Anda di halaman 1dari 23

A.

  Pendahuluan
Pasal 18B ayat (2)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945  (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Dengan demikian, kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah-wilayah
pesisir, diakui hak-haknya dalam pengelolaan potensi kelautan secara umum dilakukan
secara tradisional yang dikenal dengan hak adat kelautan. Dibandingkan dengan hak
ulayat atas tanah, maka tampak bahwa hak ulayat atas laut sebagai tradisi adat yang
sudah berlangsung secara  turun temurun dan dihormati oleh masyarakat hukum adat .
Hal ini ternyata  belum sepenuhnya  diakui secara luas baik oleh pemerintah maupun
pengusaha  yang sebenarnya merupakan mitrapenting dalam proses pembangunan.
Dalam konteks Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan wilayah laut
dan pesisir adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam undang-undang tersebut diatur hak pengusahaan
Perairan Pesisir (HP-3), yang menurut pasal 18 dapat diberikan kepada :
a.       Orang perorangan warga Negara Indonesia;
b.      Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c.       Masyarakat hukum adat
Berkaitan dengan jangka waktu pengelolaan, pasal 19 menyebutkan bahwa HP-3
diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang selama 20
(dua puluh) tahun untuk tahap pertama serta dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait kedudukan masyarakat hukum adat maka Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 pada pasal 21 ayat (4) huruf b secara tegas menyebutkan : “mengakui,
menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat  dan/atau masyarakat
lokal”

1
Jika dikaji dan  dicermati ternyata sebagian besar peraturan perundang-undangan
tersebut, bersifat sektoral yang mengatur sektor-sektor pembangunan tertentu, yang
secara langsung maupun  tidak langsung terkait dengan aspek laut dan pesisir .  
Dalam realitas yang terjadi, selain aturan hukum positif yang mengatur
pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir, ditemukan juga aturan hukum adat.
Hukum adat yang masih hidup dan berkembang dalam  masyarakat hukum adat juga
mengatur sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam  di wilayah-wilayah laut
dan pesisir.
Dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut,
antara pemerintah dan kesatuan masyarakat hukum adat memungkinkan terjadinya
konflik, hal tersebut dapat diketahui bahwa di Kabupaten Kepulauan Aru, sering wilayah
petuanan/ulayat masyarakat hukum adat, dikuasai oleh nelayan atau para pengusaha besar
atau yang memiliki modal besar dengan berbagai alat canggih, sehingga masyarakat
hukum adat  sekitar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sulit mendapatkan
ikan dan sumberdaya laut lainnya. Para pengusaha perikanan yang memiliki modal besar
karena mengantongi izin dari pemerintah maka mereka dengan leluasa memasang
rumpon di daerah yang berdekatan dengan wilayah tangkap masyarakat hukum adat,
sehingga pada akhirnya sumberdaya ikan menjadi berkurang pada wilayah tangkap
masyarakat hukum adat[1] .
Kasus-kasus lain yang menarik antara lain, yang terjadi di desa Ety, Kabupaten
Seram Bagian Barat, dimana pengusaha mutiara dengan seenaknya mengkapling wilayah
pesisir di wilayah petuanan/ulayat masyarakat hukum adat dan pada akhirnya dengan izin
usaha yang dimiliki, melarang masyarakat hukum adat agar tidak boleh mendekati
wilayah budidaya mutiara tersebut. Padahal sejak dahulu  wilayah tersebut merupakan
sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan tradisional untuk menghidupi keluarga
mereka dari satu generasi ke generasi berikut.
Di Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, masyarakat hukum adat  tidak lagi
mempunyai akses untuk menyelam mutiara karena laut sekitarnya telah terkontaminasi
dengan buangan sisa hasil produksi ikan. Akhirnya masyarakat hukum adat pasrah dan

2
tidak dapat berbuat banyak sehingga akhirnya menjadi miskin diwilayah ulayat/petuanan
laut yang kaya akan potensi sumberdaya alam[2].
Kebijakan pemerintah yang memberi izin kepada para pengusaha tetapi kurang
memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat terutama yang hidup di wilayah
pesisir  maka  sudah tentu berdampak bagi kehidupan masyarakat hukum adat dan
akhirnya mereka hidup dalam suasana ketidakpastian.
Di pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, terdapat seorang pengusaha dari
Swizerland yang bergerak dalam kegiatan diving, yang mendapat izin untuk
membangun cottage di atas sebuah tanjung di Desa Paperu. Karena laut dan terumbu
karang disekitar pesisir pulau tersebut sangat indah dan menarik sehingga para nelayan
tradisional dilarang untuk melaut disekitar tanjung tersebut dengan alasan terdapat ikan
dan biota yang langka didunia[3].
Keadaan demikian  menimbulkan ketidak seimbangankarena terdapat dominasi
yang kuat dari pihak pemerintah. Pada hal secara konstitusional, komunitas masyarakat
hukum adat diakui eksistensinya termasuk wilayah petuanan (ulayat) baik di laut maupun
di darat.  Hal ini  mengandung makna bahwa pemerintah dalam berbagai kebijakan
pembangunan terutama dalam bidang hukum, harus tetap konsisten dan memperhatikan
eksistensi dan hak-hak dari masyarakat hukum adat  sebagai suatu komunitas yang sudah
ada sebelum negara terbentuk.
Pengabaian terhadap hak-hak dan eksistensi masyarakat hukum adat akan
menimbulkan ketidakseimbangan, sehingga dapat mengakibatkan berbagai gejolak dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, maka tujuan penulisan adalah untuk
mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam
pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut.
 

3
B.  Pembahasan

1. Perkembangan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat


Pendekatan ilmu antropologi menjelaskan bahwa pada tingkat pertama
perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, manusia mula-mula hidup mirip
sekawanan hewan berkelompok, dimana pria dan wanita hidup bebas tanpa ikatan. Lama
kelamaan manusia memiliki kesadaran dalam membentuk sebuah keluarga[4]. Dimana,
dengan menikah sepasang suami istri membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut
rumah tangga, yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum menikah[5]. Ciri
atau karakteristik kelompok ini adalah adanya hubungan kekerabatan yang tercipta
karena didasarkan pada kesamaan keturunan.
Dimana, pengelompokan ini berasal dari keluarga atau klan yang anggotanya
merasa berasal dari keturunan nenek moyang yang sama, mempunyai otonomi yang luas,
dan aturan perilakunya didasarkan pada tradisi yang sudah berlangsung lama dari
kesadaran pada keputusan baik yang diambil oleh banyak orang atau sedikit orang[6].
Perkembangan selanjutnya dari kelompok kekerabatan adalah saling berinteraksi
dengan kelompok kekerabatan lainnya yang sama-sama mendiami satu wilayah tertentu,
sehingga melahirkan kelompok yang disebut dengan kesatuan hidup setempat atau
komunitas. Koentjaraningrat[7] menjelaskan bahwa, berbeda dengan kelompok
kekerabatan, maka kesatuan sosial ini tidaklah semata-mata memiliki ikatan berdasarkan
hubungan kekerabatan semata, tetapi lebih didasarkan pada ikatan karena menempati
suatu wilayah tertentu atau khusus. Hal ini membuat ciri dari suatu komunitas adalah
adanya wilayah dan cinta pada wilayahnya. Bentuk dari komunitas ada yang besar 
seperti kota, negara bagian dan negara. Sedangkan bentuk komunitas kecil seperti RT,
dusun, atau Masyarakat Hukum Adat.
Menurut Abu daud Busroh[8], hal ini terkait dengan proses terjadinya negara
secara primer (Primaire Staats Wording), yaitu teori yang membahas tentang terjadinya
negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya.Menurut teori
ini, perkembangan negara secara primer melalui empat fase, yaitu:
1)      Phase Genootshap (Genossenschaft)

4
Pada phase ini merupakan pengelompokan dari orang-orang yang
menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama, yang didasarkan pada
persamaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan maupun tujuan yang
sama, dan kepemimpinan disini dipilih secara Primus Inter Pares atau yang
terkemuka diantara yang sama. Disini, yang memegang peranan penting adalah
Unsur Bangsa
2)      Phase Reich (Rijk)
Pada pase ini, telah timbulnya kesadaran dari kelompok-kelompok orang-orang
yang menggabungkan diri tersebut akan hak miliki atas tanah, sehingga
memunculkan tuan yang berkuasa atas tanah dan orang-orang yang menyewa
tanah. Hal ini memunculkan sistem Feodalisme. Pada pase ini yang penting
adalah unsur wilayah.
3)      Phase Staat
Pada pase ini, telah muncul kesadaran terhadap suatu kehidupan bernegara.
Dimana, mereka telah sadar bahwa mereka berada didalam suatu kelompok. Hal
ini membuat bibit dari terbentuknya suatu negara yaitu; Bangsa, Wilayah dan
Pemerintahan sudah terpenuhi pada pase ini.
 
Menurut Aristoteles Negara terjadi karena penggabungan keluarga-keluarga
menjadi suatu kelompok yang lebih besar, kelompok itu bergabung lagi hingga menjadi
Masyarakat Hukum Adat. Kemudian Masyarakat Hukum Adat ini bergabung lagi,
demikian seterusnya hingga timbul Negara, yang sifatnya masih merupakan suatu kota
atau polis. Masyarakat Hukum Adat yang sesuai dengan kodratnya adalah Masyarakat
Hukum Adat yang bersifat genealogis, yaitu Masyarakat Hukum Adat yang berdasarkan
keturunan[9].

Dengan demikian, maka Masyarakat Hukum Adat secara evolusi berkembang dari
individu-individu yang membentuk keluarga, kemudian dari keluarga inilah saling
berinteraksi membentuk kumpulan-kumpulan keluarga yang bukan saja memiliki latar
belakang kesamaan asal-usul atau nenek moyang, akan tetapi mereka juga terikat dengan

5
kesamaan wilayah atau teritorial yang mereka tempati secara bersama. Kesatuan
masyarakat inilah yang membentuk Masyarakat Hukum Adat, dan sekaligus merupakan
bibit atau cikal bakal bagi terbentuknya suatu negara. Kesatuan masyarakat ini kemudian
lebih dikenal dengan nama persekutuan masyarakat hukum atau kesatuan masyarakat
hukum adat.

