Anda di halaman 1dari 7

Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus keberadaan seluruh pasal dalam UU Nomor 7

Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang diajukan Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah Dkk. Pasalnya, beleid itu dianggap belum menjamin pembatasan
pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD 1945.

Dengan dibatalkan keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11


Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya
pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak
lagi berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan.

“Menyatakan UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menyatakan UU Pengairan berlaku kembali,” ucap Ketua MK Arief
Hidayat saat membacakan putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK,
Rabu (18/2).

Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh di antaranya Amidhan,
Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati
Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang
privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan
masyarakat sebagai pengguna air.

Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam UU SDA dan putusan MK No. 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan
telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar
hak guna air. Namun, penafsiran MK itu telah diselewengkan secara normatif yang
berdampak teknis pelaksanaannya.

Buktinya, dapat dilihat Pasal 1 angka 9 PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang


Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara
pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau
kelompok masyarakat. Padahal, Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan
pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah.

Ini artinya, PP Nomor 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan


pengingkaran tafsir konstitusional MK. Kondisi ini telah melahirkan mindset (pola pikir)
pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang
sahamnya. Hal ini jelas pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup


orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai negara.
Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya
menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Setidaknya, ada lima poin
pembatasan yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan pengelolaan air.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat.
Soalnya, selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak
asasi manusia, yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD harus menjadi tanggung
jawab pemerintah. Ketiganya, MK pengelolaan air pun harus mengingat kelestarian
lingkungan.

Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan dan
pengendalian oleh negara secara mutlak. Kelima, hak pengelolaan air mutlak milik
negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau
BUMD.

“Apabila semua pembatasan tersebut terpenuhi dan masih ada ketersediaan air,
pemerintah masih dimungkinkan memberi izin pada swasta untuk melakukan
pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto
saat membacakan pertimbangannya.

Meski pemerintah telah menetapkan peraturan pemerintah (PP) terkait SDA, keenam
PP tetap tidak memenuhi prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air yang
telah disebutkan di atas. “Karena UU SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,
untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan SDA dan sambl menunggu
pembentukan UU baru, maka UU Pengairan Pengairan diberlakukan kembali.”

Usai persidangan, kuasa hukum Muhammdiyah, Ibnu Sina Chandranegara mengatakan


putusan MK membuktikan konstitusi masih berpihak pada kepentingan umum dimana
hak air tidak bisa dikotak-kotakan dengan hak guna air. Dengan putusan MK, seluruh
norma yang terkandung dalam UU SDA rontok dan harus kembali menggunakan UU
Pengairan tahun 1974.

“Soalnya, praktiknya, penggunaan air dalam UU SDA seperti sistem agraria dengan
menggunakan hak guna air,” kata Ibnu Sina.

Ditanya peran swasta dalam pengelolaan air, dirinya menilai air harus diserahkan pada
BUMN maupun BUMD untuk dikelola. Dia berharap ke depannya pemerintah membuat
rumusan baru mengenai UU SDA walaupun saat ini dikembalikan pada UU Pengairan.

“Prinsipnya, ketika sudah dikelola dan masih ada lebih banyak, swasta bisa ikut campur
dengan syarat yang sangat ketat. Selama ini kan praktiknya masih belum baik makanya
dibatalkan MK,” tegasnya.
Gelapnya urusan air minum/bersih di Republik ini semakin gelap ketika Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa UU No 7
Tahun 2004 Tentang Pengolahan Sumber Daya Air (SDA) dan semua peraturan di
bawahnya dibatalkan. Artinya Pemerintah harus segera membuat UU SDA baru.
Namun demi menjaga kekosongan hukum sebelum UU SDA baru disahkan,
Pemerintah perlu membuat peraturan perundang-undangan yang bisa berperan
sebagai jembatan sebelum UU SDA baru belum disahkan.

Sebagai pengguna air minum/bersih sehari-hari dan pengguna produk-produk industri


dan jasa yang menggunakan air sebagai salah satu bahan pokok produksi (seperti
pangan, tekstil, besi baja, hotel, rumah sakit dan sebagainya), saya tentu bertanya pada
para penggugat apa alasan murni yang masuk akal dan dapat saya terima saat menguji
UU No 7 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 di MK selain masalah nasionalisme.
Nasionalisme yang mana ya?

Lalu bagaimana kaitannya dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
di mana Negara menginginkan masuknya investor asing di semua sektor kehidupan,
termasuk pengelolaan SDA, saat Pemerintah belum mampu mandiri menyediakan air
bersih secara baik demi tercapainya target Millenium Development Goals (MDG) 2025,
di mana semua warga dunia harus mendapatkan air bersih.

Inti Permasalahan Air di Republik Tercinta Terkait Putusan MK

Inti persoalan air minum/bersih terkait persoalan pengelolaan air permukaan


dibeberapa daerah, termasuk wilayah DKI Jakarta sangat bergantung pada 2 hal, yaitu
kualitas dan kuantitas air baku serta besarnya angka non revenue water (NRW),
terlepas dari siapapun yang mengelola (bisa investor asing atau Perusahaan Daerah
Air Minum atau swasta nasional atau koperasi sekalipun). Kalau air bakunya buruk dan
tingkat kebocoran/pencurian air (NRW) tinggi, maka pelayanan air minum/bersih ke
konsumen pasti dan tetap buruk.

Selain pembatalan UU No. 7/2004 oleh MK, pengelolaan air minum di DKI Jakarta juga
ketiban persoalan hukum kedua, yaitu dimenangkannya tuntutan publik melalui Citizen
Lawsuit (CLS) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Pemerintah Pusat dan
Daerah. Jadi pengelolaan air minum/bersih di DKI Jakarta bertambah runyam penuh
ketidakjelasan. Pengelolaan atau pemanfaatan air minum/bersih mengalami
kekosongan hukum. Siapa yang dirugikan? Pastinya konsumen/publik.
Persoalan lain muncul ketika Pemerintah akan menerbitkan peraturan perundang
undangan yang berfungsi sebagai pengganti sementara peraturan perundang-
undangan untuk menutup kekosongan hukum, sebelum ada UU SDA yang baru.
Namun sayang dari 2 (dua) Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan
diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta 1
(satu) Rencana Peraturan Menteri (RPM) yang akan diterbitkan oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) isinya sangat menyedihkan, meski terlihat
nasionalis.

Dari RPP Sumber Daya Air (SDA) dan RPP Sistem Penyelenggaraan Air Minum
(SPAM) begitu pula dengan RPM terkait Air Tanah versi April 2015 terkesan atau patut
diduga RPP dan RPM sasaran utamanya adalah mengusir investor asing, khususnya
investor AMDK dan investor air minum/bersih yang berpartner dengan Perusahaan Air
Minum (PAM). Hati-hati karena dampaknya buat bangsa ini bisa lebih parah.

Sebagai contoh, pada RPP SDA versi 24 April 2015, Pasal 6 Ayat (6) tertulis:

Izin pengusahaan sumber daya air atau izin pengusahaan air tanah untuk kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a tidak dapat diberikan kepada
badan usaha swasta yang menggunakan modal asing baik sebagian maupun
seluruhnya.

Ini sangat bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Lalu munculnya Pasal 6 Ayat (6) tidak sejalan dengan Pasal 18 Ayat (1) yang tertulis:

Izin pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diberikan
kepada: (a) badan usaha milik negara; (b) badan usaha milik daerah; (c) badan usaha
milik desa; (d) badan usaha swasta; (e) koperasi; atau (f) perseorangan.

Jadi RPP ini memang harus diperbaiki total supaya tidak merugikan negara dan
pengusaha secara ekonomi serta publik secara kualitas pelayanan.
Terkait dengan RPM Tentang Air Tanah versi akhir April 2015, khususnya Pasal 50
Ayat (2):

Pengaturan pemilikan izin pengusahaan air tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah RPP yang akan diteritkan oleh
Kementrian PUPR. Jadi kembali lagi bahwa investor asing untuk penggunaan air tanah
juga dilarang. Padahal industri pengguna air tidak harus menjual air tetapi
menggunakan air sebagai salah satu bahan baku, misalnya industri tekstil, industri baja,
bahkan hotel dan rumah sakit. Jadi yang hancur bukan hanya industri AMDK tetapi
banyak jenis industri.
Supaya tidak bermasalah dengan UU terkait lainnya, maka yang dimaksud badan
hukum harus boleh dimiliki siapa saja. Bisa BUMN/BUMD/Koperasi/Yayasan/swasta
domestik maupun asing, asalkan proses perizinannya tidak melanggar peraturan
perundang undangan dan Pemerintah mengawasi dengan ketat.

Pertanyaan saya, apakah Menteri PUPR dan Menteri ESDM paham betul situasi
negara ini dan juga hubungan/kaitannya antara isi draft RPP dan RPM dengan
beberapa UU lain, seperti UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi,
UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup? Jangan
menerbitkan peraturan perundang-undangan yang tidak akan menyelesaikan masalah
tetapi malah menambah masalah baru.

Langkah Darurat yang Harus Diambil Pemerintah

Pertama, Kementerian PUPR harus memperbaiki kedua draft RPP supaya tidak
diskriminatif dan tidak berbenturan dengan beberapa UU lain, terutama UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lalu Kementerian ESDM menyesuaikan RPM
nya.

Kedua, sebaiknya sebelum RPP disampaikan ke Kementrian Hukum dan HAM untuk
disinkronisasi dan di harmonisasi, sebaiknya dimintakan agar Kementerian Koordinator
Ekonomi membuat rapat pleno dengan mengundang beberapa Kementrian/Badan
terkait, seperti Kementerian Perdagangan, BKPM, Kementerian Keuangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM supaya ada kepastian siapa yang
boleh mengelola air minum/bersih.

Pada akhirnya hak publik untuk memperoleh air bersih sesuai target MDG harus
tercapai. Semoga. Salam.

*) AGUS PAMBAGIO adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan


Konsumen).
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus keberadaan seluruh pasal dalam UU Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang diajukan Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah Dkk. Pasalnya, beleid itu dianggap belum menjamin pembatasan
pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD 1945.

Dengan dibatalkan keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11


Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya
pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak
lagi berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan.

“Menyatakan UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menyatakan UU Pengairan berlaku kembali,” ucap Ketua MK Arief
Hidayat saat membacakan putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK,
Rabu (18/2).

Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh di antaranya Amidhan,
Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati
Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang
privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan
masyarakat sebagai pengguna air.

Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam UU SDA dan putusan MK No. 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan
telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar
hak guna air. Namun, penafsiran MK itu telah diselewengkan secara normatif yang
berdampak teknis pelaksanaannya.

Buktinya, dapat dilihat Pasal 1 angka 9 PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang


Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara
pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau
kelompok masyarakat. Padahal, Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan
pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah.

Ini artinya, PP Nomor 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan


pengingkaran tafsir konstitusional MK. Kondisi ini telah melahirkan mindset (pola pikir)
pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang
sahamnya. Hal ini jelas pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup


orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai negara.
Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya
menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Setidaknya, ada lima poin
pembatasan yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan pengelolaan air.

Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat.
Soalnya, selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak
asasi manusia, yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD harus menjadi tanggung
jawab pemerintah. Ketiganya, MK pengelolaan air pun harus mengingat kelestarian
lingkungan.

Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan dan
pengendalian oleh negara secara mutlak. Kelima, hak pengelolaan air mutlak milik
negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau
BUMD.

“Apabila semua pembatasan tersebut terpenuhi dan masih ada ketersediaan air,
pemerintah masih dimungkinkan memberi izin pada swasta untuk melakukan
pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto
saat membacakan pertimbangannya.

Meski pemerintah telah menetapkan peraturan pemerintah (PP) terkait SDA, keenam
PP tetap tidak memenuhi prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air yang
telah disebutkan di atas. “Karena UU SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,
untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan SDA dan sambl menunggu
pembentukan UU baru, maka UU Pengairan Pengairan diberlakukan kembali.”

Usai persidangan, kuasa hukum Muhammdiyah, Ibnu Sina Chandranegara mengatakan


putusan MK membuktikan konstitusi masih berpihak pada kepentingan umum dimana
hak air tidak bisa dikotak-kotakan dengan hak guna air. Dengan putusan MK, seluruh
norma yang terkandung dalam UU SDA rontok dan harus kembali menggunakan UU
Pengairan tahun 1974.

“Soalnya, praktiknya, penggunaan air dalam UU SDA seperti sistem agraria dengan
menggunakan hak guna air,” kata Ibnu Sina.

Ditanya peran swasta dalam pengelolaan air, dirinya menilai air harus diserahkan pada
BUMN maupun BUMD untuk dikelola. Dia berharap ke depannya pemerintah membuat
rumusan baru mengenai UU SDA walaupun saat ini dikembalikan pada UU Pengairan.

“Prinsipnya, ketika sudah dikelola dan masih ada lebih banyak, swasta bisa ikut campur
dengan syarat yang sangat ketat. Selama ini kan praktiknya masih belum baik makanya
dibatalkan MK,” tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai