuntutan kami terhadap RUU a quo.

Jakarta, 27 Agustus 2019

Anda mungkin juga menyukai