Menurut Ter Haar[10] masyarakat hukum adalah; kelompok-kelompok


masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan
sendiri baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Selain itu, menurut Tolib
Setiady[11] untuk dikatakan sebagai masyarakat hukum harus memiliki wilayah tertentu
selain memiliki pimpinan dan kekayaan tertentu. Jadi persekutuan hukum atau
masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) adalah sekelompok orang-orang yang terikat
sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang teratur, yang bersifat abadi dan memiliki
pimpinan serta kekayaan sendiri baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami
atau hidup di atas wilayah tertentu.
Sementara itu, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) masyarakat
hukum adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun
temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideology,
ekonomi politik, budaya dan social yang khas[12]. Dengan demikian, masyarakat hukum
adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai waga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan[13].
Mengenai masyarakat hukum adat, Dewi Wulansari[14] menyatakan
bahwa secara teoritis pembentukannya disebabkan karena factor adanya ikatan yang
mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Factor-faktor ikatan
yang membentuk masyarakat hukum adat adalah;
1)      Factor genealogis (keturunan)
2)      Factor territorial (wilayah)
Berdasarkan kedua factor tersebut, maka terbentuklah masyarakat hukum adat
berdasarkan[15]:

6
1)      Persekutuan hukum genealogis, yaitu persekutuan masyarakat hukum yang memiliki
dasar pengikat anggota kelompok adalah berupa persamaan dalam keturunan. Hal ini
berarti bahwa angota-anggota kelompok itu terikat karena merasa berasal adari nenek
moyang yang sama. Persekutuan hukum ini terbagi juga dalam:
a)      Masyarakat patrilinial, dimana, susunan masyarakatnya ditarik  menurut
garis keturunan dari bapak (laki-laki)
b)      Masyarakat matrilineal, dimana, susunan masyarakatnya ditarik menurut
garis keturunan ibu (perempuan)
c)      Masyarakat bilateral atau parental, pada masyarakat ini, susunan
masyarakatnya ditarik berdasarkan garis keturunan kedua orang tuanya, yaitu
bapak dan ibu (laki-laki dan perempuan). Jadi hubungan ekerabatannya
sejajar. Dimana, masing-masing anggota keluarga masuk kedalam klen bapak
atau ibu.
2)      Persekutuan hukum teritorial, persekutuan ini merupakan persekutuan masyarakat
hukum yang anggotanya memiliki keterikatan berdasarkan pada kesamaan tempat
tinggal[16]. Sementra itu, Hilman Hadikusuma[17]menjelaskan lebih lanjut bahwa
persekutuan hukum territorial merupakan masyarakat yang teratur dan tetap, yang
anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan
kehidupan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai
tempat pemujaan roh-roh. Hal ini menunjukan bahwa ikatan territorial tidak hanya
mengandung pengertian wilayah kediaman secara duniawi saja, tetapi juga kediaman
secara rohani.
Menurut van Dijk[18] sebagaimana yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma
bahwa, persekutuan hukum terotorial dapat dibedakan dalam tiga macam;
a)      Persekutuan Masyarakat Hukum Adat (dorps gemeenschap). Termasuk
persekutuan Masyarakat Hukum Adat adalah seperti Masyarakat Hukum Adat
orang jawa yang merupakan suatu tempat kediaman bersama didalam
daerahnya sendiri termasuk bebrapa pengukuhan yang terletak disekitarnya
yang tunduk pada perangkat Masyarakat Hukum Adat yang berkediaman di

7
pusat Masyarakat Hukum Adat. Sementara itu, Tolib
Setiady[19] berpandangan bahwa persekutuan Masyarakat Hukum Adat
terjadi apabila segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman yang
juga apabila di dalamnya terdiri dari tempat kediaman kecil yang meliputi
perkampungan (dukuh-dukuh) dan dimana pimpinan atau pejabat
pemerintahan Masyarakat Hukum Adat berkediaman di pusat Masyarakat
Hukum Adat.
b)      Persekutuan daerah, termasuk kesatuan masyarakat nagari di
minangkabau, marga di sumatera selatan dan lampung, negorij di minahasa
dan Maluku. Yaitu merupakan suatu daerah kediaman bersama dan menguasai
tanah hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung
dengan satu pusat pemerintahan adat bersama
c)      Perikatan Masyarakat Hukum Adat, apabila diantara beberapa Masyarakat
Hukum Adat atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing
berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan
bersama, misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan adat bersama,
pertahanan bersama, kehidupan ekonomi, pertanian atau pemasaran bersama.
3)      Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang merupakan gabungan dua persekutuan
hukum diatas. Menurut Tolib Setiady, hal ini menunjukan bahwa factor genealogis dan
teritorial merupakan factor yang penting. Untuk menjadi anggota persekutuan harus
memenuhi dua syarat sekaligus yaitu; masuk dalam satu kesatuan genelogis dan harus
berdiam di dalam daerah persekutuan yang bersangkutan[20]. Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Hilman Hadikusuma[21] yang menyatakan bahwa Persekutuan hukum
genealogis-teritorial merupakan kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur, dimana para
anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi
juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan. 
 
Dengan demikian, secara historical dan berdasarkan pengakuan de fakto bahwa hak
masyarakat adat dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam termasuk di

8
wilayah pesisir dan laut, secara otomatis telah melekat sejak kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut terbentu, dan telah dilegitimasi atau diakui secara de jure dalam Pasal 18
UUD NRI Tahun 1945.
 

2.  Prinsip PengakuanTerhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat


Pengakuan[22] secara terminologi berarti proses, cara, perbuatan mengakui,
sedangkan kata mengakui[23] berarti menyatakan berhak. Menurut Abu daud
Busroh[24], Pengakuan (Erkenning/Recognisi) ada (dua) macam, yaitu:
1)        Pengakuan de facto (sementara), yaitu pengakuan yang sifatnya sementara
terhadap munculnya atau terbentuknya suatu Negara baru karena kenyataannya
Negara baru tersebut secara kenyataan ada tetapi apakah prosedurnya melalui
hukum masih diperdebatkan sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Menurut Moh
Kusnardi dan Bintan Saragih sebagaimana dikutip oleh Husein Alting[25] bahwa
pengakuan de factobersifat sementara yang ditujukan kepada kenyataan-kenyataan
mengenai kedudukan pemerintahan Negara baru tersebut, apakah ia didukung oleh
rakyatnya dan apakah pemerintahannya efektif yang menyebabakan kedudukannya
stabil. Jika kemudian dapat dipertahankan keadaan tersebut dan terus bertambah
maju, maka pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya menjadi
pengakuan de jure.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara de facto keberadaan kesatuan masyarakat
hukum adat atau desa diakui keberadaannya karena di dasarkan pada kenyataan
bahwa sistem adatnya masih tetap ada, dipelihara dan didukung oleh rakyatnya,
sehingga masih tetap di berlaku di dalam kehidupan kesatuan masyarakat adat atau
desa.
2)        Pengakuan de jure (Pengakuan Yuridis), yaitu pengakuan yang seluas-luasnya
dan bersifat tetap terhadap munculnya atau timbulnya atau terbentuknya suatu
Negara, dikarenakan terbentuknya Negara baru adalah berdasarkan hukum.
Sementara itu, menurut Husein Alting[26] bahwa pengakuan de Jure adalah
pengakuan suatu Negara terhadap Negara lain yang diikuti dengan tindakan-

9
tindakan hukum tertentu, misalnya pembukaan hubungan diplomatik dan
kemampuan untuk melakukan perjanjian dengan Negara lain.
Berdasarkan konsep tersebut maka pegakuan secara de Jure (yuridis) terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat terjadi apabila keberadaan kesatuan masyarakat
hukum adat masih tetap dipertahankan nilai-nilai adatnya dan tetap dijaga dan
dipelahara oleh masyarakat pendukungnya, sehingga Negara mengakuinya dan
mengaturnya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
diatur dan dijamin dalam hukum positif.
 
Berdasarkan teori tersebut, jika dikaitkan dengan konteks pengakuan terhadap
keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, maka dapat diketahui bahwa
Pengakuan desa secara de facto merujuk pada adanya pengakuan terhadap kenyataan
sejarah sampai sekarang mengenai keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat di
NKRI yang masih tetap ada. Sedangkan pengakuan secara de jure merujuk pada
pengakuan hukum terhadap keberadaan desa di NKRI.
Pengakuan secara de facto dapat dilihat dari adanya pengakuan terhadap
keberagaman kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dalam konteks
desa. Masyarakat Indonesia berdomisili pada ribuan pulau besar dan kecil di wilayah
Republik Indonesia berdasarkan hukum adatnya masing-masing. Oleh karena keragaman
adat dan budayanya itu tidaklah mengherankan kalau pada masa hidupnya Van
Vollenhoven membagi lingkungan masyarakat hukum adat menjadi sekurang-kurangnya
19 (sembilan belas) daerah lingkungan hukum adat (Adatrechtskringen), pembagian itu
meliputi 5 (lima) pulau besar di Indonesia dan pulau-pulau kecil lainnya, dengan
pembagiannya adalah sebagai berikut[27]  :
1.           Aceh
2.           Tanah Gayo-Alas dan Batak serta Nias
3.           Minangkabau beserta Mentawai
4.           Sumatra Selatan
5.           Melayu (Sumatra Timur, Jambi dan Riau)

10
6.           Bangka dan Belitung
7.           Kalimantan
8.           Minahasa- menado
9.           Gorontalo
10.       Toraja
11.       Sulawesi Selatan
12.       Kepulauan Ternate
13.       Maluku, Ambon
14.       Irian
15.       Kepulauan Timor
16.       Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Besar)
17.       Jawa Tengah dan Jawa Timur (beserta Madura)
18.       Daerah – Daerah Swapraja (Surakarta dan Jogjakarta)
19.       JawaBarat. 
 
Sementara itu, pengakuan secara de jure dapat dilihat dalam berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberadaan
kesatuan masyarakat hukum adat dalam konteks desa, diantaranya adalah dalam Pasal
18 UUD Tahun 1945 yang berbunyi,
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang
dan mengingati dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
dan ha-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
 
Ketentuan pasal 18 UUD Tahun 1945 kemudian diperjelas dengan penjelasan
pasal 18 UUD Tahun 1945 angka II yang menyatakan bahwa :
Dalam terorir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestrurunde landscappen dan
Volkgemeencshappen seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susun asli, dan oleh

11
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut.
 
Perkembangan selanjutnya, dengan diamandemennya Pasal 18 UUD Tahun 1945
menjadi Pasal 18, 18 A dan 18 B. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang
menyatakan bahwa :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.

3. Mewujdukan Keseimbangan Dalam pengelolaan Sumber daya Alam di


Wilayah Pesisir dan Laut
Menurut Hazairin[28], masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan
masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri
yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya, bentuk hukum
kekeluargaannya (patrilinear, matriliniear, atau bilateral) mempengaruhi sistem
pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar,
pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya memiliki hak dan kewajiban
yang sama, dengan kehidupan komunal yang memiliki karakter kebersamaan yang
melahirkan nilai-nilai gotong royong dan tolong-menolong diantara para anggotanya.
Berdasarkan hal tersebut, maka adagium yang menyatakan di mana ada
masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ubi ius) menjadi nyata, mengingat dalam

12
masyarakat apapun pasti akan melahirkan aturan yang akan mengatur kehidupan
masyarakat.
Soepomo sebagaimana yang diuraikan lebih lanjut oleh M.S.Kaban dalam
mendiskripsikan tentang masyarakat hukum adat/persekutuan hukum adat menyatakan
bahwa persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi (a) yang
berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogis);  (b) yang mendasarkan lingkungan
daerah (territorial) dan (c) susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut
(genealogis dan teritorial).[29]
Pengaturan sosial pada kesatuan masyarakat hukum adat bersumber pada tradisi
yang didasarkan pada pengalaman turun-temurun yang telah memberikan jaminan
terhadap berlangsungnya tatanan sosial yang harmonis bagi masyarakat
bersangkutan[30].
Menurut Bagir Manan, latar belakang budaya, sosial, agama maupun politik
menyebabkan di Indonesia serentak berlaku berbagai sistem hukum, diantaranya sistem
hukum adat, islam, dan kontinental.[31] Dengan demikian, pengaturan Pasal 18B ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 memberikan pengakuan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat
hukum adat dengan hak-hak yang dimilikinya sehingga dapat diartikan bahwa Negara
juga mengakui adanya keragaman sistem hukum di dalam Negara, dan menjamin
berlakunya berbagai sistem hukum yang ada tersebut, diantaranya adalah sistem hukum
adat.
Akan tetapi, kadar pengakuan Negara terhadap kesatuan masyarakat sedikit lemah
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam khususnya yang dikuasai oleh kesatuan
masyarakat hukum adat, karena Negara terkesan lebih mengutamakan prinsip pengakuan
Negara berdasarkan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Dimana, Negara dalam mengejar pertumbuhan ekonomi akan mengabaikan
berbagai aspek yang dapat berpotensi menghambat terwujudnya tujuan pembangunan
ekonomi tersebut seperti aspek social budaya, partisipasi masyarakat dan HAM. Hal
tersebut dapat diketahui dengan terjadinya kerusakan hutan tanpa terkontrol menunjukan
bahwa pembangunan telah menempatkan Negara sebagai penguasa tunggal sumber daya

13
hutan karena adanya otoritas dan legitimasi yang absolut pada Negara dalam penguasaan
dan pengelolaan sumber daya alam yang hanya bertujuan untuk kepentingan peningkatan
pendapatan Negara[32]. Kondisi inilah yang sering menjadi sumber konflik diantara
Negara dengan kesatuan masyarakat hukum adat dalam penguasaan sumber daya alam
yang berada dalam wilayah kesatuan masyarakat hukum adat.
Terkait dengan hal tersebut maka menurut  W. G. Vegting sebagaimana dikutip
oleh Ronald Titahelu bahwa Negara bukanlah pemilik tanah atau hubungan antara tanah
dengan Negara bukan didasarkan atas hubungan milik[33]. 
Dalam pandangan lain yang dikutip oleh Ronald Titahelu dari pendapat Karl
Marx dan Friederich Engels yang bertitik tolak dari teori ekonomi khususnya nilai buruh
bahwa Negara sebagai bangunan ideal dari penerapan sistem ekonomi riil merupakan
pengemban cita-cita masyarakat yaitu masyarakat yang tidak terdapat pertentangan kelas.
Cara yang dilakukan adalah tidak dikenal adanya pemilikan pribadi selain pemilikan
masyarakat komunis. Dalam hal ini tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai
dan dimiliki oleh masyarakat dalam bentuk Negara[34].
Dalam konteks tersebut maka terdapat pertentangan pemikiran mengenai hak
menguasai Negara dalam penguasaan atas tanah. Dimana, pada satu sisi Negara tidak
memiliki hak dan disisi lain Negara diberikan hak. Dalam kehidupan berbenegara,
kondisi ini menimbulkan pertentangan diantara hukum adat yang merupakan dasar bagi
kesatuan masyarakat hukum adat untuk menguasai sumber daya alam dengan hukum
Negara yang merupakan dasar Negara dalam menguasai sumber daya alam.
Dalam konteks Indonesia yang merupakan Negara yang sangat majemuk, maka
cita NKRI adalah membentuk suatu bangunan negara yang melindungi seluruh tumpah
darah indonesia. Dengan adanya bangunan negara kesatuan maka akan mendekatkan
pada nilai kebersamaan untuk mencapai tujuan nasional dengan tetap memperhatikan
perbedaan yang ada. Kebersamaan bukan berarti keseragaman, tetapi diupayakan untuk
dapat melindungi berbagai bentuk keragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan[35].
Kenyataan tersebut membuat bangsa Indonesiamerupakan suatu komunitas
yang siifatnya pluralisme. Pluralisme memberikan ruang bagi komunitas antar budaya

14
untuk tetap hidup berdampingan tanpa kehilangan identitasnya, sebab kehidupan harus
saling menghargai dalam pandangan budaya masing-masing dalam persatuan  dan
kebersamaan yang dibentuk dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan demikian, adanya
ruang bagi hukum lokal (adat) untuk dapat dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya
menunjukan adanya pengakuan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut. 
Menurut Eka Dharmaputra bahwa persoalan yang dihadapi dalam suatu kelompok
yang pluralism adalah persoalan identitas dan modernitas. Hal tersebut terkait dengan
bagaimana mempertahankan identitas tanpa menghambat kemajuan, dan bagaimana
mencapai kemajuan tanpa mengorbankan identitas[36].
Pandangan tersebut menunjukan bahwa usaha untuk mempertahankan hak-hak
masyarakat hukum adat dapat dilakukan tanpa harus menghambat pelaksanaan
pembangunan, dan sebaliknya pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan tanpa harus
mengabaikan hak-hak masyarakat.
Bernard Tanya menguraikan bahwa benturan antara budaya (hukum adat) dengan
hukum yang modern (hukum Negara) memberikan beban bagi masyarakat yang masih
memelihara dan hidup dengan adat istiadatnya, karena hanya untuk menyenangkan
Negara maka hukum Negara akan dicoba untuk ditaati, sedangkan hukum adat terpaksa
harus dikesampingkan untuk sementara[37]. 
Sementara itu, menurut Eka Dharmaputra bahwa dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat dalam suatu masyarakat yang pluralis, pemegang kekuasaan cendrung
menghadapi persoalan yang terkait dengan membatasi kebebasan berbagai kelompok
masyarakatnya, demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut terkait
dengan pengorbanan masyarakat untuk dibatasi kebebasannya, yang secara positif
dimaknai bahwa pengorbanan untuk membatasi kebebasan tidak hanya dianggap perlu
tetapi juga benar dan baik[38].
Adanya pengorbanan masyarakat untuk membatasi kebebasannya, baik secara
pribadi maupun berbagai kelompok yang berbeda untuk kepentingan masyarakat secara
keseluruhan menunjukan bahwa telah terjadi kesepakatan di dalam masyarakat

15
menunjukan bahwa terciptanya integrasi dalam suatu masyarakat tertentu. Kesepakatan
tersebut pada dasarnya adalah sebuah aturan hidup bersama yang diakui keberlakuannya
di dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu satu sarana untuk
terciptanya suatu integrasi dalam masyarakat.
Hal tersebut menunjukan bahwa kehidupan bersama dapat diwujudkan apabila
anggota-anggota masyarakat bersedia mematuhi dan mengikuti berbagai aturan yang
telah disepakati bersama atau pola tingkah laku yang normatif. Akan tetapi, hal tersebut
tidak hanya sebatas aturan semata, tetapi persoalan baik dan benar, yaitu bukan sekedar
aturan yang sifat normatif tetapi persoalan nilai atau semacam pandangan hidup bersama
yang dianggap baik dan benar, dan tidak hanya sifatnya mengatur dan membatasi[39].
Dengan demikian, menurut Theodore  Steeman yang dikutip oleh Eka
Dharmaputera[40] bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan integrasi norma, tetapi
juga integrasi nilai, yaitu kosepsi tentang pemahaman mengenai hidup, bagaimana hidup
harus dijalani serta komitmen dasar yang menjadi penuntun dalam kehidupan bersama.
Kenyataan yang terjadi terkait dengan interaksi di antara hukum negara dengan
hukum adat  memiliki kecendrungan untuk melahirkan konflik mengingat kedua sistem
hukum tersebut memiliki sifat dan karakter yang berbeda. Menurut Dean Pruit dan
Jeffrey Rubin[41], konflik bukan hanya terkait dengan suatu perkelahian, peperangan,
perjuangan atau berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Akan tetapi, konflik juga
meliputi ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide atau
lain-lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka adanya interaksi antara hukum negara yang sarat
dengan bentuk-bentuk formal, prosedur-prosedur  dan birokrasi penyelenggaraan
publik[42] serta merupakan cerminan kehendak penguasa dalam mengatur
masyarakatnya[43], dengan hukum adat yang bersumber dari tradisi yang didasarkan
pada pengalaman turun temurun[44], tidak dapat dilakukan dalam tataran norma
melainkan pada tataran nilai.

16
Dalam konteks ini maka menurut penulis, nilai yang harus dikedepankan untuk
mencari solusi atas konflik masyarakat hukum adat dengan negara dalam pengelolaan
sumber daya alam adalah nilai keadilan.
Menurut John Rawls tentang keadilan dikonsepkan sebagai kejujuran (justice as
fairness). Menurutnya, keadilan adalah kebijakan yang pertama dari lembaga-lembaga
social sebagai kebenaran dari sistem-sistem pemikiran. Karena itu, suatu teori yang
elegan, harus ditolak atau direvisi jika teori tersebut tidak benar (untrue). Demikian juga
dengan aturan-aturan hukum dan lembaga-lembaga harus dibaharui dan dihapus, jika
aturan dan lembaga tersebut tidak adil (unjust).
Konsep tersebut memuat prinsip-prinsip dalam sebuah keadilan yaitu (i) prinsip
kebebasan yang sama(equal liberty), yakni setiap orang memiliki hak atas kebebasan
individual yang sama dengan hak orang lainnya; (ii) prinsip kesempatan yang sama, yaitu
bahwa ketidakadilan ekonomi dalam masyarakat harus diatur untuk melindungi pihak
yang tidak beruntung, dengan jalan memberikan kesempatan yang sama bagi semua
orang dengan persyaratan yang adil.
Dengan demikian, pemerintah tidak dapat menjadikan Negara, kebijakan Negara
beserta paham kedaulatan yang melekat pada Negara sebagai alasan pembenar untuk
menekan masyarakat.
Nilai keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat adalah dengan memperhatikan hak masyarakat hukum adat.
Terkait dengan hal tersebut, maka esensi sebuah negara atau pemerintah bukan
sekedar meminta persetujuan atau kesepakatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan
akses yang luas kepada masyarakat termasuk kesatuan masyarakat hukum adat untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, sehingga masyarakat tidak
termarjinalisasi (terpinggirkan). Akan tetapi, masyarakat hukum adat sebagai bagian dari
Negara pada umumnya, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam proses
pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat harus direspons secara positif oleh
pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan keputusan-keputusan politik maupun
hukum. Masyarakat hukum adat jangan dibangun berdasarkan kemauan pemerintah

17
semata-mata, tetapi harus diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai potensi yang
dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan pembangunan
harus integrated (terpadu) dengan tetap berbasis pada masyarakat hukum adat yang
mempunyai hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut diakui
eksistensinya[45].
Menurut R.Z. Titahelu[46]bahwa masyarakat hukum adat merupakan masyarakat
yang memiliki lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan budaya serta politik secara turun
temurun serta memiliki hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah atau norma-norma
yang terkait pada nilai dan pandangan hidup mereka, dan semua itu tampak secara khusus
bila dibandingkan dengan masyarakat lain di dalam Negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, nilai-nilai adat yang masih dipelihara oleh kesatuan masyarakat
adat diharapkan dapat menjadi salah satu modal dasar yang dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah dalam menunjang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, sekaligus
sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam mendukung jalannya pemerintahan dan
pembangunan. Dengan demikian pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan nilai-nilai
adat yang masih dijaga dan dipegang oleh masyarakat adat sebagai instrumen untuk turut
melibatkan peran serta masyarakat dalam proses jalannya pemerintahan dan
pembangunan di daerah, termasuk dalam pengelolaan sumber adaya alam yang dikuasai
oleh kesatuan masyarakat hukum adat.
Hal ini merujuk pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan Sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang
kehidupan, baik materil maupun spirituil. Seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang
yang menjadi Rakyat Indonesia, baik yang berdiam diwilayah kekuasaan Republik
Indonesia maupun warga negara Indonesia yang berada diluar negeri. Jadi, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat
perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Sesuai dengan UUD 1945 makna keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan
makmur.

18
Dimana, untuk mewujudkan keadilan social dalam pengelolaan sumber daya alam
yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat adalah dengan melibatkan masyarakat hukum
adat dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Adanya pemberian kesempatan
kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
memberikan peluang terciptanya pembangunan di daerah yang bersumber dari aspirasi
masyarakat. Selain keikutseraan masyarakat sangat menentukan terwujudnya pelaksanaan
pembangunan di daerah, namun harus disertai dengan tidak mengabaikan nilai-nilai adat
yang dimiliki oleh suatu daerah sebagai kekhasan dari daerah tersebut.
Dalam perspektif tersebut hukum yang baik menawarkan sesuatu yang lebih dari
sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil. Hukum
semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan masyarakat dan punya komitmen
bagi tercapainya keadilan substansif[47]. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hukum
yang mengenali keinginan masyarakat merupakan sifat dari hukum yang responsif.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial
yang dialami dan ditemukan di dalam masyarakat[48]. Berdasarkan hal tersebut, maka
integrasi nilai-nilai yang hidup dan masih dipertahankan di dalam kesatuan masyarakat
hukum adat kedalam hukum Negara diperlukan untuk menyesuaikan nilai-nilai adat
istiadat dengan otonomi daerah berdasarkan hukum Negara.
 
C.      Penutup
Sejak terbentuknya, kesatuan masyarakat hukum adat telah dilengkapi dengan
berbagai hak yang dimilikinya diantaranya hak dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
laut. Untuk itu, Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam yang berada dalam
wilayah kesatuan masyarakat hukum adat tidak boleh hanya bertumpu pada prinsip
pembangunan ekonomi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat hykum adat.
Untuk itu pemerintah harus dapat mengedepankan prinsip keadilan dengan
melaksanakan pembangunan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat. Keadilan
sebagaimana yang dimaksudkan oleh John Rawls yaitu keadilan yang berlandaskan
kejujuran, yaitu jujur mengakui hak masyarakat adat sehingga dalam implementasinya

19
turut melibatkan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, baik
dalam bentuk perencanaan sampai dengan pemanfaatan nilai ekonomis dari sumber daya
alam di pesisir dan laut. Agar, upaya untuk mewujudkan nilai keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.
 

Daftar Pustaka

Abu Daud Busroh, 2009, Ilmu Negara, cet-kesembilan, Bumi Aksara, Jakarta

20
 
Bernard L Tanya, 2006, Hukum Dalam Ruang Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta
 
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia,  Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung
 
B. D. Manery dkk., 1997, Pengaruh Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam terhadap Kehidupan Masyarakat Adat di Provinsi Maluku, Hasil
Penelitian kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Pattimura dengan
Yayasan Sejati Jakarta
 
Dean Pruit dan Jeffrey Rubin, Social Conflict, diterjemahkan oleh Helly P Soetjipto dan
Sri Mulyani Soetjipto, 2011, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
 
Dewi Wulansari, 2010, Hukum Adat Indonesia-Sebuah Pengantar, PT Refika Aditama,
Bandung
 
Eka Dahrmaputera, 1997,  Pancasila-identitas dan Modernitas, BPK Gunung Mulia,
Jakarta
 
E.K.M. Masinambow, 2003, Hukum dan Kemajemukan Budaya Dalam Hukum dan
Kemajemukan Budaya  (Sumbangan Karangan Untuk Menyambut HUT ke-70
Prof. Dr. T.O. Ihromi), Yayasan Obor Indonesia
 
Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat, Setara Press, Malang  
 
Hari Sabarno, 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar
Grafika, Jakarta
 

21
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, cet-kedua, Mandar
Maju, Bandung
 
Husein Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan Dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang),
LaksBang PressIndo, Yogyakarta 
 
Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Antropologi II (Pokok-pokok Etnografi), PT Rineka
Cipta, Jakarta
 
Liria Tjahja, 2003, Pluralisme Hukum Dan Masalah Perkawinan Campuran Dalam
Hukum dan Kemajemukan Budaya  (Sumbangan Karangan Untuk Menyambut
HUT ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta  
 
M.S. Kaban, 2005, Pengakuan Keberadaan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat
Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia, Makalah,  dalam Masyarakat
Hukum Adat (Inventarisasi dan Perlindungan Hak), Komnas HAM, MK RI,
Depdalgri, Jakarta  
 
M.J. Saptenno, 2003, Kajian Yuridis tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut,
Makalah, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon
 
M.J. Saptenno, 2006, Pengembangan dan Pelestarian Nilai-nilai Sosial Budaya (Adat)
yang Mentradisi Sebagai Perekat Bangsa, Seminar Adat Aru, Pemda Kabupaten
Kepulaun Aru, 20-26 November 2006, Dobo
 
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward responsive
Law,  diterjemahkan oleh Raisul Musttaqien, 2011, Hukum Responsif, Nusa Media,
Bandung  

22
 
R. Z. Titahelu, 1996, Hak Masyarakat Adat Dalam Hukum di Indonesia, Makalah Dalam
Semiloka ; Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Indonesia, JK-LPK, 8-11
Mei 1996, Wisma Gonsalo Veloso, Ambon
 
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif,  Penerbit Buku Kompas, Jakarta
 
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
 
Thomas H Greene dkk, 2009, Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Press, Jakarta
 
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfa
Beta, Bandung
 
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta
 
Harian Lokal Ambon Ekspres : 22 Juni 2008
 
http://kamusbahasaindonesia.org/pengakuan
 
http://kamusbahasaindonesia.org/mengakui

23

Anda mungkin juga menyukai