Anda di halaman 1dari 6

Hukum Adat Tanah Bali

Oleh: Tiara Nanila Putri

(2101110040)

Abstrak

Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi Prajuru Desa Adat di
Bali terhadap konsepsi dan asas-asas penguasaan dan pemilikan Tanah (Hak) Ulayat
yang dikenal dengan Tanah Adat yang tunduk pada hukum adat setelah terbitnya UU
No.5 Tahun 1960, yaitu relevan dengan wacana “penguatan Desa Adat”. Masalah
utamanya adalah menemukenali implikasi pendaftaran hak atas tanah adat yang
diorientasikan untuk memperoleh sertipikat hak milik dalam menjamin kepastian hukum.
Metode yang digunakan berupa penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang-undangan,
analitik, kasus, dan hukum adat. Data primer dikumpulkan melalui observasi, dan data
sekunder berupa bahan hukum dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan
pencatatan, selanjutnya dianalisis dengan teknik interpretasi dan kualitatif. Tanah (hak)
ulayat merupakan salah satu asset Desa Adat yang dapat dimanfaatkan dan digunakan
untuk mencapai kesejahteraan bagi warganya dengan melakukan inovasi dalam tata
kelola dan terintegrasi dalam perspektif ekowisata sebagai salah model penguatan
Desa Adat. Model pendaftaran hak atas tanah adat cukup dilakukan dalam peta dasar
pendaftaran tanah. Karena pendaftaran hak melalui penyertipikatan dapat melemahkan
posisi tawar Desa Adat terhadap penguasaan hak atas tanah ulayat dan cendrung
menjadi ketepatan pilihan dalam pendaftarannya.

Pendahuluan Tentu dengan berbagai macam


keanekaragaman suku dan budaya,
Sebagai negara kepulauan,
Indonesia sangat rentan terhadap
Indonesia memiliki keanekaragaman
konflik yang terjadi akibat benturan
suku dan budaya. Dengan
kebudayaan serta suku yang memiliki
keanekaragaman tersebut terbentuklah
sifat ekslusifitasnya masing- masing.
negara yang bersifat multikultural
Namun, dewasa ini konflik yang terjadi
dengan kesatuan sistem masyarakat
bukan hanya melibatkan antara
adat yang beragam antara satu
masyarakat adat dengan sesamanya
kepulauan dengan kepulauan lainnya.
melainkan terhadap konflik dengan sebagiannya seperti dalam Pasal 1
negara yang menaunginya. angka 6, Pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat
(1), pasal 5 ayat (2), serta frasa “dan
Indonesia sebagai negara
ayat” pada Pasal 5 ayat (3) dikabulkan
hukum mengakui kesatuan sistem
oleh MK.
masyarakat hukum adat melalui UUD
NRI 1945 Pasal 18B ayat (2) bahwa intinya dalam putusan tersebut
“Negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat diakui sebagai
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum subyek hukum mandiri yang termasuk
adat beserta hak-hak tradisionalnya didalamnya penguasaan atas Tanah
sepanjang masih hidup dan sesuai Ulayat. Hal tersebut menunjukkan
dengan perkembangan masyarakat dan bahwa MK turut melegitimasi
prinsip Negara Kesatuan Republik kepentingan serta keberadaan
Indonesia, yang diatur dalam undang- masyarakat adat melalui putusannya
undang”. Konsekuensi yuridis terhadap tersebut. Namun. pada kenyataannya
pengakuan kesatuan masyarakat adat masih banyak konflik yang terjadi antara
maka negara harus memberikan negara dengan masyarakat adat.
perlindungan secara penuh terhadap Menurut data dari Aliansi Masyarakat
terselenggaranya sistem kesatuan Adat Nusantara (AMAN) ada sekitar 118
masyarakat adat dalam wilayah adatnya komunitas adat yang berkonflik dengan
masing-masing. Dalam putusan MK pemerintah (Purwantari,
Nomor 35/PUU-X/2012, mengenai uji http://brwa.or.id, akses pada 7 Mei
materiil berkaitan dengan tanah adat 2020). Faktor pembangunan ekonomi
yang diuji oleh Aliansi Masyarakat Adat dan perebutan kuasa atas hak
Nusantara (AMAN) bersama dengan pengelolaan sumber daya menjadi hal
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat penting dalam latar belakang terjadinya
Kenegerian Kuntu dan Kasepuhan konflik antara negara dan masyarakat
Cisitu mengajukan pengujian terhadap adat.
beberapa pasal dalam UU Kehutanan
Meningkatnya nilai ekonomi
yang dianggap merugikan masyarakat
tanah secara signifikan terjadi di daerah
adat dan hasilnya MK mengabulkan
perkotaan, seperti Kota Denpasar yakni
permohonan pemohon untuk
yang disebabkan adanya peningkatan Bali sampai saat ini masih sarat
jumlah penduduk yang berdampak pada dengan konflik terhadap klaim pemilikan
meningkatkan kebutuhan akan tanah hak atas tanah. Meningkatnya konflik
terutama untuk perumahan, area untuk oleh sosiolog Paulus Wirutomo
melakukan tempat berbagai usaha dinyatakan karena pengaruh struktur,
bisnis dari yang berskala kecil sampai kultur, dan proses[6]. Struktur berkaitan
yang berskala besar. Dalam kondisi ini, dengan kebijakan yang diputuskan
awalnya banyak kalangan masyarakat pemerintah, atau kebijakan dari kepala
yang menjual tanahnya karena tergiur atau pemimpin masyarakat (adat),
harga mahal dan keinginan ingin cepat sedangkan kultur menyangkut nilai,
punya uang banyak tanpa diikuti dengan norma, dan kepercayaan yang diyakini
usaha dan kerja keras. Semua itu hanya turun temurun. Untuk meminimalisasi
untuk memenuhi kebutuhan materiil dan konflik, yang masih bisa diubah hanya
memuaskan keinginan secara sisi proses, karena sisi ini memberikan
pragmatis. dinamika interaksi sehari-hari yang
memberi ruang bebas dari ikatan
Peralihan penguasaan hak atas
struktur dan kultur
tanah menjadi pemilikan yang
sedemikian tinggi, mengakibatkan Lebih lanjut diungkapkan,
munculnya daerah- daerah permukiman bahwa struktur dinyatakan seringkali
baru di daerah persawahan (subak) dirusak oleh globalisasi dan kepentingan
yang berdampingan dengan masyarakat ekonomi. Struktur pemerintahan pun
adat. Sampai saat ini di beberapa subak turut membenturkan kultur, seperti
di Kota Denpasar secara legal terjadi keputusan pengadilan yang
alih fungsi terhadap tanah- tanah bertentangan dengan aturan adat. Oleh
pertanian menjadi tanah perumahan karena itu diperlukan komunikasi dan
seperti di Subak Renon melalui proyek negosiasi proses yang menjembatani,
land consolidation (LC), Subak Gatsu baik itu dari dominasi struktur maupun
dengan dibukanya jalan by pas Gaksu, kultur.
LC Gatsu Tengah di jalan Bedahulu, LC
Berlakunya Permen ATR
Gatsu Timur, Subak Buaji ( Buaji Sari,
10/2016 jo Kepmen ATR 276/2017
Buaji Anyar).
mempunyai beberapa implikasi terhadap ATR No.276 tahun 2017 tidak
tanah ulayat di Bali, yaitu seperti mempunyai kekuatan berlaku).
dinyatakan Suwitra: “That is also
a.Konsep tanah ulayat dan tanah adat
intended to protect the existence of
Ulayat Land of Pakraman Village, but on Hukum adat memandang
the contrary that the appointment of hubungan antara masyarakat hukum
Pakraman Village as a subject that can adat dengan tanah yang diduduki
carry out communal ownership of land, mempunyai makna tersendiri. Menurut
which normatively can be interpreted Hukum Adat, hubungan antara
that there can be a weakening of Ulayat masyarakat hukum adat dengan tanah
Land status into a Communal Land, yang diduduki demikian erat dan bersifat
even with PTSL as Ulayat land which is religio magis. Konsekuensinya
individually will be converted into masyarakat hukum adat memperoleh
individual property rights according to hak untuk menguasai tanah dimaksud,
UUPA which resulted in the extinction of memanfaatkan tanah itu, memungut
Ulayat land intended[8] (Berlakunya hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup
Kepmen ATR No. 276 tahun 2017 di atas tanah itu, juga berburu binatang-
memberikan penegasan kembali binatang yang hidup di situ. Hak
terhadap pengakuan negara kepada masyarakat hukum adat atas tanah ini
keberadaan masyarakat hukum adat oleh van Vollenhoven disebut
terutama Desa Pakraman di Bali dan “beschikkingsrecht” yang kemudian
sekaligus menunjuk sebagai subjek hak diterjemahkan menjadi hak ulayat atau
yang dapat memilki hak Pemilikan hak pertuanan
Bersama (Komunal) atas Tanah dengan
Hak Ulayat dapat dirumuskan
beberapa klausula. Namun demikian
sebagai kewenangan yang menurut
secara hirarkhi perundang-undangan
hukum adat dipunyai oleh masyarakat
tidak memenuhi syarat kepastian hukum
hukum adat tertentu atas wilayah
karena bertentangan atau duplikasi
tertentu yang merupakan lingkungan
dengan maksud ketentuan Pasal 2 ayat
para warganya untuk mengambil
(4) UUPA). Oleh karena itu Kepmen
manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan druwe desa) dapat disamakaan dengan
kehidupannya, yang timbul dari tanah (hak) ulayat.
hubungan secara lahiriah dan batiniah
Apabila hak atas tanah adat
turun temurun dan tidak terputus antara
berada pada sekelompok orang dan
masyarakat hukum adat tersebut
diatur pemanfaatannya oleh pimpinan
dengan wilayah yang bersangkutan. Di
dari kelompok, maka hak bersama
Bali dikenal dengan istilah hak
tersebut dikenal dengan hak ulayat. Jadi
prabumian[11]. Istilah prabumian ini
tanah ulayat sama dengan tanah
dapat lihat dalam salinan “Pemuder
adat.Aturan- aturan adat atau hukum
Desa Adat Culik” sebagai prasasti yang
adat mempunyai kategori yang berbeda
diberikan (Panugrahan) Ida Batarane
dengan adat belaka. Menurut L Pospisil,
Ida nak Agung Made Ngurah
menyebutkan adanya empat atribut
Karangsem kepada I Pasek Culik yang
hukum, yaitu: The attribute of authority,
disalin pada hari Rabu Umanis Wuku
The attribute of intention of universal
Tambir Panglong ping 15 Tileming sasih
application, The attribute of obligation,
Ketiga Tahun 1922, yaitu dalam
The attribute of sanction.
penunjukan penguasaan dan batas-
batas Tanah Bukti Pura Puseh Desa
Culik]. Tanah bukti Pura ini kemudian
Pendaftaran tanah adat dibali dan
dikenal dengan istilah Laba Pura
permasalahannya
sebagai bagian dari tanah ulayat atau
tanah adat. Klaim-klaim atas sebidang tanah
adat dan sengketa hak penguasaan
Hukum Agraria Adat ini terdapat
atas tanah adat merupakan implikasi
dalam Hukum Adat tentang tanah dan
atas pendaftarannya menurut hukum
air (bersifat intern), yang memberikan
Negara (UUPA dan aturan organiknya),
pengaturan bagi sebagian terbesar
yang mengakibatkan adanya
tanah dalam negara. Diberlakukan bagi
peningkatan hak, yaitu dari hak
tanah- tanah yang tunduk pada hukum
penguasaan (komunal) menjadi
adat, seperti tanah (hak) ulayat, tanah
pemilikan melalui konversi atau PRONA
milik perseorangan yang tunduk pada
yang saat ini dikenal dengan PTSL.
hukum adat. Jadi Tanah Adat (tanah
Suwitra, I. M. (2010). Dampak Konversi

Penguatan yang dimaksudkan Dalam UUPA Terhadap Status Tanah


adalah upaya dalam membekali
Adat di Bali. Jurnal Fakultas Hukum
kompetensi diri berdasar kewenangan
yang dimiliki dalam menggunakan dan UII, 17(1), 103-118.
memanfaatan potensi diri dalam
Valerine Jaqueline Leonore Kriekhoff.
mengelola tanah (hak) ulayat sesuai
1991. “Kedudukan Tanah Dati
perundang-undangan yang berlaku. Jadi
sebagai tanah adat di Maluku
penguatan Desa Adat dapat berupa
Tengah, suatu kajian dengan
pembekalan terhadap kompetensi SDM
memanfaatkan pendekatan
Desa Adat, Tata Kelola Desa Adat,
antropologi hukum”. Disertasi.
sumber daya alam dan sumber daya
Program Doktor Ilmu Hukum
anggaran (pendanaan).
Fakultas Pasca Sarjana
SDM Desa Adat menjadi yang Universitas Indonesia.
utama dalam penguatan Desa Adat
Van Dijk. 1971. Pengantar Hukum Adat
seperti dengan pemberian beasiswa
Indonesia. Terjem. A. Soehardi.
untuk mengikuti pendidikan formal yang
Cetakan Ke Tujuh. Sumur
lebih tinggi atau sertipikasi profesi
Bandung. Jakarta.
sebagai pengawas, badan pemeriksa
keuangan LPD, pimpinan atau staf Setorus, Oloan. 2004. Kapita Selekta
bidang usaha Perbandingan Hukum Tanah,
Cetakan Perdana. Mitra
Kebijakan Tanah Indone.
DAFTAR PUSTAKA Yogyakarta.

Suastawa Dharmayuda. 1987. Status


dan Fungsi Tanah Adat Bali
Setelah Berlakunya UUPA.
Cetakan I. CV Kayu Mas.
Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai